Minggu, 20 Januari 2013

AKUNTABILITAS DAN PARTISIPASI SALAH SATU PENYEBAB KEGAGALAN TARGET MDGS, RENDAHNYA DERAJAT TRANSPARANSI,

Oleh: Yenny Sucipto


Menyoal berbagai kendala dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia selama ini seringkali dihadapkan pada persoalan lemahnya pengarusutamaan program-program berkait MDGs antar kementerian/lembaga serta terbatasnya alokasi anggaran yang membiayainya. Sehingga untuk beberapa target MDGs di Indonesia, misalnya sektor kesehatan (kematian ibu dan anak) dan penanggulangan HIV/AIDS akan sulit dicapai pada tahun 2015.

Selain masalah pengarusutamaan program dan keterbatasan anggaran, sebenarnya masalah besar yang lebih sulit dihadapi Indonesia saat ini mengenai efektifitas program dan anggaran yang berkait dengan MDGs itu sendiri. Sebab jika dilihat dari trend anggaran bagi program-program MDGs di tiap kementerian –walaupun belum sebanding dengan tantangan yang harus diselesaikan– kecenderungannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya bidang kesehatan, rata-rata pertumbuhan anggaran khususnya Kesehatan Ibu dan Anak sebesar 14% selama periode 2006-2012, bahkan 2010-2011 sempat mencapai pertumbuhan tertinggi sebesar 38,6%.[1] Sayangnya walaupun kecenderungan alokasi anggarannya naik, hasilnya terlihat tetap stagnan dan tidak ada kemajuan berarti, sehingga terkesan anggaran yang telah digelontorkan untuk program-program MDGs terkesan terbuang sia-sia.

Menyoal efektifitas anggaran memang sangat ditentukan pada bagaimana cara pemerintah sebagai pengelola anggaran dalam mengelola keuangan negara, yang dalam berbagai konteks selalu dikaitkan dengan good governance. Dan jika menyoal good governance, cukup menarik jika meminjam pemikiran Meuthia Ghani yang memahami governance sebagai tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, (2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan rakyat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir biasa dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi. Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan di bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh karena rakyat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan perannya dengan baik. Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya.[2]

Dengan pendekatan tersebut, good governance pada akhirnya tidak terbatas pada menjalankan wewenang dengan baik semata, tetapi –lebih penting lagi– adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable). Oleh karenanya, konsep good governance akan selalu didasarkan pada 3 (tiga) pilar, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.[3]

Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, ketiga pilar tersebut sebenarnya secara tersirat telah tertuang di dalam Konstitusi Indonesia khususnya Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 karena konstitusi mensyaratkan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keterbukaan tersebut oleh pemerintah dijawab dengan diterbitkannya UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi, tujuan utama UU KIP adalah untuk menjamin hak masyarakat untuk mengetahui setiap rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik,  dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.  Lebih jauh daripada itu diharapkan UU tersebut akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik   yang baik. Bagi pemerintah diharapkan akan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel  serta  dapat dipertanggungjawabkan.[4]

Bagi banyak pihak, menuntut keterbukaan informasi khususnya menyangkut pengelolaan keuangan negara/daerah kepada pemerintah adalah pekerjaan yang sulit dan hampir mustahil walaupun konstitusi dan undang-undang telah menjaminnya, mengingat birokrasi yang terbangun di Indonesia masih kental dengan kultur feodal-kolonial yang berkarakter dilayani, bukan melayani. Apalagi dokumen anggaran baik ditingkat pusat (kementerian/lembaga) maupun daerah masih banyak yang menilainya sebagai dokumen rahasia yang “diharamkan” dibagi ke publik.

Ini memang terbukti jika mengacu kepada hasil uji akses yang dilakukan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap 118 kementerian/ lembaga. Hasil uji akses tersebut menunjukkan jika sebagian besar lembaga negara masih belum mau menyebarluaskan dokumen anggaran bahkan dengan cara meminta sekalipun. Dari 118 kementerian/lembaga hanya 58 kementerian/lembaga saja yang bersedia memberikan dokumen anggaran yang diminta. Selebihnya benar-benar tertutup, apriori dan menolak secara emosional dengan berbagai cara dan argumentasi.[5]

Apa yang terjadi di Indonesia sebenarnya juga banyak terjadi di negara lain jika melihat hasil survei keterbukaan anggaran yang dilakukan setiap tahun oleh International Budget Project (IBP) terhadap 36 negara. Dari sisi dokumen anggaran eksekutif rata-rata 56% (25 negara positif 10 negara negatif), laporan evaluasi dan monitoring rata-rata 44% (12 negara dianggap positif, 24 negara dianggap negatif) dan mendorong keterlibatan publik dan keterlibatan legislatif rata-rata 40% (8 negara dianggap positif dan 28 negara negatif). Berdasarakan survei tersebut dari sisi dokumen anggaran eksekutif Indonesia berada pada urutan ke 28 dari 36 negara yang di survei, laporan monitoring dan evaluasi pada urutan 16 dan dari sisi keterlibatan publik dan legislatif pada urutan 7.

Ketertutupan akses terhadap dokumen anggaran tersebut sampai saat ini memang masih menjadi akar tidak efektifnya program-program pembangunan di Indonesia (termasuk program-program MDGs). Sebab masyarakat sama sekali tidak dapat melakukan kontrol terhadap setiap program yang disusun dan dilaksanakan pemerintah. Wajar jika dari tahun ke tahun wajah APBN Indonesia masih tersandera oleh kepentingan elit dan birokrasi. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun sebagian besar anggaran masih dihabiskan untuk membiayai kebutuhan aparat (birokrasi) mulai dari perjalanan dinas, tunjangan, vakasi, fasilitas perkantoran dan kendaraan, dan lain-lain.[6] Ambil contoh salah satu program MDGs khususnya menyangkut kematian ibu dan anak yang ada di Kementerian Kesehatan, hampir sebagian besar anggaran (sekitar 75%) hanya dihabiskan untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dll).[7]

Selain rendahnya keterbukaan, problem partisipasi juga menjadi salah satu kendala tidak efektifnya program pembangunan. Penyebabnya ruang partisipasi yang dibangun cenderung formalitas dan diskontinyu. Satu-satunya wahana partisipasi masyarakat yang diakui pemerintah hanyalah forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Sekilas forum ini cukup partisipatif karena masyarakat diberikan hak untuk mengusulkan program/kegiatan sekaligus kritik, saran dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Namun ternyata hanya bersifat formalitas dan palsu karena usulan, kritik dan saran masyarakat akhirnya diamputasi ketika proses penganggaran memasuki internal elit,  sebab di dalam forum tersebut semuanya sudah bersifat tertutup sehingga tidak bisa diikuti bahkan dihadiri masyarakat secara langsung. Dari proses tersebut sudah dapat diketahui jika derajat partisipasi yang ditawarkan dalam forum musrenbang sangatlah lemah sebab forum yang dibangun hanyalah sebatas forum sosialisasi belaka, bukan forum konsultasi terlebih negosiasi.[8]

Selain tertutupnya ruang partisipasi yang disediakan oleh pemerintah, masalah rendahnya derajat partisipasi masyarakat juga berangkat dari ketidaktahuan atau rendahnya pemahaman masyarakat terhadap anggaran itu sendiri. Hal ini menjadi hal yang sangat krusial yang belum pernah di sikapi oleh pemerintah. Dari hasil studi Open Budget Index, dinyatakan bahwa rendahnya derajat transparansi Indonesia karena salah satunya tidak adanya Citizen’s Budget sebagai salah satu produk untuk “melek anggaran” kepada masyarakat dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran.


REKOMENDASI

Dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, seyogyanya sudah menjadi hak konstitusional rakyat untuk mengetahui dan memperoleh semua informasi mengenai semua pos-pos anggaran di APBN. Informasi yang tidak sekedar data/angka makro, melainkan terperinci sebagaimana yang terdokumentasi dalam dokumen “satuan 3”[9].  Langkah ini bisa dilakukan pemerintah dengan mengumumkan semua pos anggaran yang tercantum dalam APBN melalui media secara terbuka yang bisa diakses publik. Langkah semacam ini akan dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan anggaran. Sebab, rakyat bisa secara langsung menilai, mengawasi, dan mengevaluasi penggunaan semua pos mengenai kemana sesungguhnya uang rakyat tersebut dibelanjakan, siapa pengguna anggarannya, dan sejauh mana hasil yang dicapai.

Dalam konteks partisipasi, Pemerintah seharusnya menyediakan ruang-ruang keterlibatan masyarakat selama proses penyusunan anggaran, misalnya dengan mengagendakan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai kelompok atau komponen dalam masyarakat secara rutin dan kontinyu. Dalam praktik selama ini, keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan anggaran adalah nihil, demikian pula dalam hal pengawasan pelaksanaan anggaran. Padahal masyarakat berhak untuk tahu anggaran dalam suatu kementerian, ke mana saja anggaran itu diarahkan dan siapa pelaksana proyek anggaran, dan apakah pelaksanaan anggaran sudah sesuai aturan.

Dalam konteks akuntabilitas, pengawasan anggaran yang dimiliki oleh DPR juga tidak mempunyai kekuatan mekanisme tindak lanjut atas hasil pemeriksaan keuangan BPK dan hasil temuan lapangan baik daerah maupun pusat. Praktek yang terjadi selama ini, seringkali hasil pemeriksaan keuangan cenderung disalurkan DPR melalui mekanisme internal di institusi sendiri. Dan problem politis, dimana independensi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi kontrol anggaran masih sangat ditentukan oleh arah kebijakan fraksi/partai politik yang menaunginya.


[1] Lihat Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Alternatif 2013, Menuju Anggaran Konstitusional.
[2] Meuthia Ganie, Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998.
[3] Ibid. Lihat juga Loina Lalolo Krina, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipas (Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: 2003), hal.3
[4] Lihat Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
[5] Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Uji Akses Terhadap 118 Kementerian dan Lembaga Negara Tahun 2011.
[6] Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Catatan Akhir Tahun Anggaran 2012, Anggaran Tersandera Birokrasi dan Elit Politik.
[7] Sebagaimana yang diungkap Yenny Sucipto dalam Catatan Akhir Tahun FITRA 2012 menyatakan: ...program pembinaan KIA dan reproduksi masih satu atap di dalam Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Dalam rencana anggaran Kementerian Kesehatan, hanya dialokasikan sebesar Rp 30 milyar untuk program pelayanan kesehatan anak, dan Rp 31,59 milyar untuk program pembinaan pelayanan kesehatan dan reproduksi. Sungguh ironis, dengan alokasi yang hanya sebesar Rp 30 milyar pada program pelayanan kesehatan anak sebagian besar habis untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dll) hingga mencapai Rp 21,5 milyar (72% dari total anggaran program pelyanan kesehatan anak). Begitu juga yang terjadi pada program pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi Rp 31,59 milyar habis untuk perjalanan dinas mencapai Rp 24 milyar (76%). Program untuk pengembangan anak hanya dialokasikan sebesar Rp 1 milyar yang meliputi kegiatan pengembangan Centre of Excellent RBM, Yankes Anak Minoritas dan terisolasi, dan Surveilans Kesehatan Anak.
[8] Dari hasil penelitian FITRA di 48 kabupaten/kota yang menunjukkan derajat partisipasi masyarakat di tingkat musrembang selalu tinggi, namun melemah ketika memasuki tahapan lebih tinggi. Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Local Budget Index and Local Budget Study 2010-2011.
[9] Satuan 3 adalah dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan rincian alokasi pagu anggaran per Program, berdasarkan Unit Eselon I , dan Iingkup Satuan Kerja lingkup Kementerian/Lembaga Negara.

Selasa, 11 Desember 2012

OTONOMI KALAP


Oleh Yenny Sucipto

Otonomi daerah sejak awal memang tidak didesain untuk percepatan pembangunan di seluruh daerah sebagaimana yang menjadi tujuan desentralisasi pada umumnya, tetapi lebih pada upaya meredam ancaman disintegrasi yang mencuat tajam pasca reformasi. Itulah kenapa wajah desentralisasi fiskal selama ini lebih terfokus kepada sharing keuangan antara pusat dengan daerah kaya SDA saja, bukan pada upaya pembagian keuangan yang lebih merata dan adil antar daerah.

Dengan membagi sebagian pendapatan negara sektor SDA kepada daerah (penghasil SDA) maka tidak ada alasan lagi bagi daerah untuk menuntut keluar dari NKRI. Dampaknya sudah pasti pendapatan antar daerah menjadi timpang. Dan ketimpangan ini bersifat tajam, sebab dari 497 kab/kota hanya 64 kabupaten saja yang memiliki SDA (ditambah 38 kota penghasil pajak skala besar). Sisanya 395 kab/kota hidup matinya sangat bergantung pada “pemberian” pusat. Ini dibuktikan dari wajah APBD kab/kota miskin yang rata-rata prosentase PAD-nya hanya 1-5% dari total pendapatan.

DAU dan DAK Tidak Menjawab Ketimpangan
Model desentralisasi fiskal seperti di atas, memang sangat tidak adil bagi daerah miskin karena mereka tidak diperbolehkan ikut menikmati DBH. Satu-satunya harapan mereka adalah bergantung kepada DAU dan DAK dengan prosentase rata-rata 70-95% dari total pendapatan.

Namun DAU yang diharapkan bisa menutupi ketiadaan anggaran pembangunan (celah fiskal) ternyata juga tidak dipenuhi oleh pusat dengan alasan keterbatasan anggaran. Rata-rata DAU yang diterima daerah sebagian besar (80-90%) hanya cukup untuk membayar gaji PNS saja (alokasi dasar). Sehingga hampir tidak ada anggaran yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan.

Begitu pula dengan DAK, yang juga diharapkan menjadi tumpuan pendapatan daerah miskin ternyata bersifat absurd. Jika sebelumnya hanya daerah tertentu saja (daerah miskin, tertinggal dan terpencil) yang menerima DAK, sekarang semua kab/kota. Akhirnya DAK justru semakin mempertimpang antara daerah kaya dan miskin. Selain itu juga tidak adil. Jika daerah miskin “diharamkan” ikut menikmati DBH, kenapa daerah kaya “dihalalkan” ikut menikmati DAK.

Perda Inkonstitusional dan PAD yang Kalap
Solusi menghadapi ketiadaan anggaran pembangunan di daerah miskin memang belum terpecahkan, kecuali sebatas menggenjot PAD secara paksa. Penggenjotan inilah yang menjadi permasalahan antara pusat dan daerah saat ini. Bagi pusat, penggenjotan PAD yang membuat ekonomi biaya tinggi –selain menyalahi UU Pajak dan Retribusi Daerah– juga merugikan kepentingan nasional. Sebab dalam jangka panjang akan mengancam pertumbuhan investasi di seluruh daerah. Sebaliknya bagi daerah, jika PAD tidak digenjot, justru daerah lah yang dalam jangka panjang akan terancam kelangsungannya.

Persoalan ini menjadi semakin pelik karena banyak daerah yang kalap sehingga tidak mau menghentikan pembuatan perda-perda yang menyalahi aturan tersebut. Sudah puluhan ribu perda yang dibatalkan pemerintah, namun masih saja terdapat perda-perda baru yang sejenis yang diterbitkan oleh daerah. Sudah triliunan rupiah yang terbuang percuma, jika pemerintah hanya sebatas mencabut tanpa mencarikan jalan keluar dikhawatirkan akan banyak daerah gagal menjadi daerah otonom. Jika demikian, maka tidak ada jalan lain bagi pemerintah selain harus menghapus daerah tersebut untuk kemudian digabungkan dengan daerah lain.

Otonomi Berkeadilan Menjawab Otonomi yang Kalap
Persoalan ketimpangan keuangan antar daerah yang mengakibatkan banyaknya daerah (miskin) yang kalap dalam membangun kemandirian fiskalnya, sebenarnya dapat diselesaikan dengan lebih mudah jika saja pemerintah mau meninjau kembali politik desentralisasi (fiskal) yang diterapkan selama ini. Jika melihat perkembangan otonomi daerah yang telah berlangsung selama 12 tahun, seharusnya titik tekan politik desentralisasi tidak lagi pada isu disintegrasi, tetapi harus sudah mulai beranjak kepada isu keadilan dan pemerataan antar daerah.

Jika demikian, maka tidak ada alasan lagi bagi Pemerintah untuk tidak memenuhi celah fiskal daerah miskin, walaupun dengan alasan keterbatasan anggaran sekalipun. Sebab celah fiskal adalah satu-satunya harapan bagi daerah miskin dalam menyelenggarakan pembangunannya. Selama celah fiskal tidak dipenuhi, maka selama itu pula daerah akan terus kalap mencari uang –yang salah satunya sudah kita lihat– dilakukan dengan cara “melawan” pemerintah, membuat Perda yang sengaja menabrak UU Pajak dan Retribusi Daerah. Lebih jauh dari itu, ke depan DAU seyogyanya juga diimbangi dengan indikator Human Development Indeks (HDI) setiap daerah, karena HDI masih menjadi indikator yang paling signifikan untuk menentukan tingkat kemiskinan dan ketertinggalan suatu daerah selama ini.

Begitu pula dengan DAK, seyogyanya dikembalikan kepada ciri awalnya yang bersifat khusus. Sehingga DAK hanya diberikan kepada daerah-daerah yang benar-benar miskin, tertinggal dan terpencil saja. Dengan demikian, maka prosentase DAK yang diterima daerah miskin tentunya akan lebih besar karena tidak perlu lagi berbagi dengan daerah kaya.

Dan terakhir, Dana Penyesuaian yang saat ini menjadi komponen baru yang dikeluarkan pemerintah dalam upaya membantu daerah miskin dan tertinggal, sebaiknya dihentikan. Sebab selain tidak memiliki dasar hukum, juga tidak memiliki indikator daerah yang berhak menerima kecuali diputuskan secara sepihak antara Banggar-DPR dan Menkeu, sehingga hanya akan menyuburkan praktik mafia anggaran di tubuh pemerintah dan DPR saja.



[1] Yenny Sucipto, Direktur Riset, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)

Senin, 24 September 2012

ANGGARAN KESEJAHTERAAN SOSIAL, PEREMPUAN DAN ANAK R-APBN 2012: “POLITIK ANGGARAN TANPA POLITICAL WILL”,

Oleh: Yenny sucipto

 
1.      Politik Kesejahteraan Sosial: Beban Ganda Kemiskinan

Kebijakan penganggaran kesejahteraan sosial di Indonesia sebenarnya dapat dilihat di dalam UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang mulai terlihat mengarah kepada model penganggaran residual seperti yang dipraktikkan di negara-negara anglo saxon. Penganggaran residual membawa ciri penyelenggaraan jaminan sosial yang lebih diprioritaskan kepada kelompok rentan (rakyat miskin, cacat, pengangguran). Diluar kelompok tersebut, jaminan sosial tetap diselenggarakan, namun penganggarannya tidak lagi dibebankan kepada Negara, namun ditanggung secara bersama-sama antara pemerintah, swasta dan pekerja.[1]

Penganggaran kesejahteraan sosial seperti ini memang hampir mirip seperti yang diselenggarakan di Jepang, yang memadukan prinsip-prinsip dalam sistem asuransi sosial dan bantuan sosial. Meskipun sistem pendanaan dilakukan berdasarkan sharing across population, pemerintah tetap terlibat baik dalam pengaturan, pengawasan maupun pendanaannya. Pola pendanaan bersama antara pemerintah, pihak swasta (usaha) dan masyarakat ini sebenarnya telah lama menggejala di banyak negara menjelang abad 21 seperti yang dilaporkan oleh MHLW (1999:4):

 Social security is a mechanism basically created for income redistribution and mutual assistance based on the idea of individual independence and support by the social solidarity of people…A regional welfare system comprised of multiple layers of “self-support”, “mutual support” dan “public support” for the entire society to support welfare including families, regional organizationa, companies, and the national and local governments based on the independence of each citizen.

Perubahan menuju pengganggaran residual ini sebenarnya bertentangan dengan konstitusi dan cita-cita ideologis yang mengamanatkan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Perubahan ini lebih banyak dipengaruhi oleh ketidakmampuan negara dalam penyediaan anggaran yang dibutuhkan (keterbatasan anggaran). Oleh karena itu, pemerintah kemudian mencoba melepaskan sebagian tanggung jawabnya dengan cara hanya memberikan kesejahteraan sosial (jaminan sosial khususnya) kepada rakyat miskin saja.

Perubahan paradigma penganggaran kesejahteraan sosial demikian akhirnya membawa dampak berubahnya politik penganggaran kesejahteraan sosial di Indonesia. Berbagai subsidi yang tidak spesifik untuk rakyat miskin, khususnya subsidi energi (BBM dan listrik) dihapus secara bertahap. Kebijakan penghapusan ini telah dimulai sejak tahun 2008 lalu, dengan menurunkan prosentase subsidi energi dari 26,56% pada tahun 2007 menjadi 22,62% di tahun 2008. Bahkan pada tahun berikutnya (2009) prosentasenya tinggal 10,09% saja.  Sayangnya (atau untungnya) di tahun 2010 terjadi lonjakan harga minyak bumi yang sempat tak terkendali, sehingga kebijakan penghapusan subsidi energi sempat tersendat, karena pemerintah mau tidak mau harus menyesuaikan anggaran subsidi energi dengan kenaikan harga minyak bumi yang terjadi. Itulah kenapa pada tahun 2010 subsidi energi sempat naik menjadi 13,82% dan kembali naik menjadi 15,22% pada 2011. Namun karena sejak awal kenaikan tersebut berangkat dari “keterpaksaan” (bukan kebijakan), menjadi wajar jika pada tahun 2012 pemerintah kembali menurunkannya menjadi 11,89% seiring dengan harga minyak bumi yang mulai kembali stabil.
 
Penurunan kembali belanja subsidi energi 2012 adalah kembalinya pemerintah kepada komitmen awal untuk menghapus subsidi-subsidi yang tidak spesifik rakyat miskin dalam rangka penerapan kesejahteraan sosial residual. Kebijakan yang sudah pasti berakibat semakin miskinnya rakyat miskin karena arus inflasi. Namun pemerintah kembali berjanji dan menjamin akan merealokasi pemangkasan anggaran subsidi untuk bantuan-bantuan sosial bagi rakyat miskin, sehingga mereka terhindar dari dampak inflasi dengan diperbesarnya anggaran kesejahteraan sosial non subsidi.

Sayangnya, jaminan pemerintah ini masih lebih banyak bersifat lips services daripada bukti nyatanya. Karena selama 5 (lima) tahun terakhir anggaran kesejahteraan sosial tetap tidak mengalami peningkatan berarti,  cenderung stagnan bahkan menurun. Fakta konkrit, ketika pemerintah mencabut sebagian subsidi BBM pada tahun 2008 seharusnya anggaran kesejahteraan sosial naik karena mendapatkan tambahan anggaran dari hasil realokasi pengurangan subsidi. Kenyataannya malah turun begitu tajam dari 8,02% pada tahun 2007 menjadi 4,32% saja pada tahun 2008. Dan saat ini (2012) kebijakan ini diulangi lagi oleh Pemerintah. Jika pada tahun 2011 anggaran kesos mulai membaik menjadi 5,56%, tahun 2012 kembali diturunkan menjadi 5,16%.

 Begitu pula dengan berbagai subsidi spesifik rakyat miskin (subsidi pangan, pupuk, benih, minyak goreng, kedelai dan kredit program) yang berkait langsung dengan nasib kesejahteraan sosial rakyat miskin, yang seharusnya tetap dipertahankan ternyata juga dipangkas oleh pemerintah. Ini terlihat dari turunnya anggaran subsidi non energi dari 4,67% (Rp 57,4 triliun) pada tahun 2011 menjadi 2,84% (Rp 40,3 triliun) pada tahun 2012. Bahkan saat pemerintah mencabut subsidi BBM 2008, yang seharusnya dikompensasi dengan naiknya subsidi non energi, justru ikut turun dari 5,3% menjadi 4,64%. Satu-satunya kenaikan subsidi non energi hanya terjadi di tahun 2010 menjadi 5,5%, setelah itu terus turun. Bahkan subsidi minyak goreng dan kedelai telah dihapus sejak tahun 2008 lalu.

Jika mengacu kepada UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, program kesejahteraan sosial di Indonesia terbagi ke dalam 4 (empat) bidang, yaitu: perlindungan sosial (social security), jaminan sosial (social insurance), pemberdayaan sosial (social assistance), dan rehabilitasi sosial (social rehabilitation).

Dalam R-APBN 2012, anggaran kesejahteraan sosial (kesos) dari keempat bidang di atas total alokasinya hanya sebesar Rp 73,16 triliun (5,16%), tersebar di berbagai program dan sektor (lihat grafik 5). Prosentase ini memang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran bagi kesejahteraan pegawai yang di R-APBN 2012 telah mencapai 15,12%. Alokasi anggaran kesos terbesar berada di 5 (lima) program, yaitu: BOS (Rp 23,6 triliun), Raskin (Rp 15,6 triliun), PNPM (Rp 12,3 triliun), Jamkesmas (Rp 5,9 triliun) dan PKH (Rp 2,1 triliun).

Ironisnya secara keseluruhan, anggaran-anggaran kesos pada R-APBN 2012 hampir semuanya mengalami penurunan prosentase. Hanya program BOS dan PKH saja yang mengalami kenaikan, itupun tidak signifikan (lihat grafik 4).

 Program Beras Miskin misalnya, yang awalnya di tahun 2011 masih mendapatkan alokasi Rp 16,2 triliun (1,32%), pada tahun 2012 diturunkan menjadi Rp 15,6 triliun, yang digunakan untuk meng-cover  17,3 juta orang miskin. Padahal pada tahun 2008 cakupan raskin telah mencapai 19,1 juta, sayangnya wilayah cakupan raskin ini terus menurun sampai tahun 2012, padahal angka kemiskinan di Indonesia dalam 5 tahun terakhir tidak mengalami tingkat penurunan berarti, sehingga tidak semestinya alokasi anggaran dan cakupan Raskin diperkecil.

Begitu pula dengan program Jamkesmas, dalam R-APBN 2012 juga duturunkan dari Rp 6,3 triliun (pada tahun 2011) menjadi Rp 5,9 triliun. Penurunan ini tentu akan semakin mempersulit rakyat miskin dalam memperoleh akses kesehatan. Sebab dengan Rp 5,9 triliun tersebut setiap orang miskin hanya akan mendapat alokasi Rp 6.435 per bulannya. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan asuransi kesehatan yang dimiliki PNS, TNI dan Polri yang telah mencapai Rp 35 ribu per bulannya.

Jika dilihat dari program-program kesejahteraan sosial yang berada di bawah Kemensos juga tidak ada bedanya. Satu-satunya program jaminan sosial yang ditangani Kemensos adalah Bantuan Tunai Bersyarat dan Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos). Bantuan Tunai Bersyarat diperuntukkan bagi rumah tangga sangat miskin dengan total anggaran Rp 2,1 triliun. Program tersebut saat ini dikenal dengan Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini pun hanya mampu meng-cover 1,5 juta rumah tangga saja dengan alokasi tidak lebih dari Rp 100 ribu per bulan. Begitu pula dengan Askesos, dengan anggaran hanya sebesar Rp 30 milyar, Kemensos hanya bisa menargetkan Askesos bagi 50.800 jiwa saja.

Di luar itu, Kemensos memang masih memiliki satu program bantuan sosial lagi yaitu pemberian modal usaha kepada masyarakat miskin yang digabung ke dalam kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE). Untuk tahun 2012 anggarannya sebesar Rp 218,1 milyar diperuntukan bagi 9.311 kelompok fakir miskin. Selebihnya, program kesejahteraan sosial Kemensos tetap setia dengan paradigma lama yang masih memandang rakyat miskin dengan profesi pengemis, gelandangan, PSK sebagai penyakit sosial yang perlu direhabilitasi. Oleh karena itu, Kemensos memiliki suatu direktorat jenderal (ditjen) yang khusus menangani rehabilitasi. Dalam praktiknya, program rehabilitasi sosial seringkali berjalan beriringan dengan program-program ketentraman dan ketertiban umum (penggusuran dan penertiban). Rehabilitasi sosial seringkali dilakukan melalui pembinaan, penyuluhan dan pemberian keterampilan di panti-panti sosial. Anggarannya tergolong cukup besar karena mencapai 930,4 milyar jika dibandingkan dengan program pemberdayaan sosial dan penanggulangan kemiskinan yang hanya sebesar Rp 754,8 milyar. Dengan perbandingan angka ini dapat dibaca bahwa pemerintah ternyata lebih memilih prioritasi penertiban (baca: penggarukan) pengemis, gelandangan dan PSK daripada memberikan bantuan dan perlindungan sosial kepada mereka sebagai kelompok rentan.

Kesejahteraan Sosial Residual: Beban Ganda Kemiskian. Meskipun Indonesia secara formal tidak menganut sistem negara kesejahteraan, secara substansial, konstitusinya (Pasal 28C; Pasal 28Hdan Pasal 34) mengamanatkan bahwa jaminan sosial pada dasarnya merupakan hak-hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara (Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002). Dengan demikian, jika Indonesia akan mengembangkan jaminan sosial yang berbasis masyarakat, negara tidak boleh mengabaikan atau menyerahkan begitu saja sistem ini kepada rakyat. Karena, selain negara pada dasarnya merupakan representasi rakyat, dimanapun di seluruh negara, bidang kesejahteraan dan pelayanan sosial merupakan domain dimana peran dan kontribusi negara masih dominan.

Model penganggaran kesejahteraan residual yang coba dipraktikkan saat ini, yang hanya memprioritaskan kesejahtearan sosial kepada rakyat miskin, seharusnya diikuti dengan jaminan terpenuhinya hak-hak sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan bagi rakyat miskin. Namun dalam praktiknya, ternyata pemerintah tetap tidak mampu memenuhinya. Anggaran kesejahteraan sosial bagi rakyat miskin tetap kecil dan terbatas. Akibatnya, pencabutan subsidi BBM sebagai bagian dari kebijakan penggaraan kesejahteraan residual berdampak semakin miskinnya rakyat miskin, sebab di satu sisi terbebani dengan dicabutnya subsidi BBM yang berdampak pada inflasi, di sisi yang lain anggaran yang seharusnya mampu mengcover kesejahteraan sosial mereka tetap terbatas (kalaupun terjadi peningkatan tetap tidak sebanding dengan laju inflasi yang terjadi).


2.      Penganggaran Kesejahteraaan Perempuan dan Anak: Politik Anggaran tanpa Political Will

Penganggaran kesejahteraan perempuan dan anak (di luar anggaran kesehatan ibu dan anak) jika dilihat dari prosentasenya terhadap total belanja APBN selalu berada di bawah 0,5%, dan itupun sebagian besar dipergunakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk (program Keluarga Berencana), bukan untuk program-program perlindungan maupun pemberdayaan perempuan dan anak miskin.


Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2011), anggaran kesejahteraan sosial secara nominal memang naik dari Rp 4,83 triliun menjadi Rp Rp 5,40 triliun, namun secara prosentase terhadap total belanja justru turun dari 0,39% menjadi 0,38%.

Ketimpangan Jender di Indonesia dan Penganggarannya. Dalam konstruksi budaya patriarkhi, kelompok perempuan selalu menjadi kelompok termiskin dari rakyat miskin, karena selain termiskinkan oleh kebijakan, mereka juga termiskinkan oleh stereotip dan kultur yang masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki sehingga termarjinalkan dari segala akses sumberdaya. Konstruksi budaya patriarki ini telah berdampak pada ketimpangan jender yang berlarut-larut. Berdasarkan data BPS 2000, perbedaan kemampuan membaca menulis antara laki-laki dan perempuan di Indonesia masih tinggi dengan perbandingan 56,9% : 88,1%. Ketimpangan ini secara tidak langsung telah memberikan konstribusi terhadap timpangnya perbandingan laki-laki dan perempuan yang bekerja pada sektor informal  dengan perbandingan 29,6% : 39,2%.

Ketimpangan jender yang mengakibatkan tertinggalnya kaum perempuan terhadap laki-laki di Indonesia ternyata tidak pernah disikapi serius oleh pemerintah. Hal ini dapat terlihat dari berbagai program-program peningkatan kesejahteraan perempuan, anggarannya lebih banyak dihabiskan untuk program Keluarga Berencana (KB) saja. Program-program yang bersifat pemberdayaan perempuan dan anak, serta pelayanan sosial selalu mendapatkan prosentase kecil (lihat grafik 6).

 Program pemberdayaan perempuan yang disusun oleh pemerintah pun, disamping anggarannya yang begitu kecil, juga sebatas kepada program pengarusutamaan jender disetiap kementerian/lembaga. Dan itu terus berlangsung selama bertahun-tahun sejak jaman Orde Baru, seolah paradigma patriarkhi di internal pemerintah tidak akan pernah hilang. Akibatnya hampir tidak ada satu pun program yang benar-benar memberdayakan perempuan dan anak (yang tidak sebatas pengarusutamaan) selama ini di dalam APBN.

Dalam hal perlindungan kepada perempuan misalnya. Berdasarkan temuan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), angka kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan setiap tahun masih tinggi. Data tahun 2010, dilaporkan masih terdapat 105.103 kasus kekerasan, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data kasus yang terjadi di tahun 2007 sebanyak 34.665 kasus. Namun hampir tidak ada anggaran untuk memberikan perlindungan ini. Dalam R-APBN 2012, program khusus perlindungan perempuan hanya tersedia Rp 9,7 milyar dan itupun sebagian besar (Rp 6,3 milyar) akan digunakan untuk menutupi biaya kantor Komnas Perempuan. Otomatis hanya tersedia Rp 3,4 milyar saja yang dapat dipakai Komnasi Perempuan untuk melaksanakan program perlindungan selama tahun 2012. Padahal program-program perlindungan yang menjadi tanggung jawab Komnas Perempuan begitu luas mencakup advokasi kebijakan, pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, pengaduan dan dokumentasi aduan kekerasan, hingga pemberian konseling bagi perempuan korban kekerasan.  Dengan tidak sebandingnya anggaran perlindungan dengan tugas dan tanggung jawab Komnas Perempuan tersebut, membuat kebijakan dan kegiatan perlindungan terhadap perempuan terancam lumpuh karena ketiadaan anggaran.

Begitu pula dalam hal perlindungan anak, dari anggaran sebesar Rp 38,6 milyar di KPP dan PA, sebagian besar habis digunakan di internal KPPA dan PA saja untuk harmonisasi kebijakan perlindungan anak. Sehingga KPAI juga harus mengalami nasib yang sama seperti Komnas Perempuan, tidak mampu bergerak karena ketiadaan anggaran.

Penganggaran Kesehatan Ibu dan Anak. Selain kekerasan terhadap perempuan dan anak, persoalan ancaman kematian karena rendahnya derajat dan akses kesehatan  mengakibatkan angka kematian ibu dan anak masih tinggi. Sampai tahun 2010 angka kematian ibu  masih mencapai 228 dari 1.000 proses persalinan. Begitu pula dengan angka kematian anak masih mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup, hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan angka kematian bayi di Malaysia, 2 kali lipat dibandingkan Thailand dan 1,3 kali lipat dibandingkan Philipina. Belum lagi kasus gizi buruk, pada tahun 2010 saja masih tercatat 4,1 juta kasus gizi buruk yang terdeteksi.

Di dalam R-APBN 2012, dari Rp 28,8 triliun anggaran Kemenkes, anggaran yang langsung digunakan untuk penanggulangan kematian ibu dan bayi dititipkan ke dalam program Jamkesmas dalam bentuk jaminan persalinan (jampersal) sebesar 1,6 triliun. Jampersal tersebut diperuntukkan bagi ibu miskin yang belum ter-cover dalam Jamkesmas. Sayangnya program jampersal ini baru meliputi 10 klaim saja (yang berarti baru mencakup 10 kabupaten/kota). Sementara untuk penanggulangan kasus kurang gizi dan gizi buruk, pengangarannya dimasukkan ke dalam bagian program bina gizi dan kesehatan ibu dan anak dengan total anggaran Rp 2 triliun. Sayangnya sebagian besar program ini anggarannya masih digunakan untuk kebutuhan sosialisasi dan layanan perkantoran saja. Anggaran yang benar-benar digunakan langsung untuk perbaikan gizi hanya terdapat di sub program pengadaan makanan tambahan sebesar Rp 37 milyar dan pelatihan bagi tenaga kesehatan sebesar Rp 13,3 milyar.

3.      Rekomendasi
-     Politik penganggaran kesejahteraan sosial residual dengan menghapus segala subsidi bersifat umum harus diikuti dengan pemenuhan anggaran kesejahteraan sosial bagi rakyat miskin di dalam APBN. Prioritas pertama yang harus dipenuhi negara adalah terpenuhinya hak-hak dasar (ekonomi, pendidikan dan kesehatan) rakyat miskin. Hak-hak dasar seyogyanya lebih banyak difokuskan kepada jaminan sosial di bidang pendidikan dan kesehatan daripada bantuan-bantuan sosial yang bersifat karitatif. Kalaupun bantuan-bantuan sosial tetap dipertahankan seharusnya sudah mulai beranjak dari karitatif mengarah kepada upaya-upaya membangun kemandirian ekonomi rakyat miskin. Bantuan sosial bersifat pemberdayaan ekonomi terhadap rakyat miskin tentunya juga hanya bisa berlaku efektif jika disertai pemberian perlindungan usaha miskin dari hukum pasar.
-  Anggaran kesejahteraan perempuan seharusnya tidak lagi stagnan pada upaya pengarusutamaan jender saja. Sudah waktunya bagi pemerintah untuk menyusun program-program pemberdayaan perempuan dalam rangka memberikan hak-hak ekonomi, pendidikan dan kesehatan kepada perempuan yang lebih baik. Dengan demikian, cara pandang pemerintah dalam memandang urusan perempuan dan anak  tidak lagi sebatas program KB saja, yang sebenarnya tidak berkaitan dengan hak perempuan, kecuali sebatas memaksa perempuan menjadi obyek kontrasepsi daripada laki-laki.


[1] Lihat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.