Menyoal berbagai kendala dalam pencapaian Millenium Development Goals
(MDGs) di Indonesia selama ini seringkali dihadapkan pada persoalan lemahnya
pengarusutamaan program-program berkait MDGs antar kementerian/lembaga serta
terbatasnya alokasi anggaran yang membiayainya. Sehingga untuk beberapa target
MDGs di Indonesia, misalnya sektor kesehatan (kematian ibu dan anak) dan penanggulangan
HIV/AIDS akan sulit dicapai pada tahun 2015.
Selain masalah pengarusutamaan program dan keterbatasan anggaran,
sebenarnya masalah besar yang lebih sulit dihadapi Indonesia saat ini mengenai
efektifitas program dan anggaran yang berkait dengan MDGs itu sendiri. Sebab
jika dilihat dari trend anggaran bagi
program-program MDGs di tiap kementerian –walaupun belum sebanding dengan
tantangan yang harus diselesaikan– kecenderungannya selalu meningkat dari tahun
ke tahun. Misalnya bidang kesehatan, rata-rata pertumbuhan anggaran khususnya Kesehatan Ibu
dan Anak sebesar 14% selama periode 2006-2012, bahkan 2010-2011 sempat mencapai
pertumbuhan tertinggi sebesar 38,6%.[1] Sayangnya walaupun kecenderungan alokasi
anggarannya naik, hasilnya terlihat tetap stagnan dan tidak ada kemajuan
berarti, sehingga terkesan anggaran yang telah digelontorkan untuk
program-program MDGs terkesan terbuang sia-sia.
Menyoal efektifitas anggaran memang sangat ditentukan pada bagaimana cara
pemerintah sebagai pengelola anggaran dalam mengelola keuangan negara, yang
dalam berbagai konteks selalu dikaitkan dengan good governance. Dan jika menyoal good governance, cukup
menarik jika meminjam pemikiran Meuthia Ghani yang memahami governance
sebagai tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan dalam suatu negara, termasuk
(1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, (2) kapasitas
pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan
(3) pengakuan rakyat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur
interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir biasa dilakukan melalui tiga
struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi. Kewenangan
adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan di bidang tertentu. Walaupun
ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang terpenting adalah
bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan
pemerintah. Legitimasi diperoleh karena rakyat mengakui bahwa pemerintah
telah menjalankan perannya dengan baik. Representasi diartikan sebagai
hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam
kaitannya dengan alokasi sumber daya.[2]
Dengan pendekatan tersebut, good governance pada akhirnya tidak
terbatas pada menjalankan wewenang dengan baik semata, tetapi –lebih penting
lagi– adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol
pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable).
Oleh karenanya, konsep good governance akan selalu didasarkan
pada 3 (tiga) pilar, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.[3]
Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, ketiga
pilar tersebut sebenarnya secara tersirat telah tertuang di dalam Konstitusi
Indonesia khususnya Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 karena konstitusi mensyaratkan pembahasan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) harus dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggungjawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keterbukaan tersebut oleh pemerintah dijawab dengan
diterbitkannya UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU
KIP).
Sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi, tujuan utama UU KIP
adalah untuk menjamin hak masyarakat untuk mengetahui setiap rencana pembuatan
kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan
keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Lebih jauh daripada itu diharapkan UU tersebut
akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik
serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik
dan pengelolaan Badan Publik yang baik. Bagi pemerintah diharapkan
akan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan,
efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.[4]
Bagi banyak pihak, menuntut keterbukaan informasi
khususnya menyangkut pengelolaan keuangan negara/daerah kepada pemerintah
adalah pekerjaan yang sulit dan hampir mustahil walaupun konstitusi dan
undang-undang telah menjaminnya, mengingat birokrasi yang terbangun di
Indonesia masih kental dengan kultur feodal-kolonial yang berkarakter dilayani,
bukan melayani. Apalagi dokumen anggaran baik ditingkat pusat (kementerian/lembaga)
maupun daerah masih banyak yang menilainya sebagai dokumen rahasia yang
“diharamkan” dibagi ke publik.
Ini memang terbukti jika mengacu kepada hasil uji akses yang
dilakukan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap 118
kementerian/ lembaga. Hasil uji akses tersebut menunjukkan jika sebagian besar
lembaga negara masih belum mau menyebarluaskan dokumen anggaran bahkan dengan
cara meminta sekalipun. Dari 118 kementerian/lembaga hanya 58
kementerian/lembaga saja yang bersedia memberikan dokumen anggaran yang
diminta. Selebihnya benar-benar tertutup, apriori dan menolak secara emosional
dengan berbagai cara dan argumentasi.[5]
Apa yang terjadi di Indonesia sebenarnya juga banyak terjadi di negara lain
jika melihat hasil survei keterbukaan anggaran yang dilakukan setiap tahun oleh
International Budget Project (IBP)
terhadap 36 negara. Dari sisi dokumen anggaran eksekutif rata-rata 56% (25
negara positif 10 negara negatif), laporan evaluasi dan monitoring rata-rata 44%
(12 negara dianggap positif, 24 negara dianggap negatif) dan mendorong
keterlibatan publik dan keterlibatan legislatif rata-rata 40% (8 negara
dianggap positif dan 28 negara negatif). Berdasarakan survei tersebut dari sisi
dokumen anggaran eksekutif Indonesia berada pada urutan ke 28 dari 36 negara
yang di survei, laporan monitoring dan evaluasi pada urutan 16 dan dari sisi
keterlibatan publik dan legislatif pada urutan 7.
Ketertutupan akses terhadap dokumen anggaran tersebut sampai saat ini memang
masih menjadi akar tidak efektifnya program-program pembangunan di Indonesia
(termasuk program-program MDGs). Sebab masyarakat sama sekali tidak dapat
melakukan kontrol terhadap setiap program yang disusun dan dilaksanakan
pemerintah. Wajar jika dari tahun ke tahun wajah APBN Indonesia masih
tersandera oleh kepentingan elit dan birokrasi. Bagaimana tidak, dari tahun ke
tahun sebagian besar anggaran masih dihabiskan untuk membiayai kebutuhan aparat
(birokrasi) mulai dari perjalanan dinas, tunjangan, vakasi, fasilitas
perkantoran dan kendaraan, dan lain-lain.[6]
Ambil contoh salah satu program MDGs khususnya menyangkut kematian ibu dan anak
yang ada di Kementerian Kesehatan, hampir sebagian besar anggaran (sekitar 75%)
hanya dihabiskan untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi,
fasilitasi, monev, dll).[7]
Selain rendahnya keterbukaan, problem partisipasi juga
menjadi salah satu kendala tidak efektifnya program pembangunan. Penyebabnya
ruang partisipasi yang dibangun cenderung formalitas dan diskontinyu.
Satu-satunya wahana partisipasi masyarakat yang diakui pemerintah hanyalah forum
musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Sekilas forum ini cukup
partisipatif karena masyarakat diberikan hak untuk mengusulkan program/kegiatan
sekaligus kritik, saran dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Namun ternyata
hanya bersifat formalitas dan palsu karena usulan, kritik dan saran masyarakat
akhirnya diamputasi ketika proses
penganggaran memasuki internal elit,
sebab di dalam forum tersebut semuanya sudah bersifat tertutup sehingga
tidak bisa diikuti bahkan dihadiri masyarakat secara langsung. Dari proses
tersebut sudah dapat diketahui jika derajat partisipasi yang ditawarkan dalam
forum musrenbang sangatlah lemah sebab forum yang dibangun hanyalah
sebatas forum sosialisasi belaka, bukan forum konsultasi terlebih negosiasi.[8]
Selain tertutupnya ruang partisipasi yang disediakan oleh pemerintah, masalah
rendahnya derajat partisipasi masyarakat juga berangkat dari ketidaktahuan atau
rendahnya pemahaman masyarakat terhadap anggaran itu sendiri. Hal ini menjadi
hal yang sangat krusial yang belum pernah di sikapi oleh pemerintah. Dari hasil
studi Open Budget Index, dinyatakan
bahwa rendahnya derajat transparansi Indonesia karena salah satunya tidak
adanya Citizen’s Budget sebagai salah
satu produk untuk “melek anggaran” kepada masyarakat dalam mendorong
partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran.
REKOMENDASI
Dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, seyogyanya sudah menjadi hak konstitusional
rakyat untuk
mengetahui dan memperoleh semua informasi
mengenai semua pos-pos anggaran di APBN. Informasi yang tidak sekedar data/angka makro, melainkan terperinci sebagaimana yang terdokumentasi dalam dokumen “satuan 3”[9]. Langkah ini bisa dilakukan pemerintah dengan
mengumumkan semua pos anggaran
yang tercantum dalam APBN melalui media secara terbuka yang bisa diakses publik. Langkah semacam ini akan dapat meningkatkan
akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan anggaran. Sebab, rakyat bisa secara
langsung menilai, mengawasi, dan mengevaluasi penggunaan semua pos mengenai kemana sesungguhnya uang rakyat tersebut dibelanjakan,
siapa pengguna anggarannya, dan sejauh
mana hasil yang dicapai.
Dalam konteks partisipasi, Pemerintah seharusnya menyediakan ruang-ruang keterlibatan
masyarakat selama proses penyusunan anggaran, misalnya dengan mengagendakan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai kelompok atau komponen dalam masyarakat secara rutin dan
kontinyu. Dalam praktik selama ini, keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan anggaran adalah nihil, demikian pula dalam hal pengawasan
pelaksanaan anggaran. Padahal masyarakat berhak untuk tahu anggaran dalam suatu kementerian, ke mana saja anggaran itu diarahkan dan
siapa pelaksana proyek anggaran, dan apakah pelaksanaan anggaran sudah sesuai
aturan.
Dalam konteks akuntabilitas, pengawasan anggaran yang dimiliki oleh DPR juga tidak mempunyai kekuatan
mekanisme tindak lanjut atas hasil pemeriksaan keuangan BPK dan hasil temuan
lapangan baik daerah maupun pusat. Praktek yang terjadi selama ini, seringkali
hasil pemeriksaan keuangan cenderung disalurkan DPR melalui mekanisme internal
di institusi sendiri. Dan problem politis, dimana independensi anggota DPR dalam
melaksanakan fungsi kontrol anggaran masih sangat ditentukan oleh arah
kebijakan fraksi/partai politik yang menaunginya.
[1] Lihat Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Alternatif 2013, Menuju Anggaran Konstitusional.
[2] Meuthia Ganie, Good
Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat dan
Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance dan Reformasi
Hukum” di Jakarta, Agustus 1998.
[3] Ibid. Lihat juga Loina Lalolo Krina, Indikator dan Alat Ukur Prinsip
Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipas (Sekretariat Good Public
Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: 2003), hal.3
[5] Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Uji Akses Terhadap 118
Kementerian dan Lembaga Negara Tahun 2011.
[6] Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Catatan Akhir Tahun
Anggaran 2012, Anggaran Tersandera Birokrasi dan Elit Politik.
[7] Sebagaimana yang diungkap Yenny Sucipto dalam Catatan Akhir Tahun FITRA
2012 menyatakan: ...program
pembinaan KIA dan reproduksi masih satu atap di dalam Direktorat Jenderal Bina
Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Dalam rencana anggaran Kementerian Kesehatan,
hanya dialokasikan sebesar Rp 30 milyar untuk program pelayanan kesehatan anak,
dan Rp 31,59 milyar untuk program pembinaan pelayanan kesehatan dan reproduksi. Sungguh
ironis, dengan alokasi yang hanya sebesar Rp 30 milyar pada program pelayanan
kesehatan anak sebagian besar habis untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan
koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dll) hingga mencapai Rp 21,5 milyar
(72% dari total anggaran program pelyanan kesehatan anak). Begitu juga yang
terjadi pada program pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi Rp 31,59 milyar
habis untuk perjalanan dinas mencapai Rp 24 milyar (76%). Program untuk
pengembangan anak hanya dialokasikan sebesar Rp 1 milyar yang meliputi kegiatan
pengembangan Centre of Excellent RBM, Yankes Anak Minoritas dan terisolasi, dan
Surveilans Kesehatan Anak.
[8] Dari hasil
penelitian FITRA di 48 kabupaten/kota yang menunjukkan derajat partisipasi
masyarakat di tingkat musrembang selalu tinggi, namun melemah ketika memasuki
tahapan lebih tinggi. Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Local Budget Index and Local Budget Study 2010-2011.
[9] Satuan 3 adalah
dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan rincian alokasi pagu
anggaran per Program, berdasarkan Unit Eselon I , dan Iingkup Satuan Kerja
lingkup Kementerian/Lembaga Negara.