Rabu, 27 Desember 2006

Qua Vadis Dana Bencana: “Atasi Bencana dengan Bencana”

Oleh: Yenny Sucipto

RUU Penanggulangan Bencana yang sampai saat ini sedang dalam pembahasan antara Pemerintah dan DPR terancam deadlock karena tidak adanya kesepahaman antara Pemerintah dan DPR tentang perlu tidaknya dibentuk sebuah badan khusus yang bertugas menangani bencana. Namun, baik DPR maupun Pemerintah sepertinya telah melupakan satu hal yang justru lebih urgen daripada perdebatan tentang badan penanggulanan bencana, yaitu masalah pembiayaan selama penanganan bencana, mulai dari tahap tanggap darurat, rehabilitasi sampai rekonstruksi. Sebab belajar dari pengalaman bencana Aceh sampai Yogya, Pemerintah terlihat masih belum menyadari akan pentingnya prioritas anggaran bagi penanganan bencana di Indonesia.
Untuk APBN 2006, alokasi dana penanggulangan bencana hanya tersedia sebesar Rp 500 miliar dan naik sebesar Rp 1 triliun pada APBNP 2006, itupun persediaan pada APBN 2006 telah habis direalisasikan untuk menangani bencana banjir di Jawa Timur (Jombang, Jember, dan Trenggalek) dan bencana gempa di Yogya - Jateng, masing-masing Rp 200 miliar dan Rp 300 miliar.
Minimnya alokasi dana untuk penanggulangan bencana di APBN itu menunjukkan bahwa Pemerintah memang masih memandang remeh ancaman bencana di Indonesia. Angka Rp 500 milyar terlihat lebih sebagai bentuk “formalitas” pemenuhan tuntutan “isu bencana” yang memang sedang hangat di masyarakat daripada sebagai bentuk kesadaran pemerintah akan bahaya bencana.
Sikap remeh pemerintah ini akhirnya berujung pada ketidak jelasan konsep pembiayaan bencana yang dijalankan oleh pemerintah sendiri. Langkah-langkah pemerintah justru mengarah pada satu kebijakan yang semakin membebani rakyat, salah satunya adalah dengan cara mencari utangan baru. Ini terlihat pada saat penanganan bencana di Aceh dan Nias kemarin, dimana Pemerintah belum apa-apa telah menargetkan utang baru sebesar US$ 326 juta. Alasannya pun cenderung mengada-ada, seperti yang dilontarkan Mulia Nasution (Dirjen Perbendaharaan Negara Depkeu) di depan media seminggu setelah bencana, bahwa tawaran bantuan pihak asing rata-rata memang dalam bentuk tawaran utang, sehingga Pemerintah terpaksa menerimanya, namun tetap mencari utangan yang semurah dan selunak mungkin.
Alasan ini lebih terlihat sebagai alasan pembenaran atas utang daripada komitmen perbaikan ekonomi, karena memang faktanya, berapapun lunaknya utang baru, tetap saja akan membebani perekonomian negara. Dari data Depkeu, komitmen-komitmen utang yang telah disepakati Pemerintah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, diantaranya berasal dari CGI sebesar US$ 500 juta dalam bentuk pinjaman lunak; World Bank sebesar US$ 76 juta dan ADB sebesar US$ 64,7 juta, keduanya merupakan realokasi pinjaman reguler; IDB sebesar US$ 440 juta dan Austria sebesar US$ 10 juta, keduanya tawaran pinjaman baru.
Ketika Yogya dan Jateng juga dilanda bencana gempa pun, lagi-lagi Pemerintah giat mencari utangan baru. Seperti yang dilontarkan Kepala Bappenas beberapa waktu lalu, saat ini Pemerintah sedang berupaya membangun komitmen utang baru dengan CGI, dan hasilnya CGI menyepakati untuk mencadangkan dananya sebesar US$ 85 juta yang terdiri dari Bilateral Luar Negeri sebesar US$ 55 juta dan Multilateral US$ 30 Juta. Sepertinya, pembiayaan bencana dengan cara utang telah menjadi kebiasaan dan “konsep baku” pemerintah dalam penanganan bencana.
Kebiasaan utang ini adalah kebiasaan buruk yang seharusnya dihindari, karena bagaimanapun rakyatlah yang nanti harus menanggung resikonya. Belum hilang trauma kita melihat kebijakan Pemerintah di masa krisis yang memaksa rakyat menanggung utang sebesar Rp 700 triliun dengan cara menaikkan harga dan mencabut subsidi hanya untuk menyelamatkan krisis perbankan yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab rakyat. Pun Pemerintah sebenarnya juga menyadari jika utang baru bukanlah solusi tepat dalam penanganan bencana. Keberadaan utang lama saja telah membuat sebagian besar uang negara menguap. Untuk tahun 2005, Pemerintah harus menganggarkan pembayaran utang sebesar Rp 71,9 triliun, dan di tahun 2006 membengkak sampai mencapai 24% dari total anggaran (Rp 139 triliun). Dapat dibayangkan, berapa banyak lagi uang negara yang harus menguap jika pemerintah 2memutuskan berutang lagi hanya untuk mengatasi bencana? Bukankah ini sama saja mengatasi bencana dengan bencana?
Kebiasaan berutang dengan memanfaatkan isu bencana sudah sepatutnya dihentikan, karena terbukti hanya akan semakin menambah berat beban ekonomi rakyat. Masih banyak alternatif lain yang dapat ditempuh Pemerintah jika mau, misalnya dengan mengoptimalkan dana-dana rupiah murni yang berasal dari sumbangan masyarakat dan hibah pihak asing. Sebab berdasarkan pengalaman bencana di Aceh dan Nias lalu, sebenarnya pembiayaan rehabilitasi dan rekonstruksi telah dapat ditutupi dari komitmen hibah yang dilakukan oleh Pemerintah, yang angkanya sampai mencapai US$ 4,1 milyar atau setara Rp 36,81 triliun dengan kurs Rp 9 ribu. Karena menurut perkiraan Bappenas selama rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias diperlukan pendanaan sebesar Rp 48,7 triliun. Hanya saja pemerintah kurang serius dalam menindaklanjuti komitmen-komitmen hibah tersebut sehingga tidak jelas perkembangannya. Dana dari sumbangan masyarakat pun juga tidak kecil, karena dari laporan BPK sumbangan masyarakat yang terkumpul untuk Aceh dan Nias totalnya sampai mencapai Rp 1,21 triliun.
Daripada berutang, lebih bijak jika pemerintah menerima tawaran debt relief (pengurangan pokok dan bunga utang) dari negara lain seperti yang pernah ditawarkan Jerman dan Inggris pasca Tsunami. Tetapi sayang pemerintah menolaknya, justru menerima moratorium utang yang hanya bersifat penundaan pembayaran saja, dan angkanya pun relatif kecil (Rp 3,967 triliun).
Melihat quo vadisnya arah kebijakan pendanaan pemerintah dalam penanganan bencana, sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan ulang “manajemen dana bencana” agar tidak menimbulkan bencana baru di masa depan. Untuk itu dituntut keberanian Pemerintah agar lebih memprioritaskan anggaran bagi penanganan bencana, paling tidak dengan patokan minimal 0,5 - 1% (sekitar Rp 4 - 6 triliun) dari total anggaran di APBN ditambah efektifitas dana dari rupiah murni (sumbangan masyarakat), hibah dan tawaran debt relief (jika ada), maka Pemerintah tidak akan lagi kebingungan dan reaktif mencari utangan baru setiap kali terjadi bencana di Indonesia.

Selasa, 12 Desember 2006

Investigasi Korupsi: ”Teknik Membedah Korupsi Keuangan Daerah”

Yenny Sucipto

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, dari tahun 2004 sampai tahun 2006 ini, jumlah pejabat yang diduga terlibat korupsi tercatat telah mencapai 1.100 orang. Jumlah tersebut masing-masing terdiri dari 7 (tujuh) gubemur, 60 (enampuluh) bupati/walikota dan 8 (delapan) kepala daerah. Sedangkan untuk jumlah anggota DPRD rinciannya masing-masing 327 anggota DPRD pro¬vinsi dan 735 anggota DPRD kabu¬paten/kota. Dari jumlah keseluruhan itu, menurut informasi dari Kementerian Dalam Negeri sebagian besar telah diber¬hentikan sementara karena telah diproses secara hukum.

Tingginya angka korupsi tersebut menunjukkan bahwa melakukan korupsi di daerah bukan lagi menjadi pekerjaan yang sulit, dan juga bukan pekerjaan baru karena diyakini telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama waris-mewarisi sehingga seolah korupsi telah menjadi bagian tradisi/budaya pejabat di Indonesia.

Berdasarkan pengalaman FITRA selama melakukan advokasi anggaran, pola-pola korupsi di daerah sebenarnya mudah dibaca dan dipetakan. Apalagi korupsi di Indonesia cenderung “telanjang” dan kasat mata, karena koruptor di Indonesia hanya pandai mencuri/menggelapkan tetapi tidak pandai menyimpannya.


Korupsi Keuangan Daerah Berdasarkan Modus
Berdasarkan modusnya, korupsi keuangan daerah lebih banyak dilakukan dalam 4 (empat) modus yaitu : Program/anggaran yang mengada-ada (menyalahi ketentuan PP 110 tahun 2000); anggaran ganda (double budgeting); anggaran fiktif (split budget); dan mark up.

1. Pelanggaran PP No.110/2000.
Kasus korupsi keuangan daerah yang dijerat menggunakan PP No.110/2000 saat ini hampir mayoritas dilakukan oleh anggota DPRD dengan cara mengalokasikan anggaran yang sebenarnya tidak diatur/tidak dibolehkan oleh PP No.110/2000. Dari catatan FITRA bentuk-bentuk alokasi anggaran tersebut antara lain:
- premi asuransi anggota dewan;
- uang pensiun atau lebih dikenal dana tali asih;
- uang pemeliharaan kesehatan bulanan untuk pimpinan dan anggota dewan;
- biaya perawatan dan pengobatan; dan
- biaya kegiatan fraksi.
Contoh terbaru, yang saat ini masih dalam proses penyidikan oleh Kejaksaan adalah 18 (dua belas) orang mantan anggota DPRD Kabupaten Batang Jateng karena mengalokasikan anggaran untuk uang pensiun dan premi asuransi.

2. Anggaran ganda (double budgeting)
Penganggaran ganda juga sering ditemukan ketika masing-masing pos anggaran dalam APBD diteliti. Beberapa contoh kasus korupsi karena penganggaran ganda adalah sebagaimana yang terjadi di Sumbar dan Jabar. Dalam APBD Sumbar terdapat alokasi dana tunjangan kesejahteraan sebesar Rp 2 juta/orang per bulan. Tapi di pos lain, muncul bentuk lain tunjangan pemeliharaan kesehatan sebesar Rp 367.014.000,-. Padahal, kedua item itu sebenarnya adalah sama-sama sebagai asuransi kesehatan dalam bentuk jaminan. Sehingga telah terjadi duplikasi atau pengulangan item anggaran untuk satu hal. Di Jawa Barat juga terjadi kejadian serupa, kasus pembobolan APBD 2000, 2001, 2002 oleh anggota DPRD beserta pimpinannya menggunakan pos dana kaveling. Nilai totalnya sebesar Rp 25 Milyar untuk 100 orang anggota DPRD. Pos dana kaveling ini merupakan duplikasi dari pos lain yang sebenarnya telah ada.

3. Anggaran fiktif (split budget)
Anggaran fiktif adalah salah satu modus yang juga sering digunakan dengan cara membuat item atau mata anggaran yang sebenarnya tidak pernah direalisasikan untuk tujuan itu, namun dialokasikan untuk kepentingan lainnya. Contohnya kasus pembobolan APBD 2001 Kepri yang merugikan keuangan daerah mencapai Rp 4,3 Milyar. Cara yang dilakukan, Bupati dibantu Kepala Dispenda, Kepala Dinas PU dan Kabag Keuangan Kepri beramai-ramai membuat proposal fiktif yang diperuntukkan kalangan LSM yang telah membantu dalam memperjuangkan pemekaran Kepri. Namun sebenarnya, dana sebesar itu justru mengalir ke kantong atau rekening pribadi mereka masing-masing.

4. Mark up Anggaran
Modus dengan cara menaikkan nilai anggaran dari nilai sebenarnya adalah modus yang paling trend dikalangan pejabat karena cara ini lebih mudah dan cepat. Contohnya adalah di Kabupaten Jeneponto dalam APBD 2002 dan 2003 untuk pos anggaran pembangunan dan pos anggaran rutin. Beberapa yang terindikasi bermasalah adalah pembocoran dana sebesar Rp 1,4 milyar, indikasi kerugian negara sebesar Rp 18 milyar, pengeluaran tanpa bukti, mark up anggaran sebesar Rp 65,1 milyar, termasuk pengeluaran yang tidak dicantumkan dalam APBD senilai Rp 20,7 milyar. Di Kaltim, APBD 2003 untuk pos pembelian pesawat GA8 oleh Pemprov Kaltim di mark-up hingga 2 milyar per unit pesawat dari total 5 pesawat yang dibeli. Total kerugian mencapai Rp 10,5 milyar.


Korupsi Keuangan Daerah Berdasarkan Tahap Penyusunan APBD
Jika ditinjau dari tahapan penyusunan anggaran, peluang-peluang korupsi hampir terjadi di semua tingkatan, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, bahkan sampai dalam tahap pengawasan dan pertanggungjawaban.

1. Indikasi Korupsi di Tahap Perencanaan
Di tingkat perencanaan, indikasi korupsi telah terlihat ketika proses perencanaan sengaja tidak melibatkan masyarakat secara luas. Perencanaan sengaja disusun sepihak tanpa melalui forum perencanaan bersama dari tingkatan terbawah sampai atas. Kalaupun toh ada, misalnya dalam pelaksanaan musrenbang dari tingkat kelurahan, kecamatan sampai kabupaten/kota itu tidak lebih hanya sebatas formalitas untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan keuangan daerah sehingga cenderung kontraproduktif. Sebab plafon anggaran telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum musrenbang dilaksanakan, sehingga rencana-rencana pembangunan yang diaspirasikan masyarakat dalam musrenbang pada akhirnya akan terbentur dan terpotong dengan batasan plafon anggaran yang telah ditetapkan terlebih dahulu, tidak peduli walaupun usulan musrenbang itu memang benar-benar prioritas kebutuhan masyarakat. Akhirnya, perencanaan anggaran tetap diputuskan secara sepihak oleh para pengelola keuangan daerah, dan disinilah seringkali terjadi upaya-upaya korupsi. Hasilnya dapat diketahui kemudian, sebagaimana hasil assesment FITRA dengan mengambil sampel 15 APBD Kabupaten/Kota yang tersebar di Indonesia, rata-rata sebesar 80% anggaran hanya dihabiskan untuk membiayai kebutuhan birokrasi seperti: sarana-prasarana kantor (gedung, kendaraan dll), tunjangan, premi, vakasi, dll.

2. Indikasi Korupsi di tahap Penyusunan Anggaran
Peluang korupsi yang paling terbuka setelah tahap perencanaan adalah dalam tahap penyusunan anggaran karena selalu dilakukan secara tertutup oleh eksekutif. Hampir tidak ada satupun masyarakat yang mengetahuinya karena memang tidak ada sosialisasi yang bersifat terbuka dari eksekutif. Bahkan banyak LSM telah mencoba meminta agar rapat penyusunan anggaran dilakukan secara terbuka seringkali terbentur oleh alasan-alasan birokratik yang menganggap rapat bersifat intern, rahasia dan tertutup untuk umum, padahal nyata-nyata rapat tersebut bukanlah rapat yang membahas rahasia negara. Karena tertutupnya eksekutif, maka kontrol dari masyarakat, LSM dan press pada akhirnya sangat lemah, sehingga seringkali luput dari perhatian masyarakat dan media massa.
Modus korupsi yang dilakukan dalam tahap penyusunan anggaran sebenarnya sangat klasik yaitu di satu sisi membuat perkiraan pendapatan yang diperkecil (mark down), dan disisi lain membuat perkiraan belanja yang diperbesar (mark up). Dan ketika memasuki tahap pembahasan dengan legislatif yang juga seringkali dilakukan dalam rapat tertutup dan lobby-lobby setengah kamar, pembahasan diakhiri dengan bargaining bagi-bagi proyek, proyek fiktif dan proyek titipan.

3. Indikasi Korupsi di Tahap Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban
Korupsi dalam tahap pelaksanaan biasanya dilakukan dengan cara mark up anggaran proyek, tender tertutup, dan proyek/kegiatan tidak sesuai dengan spesifikasi atau rencana. Dalam tahap pengawasan, masih sering terjadi kolusi antara Bawasda dengan pelaksana proyek. Dalam tahap pertanggungjawaban biasanya disusun secara fiktif yaitu realisasi disesuaikan dengan plafon anggaran, namun sebelum itu memang telah terjadi kesepakatan konspiratif antara eksekutif dan legislatif untuk menerima laporan pertanggungjawaban yang fiktif tersebut. Dan sengaja bahan laporan pertanggungjawaban itu tidak disosialisasikan kepada masyarakat luas untuk menutupi penyimpangan-penyimpangan keuangan daerah yang dilakukan.


Investigasi Korupsi Keuangan Daerah

1. Tahapan Investigasi
Langkah pertama yang biasa dilakukan dalam investigasi adalah mencari petunjuk awal tentang indikasi-indikasi korupsi keuangan daerah. Petunjuk tersebut dapat diperoleh dari bocoran-bocoran informasi dari internal birokrasi sendiri dengan menggunakan pendekatan konflik. Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui terlebih dahulu tentang peta konflik internal birokrasi yang akan kita investigasi. Dari peta konflik itu, kita akan dapat menentukan orang atau kelompok mana yang dapat kita mintai sumber informasi, misalnya: aparat pengawasan pemerintah (BPK, BPKP, Itjen, Itwil, SPI), kontraktor/supplier yang kalah dalam tender, lawan politik, dll.
Setelah sumber-sumber informasi berhasil didapatkan, maka tahapan selanjutnya adalah menguji tingkat kebenaran informasi sekaligus membedahnya dari sudut potensi korupsi, misalnya apakah ditemukan unsur-unsur kerugian keuangan daerah, unsur-unsur penyelewengan jabatan/kewenangan, dan unsur-unsur pelanggaran terhadap ketentuan peraturan yang mengatur tentang pengelolaan keuangan daerah. Untuk memahami unsur-unsur tersebut, diperlukan pula studi literatur yang cukup mendalam khususnya literatur yang menyangkut ”aturan-aturan main” di bidang anggaran daerah misalnya peraturan-peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah, penyusunan APBD dll.

Setelah semua informasi diuji, langkah berikutnya adalah membuat hipotesis investigasi melalui bedah kasus untuk menguak modus operandi dengan menggunakan rumus 5W 1H 5W 1H (apa, siapa, dimana, bagaimana, bilamana, bagaimana). Dari bedah kasus tersebut kita dapat menyusun perencanaan pembuktian melalui pengumpulan keterangan saksi maupun dokumen/surat (LPJ Kepala Daerah, APBD, RASK, hasil audit BPK, Itjen dll).
Alat-alat bukti yang ada kemudian diklasifikasi dan dianalisis ulang lebih mendalam. Hasil analisis tersebut kemudian ditulis dalam bentuk laporan yang minimal memuat:
Latar Belakang (data umum)
Kasus posisi (5W 1H)
Kronologi (berikut dokumen pendukung)
Modus operandi (berikut flowchart)
Pihak yang terlibat
Penyimpangan/Penyelewengan/Indikasi Korupsi
Kerugian negara

2. Alat Bukti Menjadi Kendala Utama Investigasi
Kendala yang sering dihadapi dalam investigasi korupsi keuangan daerah adalah dalam hal pembuktian. Sampai saat ini, ratusan kasus-kasus korupsi keuangan daerah yang dilaporkan oleh LSM dan masyarakat kepada KPK, Kepolisian maupun Kejaksaan sering berhenti ditengah jalan karena minimnya/tidak adanya alat bukti. Padahal laporan tersebut sebenarnya telah lengkap memuat kronologi, modus operandi, pihak-pihak yang terlibat berikut angka-angka kerugian keuangan daerah yang ditimbulkan, hanya saja sering tidak dilengkapi dengan alat bukti baik berupa keterangan saksi maupun surat/dokumen. Ini dikarenakan para saksi seringkali tidak mau mengambil resiko karena takut dituntut balik jika kasus korupsi itu nantinya tidak terbukti. Begitu pula dalam hal surat/dokumen, seringkali kita harus berhadapan dengan birokrasi yang menghambat bahkan melarang kita dalam hal mengakses dokumen. Hal ini diperparah lagi oleh lembaga penyidik yang tidak mau pro aktif dalam membantu mencari alat-alat bukti yang diperlukan.

3. Menjadikan Assesment Sebagai Alat Bukti
Mencari alat bukti khususnya dalam bentuk dokumen sebenarnya bisa dilakukan dengan cara assesment terhadap dokumen-dokumen anggaran misalnya APBD, RASK dan hasil audit BPK terhadap APBD. Dengan assesment kita akan dapat mengetahui bentuk-bentuk korupsi disertai dengan angka detailnya. Contohnya misalnya adalah penanganan kasus korupsi keuangan daerah saat ini, dimana sebagian besar anggota DPRD terjerat hukum karena telah menyusun program/anggaran yang menyalahi ketentuan PP No.110/2000 seperti dana pensiun, premi asuransi, dll. Penanganan kasus korupsi tersebut sebagian besar merupakan hasil laporan LSM yang didasarkan pada hasil assesment dokumen APBD. Dengan assesment, kita juga akan secara mudah mencari tahu tentang program-program yang bersifat ganda (double budget).

Untuk kasus korupsi mark up khususnya dalam pengadaan barang, alat bukti yang dapat diberikan adalah dengan cara mencari daftar harga barang berikut merknya untuk dibandingkan dengan dokumen realisasi anggaran. Sebab sebagian besar modus mark up pengadaan barang dilakukan dengan cara membuat selisih harga lebih tinggi di dalam dokumen dengan barang yang dibeli, atau modus lain adalah dengan membelikan barang yang sama namun kualitas dan merknya lebih rendah. Misalnya dalam kasus pengadaan mesin jahit Depsos untuk masyarakat miskin tahun 2005 lalu dimana di dalam dokumen merknya disebutkan ”singer” buatan China namun ternyata setelah di ceck ke lapangan adalah merk lokal (merk tidak jelas) dengan harga yang jauh lebih murah.

Selasa, 05 Desember 2006

Analisis Beban Utang Dalam APBN 2006: PERLUNYA PEMOTONGAN UTANG & RUU PEMBATASAN UTANG

Yenny Sucipto


Dalam APBN 2004 bunga utang pemerintah jumlahnya telah mencapai Rp 43,1 triliun, yang merupakan bunga utang luar negeri dan biaya yang berkaitan dengan utang luar negeri pemerintah dan bunga obligasi. Rinciannya antara lain bunga utang dan kewajiban luar negeri sebesar Rp 22,224 trililun yang terdiri dari bunga dan komisi. Sedangkan jumlah bunga mencapai Rp 22,048 triliun terdiri dari bunga utang bilateral Rp 8,074 triliun, bunga obligasi Rp 121,828 miliar, bunga kredit komersial Rp 225,694 miliar, bunga kredit ekspor Rp 5,259 triliun dan bunga multilateral Rp 8,306 triliun.
Sementara untuk komisi bilateral Rp 10,871 miliar, komisi kredit ekspor Rp 125,927 miliar dan komisi kredit komersial Rp 40,127 miliar. Total komisi keseluruhan sebesar Rp 176,926 miliar. Untuk utang bunga obligasi telah mencapai Rp 20,829 triliun dan utang bunga obligasi internasional mencapai Rp 194,012 miliar.
Untuk APBN 2005, pemerintah telah menganggarkan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 71,9 triliun dengan rincian cicilan pokok sebesar Rp 46,8 triliun dan bunga sebesar Rp 25,1 triliun. Beban tersebut setara dengan 2,8 kali dari pengeluaran pemerintah, sedang untuk pendidikan, 10,6 kali pengeluaran pemerintah pusat untuk kesehatan, 32,7 kali pengeluaran perumahan dan fasilitas umum, dan 119,8 kali pengeluaran ketenagakerjaan, serta 27,7 kali pengeluaran untuk lingkungan hidup. Sedangkan APBN 2006, anggaran pembayaran bunga utang dalam negeri ditetapkan sebesar Rp 48,81 triliun, sementara bunga utang luar negeri Rp 28,01 triliun .

***

Pembayaran utang dan bunga utang yang sampai mencapai 30-40% dari total anggaran belanja negara dalam setiap tahunnya, dikhawatirkan akan mengancam stabilitas perekonomian nasional. Sebab anggaran untuk pembayaran utang dan bunga utang tersebut tidak hanya memberikan tekanan pada devisit, tetapi juga pada cadangan devisa. Ironisnya, walaupun telah menjadi ancaman nyata bagi perekonomian nasional, namun sampai saat ini belum ada upaya-upaya yang signifikan dari pemerintah untuk mengurangi beban utang tersebut. Memang dalam kurun waktu tiga tahun terakhir rasio utang Indonesia telah mengalami penurunan yang sebelumnya mendekati 100 persen Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi sekitar 60 persen. Namun tetap harus disadari bahwa hal tersebut bukan berarti stok utang Indonesia berkurang, sebab Indonesia belum pernah meminta keringanan berupa pengurangan atau penghapusan utang kepada negara-negara donor.
Pemerintah sebenarnya memiliki banyak kesempatan untuk mengurangi beban utang negara dengan cara intensifikasi manajemen utang. Salah satu langkah yang dapat ditempuh misalnya dengan cara meminta keringanan utang dan negosiasi bilateral yang intensif. Dengan munculnya tawaran dari beberapa negara kreditor pemberi moratorium utang pada Indonesia beberapa bulan setelah bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara bukan tidak mungkin dengan negosiasi yang kuat pemotongan akan diberikan. Namun sangat disayangkan sekali ternyata tawaran menarik dari pihak Jerman dan Inggris untuk debt relief (pemotongan/pengurangan utang) ditanggapi pasif oleh pemerintah.
Drajat Wibowo (Anggota Komisi XI DPR) juga pernah meminta kepada pemerintah agar melakukan terobosan dalam upaya pengurangan beban bunga utang luar negeri selama tiga hingga lima tahun termasuk pengurangan pokok utang, khususnya dari kreditor utama seperti Bank Dunia, ADB, dan Jepang .
Bagaimanapun pemotongan utang adalah agenda tak terhindarkan (dengan membuang segala gengsi) yang harus dijalankan oleh pemerintah jika ingin menyelamatkan perekonomian nasional dari jebakan utang. Pakistan mungkin dapat menjadi salah satu referensi bagi Pemerintah yang berhasil mendapatkan pemotongan utang. Pakistan, dengan negosiasi tingkat tinggi pada level geopolitik di tahun 2002 saat isu terorisme menghangat, bisa memperoleh potongan 30 persen utang melalui fasilitas Official Development Assistance (ODA). Yugoslavia juga pernah memperoleh potongan 66 persen, demikian pula dengan Polandia yang mendapat potongan 50 persen dari total utang.

***

Namun ternyata pemerintah memiliki agenda lain. Pemerintah tidak tertarik terhadap langkah pemotongan utang. Pemerintah lebih tertarik untuk memperketat pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai utang dengan cara membentuk tim monitoring atas pelaksanaan proyek-proyek tersebut. Tim itu nantinya terdiri dari Departemen Keuangan, Bappenas, Menko Perekonomian dan pihak-pihak lain yang terkait. Dengan dibentuknya tim tersebut, pemerintah berharap kebocoran-kebocoran proyek yang diyakini sampai mencapai 30% selama ini dapat dieleminir.
Gagasan Pemerintah ini jelas tidak dapat menyelesaikan persoalan beban utang yang dihadapi, karena sama sekali tidak mengurangi utang, walaupun memang di satu sisi harus tetap diapresiasi karena memiliki nilai positif dalam konteks pemberantasan korupsi. Namun yang menjadi masalah pokok adalah bagaimana caranya agar Pemerintah dapat menghentikan kebiasaannya berutang agar tidak semakin menambah beban APBN. Namun sepertinya Pemerintah belum memiliki kesadaran akan hal ini. Di tahun 2006 ini Pemerintah sepertinya tetap akan terus berhutang, hanya bentuknya yang berbeda. Jika sebelumnya pemerintah lebih banyak berutang untuk pinjaman proyek, di tahun 2006 ini pemerintah akan lebih memprioritaskan pada pinjaman program karena menurut pemerintah lebih efektif penggunaannya. Ini dibuktikan dari pernyataan Menkeu bahwa untuk tahun 2006 pinjaman program pemerintah hanya sebesar Rp 9,9 triliun, sedangkan pinjaman proyek sebesar Rp 25 triliun.

***

Gagasan lain yang cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam dalam upaya mengurangi beban utang negara adalah perlu ditetapkannya regulasi yang khusus mengatur mengenai pembatasan utang negara. Regulasi tersebut menyangkut batasan-batasan atau larangan-larangan utang berikut transparasi dan syarat-syarat program dalam pengelolaan dana utangan. Dengan regulasi tersebut diharapkan akan ada kontrol yang kuat terhadap pemerintah ketika mencari utangan baru ke negara-negara donor. Selama ini belum ada aturan yang khusus mengatur tentang hal tersebut. Konstitusi kita (UUD 1945) hanya menyebutkan secara umum tentang beberapa hal penting yang menyangkut perjanjian internasional yang harus mendapatkan persetujuan DPR. Namun tentu ketentuan tersebut belum cukup karena masih harus diderivasikan ke dalam aturan yang lebih rendah (undang-undang). Oleh karena itulah, undang-undang tentang pembatasan utang negara tetap dibutuhkan guna mengontrol kebijakan utang pemerintah. Jika pemerintah tidak ada kemauan menyusun RUU tersebut, DPR dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu sesuai dengan fungsi-fungsi legislasinya.