Senin, 25 Juni 2007

”Benarkah PT.PLN Merugi?”

Yenny Sucipto

PLN sebagai salah satu cabang produksi yang menyangkut khalayak hidup orang banyak (listrik), jika konsisten dengan konstitusi seharusnya mutlak dikuasai negara. Dan awalnya memang demikian, PLN jauh sebelum menjadi PT (Persero) seperti saat ini, masih berbentuk Perusahaan Jawatan Negara (Perjan). Namun pada masa Orde Baru (1972) Perjan PLN kemudian diubah ke dalam Perusahaan Umum (Perum) dengan alasan peningkatan kualitas kerja dan pelayanan. Namun sejak tahun 1994, dengan alasan kerugian yang tak kunjung surut, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dengan merubah status perum menjadi Perseroan Negara (Persero). Dengan bentuk Persero itu, pemerintah telah menyulap PLN sebagai salah satu perusahaan Negara yang awalnya memiliki tanggung jawab pokok pelayanan umum menjadi korporasi yang lebih mengarah kepada profit oriented.
Namun langkah perubahan status perusahaan tersebut ternyata tetap tidak mampu menyelamatkan PLN dari kerugian, sehingga masih saja membebani keuangan Negara atas subsidi yang harus dikeluarkan setiap tahun anggaran. Memang pada dasarnya PLN tidak mempunyai hak menetapkan harga jual listrik kecuali hanya Pemerintah, sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 15/1985 pasal 16. Disamping itu PLN juga masih harus memikul beban PSO (Public Service Obligation). Oleh karena itu, para manajemen PLN mempunyai alasan legal, “mengapa perseroan PLN terus mengalami kerugian dan menjadikan alasan tersebut untuk selalu meminta subsidi pada setiap anggaran baru dalam APBN kepada pemerintah”.
Alasan lain lagi dari PLN dengan meminta subsidi kepada pemerintah antara lain: untuk biaya produksi yang terus meningkat besar/mahal; pembelian listrik swasta yang sangat memberatkan operasional keuangan PLN dan juga kebutuhan untuk investasi guna melayani permintaan listrik yang tumbuh sebesar rata-rata 10% per tahun. Jika PLN menggunakan bahan dalam bentuk minyak maka ongkos produksinya berkisar sekitar Rp 2.000/kwh, tetapi bila dibandingkan dengan penggunaan gas rata-rata ongkos produksinya sekitar Rp 1.000/kwh, sedangkan yang paling murah adalah penggunaan dengan batu bara yaitu hanya sekitar Rp 490/kwh. Dengan bentuk bahan yang dipakai oleh PLN untuk produksi yang dihasilkan maka juga akan mempengaruhi biaya produksi yang ada.
Sementara itu, mengenai perkembangan anggaran subsidi listrik dari 2001 s/d 2006, anggaran subsidi listrik 2004 Rp3,4 triliun mengalami penurunan sekitar 24 persen dari alokasinya pada tahun 2003 sebesar Rp4,5 triliun. Pada 2005, realisasi subsidi listrik telah mencapai Rp8,8 triliun, yang berarti mengalami peningkatan Rp. 5,4 triliun (24,0 persen) bila dibandingkan pagunya dalam APBN 2005 sebesar Rp8,8 triliun, atau naik Rp0,06 triliun (1,5 persen) dari pagunya yang ditetapkan dalam APBN-P 2005 sebesar Rp 12,5 triliun. Peningkatan alokasi anggaran subsidi listrik tersebut, terutama berkaitan dengan peningkatan biaya pokok produksi listrik oleh PLN, sebagai dampak kebijakan penyesuaian harga BBM dalam negeri sejak 1 Maret 2005, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS serta dua tahun terakhir tidak ada kenaikan tarif dasar listrik. Anggaran subsidi listrik pada RAPBN 2006 sebesar Rp 15 triliun yang berarti lebih tinggi 4,9 persen dari APBN-P 2005 atau turun 6,3 persen.
Pendapatan PT. PLN
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penerimaan PLN berdasarkan tarif pelanggan dari pelanggan industri saja kisarannya sudah mencapai 22,3 triliun rupiah untuk tahun 2004 dan 19,3 triliun rupiah tahun 2003. Dan penerimaan dari pelanggan rumah tangga sekitar 21,6 triliun rupiah pada tahun 2004 dan 18,6 triliun rupiah pada tahun 2003.
Sebagaimana kita ketahui, PLN selalu beralasan bahwa anggaran selalu mengalami defisit dan merugi. Untuk tahun 2005, defisit (kerugian) sebesar Rp 12,8 triliun. Dan untuk 2004 defisit Rp 1,4 triliun, belum ditambah pajak penambahan nilai serta pajak penghasilan yang jumlahnya 1,09 triliun sehingga total kerugiannya menjadi sebesar Rp 2,5 triliun. Kemudian tahun 2003 mengalami kerugian sebesar 6 triliun rupiah.
Mencermati defisit PLN yang begitu besar, tentu masyarakat tidak dapat menerima justifikasi-justifikasi klasik PLN selama ini yang selalu berputar pada tingginya biaya produksi, beban PSO dan rendahnya tarif listrik yang ditetapkan pemerintah. Urgen pula jika ditinjau dari kemungkinan-kemungkinan lain seperti ada tidaknya indikasi korupsi, mark-up, dan potensi pemborosan yang mengakibatkan kerugian negara.

Potensi Kehilangan Pendapatan PT. PLN
Berdasarkan hasil riset Seknas FITRA, ternyata diketahui bahwa banyak terdapat potensi kehilangan pendapatan yang jumlah keseluruhannya untuk tahun 2003 adalah sebesar 10,9 triliun, tahun 2004 sebesar 11,8 triliun rupiah dan pada tahun 2005 adalah sebesar 11,9 triliun rupiah. Dan sebenarnya potensi kehilangan pendapatan di tahun 2003 – 2005 itu seharusnya dapat dipakai untuk menutup jumlah kerugian di tahun tersebut pula.
Dapat disimpulkan bahwa pendapatan dan potensi kehilangan pendapatan PT. PLN antara lain sebagai berikut:
1. Untuk tahun 2005, jumlah kerugian yang di-claim PT. PLN sebenarnya dapat ditutup dengan jumlah potensi kehilangan pendapatan. Jika potensi kehilangan pendapatan tersebut dapat ditekan maka subsidi yang diperlukan PLN seharusnya tidak lebih dari 2 triliun (lihat tabel);
2. Tahun 2003 dan tahun 2004, dengan jumlah kerugian yang ditanggung sebenarnya dapat di tutup dengan jumlah potensi kehilangan pendapatan dan sama sekali tidak memerlukan subsidi (lihat tabel).