Senin, 16 Juli 2007

Kebijakan Penganggaran Partisipatif di Tengah Pelaksanaan Otonomi Daerah

Penulis
Yenny Sucipto

Partisipasi Masyarakat dalam Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia merupakan implementasi pemerintahan yang didasarkan pada asas desentralisasi dengan wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, dimana setiap daerah diberikan kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Dengan demikian otonomi daerah tidak hanya diartikan sebatas otonomi pemerintah daerah saja, tetapi juga otonomi bagi masyarakat di daerahnya.
Tujuan utama yang diharapkan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efisien, transparan dan aspiratif dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menjalankan program pembangunannya sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan kemampuan daerahnya masing-masing. Dalam upaya menerjemahkan kondisi, kebutuhan, dan kemampuan daerah itulah peran serta masyarakat secara langsung dibutuhkan.
Di sinilah essensi kontrol masyarakat sebagai kunci transparansi penyelenggaraan pemerintahan menunjukkan urgensinya. Dengan transparansi, kebocoran maupun penyimpangan sebuah implementasi kebijakan dapat ditekan, yang dampaknya pada efisiensi dan efektivitas program atau kebijakan itu sendiri. Otonomi daerah membuka kunci partisipasi untuk menjadikan program pembangunan yang hendak dilakukan lebih realistis, tepat sasaran, aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan publik. Artinya, peluang terjadinya ketidaktepatan, bahkan kesia-siaan, pemborosan, sampai kebocoran, bisa diminimalisir seminimal mungkin.
Kunci dari keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tentu tergantung dari kebijakan anggaran daerah yang semuanya tertuang dalam APBD. Di dalamnya akan dapat dilihat sejauh mana komitmen Kepala Daerah dan DPRD dalam upaya memperjuangkan nasib rakyatnya. Penyusunan APBD sendiri secara substantif tidak dapat dilepaskan dari kaidah Akuntansi Sektor Publik yang bertumpu pada prinsip akuntabilitas publik. Pada level inilah peran aktif dan kontrol masyarakat selama proses penyusunan dan realisasi APBD mutlak dibutuhkan. Sehingga disisi lain, dapat dikatakan pula bahwa transparansi, partisipasi dan akuntabilitas APBD merupakan agenda terpenting dari desentralisasi yang menyemangati lahirnya otonomi daerah selama ini.

Hukum Positif Tentang Anggaran Partisipatif
Berbagai peraturan perundang-undangan telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan anggaran yang bersifat transparan, partisipatif dan akuntabel. Dalam UU No. 17/2004 tentang Keuangan Negara, disebutkan di Pasal 3 ayat (1) bahwa keuangan negara dikelola secara transparan. Dan dalam hal akuntabilitas, disebutkan di pasal 30 dan 31 yang menyatakan bahwa akuntabilitas keuangan negara harus berorientasi kepada hasil.
Untuk UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, dijelaskan di Pasal 23 ayat (2) bahwa keuangan daerah harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Kemudian dalam PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai salah satu peraturan pelaksana dari UU No.32/2004, di Pasal 4 ayat (1) bahkan lebih luas dan tegas lagi, yang mensyaratkan agar keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Dari aturan tersebut dapat diketahui lebih lanjut bahwa memang tidak ada pilihan bagi pemerintah untuk melibatkan peran serta masyarakat secara langsung dalam setiap proses penyusunan dan realisasi anggaran daerah jika memang menginginkan terwujudnya pengelolaan keuangan daerah yang berdasarkan pada nilai-nilai keadilan, kepatutan dan manfaat (kebutuhan riil) bagi masyarakat.
Tanpa partisipasi masyarakat, tentu sangat sulit untuk mengukur sejauh mana anggaran yang telah disusun bersifat adil dan benar-benar berpihak pada kebutuhan masyarakat, karena dominasi dan subyektifitas pemerintah daerah begitu tinggi dalam menerjemahkan kebutuhan masyarakat di daerahnya, padahal hanya masyarakatlah yang benar-benar mengetahui apa sebenarnya yang menjadi kebutuhannya. Tanpa partisipasi masyarakat sudah dapat dipastikan kesia-siaan, pemborosan dan kebocoran anggaran akan kembali terjadi karena tidak adanya kontrol kuat masyarakat. Untuk itulah kenapa kemudian PP No.20/2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah juga urgen untuk dijadikan acuan demi terwujudnya peran kontrol masyarakat dalam setiap kebijakan anggaran dan program pembangunan yang dijalankan di daerah. Sebab dalam PP No.20/2001 tersebut, masyarakat (baik perorangan maupun kelompok dan atau organisasi masyarakat) diberikan ruang (hak) yang begitu luas untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah baik langsung maupun tidak langsung.
Kembali kepada UU No.32/2004, di pasal 137 butir g juga disebutkan bahwa pembentukan Perda menganut asas keterbukaan. Keterbukaan tersebut mensyaratkan bahwa setiap penyusunan Perda harus dilakukan secara terbuka yang berarti akan menuntut peran serta masyarakat untuk ikut memberikan masukan demi terbentuknya Perda yang aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat, dan sebagaimana diketahui bahwa pengesahan APBD juga harus melalui Perda. Keterbukaan ini kemudian diperkuat di Pasal 139 ayat (1) yang menjami hak masyarakat untuk ikut memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
Lebih jauh dari UU No.32/2004 dan UU No.17/2004, pada dasarnya di dalam UU 25/2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional secara implisit juga mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat dalam setiap program pembangunan, yang salah satunya di bidang anggaran. Hal itu tersirat diberbagai pasal antara lain: Pasal 2 ayat (4) huruf d, pasal 5 ayat 3, pasal 6 ayat 2, pasal 7 ayat 2, Pasal 11 ayat (1), pasal 16 ayat (2) dan pasal 22.
Lebih spesifik lagi, Kepmendagri No.29/2002 Tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Serta Tata Cara Pengawasan, Penyusunan dan Perhitungan APBD juga menyatakan bahwa DPRD wajib mensosialisasikan RAPBD kepada masyarakat. Dipertegas lagi dengan Permendagri 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa sosialisasi perda RAPBD kepada masyarakat disampaikan oleh Sekda selaku Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah . Dengan adanya sosialisasi tersebut diharapkan masyarakat akan dapat mengetahui setiap kekurangan dan kelebihan program dan anggaran dalam RAPBD tersebut, sehingga nantinya dengan adanya penilaian dan masukan dari masyarakat, RAPBD tersebut akan lebih aspiratif dan berkeadilan. Dan dalam SE Bersama Mendagri dan Meneg BUMN No.1181/M/PPN/02/2006 tahun 2006 masyarakat juga diberikan ruang untuk berpartisipasi melalui forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan sampai tingkat kabupaten/kota. Di dalam musrenbang tersebut, setiap masyarakat dapat menyampaikan usulan dan program-programnya untuk ditampung dan nantinya akan disusun berdasarkan skala prioritas kebutuhan masyarakat.

Pelaksanaan Anggaran Partisipatif di Daerah
Dalam praktek, partisipasi masyarakat di bidang anggaran oleh pemerintah daerah diimplementasikan dalam beberapa forum yang berjenjang dan bersifat bottom up. Partisipasi masyarakat diawali melalui penjaringan aspirasi melalui media Pra Musyawarah Kelurahan di tingkatan RT/RW yang kemudian dilanjutkan ke tingkatan Musrenbang Desa/Kelurahan (Musrenbangdes/kel) dan Musrenbang Kecamatan. Dalam forum musyawarah tersebut masyarakat diberikan ruang untuk menyampaikan usulan-usulan program/kegiatan, sekaligus kritik, saran dan masukan terhadap kinerja pemerintah daerah. Hasil musyawarah di tiap tingkatan itu kemudian didokumentasikan ke dalam “Dokumen Perencanaan Hasil Musyawarah”. Hasil dari Musrenbangdes/kel dan Musrenbang Kecamatan tersebut akan disinergikan pada saat dilaksanakannya Murenbang tingkat Kabupaten/Kota yang melibatkan pejabat Kelurahan, Kecamatan, LSM, organisasi profesi dan perwakilan-perwakilan masyarakat. Di tingkatan Musrenbang Kabupaten/Kota itulah nantinya setiap usulan dan program yang diajukan masyarakat akan disinergikan dengan SKPD.
Pada level musyawarah dari RT/RW, Kelurahan, Kecamatan sampai Kabupaten/Kota peran dan kontrol masyarakat dalam proses perencanaan program dan anggaran masih kuat karena melibatkan masyarakat secara langsung. Namun pasca musyawarah tersebut, dari tahap penetapan Kebijakan Umum APBD (KUA), Penyusunan Plafon dan Prioritas APBD (PPAS), Penyusunan Standar Harga, Penyusunan Pedoman RAPBD, Penyusunan RKA-SKPD, Penyusunan RAPBD, sampai pada penetapan RAPBD, sudah tidak melibatkan masyarakat secara langsung, karena semua agenda pembahasan murni di tangan Kepala Daerah dan DPRD. Masyarakat hanya dapat mengontrol melalui media-media sosialisasi (media massa, dll). Dalam proses inilah biasanya usulan dan program-program yang diusulkan masyarakat seringkali terpangkas dan terpotong dengan berbagai alasan subyektif pemerintah daerah.
Namun, berbagai elemen masyarakat seperti NGO yang concern terhadap transparansi anggaran, tetap mencoba untuk membuka ruang-ruang intervensi dengan mengadakan berbagai program-program yang bersifat advokatif dan pemberdayaan bagi masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain misalnya: audensi yang bersifat kontinyu dan fokus anggaran yang melibatkan unsur pemerintah daerah; diskusi-diskusi publik yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah dan media massa; kampanye-kampanye anggaran untuk membangun opini publik; dan assesment.


Menyoal Otonomi Anggaran Kelurahan di DKI Jakarta (Catatan SekNas FITRA)
Sebagaimana diketahui, anggaran kelurahan adalah hal baru yang merupakan pendelegasian kewenangan dari tingkat kabupaten/kota kepada wilayah kelurahan. Kewenangan kelurahan tersebut meliputi kewenangan untuk merencanakan sendiri kebutuhan-kebutuhan di wilayahnya; kewenangan untuk mengelola sendiri keuangannya; dan kewenangan untuk menentukan alokasi penggunaan anggarannya. Sehingga kelurahan harus bertanggungjawab secara penuh terhadap keuangannya, tidak lagi menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota.
Menyikapi itu, SekNas FITRA pada tahun 2005 melakukan pemantauan di 50 kelurahan di wilayah DKI Jakarta, seiring dengan program penguatan anggaran kelurahan oleh Pemprov DKI. Dan berdasarkan hasil pemantauan SekNas FITRA, tingkat partisipasi masyarakat pada pra forum kelurahan ternyata masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan adanya persepsi yang masih salah (cenderung sempit) dari aparat Kelurahan yang memandang pelibatan masyarakat dalam penyampaian aspirasi cukup direpresentasikan oleh Dewan Kelurahan, Ketua RT dan RW. Sementara itu, representasi masyarakat atas dasar ketokohan (tokoh agama, tokoh adat, dll) serta wakil-wakil masyarakat dari unsur profesi (buruh, asongan, tukang becak, PKL, sopir, dll) masih cenderung ternegasikan dan dianggap bukan merupakan bagian dari representasi masyarakat.
Akibat terbatasnya peran serta masyarakat dan tidak representatifnya forum, membuat usulan-usulan masyarakat yang terakomodasi dalam anggaran kelurahan dan APBD sangat kecil dan tidak aspiratif. Lebih parah lagi, apatisme dan keterbatasan informasi yang dimiliki masyarakat dibidang anggaran, membuat kontrol masyarakat terhadap usulan-usulan mereka sangat lemah. Dari pengamatan SekNas FITRA terhadap APBD 2005 DKI, usulan-usulan masyarakat yang terakomodir di tingkat Kelurahan hampir 50% hilang ketika sampai di tingkat Kecamatan, bahkan di tingkat Rakorbang hilang sampai 80%. Usulan-usulan masyarakat seringkali masih dikalahkan oleh usulan-usulan sektor/dinas tanpa adanya rasionalisasi atas skala prioritas dan ketersediaan anggaran yang selama ini seringkali dijadikan alasan oleh Pemerintah Daerah.

Kesimpulan
Peluang keterlibatan masyarakat dalam penyusunan anggaran pada dasarnya sangat terbuka seiring dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Namun demikian, untuk membangun peran serta masyarakat agar lebih peduli dan ikut menyusun serta mengontrol pelaksanaan program dan anggaran memang bukan merupakan sebuah pekerjaan mudah jika melihat realitas pengetahuan masyarakat (khususnya masyarakat miskin) yang masih rendah karena terbatasnya akses terhadap pengetahuan dan informasi. Sehingga dalam banyak hal, pelaksanaan otonomi daerah di beberapa daerah masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, bahkan di satu sisi cenderung distorsif. Pemborosan dan kebocoran anggaran masih kerap terjadi. Berdasarkan data Kejaksaan Agung, sampai tahun 2004, anggota DPRD yang diperiksa atas keterlibatan korupsi anggaran yang merugikan keuangan daerah telah mencapai 269 orang.
Dari catatan SekNas FITRA di 20 daerah di Indonesia, bentuk penyimpangan/korupsi anggaran sudah terjadi sejak awal proses perencanaan anggaran. Pola yang terjadi pada sisi belanja, melakukan mark-up penetapan harga barang di atas harga pasar, barang yang menunjuk pada spesifikasi merk tertentu, dan pengalokasian proyek-proyek titipan dari kalangan yang dekat dengan kesekutif dan legislatif. Di sisi belanja, melakukan mark-down penetapan estimasi pendapatan di bawah potensi pendapatan. Bentuk korupsi dalam perencanaan anggaran berimplikasi pada realisasi anggaran, dimana terjadi proses tender tertutup, penunjukan langsung, dan proyek fiktif. Dalam tahap pertanggungjawaban, untuk menutupi korupsi pada saat implementasi anggaran dilakukan pembuatan laporan pertanggungjawaban fiktif.
Melihat masih banyaknya penyimpangan anggaran di daerah menunjukkan kontrol masyarakat kepada pemerintah dalam hal penyusunan dan pelaksanaan anggaran masih lemah. Sehingga sangat urgen untuk tetap melakukan upaya-upaya penguatan di tingkatan masyarakat demi terbangunnya mekanisme kontrol yang efektif dari masyarakat sehingga setiap anggaran yang disusun akan lebih aspiratif dan pro rakyat miskin. Dengan demikian pula, pemborosan dan penyimpangan anggaran oleh eksekutif dan legislatif seperti yang sering terjadi saat ini dapat diminimalisir.
Terhentinya partisipasi langsung masyarakat di tingkatan Musrenbang, membuat posisi masyarakat dalam penentuan kebijakan program dan anggaran di daerah masih lemah dan terbatas. Oleh karena itu masih diperlukan sebuah bentuk kerjasama yang kuat antara elemen masyarakat, NGO dan media massa untuk terus menciptakan ruang-ruang publik pasca musrenbang guna mengawal usulan-usulan masyarakat agar tidak lagi terpatahkan ditingkatan AKU sampai penetapan RAPBD.

Senin, 25 Juni 2007

”Benarkah PT.PLN Merugi?”

Yenny Sucipto

PLN sebagai salah satu cabang produksi yang menyangkut khalayak hidup orang banyak (listrik), jika konsisten dengan konstitusi seharusnya mutlak dikuasai negara. Dan awalnya memang demikian, PLN jauh sebelum menjadi PT (Persero) seperti saat ini, masih berbentuk Perusahaan Jawatan Negara (Perjan). Namun pada masa Orde Baru (1972) Perjan PLN kemudian diubah ke dalam Perusahaan Umum (Perum) dengan alasan peningkatan kualitas kerja dan pelayanan. Namun sejak tahun 1994, dengan alasan kerugian yang tak kunjung surut, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dengan merubah status perum menjadi Perseroan Negara (Persero). Dengan bentuk Persero itu, pemerintah telah menyulap PLN sebagai salah satu perusahaan Negara yang awalnya memiliki tanggung jawab pokok pelayanan umum menjadi korporasi yang lebih mengarah kepada profit oriented.
Namun langkah perubahan status perusahaan tersebut ternyata tetap tidak mampu menyelamatkan PLN dari kerugian, sehingga masih saja membebani keuangan Negara atas subsidi yang harus dikeluarkan setiap tahun anggaran. Memang pada dasarnya PLN tidak mempunyai hak menetapkan harga jual listrik kecuali hanya Pemerintah, sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 15/1985 pasal 16. Disamping itu PLN juga masih harus memikul beban PSO (Public Service Obligation). Oleh karena itu, para manajemen PLN mempunyai alasan legal, “mengapa perseroan PLN terus mengalami kerugian dan menjadikan alasan tersebut untuk selalu meminta subsidi pada setiap anggaran baru dalam APBN kepada pemerintah”.
Alasan lain lagi dari PLN dengan meminta subsidi kepada pemerintah antara lain: untuk biaya produksi yang terus meningkat besar/mahal; pembelian listrik swasta yang sangat memberatkan operasional keuangan PLN dan juga kebutuhan untuk investasi guna melayani permintaan listrik yang tumbuh sebesar rata-rata 10% per tahun. Jika PLN menggunakan bahan dalam bentuk minyak maka ongkos produksinya berkisar sekitar Rp 2.000/kwh, tetapi bila dibandingkan dengan penggunaan gas rata-rata ongkos produksinya sekitar Rp 1.000/kwh, sedangkan yang paling murah adalah penggunaan dengan batu bara yaitu hanya sekitar Rp 490/kwh. Dengan bentuk bahan yang dipakai oleh PLN untuk produksi yang dihasilkan maka juga akan mempengaruhi biaya produksi yang ada.
Sementara itu, mengenai perkembangan anggaran subsidi listrik dari 2001 s/d 2006, anggaran subsidi listrik 2004 Rp3,4 triliun mengalami penurunan sekitar 24 persen dari alokasinya pada tahun 2003 sebesar Rp4,5 triliun. Pada 2005, realisasi subsidi listrik telah mencapai Rp8,8 triliun, yang berarti mengalami peningkatan Rp. 5,4 triliun (24,0 persen) bila dibandingkan pagunya dalam APBN 2005 sebesar Rp8,8 triliun, atau naik Rp0,06 triliun (1,5 persen) dari pagunya yang ditetapkan dalam APBN-P 2005 sebesar Rp 12,5 triliun. Peningkatan alokasi anggaran subsidi listrik tersebut, terutama berkaitan dengan peningkatan biaya pokok produksi listrik oleh PLN, sebagai dampak kebijakan penyesuaian harga BBM dalam negeri sejak 1 Maret 2005, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS serta dua tahun terakhir tidak ada kenaikan tarif dasar listrik. Anggaran subsidi listrik pada RAPBN 2006 sebesar Rp 15 triliun yang berarti lebih tinggi 4,9 persen dari APBN-P 2005 atau turun 6,3 persen.
Pendapatan PT. PLN
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penerimaan PLN berdasarkan tarif pelanggan dari pelanggan industri saja kisarannya sudah mencapai 22,3 triliun rupiah untuk tahun 2004 dan 19,3 triliun rupiah tahun 2003. Dan penerimaan dari pelanggan rumah tangga sekitar 21,6 triliun rupiah pada tahun 2004 dan 18,6 triliun rupiah pada tahun 2003.
Sebagaimana kita ketahui, PLN selalu beralasan bahwa anggaran selalu mengalami defisit dan merugi. Untuk tahun 2005, defisit (kerugian) sebesar Rp 12,8 triliun. Dan untuk 2004 defisit Rp 1,4 triliun, belum ditambah pajak penambahan nilai serta pajak penghasilan yang jumlahnya 1,09 triliun sehingga total kerugiannya menjadi sebesar Rp 2,5 triliun. Kemudian tahun 2003 mengalami kerugian sebesar 6 triliun rupiah.
Mencermati defisit PLN yang begitu besar, tentu masyarakat tidak dapat menerima justifikasi-justifikasi klasik PLN selama ini yang selalu berputar pada tingginya biaya produksi, beban PSO dan rendahnya tarif listrik yang ditetapkan pemerintah. Urgen pula jika ditinjau dari kemungkinan-kemungkinan lain seperti ada tidaknya indikasi korupsi, mark-up, dan potensi pemborosan yang mengakibatkan kerugian negara.

Potensi Kehilangan Pendapatan PT. PLN
Berdasarkan hasil riset Seknas FITRA, ternyata diketahui bahwa banyak terdapat potensi kehilangan pendapatan yang jumlah keseluruhannya untuk tahun 2003 adalah sebesar 10,9 triliun, tahun 2004 sebesar 11,8 triliun rupiah dan pada tahun 2005 adalah sebesar 11,9 triliun rupiah. Dan sebenarnya potensi kehilangan pendapatan di tahun 2003 – 2005 itu seharusnya dapat dipakai untuk menutup jumlah kerugian di tahun tersebut pula.
Dapat disimpulkan bahwa pendapatan dan potensi kehilangan pendapatan PT. PLN antara lain sebagai berikut:
1. Untuk tahun 2005, jumlah kerugian yang di-claim PT. PLN sebenarnya dapat ditutup dengan jumlah potensi kehilangan pendapatan. Jika potensi kehilangan pendapatan tersebut dapat ditekan maka subsidi yang diperlukan PLN seharusnya tidak lebih dari 2 triliun (lihat tabel);
2. Tahun 2003 dan tahun 2004, dengan jumlah kerugian yang ditanggung sebenarnya dapat di tutup dengan jumlah potensi kehilangan pendapatan dan sama sekali tidak memerlukan subsidi (lihat tabel).

Rabu, 16 Mei 2007

Eksploitasi Tarif Air Minum sebagai Dampak Privatisasi Air Minum DKI Jakarta

Yenny Sucipto

Privatisasi air minum yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sejak Februari 1998 lalu ternyata benar-benar memberi dampak buruk bagi kehidupan masyarakat Jakarta. Mereka harus dihadapkan pada kenyataan pelik dengan pemberlakuan kenaikan tariff otomatis (automatic tariff increase) setiap 6 bulan sekali sebagai salah satu kesepakatan yang dibuat antara PDAM Jaya dengan 2 mitra asingnya, Suez Lyonaise des Eaux (Perancis) dan Thames Water International (Inggris).
Kebijakan Pemprov DKI tersebut sebenarnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap konstitusi (Pasal 33 UUD 1945), karena air adalah bagian dari sumber daya alam yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak sehingga harus dikuasai negara dan ditiadakan dari persaingan pasar agar fungsi sosial dan pelayanan umumnya tetap terjaga. Namun Pemprov DKI tetap memprivatkannya dengan alasan tidak memiliki dana yang cukup untuk melayani dan memenuhi kebutuhan konsumsi air minum masyarakat DKI yang semakin meningkat.
Akibatnya, perusahaan air minum benar-benar terjebak ke dalam praktik bisnis yang bersifat profit oriented. Ini dibuktikan dengan pemberlakuan kenaikan tariff otomatis yang begitu eksploitatif tanpa memperdulikan lagi kemampuan ekonomi masyarakat kalangan bawah. Apalagi, sebelumnya Pemprov DKI telah menaikkannya beberapa kali sampai mencapai 128%. Ironisnya, kenaikan tariff yang begitu tinggi itu tidak diimbangi oleh peningkatan pelayanan dan mutu dari Lyonaise maupun Thames Water. Karena memang alasan kenaikan itu bukan untuk peningkatan pelayanan dan mutu, melainkan untuk menutupi utang PDAM Jaya yang terus menerus defisit akibat hasil penjualan air tidak sebanding dengan upah yang harus diberikan kepada Lyonaise dan Thames Water.

Kebocoran Pipa sebagai Alasan Privatisasi
Alasan awal Pemprov DKI dalam menjalin kerjasama pengelolaan air minum dengan Lyonaise dan Thames Water didasarkan pada kondisi PDAM Jaya yang saat itu dipandang sudah tidak mampu lagi mengelola dan melayani kebutuhan air minum akibat lilitan hutang yang mencapai 2 triliun rupiah. Penyebabnya adalah kebocoran pipa yang sampai mencapai angka 45% sehingga PDAM Jaya harus terus menanggung rugi karena hasil penjualan tidak sebanding dengan tingginya biaya produksi.
Namun menurut Poltak Situmorang (Ketua DPD AIKINDO) masalah kebocoran pipa ini sebenarnya merupakan masalah klasik, karena sudah terjadi sejak 20 tahun lalu, ketika pembangunan air bersih mulai dilakukan di Jakarta. Padahal, selama kurun waktu itu pembangunan banyak dilakukan berupa sejumlah instalasi penjernihan baru, peremajaan pipa-pipa tua yang dituding sebagai penyebab utama kebocoran, pelatihan para kontraktor air dan sebagainya, yang dananya berasal dari pinjaman Asian Development Bank, World Bank bahkan dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN). Namun anehnya, kebocoran ternyata tetap terjadi bahkan tidak berkurang.
Kemudian atas rekomendasi Bank Dunia yang termuat dalam laporan kerangka kebijakan sektor air di perkotaan (Urban Water Supply Sector Policy Framework), direkomendasikan agar PDAM Jaya diswastakan. Bank Dunia kemudian juga ikut mengucurkan pinjaman sebesar Rp 2,4 trilliun untuk pengembangan Jakarta, termasuk di dalamnya pembiayaan pengelolaan air minum. Akhirnya PDAM Jaya benar-benar diprivatisasi dengan diundangnya Suez Lyonaise des Eaux dari Perancis dan Thames Water International dari Inggris. Kedua mitra asing yang selama ini track record-nya dikenal ahli dalam pengelolaan air bersih tersebut diminta melakukan kerja sama dengan PDAM Jaya, yang secara resmi ditandatangani pada bulan Februari 1998 lalu. Dasar kerja sama dilakukan agar manajemen PDAM Jaya bisa sehat, sehingga mampu mengembalikan seluruh utangnya. Mulai saat itu PDAM Jaya diarahkan agar dapat melaksanakan pembangunan dengan cara pinjaman penuh atau sebagian atas tanggungan kedua mitra asingnya, dan tidak boleh lagi membebani anggaran pemerintah.
Namun proses kerjasama antara PDAM Jaya dengan dua mitra asingnya tersebut sempat mendapat protes dari sebagian karyawan PDAM Jaya yang tergabung dalam Serikat Pekerja (SP) PDAM Jaya pada awal era reformasi karena kerjasama tersebut dianggap berbau praktik KKN. Dan memang benar, sebagaimana pernah diakui Rama Boedi (Dirut PDAM Jaya) pada awalnya pihak Lyonaes dan Thames Water sempat menggandeng Salim Grup dan Sigit Harjojudanto untuk melakukan kerja sama.
Karena aksi protes itulah, akhirnya dilakukan perundingan kembali antara Pemda DKI dengan Lyonaise dan Thames Water International yang kemudian disepakati, bahwa mitra swasta lokal harus mengundurkan diri dari kontrak kerja sama tersebut. Mitra swasta lokal yang mengundurkan diri adalah PT Elang Saktiprabawa milik Anthony Salim yang berpatungan dengan Suez Lyonaise des Eaux. Saham 60 persen milik Anthony pun diserahkan pada swasta asing tersebut. Sedangkan Sigit Harjojudanto menyerahkan 20 persen sahamnya yang ditanamkan pada Thames Water Internasional.
Dari awal dilaksanakannya kontrak kerjasama ini sebenarnya telah dipenuhi kolusi dan ketidak-transparanan, karena kontrak tidak dilaksanakan melalui prosedur yang lazim melalui tender terbuka, namun hanya berbekal surat penunjukan dari Menteri PU dan Presiden RI yang bersifat power pressure saat itu. Bahkan naskah perjanjian kerjasama operasional (KSO) antara PDAM Jaya dan 2 mitra asingnya tersebut belum pernah dipublikasikan secara transparan terutama mengenai biaya investasi, biaya operasional dan biaya penyusutan atas aset Pemprov DKI.
Dalam KSO, tidak dicantumkan pula besaran modal yang harus diinvestasikan Lyonaise dan Thames Water selama kerjasama. Justru KSO telah menyepakati bahwa seluruh aset yang dimiliki oleh PDAM Jaya senilai Rp 2,8 triliun harus diserahkan kepada kedua perusahaan asing tersebut.
Namun demikian, walaupun tidak tertuang dalam KSO, Lyonaise dan Thames Water tetap menjanjikan investasi sebesar Rp 1,1 triliun selama lima tahun pertama dengan prioritas perbaikan pelayanan terutama masalah kebocoran pipa. Namun, menurut Poltak Situmorang, sejak 1998 hingga 2003, biaya investasi yang dikeluarkan Lyonaise dan Thames Water bisa dikatakan tidak ada atau nol rupiah, karena selama 5 tahun kerjasama, keduanya telah menerima uang penjualan air sebesar Rp 4,8 triliun. Dan jika dikalkulasi, baik Lyonaise maupun Thames Water telah mendapatkan keuntungan tanpa harus berinvestasi karena mereka bisa menggunakan keuntungan yang didapatkan dari pembayaran upah dari pelanggan itu untuk investasi.
Namun menurut Kahumas Lyonaise dan Thames Water, Maria Sidabutar dan Pratiwi, perusahaan mereka sampai tahun 2001 telah mengeluarkan dana investasi masing-masing sebesar Rp 500 milyar dan Rp 300 milyar untuk memperbaiki dan mengembangkan jaringan pipa serta menekan kebocoran dan meningkatkan pelayanan. Dan sampai tahun 2003, Thames Water telah menanamkan investasi lebih dari 552,6 miliar , dan Lyonaise telah menginvestasi dana sebesar Rp 670 miliar sejak Februari 1998 hingga akhir Maret 2003.
Mengutip Situmorang, jika dilihat dari biaya investasi (capital expenditure), realisasi yang dicapai Lyonaise maupun Thames Water memang tidak pernah maksimal. Misalnya sejak 1998 sampai 2001, investasi Lyonaise baru mencapai Rp 361,184 miliar atau sekitar 63 persen dari target Rp 567,618 miliar. Begitu pula dengan capital expenditure Thames Water yang hanya terealisasi Rp 240 miliar dari dana Rp 317 miliar yang dianggarkan. Dengan investasi yang ternyata tidak sesuai perjanjian, dapat dipastikan pelayanan kepada pelanggan tidak meningkat. Hal itu terbukti dari adanya keluhan pelanggan sebanyak 9.000 aduan per bulan seperti air keruh, bau dan air mati, dengan rincian keluhan yang ditangani Thames Water tercatat sebanyak 6.000 pelanggan, sedangkan Lyonaise sebanyak 3.000 pelanggan. Bahkan angka pelanggan yang tidak terlayani mencapai 13,39 persen dari total pelanggan sebanyak 692.324. Padahal berdasarkan KSO, seluruh keluhan pelayanan itu wajib ditangani Lyonaise dan Thames Water.
Namun menurut Kahumas Thames Water, Maria, jumlah keluhan sekitar 6.000 pelanggan per bulan itu tergolong wajar jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan pelanggan Thames Water yang sebanyak 360.000. Menurutnya, keluhan pelanggan tersebut kerap terjadi karena jaringan pipa saluran air itu sudah termakan usia, sehingga setiap saat dapat terjadi pengeroposan dan berlubang. Pipa-pipa penyalur air itu juga ditanam dengan kedalaman tertentu. Hingga kini, pipa-pipa itu kerap pecah atau patah karena beban terlampau berat dan akibat gerakan tanah. Misalnya pipa air di kawasan Jakarta Utara, kerusakan pipa disebabkan beban truk kontainer yang terlampau berat, padahal pipa air ditanam melintas di tengah atau pinggir jalan raya.
Namun demikian, tentu argumen di atas tidak dapat dijadikan justifikasi oleh Lyonaise dan Thames Water. Karena tujuan awal Pemprov DKI mengundang mereka memang untuk mengatasi masalah kebocoran pipa yang sudah terjadi sejak tahun 1970-an yang telah membuat PDAM Jaya merugi dan terlilit hutang sehingga harus mengundang mereka berinvestasi guna mengatasi masalah tersebut.
Menurut Sembiring (Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta), selama 5 tahun kerjasama, pelayanan Lyonaise dan Thames Water secara kualitas dan kuantitas tidak mengalami perbaikan dan peningkatan. Dalam hal perbaikan tingkat kebocoran pipa sama sekali tidak sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu 45% hanya mampu ditekan 48%, bahkan untuk menekan tingkat kebocoran air (Non Revenue water) pihak Thames dan Palyja hanya melakukan simulasi dengan cara membatasi pengoperasian mesin pompa yang terdapat disetiap instalasi. Pompa produksi yang biasanya dioperasikan 4 (empat) buah dalam batasan normal hanya dioperasikan 2 (dua) buah, akhirnya menimbulkan dampak tidak keluarnya air di wilayah jangkauan pelayanan perusahaan tersebut.
Diakui pula oleh Christ Tetuko (Direktur Teknis PDAM Jaya), bahwa memang sampai saat ini tingkat kebocoran masih mencapai 46 persen. Dari 704.000 pelanggan, 11 persen di antaranya masih berada dalam tingkat pemakaian “nol” karena tidak mendapatkan aliran air sama sekali. Namun menurut Humas Pemprov DKI, tingkat kebocoran yang masih mencapai 46% tersebut masih tergolong sangat baik jika dibandingkan dengan tahun 1997 yang sampai mencapai 62%, dan hal itu dipandang telah membuktikan keberhasilan kerjasama yang dibangun antara PDAM Jaya dengan Lyonaise danThames Water. Padahal jika dibandingkan dengan kenaikan tariff yang beruntun dan sampai mencapai 128%, tentu saja upaya Lyonaise danThames Water dalam menekan tingkat kebocoran pipa tersebut tidak dapat dikatakan berhasil.

Water Charging, Utang PDAM Jaya dan Kenaikan Tarif
Dalam perjanjian kerjasama (KSO) yang ditandatangani PDAM Jaya dengan Lyonaise dan Thames Water dalam hal pembagian keuntungan dilakukan dengan sistem water charging dimana PDAM Jaya harus memberikan upah atas setiap produksi air yang dikeluarkan oleh Lyonaise dan Thames Water. Dan berdasarkan isi KSO yang ditandatangani pada tahun 1997, telah ditetapkan bahwa imbalan yang harus dibayar kepada Lyonaise adalah sebesar Rp 1.788/m3 dan Thames Water sebesar Rp 1.993/m3.
Sistem water charging ini sangat merugikan PDAM Jaya, karena nilainya ditentukan sesuai rumus indeksasi untuk mengalami kenaikan setiap enam bulan sekali (automatic tariff increase). Jika tidak dinaikkan, maka Pemprov DKI tetap harus membayar kenaikan imbalan sesuai dengan permintaan kedua mitra asingnya. Itulah kenapa kemudian PDAM Jaya harus menanggung hutang begitu besar karena adanya short fall akibat tidak dinaikkannya tariff air selama masa krisis (1998-2001). Sampai tahun 2001, shortfall yang harus ditanggung PDAM Jaya adalah sebesar adalah Rp 495 miliar kepada Thames Water dan Rp 417 miliar kepada Lyonaise.
Untuk menutupi utang itu, sebagaimana yang diutarakan Ahmad Lanti (Kepala Badan Regulator PDAM Jaya), PDAM Jaya menyiasatinya dengan menaikkan tarif air. Oleh karena itu sejak tahun 1998 kenaikan tariff dinaikkan terus menerus. Pada bulan Juli 1998 tarif air telah dinaikkan sebesar 18 %. Namun karena dinilai belum mampu menutupi water charging, pada bulan April 2001 PDAM kembali menaikkan tarif sebesar 35 %. Kenaikan tersebut ternyata tetap dipandang belum mampu menutupi defisit, maka pada bulan April 2003 tarif air kembali dinaikkan sebesar 40%, dan 9 bulan kemudian (Januari 2004) dinaikkan lagi sebesar 30%.
Dengan kenaikan terakhir sebesar 30% terakhir itu, menurut Lanti hasil penjualan air sudah bisa melampaui nilai water charge dan posisi PDAM sudah mulai membaik dalam membayar utang yang ditanggung sejak 1999 hingga 2001 kepada Lyonaise dan Thames Water. Namun anehnya, utang yang ditanggung PDAM Jaya sampai saat ini masih tetap tinggi bahkan masih mencapai 1 triliun rupiah.
Menurut Poltak kenaikan tariff dari rata-rata Rp 1.721/m3 sampai menjadi Rp 5.430/m3 memang tidak akan pernah bisa melunasi hutang PDAM Jaya karena water charging juga semakin tinggi. Bahkan total utang yang harus ditanggung PDAM Jaya sudah mencapai Rp 2,6 triliun, dengan rincian sebesar Rp 9,95 miliar utang kepada Lyonaise dan Thames Water, dan sebesar Rp 1,7 triliun utang kepada Departemen Keuangan (Depkeu).
Dan sampai saat ini, utang kepada Depkeu itu tidak seluruhnya bisa dibayar, baik bunga maupun utang pokoknya, karena PDAM Jaya tidak memiliki pendapatan yang mencukupi. Hasil penjualan air telah habis dipakai untuk membayar imbalan kepada Lyonaise dan Thames Water. PDAM Jaya seharusnya juga menyetor pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 10 miliar/tahun tetapi hanya mampu membayar Rp 6 miliar/tahun.
Kenaikan tariff yang didasarkan pada shortfall yang dialami PDAM Jaya, jelas mendapatkan penolakan dari banyak kalangan masyarakat, karena sama saja utang PDAM Jaya tersebut dibebankan kepada masyarakat, dan tentu saja hal ini sangat tidak adil. Oleh karena itu beberapa kalangan telah meminta Pemprov untuk meninjau kembali KSO yang dibuat antara PDAM Jaya dengan Lyonaise dan Thames Water. Bahkan tahun 2003, beberapa Anggota DPRD seperti Mukhayar (F-PK) dan Maringan Pangaribuan (F-PDIP) telah jauh-jauh hari menunjukkan sikap penolakannya dan meminta Pemprov untuk merubah sistem water charging dan menggantinya dengan sistem lain yang lebih menguntungkan. Pada bulan Juni 2005 lalu, gabungan LSM yang terdiri dari Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta (Komparta), Masyarakat Air Minum Indonesia (MAMI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Kelompok Pelanggan Air Minum dari lima wilayah DKI juga telah meminta Komisi D DPRD untuk menuntut Pemprov membatalkan KSO tersebut. Namun sayang, Pemprov DKI tetap tidak bergeming dengan penolakan-penolakan yang muncul tersebut.



Automatic Tariff Increase
Automatic Tarif Increase atau biasa dikenal dengan istilah Penyesuaian Tarif Otomatis (PTO) merupakan salah satu point kesekapatan yang tertuang di dalam naskah perjanjian kerjasama operasional (KSO) antara PDAM Jaya dengan Lyonaise dan Thames Water pada tahun 2001 atas persetujuan dari Gubernur DKI. PTO itu telah diefektifkan sejak Januari 2005 lalu dimana Pemprov DKI telah menaikkan tariff air sebesar 8,14%, lalu 6 bulan kemudian (Juli 2005) tariff air kembali dinaikkan sebesar 9,49%. Pemberlakuan PTO tersebut adalah hasil dari persetujuan DPRD periode 1999-2004 yang diberlakukan selama tiga tahun, dimulai awal 2005 dan berakhir pada Juli 2007.
Seperti halnya sistem water charging, pemberlakuan PTO ini tentu akan sangat memberatkan masyarakat. Tarif air yang ada saat ini saja sudah dirasa sangat memberatkan, apalagi jika ditambah dengan kenaikan tarif setiap 6 bulan sekali, dapat dibayangkan berapa banyak masyarakat nantinya yang akan jadi korban karena tidak mampu lagi mengkonsumsi air bersih. Apalagi pertimbangan PTO hanya didasarkan pada kondisi ekonomi terutama tingkat inflasi bukan pada kemampuan daya beli masyarakat.
Menjadi lebih tidak adil lagi bagi masyarakat, karena dasar dari pemberlakuan PTO ternyata hanya untuk mencapai self financing dan menutupi short fall yang ditanggung Lyonaise dan Thames Water selama tiga tahun masa krisis, bukan demi peningkatan pelayanan dan mutu. Dari perhitungan yang cukup rumit selama dua tahun, PTO lalu disetujui untuk dinaikkan selama enam semester (2005-2007) untuk menutupi re-basing selama tiga tahun.
Ketidakadilan dalam PTO ini, jelas ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Penolakan tersebut didasarkan pada kenaikan tarif yang sama sekali tidak diimbangi peningkatan pelayanan dari Lyonaise dan Thames Water. Apalagi kenaikan itu diberlakukan pada golongan sosial, bukan golongan industri. Sebagaimana yang pernah disampaikan Ani Sumantri (Peneliti di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), bahwa kenaikan tarif paling tinggi pada bulan Juli 2005 justru terjadi pada kelompok pelanggan sosial (kelompok I) dan keluarga miskin (kelompok II), yaitu sekitar 63%, sementara pada golongan industri kenaikannya cenderung tetap dan kecil. Akibat kenaikan tarif itu, saat ini hampir 50% penduduk Jakarta terpaksa harus mengalokasikan pendapatannya perbulan sampai mencapai 10% agar tetap mendapatkan pelayanan air bersih. Padahal idealnya, biaya yang dikeluarkan dikeluarkan hanyalah sebesar 4%.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan DKI Jakarta sebelumnya juga telah merekomendasikan kepada PDAM Jaya agar tidak menaikkan tarif karena kondisi sosial ekonomi masyarakat belum memungkinkan. Rekomendasi yang ditandatangani Kepala BPKP DKI Jakarta, A Karim dan dikeluarkan 9 Juli 2004 itu terangkum dalam laporan hasil audit lembaga tersebut terhadap Thames Water selaku mitra PDAM. Tapi, rekomendasi itu tidak diindahkan, baik oleh Pemprov DKI maupun DPRD, yang dibuktikan dengan munculnya surat persetujuan tentang penyesuaian tarif otomatis PDAM pada 23 Juli 2004.
Karena pemberlakuan PTO inilah, pada bulan Februari lalu sejumlah anggota DPRD DKI sempat berencana menggunakan hak interpelasi kepada Gubernur DKI Jakarta karena pemberlakuan PTO tersebut oleh DPRD dinilai sangat memberatkan masyarakat. Namun sayang upaya interpelasi itu tidak jelas perkembangannya.
Namun anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Fathi R Sidiq pernah menegaskan, bahwa kenaikan tarif otomatis setiap enam bulan memang harus direvisi. PTO dinilai tidak memperhitungkan kepentingan masyarakat karena tidak menyertakan masyarakat dalam mempertimbangkannya. PTO yang diberlakukan selama ini telah meniadakan hak dan kepentingan masyarakat dan cenderung mengutamakan kepentingan investor.
Apa yang dikemukakan Fathi di atas bahwa PTO harus direvisi memang benar karena masalah kenaikan tarif air akan bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat. Kemampuan masyarakat harus diperhitungan dalam menaikkan tarif air minum dan bukan hanya kepentingan investor yang diperhatikan. Seharusnya, yang menjadi dasar pertimbangan kenaikan tarif selain investor, juga masyarakat pelanggan air minum.
Karena dasar pemberlakuan PTO adalah untuk menutupi shortfall dan self financing, akibatnya peningkatan pelayanan dan mutu air cenderung terabaikan. Seperti yang dicontohkan Amstrong Sembiring bahwa target pertambahan pelanggan dari tahun 1998-2000 tidak tercapai, bahkan dibawah rata-rata kualitas pelayanan yang dilakukan oleh operator sebelumnya (PDAM Jaya). Demikian pula target teknis pemakaian air (kubikase) yang mengalami prestasi tidak jauh dengan apa yang dicapai dari target pertambahan pelanggan, juga tetap dibawah kinerja PDAM Jaya.
Kemudian, penyelesaiaan tingkat kebocoran pipa tidak sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu 45% hanya mampu ditekan 48%, bahkan untuk menekan tingkat kebocoran air (Non Revenue water) Lyonaise dan Thames Water hanya melakukan simulasi dengan membatasi pengoperasian mesin pompa yang terdapat disetiap instalasi. Pompa produksi yang biasanya dioperasikan 4 (empat) buah dalam batasan normal hanya dioperasikan 2 (dua), akhirnya berdampak tidak keluarnya air diwilayah dalam jangkauan pelayanan perusahaan tersebut.
Begitu pula dalam hal kualitas air olahan, baik Lyonaise maupun Thames Water masih belum mengalami mutu dan penambahan tekanan (debit). Masalah kualitas dan kuantitas air olahan juga sering mengalami komplain dari para penggunanya karena sering keruh dan bau sehingga banyak masyarakat terpaksa harus membeli air lagi untuk diminum. Padahal Lyonaise dan Palyja sebelumnya telah menjanjikan tahun 2007 masyarakat DKI sudah bisa mengkonsumsi air yang bisa langsung diminum. Namun anehnya, pipa yang selama ini ditanam oleh Lyonaise dan Palyja adalah pipa PVC, bukan pipa jenis stainless/copper. Jika program air langsung minum itu benar-benar dilaksanakan, pipa-pipa PVC yang ditanam selama ini tidak bisa dipakai lagi, karena untuk menyalurkan air yang bisa langsung diminum hanya bisa menggunakan pipa jenis stainless, dan tentu saja ini merupakan pemborosan.

Privatisasi Air Minum dan Intervensi Bank Dunia
Privatisasi air minum oleh Pemprov DKI sebenarnya merupakan bentuk pengingkaran dari Konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) karena telah ditegaskan didalamnya bahwa air adalah bagian dari sumber daya alam yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak sehingga harus dikuasai negara dan ditiadakan dari persaingan pasar agar fungsi sosial dan pelayanan umumnya tetap terjaga. Oleh karena itu, privatisasi yang dilakukan oleh Pemprov DKI seharusnya dihentikan.
Namun sayang, ditengah penolakan-penolakan privatisasi air minum DKI, pada bulan September 2004 lalu, Pemerintah justru mendukungnya dengan mengeluarkan Undang-Undang Sumber Daya Air yang telah mensejajarkan posisi “swasta” dengan Koperasi, BUMN dan BUMD dalam sistem penyediaan air minum.
Keluarnya Undang-Undang Sumber Daya air ini ternyata atas dasar “permintaan” Bank Dunia guna pencarian utang sebesar US$ 150 juta bagi kas APBN 2004. Dalam perjanjian utang pemerintah dan Bank Dunia, undang-undang ini adalah salah satu syarat pencairan utang sebesar US$ 300 juta untuk program restrukturisasi air “WATSAL”. Sebesar US$ 150 juta telah dicairkan dalam 2 tahap dengan persyaratan sejumlah PP dan Kepress untuk meliberalisasi sektor air. Sisanya sebesar US$ 150 juta dicairkan pada saat RUU Sumber Daya Air diundangkan.
Adanya Undang-Undang Sumber Daya Air ini tentu saja akan membentuk pola, sistem konfigurasi dan kompetisi baru dalam penyediaan air minum, baik dalam hal investasi, sistem, maupun konsekuensi ekonomi-sosial-politik. Itulah mengapa banyak LSM resisten terhadap UU sumber daya air ini.
Sebagaimana yang diungkap Gatot Irianto (Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi), dampak negatif dari privatisasi dalam jangka panjang akan menyebakan dependensi, eksploitasi tariff dan keterpurukan ekonomi. Dan ini telah terjadi pada negara Perancis. Dengan spirit peningkatan kualitas air minum dan layanannya, Uni Eropa telah menerapkan standar kualitas air minum yang lebih tinggi daripada yang disyaratkan World Health Organizaton (WHO). Akibatnya, sebagian besar peralatan water treatment harus diganti, sehingga memerlukan investasi yang amat besar.
Dampaknya, hampir seluruh Munisipal kota-kota besar di Perancis tidak mampu melakukan investasi peralatan secara swadana sehingga terjadi privatisasi yang ditandai masuknya swasta raksasa air sebagai investornya. Pada tahap inilah mulai terjadi dependensi dan eksploitasi tariff dari para investor tersebut. Dan potret di Perancis ini dapat disaksikan pada tubuh PDAM Jaya yang bekerjasama dengan Lyonaise dan Thames Water.
Terjadinya dependensi ekonomi, teknologi dan kemampuan sumber daya manusia dalam privatisasi air minum DKI, telah mendorong terjadinya eksploitasi tarif yang terus meningkat dengan layanan amat marjinal dan perluasan jaringan distribusi yang minim serta sulit dikontrol. Janji awal investor yang menyatakan air kran PDAM DKI nanti dapat langsung diminum seperti di negara maju di Eropa, Australia, atau Jepang, hingga kini belum terbukti.
Dibandingkan dengan investor swasta lokal, raksasa air asing mempunyai posisi jauh lebih kuat dan strategis ditinjau dari sumber pendanaan, teknologi dan sumber daya manusia. Kontrol investor asing yang amat dominan dalam penentuan harga air daripada konsumen termasuk pemerintah telah menjadikan Indonesia kian terpuruk secara ekonomi, sosial, maupun politik.