Kamis, 14 September 2006

Potret Dunia Pendidikan dalam 61 Thn Pemenuhan Hak

Yenny Sucipto: ”Pengkhianatan Pemerintah terhadap Konstitusi”

Pendidikan Sebagai Prioritas Pembangunan

Bank Dunia telah menekankan urgensinya ”pembangunan manusia” yang dituangkan dalam Annual World Development Report sejak tahun 1990 sampai saat ini, yang menggaris bawahi bahwa perkembangan dan penggunaan kemampuan-kemampuan manusiawi adalah soko guru pembangunan. Penegasan urgensi pembangunan manusia tersebut akhirnya dituangkan dalam "Inisiatif 20:20" di Kopenhagen tahun 1995, yang mewajibkan semua negara kaya dan berkembang untuk memakai 20% dari bantuan pembangunan atau anggaran belanja negara bagi kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Ditekankan pula oleh Edgar Faure di awal tahun 1972 bahwa pendidikan adalah tugas negara yang paling penting, bersamaan dengan sosialisasi program lifelong education oleh UNESCO untuk memberikan kesadaran akan pembangunan manusia.
Negara Indonesia juga menyadari akan pentingnya pembangunan manusia tersebut. Bahkan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan pokok negara ini didirikan dan dituangkan secara tegas dalam konstitusi kita. Dan sejak tahun 2001, seiring dengan amandemen UUD 1945, dalam pasal 31 ayat (4) ditegaskan lagi, bahwa Pemerintah wajib memprioritaskan anggaran pendidikan di APBN dan APBD minimal sebesar 20% dari total anggaran.
Hanya faktanya, walaupun telah 4 tahun konstitusi telah mengamanatkan 20% anggaran pendidikan di APBN, namun pemerintah belum pernah memenuhinya, sejak penetapan APBN 2001 sampai APBN 2006 ini anggaran pendidikan di Indonesia hanya antara 6 - 9%. Pemerintah hanya berjanji bahwa anggaran pendidikan nantinya akan dinaikkan secara bertahap dengan targetan pada APBN 2009 akan mencapai 20%. Hal ini diungkap pada masa Pemerintahan Presiden Megawati yang menuangkan janjinya dalam progress report sidang tahunan MPR pada tahun 2001 lalu. Begitu pula pada masa pemerintahan SBY yang juga menjanjikan akan menaikkan anggaran pendidikan secara bertahap yang dituangkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Kalaupun toh, pemenuhan anggaran pendidikan dilakukan secara bertahap, seharusnya dalam R/APBN 2007 ini alokasi pendidikan sudah mencapai 16% sesuai dengan janji sejak masa Pemerintahan Megawati, namun ternyata cenderung tetap diangka rata-rata 6%. Jika dibandingkan dengan negara lain, harus diakui negara Indonesia masih jauh tertinggal. Di Malaysia alokasi dana pendidikannya telah mencapai 25%, bahkan di Thailand sampai mencapai 30%.


Potret Buram Pendidikan Indonesia

Permasalahan kemiskinan pada dasarnya juga terkait erat dengan besar kecilnya arus modal yang masuk ke Indonesia. Tujuan utama pembangunan ekonomi memang harus melalui peningkatan pendapatan perkapita dan penanaman modal . Menurut BPS bahwa garis kemiskinan yang terjadi di Indonesia rata-rata angka pendapatan penduduk pada tahun 2003 yaitu Rp 139.000 untuk perkotaan dan Rp 107.000 bagi masyarakat pedesaan. Dan jumlah penduduk miskin yang memiliki pendapatan digaris kemiskinan sekitar 17,4% atau sekitar 36,5% dari total penduduk Indonesia. Sementara itu, untuk mengurangi jumlah kemiskinan secara signifikan, minimal diperlukan anggaran sekitar 5-9% dari GDP setiap tahunnya atau sekitar Rp 115 – 200 triliun .
Dan kemiskinan juga merupakan masalah politik oleh karenanya diperlukan suatu keputusan politik oleh pimpinan suatu negara. Masalah kemiskinan merupakan permasalahan yang struktural, maka jalan pemecahan masalah ini juga harus terkait dengan perencanaan pembangunan jangka panjang yang telah di susun oleh suatu negara sebelumnya.
Terdapat sekitar sepertiga hingga separuh penduduk Indonesia rentan untuk terjerembab dibawah garis kemiskinan dan memerlukan paling sedikit Rp 103, triliun setiap tahunnya untuk memenuhi hak-hak dasar orang miskin yang terdiri dari pendidikan, kesehatan, dan sanitasi serta pangan. Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia berada pada tingkat 117 dari 175 negara, jauh dibawah Singapura (25), Brunei Darussalam (33), Malaysia (58), Thailand (76), atau Fhilipina (85). Ini artinya bahwa Indonesia menghadapi persoalan serius dengan kemiskinan.
Dari total penduduk Indonesia yang mencapai 210 juta lebih, ternyata ada permasalahan juga bahwa sebanyak 23,66 juta (11,3% dari total penduduk) adalah pengangguran. Dari angka pengangguran tersebut terdiri dari angka pengangguran tertinggi/benar-benar pengangguran mencapai 10,25 juta (4,9% dari total penduduk), dan setengah pengangguran mencapai 13,41 juta (6,4% dari total penduduk) .
Indonesia juga termasuk salah satu negara dari sembilan negara yang penduduknya memiliki angka buta aksara tertinggi, penduduk buta aksara berusia diatas 15 tahun tercatat 15,4 juta orang dari jumlah tersebut sebanyak 72% berada pada kelompok usia 45 tahun dan didominasi oleh perempuan .
Anak-anak usia tingkat dasar di negara kita yang melanjutkan ke tingkat yang lebih lanjut ternyata relatif lebih sedikit dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya di Asia Tenggara. Dana Kependudukan Perserikatan bangsa-bangsa bertajuk pada keadaan penduduk dunia 2005: janji kesetaraan, kesetaran gender, kesehatan reproduksi, dan tujuan pembangunan milenium menyatakan jumlah usia dasar di Indonesia yang melanjutkan ke jenjang yang lebih lanjut cendurung sedikit lebih baik dibandingkan Kamboja, Laos, dan Myanmar.
Harus disadari, bahwa melaksanakan program pendidikan untuk rakyat adalah tanggung jawab negara. Sehingga titik persoalannya adalah bukan ada tidaknya anggaran atau cukup tidaknya anggaran, tetapi lebih pada ada tidaknya political will dan komitmen Pemerintah dalam melaksanakan program pendidikan dalam upaya meningkatkan kualitas kompetensi (human resources). Sebab yang terlihat saat ini adalah realitas terbalik, seolah subsidi pendidikan adalah bagian dari bentuk belas kasih (charity) dari pemerintah berkuasa yang harus disyukuri oleh rakyat, bukan sebagai kewajaran karena memang hal itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi hak-hak rakyat untuk memperoleh pendidikan.
Rakyat saat ini harus menelan kenyataan pahit melihat realitas pendidikan kita yang begitu mahal tanpa ada perhatian yang serius dari pemerintah. Padahal ketika menghadapi persoalan sekolah, setiap masyarakat akan berhadapan dengan variabel-variable kebutuhan sekolah yang ternyata multi item dan membutuhkan dana yang cukup besar, mulai dari buku pelajaran , uang gedung, uang registrasi ulang, uang kegiatan tahunan, uang ekstrakulikuler, uang komputer, uang sumbangan bulanan (SPP/BP3), uang majalah, uang LKS, uang seragam serta berbagai bentuk uang sumbangan lainnya. Untuk masyarakat yang berpendapatan UMR/UMK walaupun telah melakukan spent budget tentu masih sangat berat dan lebih sering tidak cukup, belum lagi jika jumlah anak yang bersekolah lebih dari 1 (satu) orang. Dapat kita dibayangkan, jika masyarakat yang hidup dengan pendapatan UMR/UMK saja tidak cukup, apalagi bagi masyarakat yang hidup di bawah rata-rata kemiskinan, sudah pasti aspek pendidikan hanyalah mimpi yang takkan pernah terbeli.
Berdasarkan hasil observasi dapat diketahui untuk keperluan seragam SD, harga satu setel baju putih dan celana merah lengkap dengan badge di sekolah dijual rata-rata sebesar Rp 70.000. Padahal, masing-masing anak paling tidak harus memiliki dua setel baju seragam. Ini berarti, untuk seragam satu anak harus dikeluarkan Rp 140.000. Belum lagi baju seragam pramuka yang lengkap seharga Rp 150.000. Ditambah lagi, jika sang anak terpaksa harus masuk sekolah swasta, biaya tambahannya semakin berat. Biasanya untuk sekolah swasta masih ada seragam sekolah tambahan, entah berupa baju batik atau lainnya.
Setiap masuk tahun ajaran baru, murid diwajibkan memiliki buku pelajaran baru, padahal harga buku setiap tahunnya terus naik. Standar minimal buku pelajaran yang harus dimiliki murid kelas 1 SD sebanyak 7 (tujuh) buku yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, Bahasa Daerah, Bahasa Inggris dan Agama. Harga ketujuh buku itu total rata-rata mencapai Rp 125.000. Jika terdapat murid yang tidak naik kelas dan harus mengulang masih diwajibkan mengganti buku baru. Untuk buku matematika dipatok dengan harga Rp 25.000, Bahasa Indonesia seharga Rp 15.000, IPA seharga Rp 15.000, IPS seharga Rp 15.000. Kebutuhan buku ini belum ditambah dengan buku-buku lain yang biasanya diperintahkan oleh guru. Paling tidak, untuk keperluan buku-buku pelajaran anak SD diperlukan biaya antara Rp 125.000 hingga Rp 170.000. Anak yang duduk di kelas IV diharuskan membeli delapan buku pelajaran seharga Rp 202.000. Sedangkan untuk anak yang duduk di kelas VI SD rata-rata harus mengeluarkan uang sebesar Rp 169.000 untuk buku-buku pelajaran.
Pembiayaan sekolah menengah pertama (SMP) negeri untuk kelas 1 (satu) lebih tinggi lagi. Untuk keperluan buku-buku pelajaran saja paling tidak harus mengeluarkan uang sebesar Rp 160.000 per semester (6 bulan), ditambah uang untuk SPP, satu set seragam sekolah, baju putih dan celana biru sebesar Rp 270.000. Kemudian untuk uang pembangunan setiap murid harus menyumbang dana sebesar Rp 800.000. Kebutuhan tersebut belum termasuk kebutuhan transport, sepatu dan tas. Harga sepatu untuk anak sekolah yang sederhana antara Rp 50.000-Rp 70.000, kaus kaki sekitar Rp 10.000, dan untuk harga tas sekolah yang sederhana (umumnya berbentuk backpack) sekitar Rp 50.000 .
Hasil observasi di atas merupakan potret buram tentang kondisi pendidikan dasar kita yang ternyata memang sulit terjangkau bagi masyarakat miskin Indonesia. Dengan melihat potret diatas, program Wajib Belajar 9 Tahun yang dicanangkan Pemerintah selama hampir 12 tahun ini tidak mungkin dapat efektif jika tidak ditopang oleh komitmen terutama di bidang anggaran yang berpihak pada pendidikan.

Mana Anggaran Bagi Rakyat Miskin?

Jika membandingkan tingkat HDI Indonesia yang begitu rendah dengan alokasi anggaran yang berkaitan dengan peningkatan HDI khususnya di sektor pendidikan, kesehatan dan peningkatan ekonomi, sangatlah kontras dan tidak adil. Dalam APBNP 2006, alokasi anggaran yang terkait langsung dengan pembangunan manusia dan penggulangan kemiskinan hanya sangatlah minim. Anggaran untuk pendidikan ternyata masih dialokasikan sebesar Rp 39,5 triliun dan di Depag terdapat anggaran untuk pendidikan sebesar Rp 1 triliun (6,2 % dari total anggaran). Sedangkan dalam RAPBN 2007 dialokasikan hanya sebesar Rp 53 triliun. Sebagian besar dana dihabiskan hanya untuk belanja rutin pembangunan (pembiayaan alat-alat birokrasi dan pembayaran utang luar dan dalam negeri).
Minimnya anggaran pendidikan dalam APBNP 2006 merupakan bentuk nyata ketidakadilan dari pemerintah, dan dimana tidak memenuhi amanat UUD 1945 serta keputusan Mahkamah Konstitusi yang seharusnya anggaran pendidikan kurang lebih sebesar Rp 130,4 triliun dari total anggaran dan untuk RAPBN 2007 dialokasikan sebesar Rp 141,1 dari total anggaran. Di satu pihak anggaran pendidikan dikurangi dengan alasan negara sedang bangkrut, namun di lain pihak negara bisa membayar bunga dan cicilan utang luar negeri yang besarnya mencapai Rp 138,12 triliun dalam satu tahun, bahkan pemerintah juga masih mampu memberikan uang pesangon pegawai kontrakan BPPN sampai ratusan miliar rupiah, pemerintah juga masih mampu menganggarkan pembelian satu skuadron pesawat tempur sukhoi dari Rusia; sementara di bidang penegakan hukum justru pemerintah melemah dengan dibebaskannya para koruptor kelas kakap yang selama ini membuat bangsa Indonesia jatuh miskin.
Lebih tidak adil lagi, justru subsidi negara untuk pendidikan selama ini masih terkonsentrasi ke sekolah-sekolah favorit yang mayoritas muridnya merupakan anak kelas menengah ke atas, sementara sekolah-sekolah swasta pinggiran yang rata-rata bermurid dari golongan miskin justru tidak mendapatkan subsidi sama sekali.
Harus kita sadari bersama bahwa kebijakan anggaran pendidikan yang minim saat ini adalah bentuk pelanggaran pemerintah terhadap konstitusi. Sudah sepatutnya rakyat menggugat kebijakan pemerintah ini. Rakyat telah dilanggar hak-hak konstitusinya secara langsung, terutama hak untuk untuk memperoleh pendidikan.

Strategi Pemenuhan Anggaran Pendidikan

Jika kita meninjau kembali pengalokasian pada tiap-tiap kelembagaan/ kementerian pada nota keuangan APBN 2006, ternyata pada setiap kelembagaan/kementerian untuk Penyelenggaraan Pimpinan kenegaraan dan Kepemerintahan selalu dianggarkan diatas 100 milyar. Dan menurut analisis SekNas FITRA antara kementerian/kelembagaan satu sama lain terjadi tumpang tindih program, contoh pada Departemen Hukum, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung yang sama-sama concern di bidang hukum ternyata mengalokasikan dana diatas 300 milyar dengan program yang sama yaitu Peningkatan Kinerja Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegakan Hukum. Seharusnya program ini dapat diintegrasikan karena berada dalam satu bidang sehingga dapat mengefisienkan atau mengoptimalkan pemakaian keuangan negara.
Untuk pengalokasian pada Penyelenggaran Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan pada masing-masing kementerian/kelembagaan sangat perlu adanya pengkajian ulang kembali, karena pemakaian alokasi ini banyak menyerap keuangan negara untuk kepentingan birokrat daripada kepentingan rakyat. Diperkirakan program Penyelenggaran Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan saja yang dialokasikan pada masing-masing kementerian/Kelembagaan telah menyerap 0,67% dari total penerimaan negara (Rp 4.204 triliun), dan bila ditinjau secara keseluruhan anggaran yang dialokasikan untuk kepentingan birokrat diperkirakan telah menyerap 6.84% dari total penerimaan negara (Rp 42.739 triliun) belum termasuk yang lainnya. Besaran alokasi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan alokasi untuk pendidikan, kesehatan dan subsidi.
SekNas FITRA mengambil contoh kasus pemborosan keuangan di DPR-RI dan Setjen DPR-RI. Analisis Seknas FITRA terhadap RKA-KL DPR RI dan Setjen DPR RI, ditemukan beberapa indikasi pemborosan dalam pemakaian keuangan negara Tahun Anggaran 2006. Pembagian anggaran ke dalam RKA-KL antara DPR dan Setjen masing-masing 65% (Rp 717.866.476.700,-) dan 35% (Rp 389.001.513.300,-). Ada beberapa pengeluaran anggaran yang dianggap tidak seharusnya dinaikkan atau diadakan dalam anggaran DPR RI dan Setjen DPR RI, diindikasikan juga terdapat double budgeting dalam penganggarannya. Dapat diasumsikan untuk penghematan anggaran DPR RI dan Setjen DPR RI untuk tahun 2006 sebesar Rp 198,8 milyar, yang terdiri dari beberapa kegiatan antara lain: tunjangan komunikasi intensif DPR, honorarium alat kelengkapan DPR, tunjangan transport DPR, tunjangan perjalanan dinas dalam negeri DPR, tunjangan listrik DPR, tunjangan telepon DPR, tunjangan langganan jasa PAM dan air DPR, honorarium Setjen DPR, Pengadaan Lampu dan Alat/Perlengkapan Listrik, Pengadaan Makanan dan Minuman Penambah Daya Tahan Tubuh, Tunjangan Honor Tugas Mendesak, Tunjangan uang Lembur untuk pelayanan sidang, Bantuan Penunjang Kegiatan Dewan, dan Uang lembur tenaga honorer serta asisten anggota
Dan contoh kasus lain adalah pengelolaan anggaran Rumah Jabatan Anggota Kalibata dan Wisma Griya Sabha Koppo, pada Belanja Operasional sehari-hari untuk Griya Sabha Kopo sebesar Rp 80.000.000 yang telah dialokasikan dalam kegiatan Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan/Kepemerintahan ternyata juga dialokasikan dalam kegiatan Operasional dan Pemeliharaan yaitu tertuang pada point Perawatan Rumah Negara yaitu untuk Pemeliharaan Wisma Peristirahatan Griya Sabha kopo berikut sarana lingkungan sebesar Rp 394.000.000 serta Penanaman/Pemeliharaan halaman dan tanaman di Griya Sabha kopo dan lain-lain pemeliharaan yang dialokasikan sebesar Rp 3.142.128.000.
Dalam hal ini telah ada tumpang tindih dalam pengeluaran untuk wisma Griya sabha kopo. Biaya operasional sehari-hari yang telah dialokasikan tersebut dapat dikatakan sebagai biaya perawatan dan pemeliharaan baik diruang gedung maupun maupun di luar gedung yang dilakukkan sehari-hari. Namun disini biaya perawatan dan pemeliharaan wisma sabha kopo telah dialokasikan tersendiri, jika tidak terjadi pengalokasian ganda dan hanya ada biaya operacional sehari-hari saja maka tidak akan menyerap APBN tahun 2006 sebesar Rp 3.536.128.000. Penyerapan untuk kelancaran program sarana dan prasana RJA dan Griya Sabha Kopo telah mencapai 0,81% atau sebesar Rp 3.142.128.000.
Padahal bila ditelusuri lebih dalam, ada biaya pemasukan dari wisma griya sabha kopo dari penyewaan wisma, tetapi hal ini tidak pernah diaudit dan tidak pernah dianggap sebagai pemasukan negara. Bila tidak pernah diaudit dan tidak pernah dianggap sebagai pemasukan negara berarti telah terjadi indikasi penyelewengan anggaran oleh Sekjen DPR RI.
Ini membuktikan bahwa kebijakan pemerintahan tentang keuangan negara tidak pernah memprioritaskan kepentingan rakyat, dan tidak digunakan secara optimal sesuai dengan kebutuhan sebenarnya tiap-tiap sektor. Sudah dibuktikan dengan peristiwa penyimpangan-penyimpangan keuangan negara dan tidak pernah ada audit pengembalian keuangan negara sehingga terjadi kerugian negara yang sangat banyak. Tetapi pemerintah tidak mencoba membuat perubahan kebijakan dengan mengoptimalisasikan penggunaan keuangan negara yang dimanfaatkan oleh birokrasi dan lebih mementingkan manfaatnya untuk kebutuhan rakyat secara merata. Jika pemborosan-pemborosan tersebut diaudit dan dioptimalisasikan penggunaannya ditiap-tiap kelembagaan/kementerian maka strategi dalam pemenuhan alokasi pendidikan yang dibutuhkan akan terpenuhi.