Senin, 16 Juli 2007

Kebijakan Penganggaran Partisipatif di Tengah Pelaksanaan Otonomi Daerah

Penulis
Yenny Sucipto

Partisipasi Masyarakat dalam Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia merupakan implementasi pemerintahan yang didasarkan pada asas desentralisasi dengan wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, dimana setiap daerah diberikan kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Dengan demikian otonomi daerah tidak hanya diartikan sebatas otonomi pemerintah daerah saja, tetapi juga otonomi bagi masyarakat di daerahnya.
Tujuan utama yang diharapkan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih efisien, transparan dan aspiratif dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menjalankan program pembangunannya sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan kemampuan daerahnya masing-masing. Dalam upaya menerjemahkan kondisi, kebutuhan, dan kemampuan daerah itulah peran serta masyarakat secara langsung dibutuhkan.
Di sinilah essensi kontrol masyarakat sebagai kunci transparansi penyelenggaraan pemerintahan menunjukkan urgensinya. Dengan transparansi, kebocoran maupun penyimpangan sebuah implementasi kebijakan dapat ditekan, yang dampaknya pada efisiensi dan efektivitas program atau kebijakan itu sendiri. Otonomi daerah membuka kunci partisipasi untuk menjadikan program pembangunan yang hendak dilakukan lebih realistis, tepat sasaran, aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan publik. Artinya, peluang terjadinya ketidaktepatan, bahkan kesia-siaan, pemborosan, sampai kebocoran, bisa diminimalisir seminimal mungkin.
Kunci dari keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tentu tergantung dari kebijakan anggaran daerah yang semuanya tertuang dalam APBD. Di dalamnya akan dapat dilihat sejauh mana komitmen Kepala Daerah dan DPRD dalam upaya memperjuangkan nasib rakyatnya. Penyusunan APBD sendiri secara substantif tidak dapat dilepaskan dari kaidah Akuntansi Sektor Publik yang bertumpu pada prinsip akuntabilitas publik. Pada level inilah peran aktif dan kontrol masyarakat selama proses penyusunan dan realisasi APBD mutlak dibutuhkan. Sehingga disisi lain, dapat dikatakan pula bahwa transparansi, partisipasi dan akuntabilitas APBD merupakan agenda terpenting dari desentralisasi yang menyemangati lahirnya otonomi daerah selama ini.

Hukum Positif Tentang Anggaran Partisipatif
Berbagai peraturan perundang-undangan telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan anggaran yang bersifat transparan, partisipatif dan akuntabel. Dalam UU No. 17/2004 tentang Keuangan Negara, disebutkan di Pasal 3 ayat (1) bahwa keuangan negara dikelola secara transparan. Dan dalam hal akuntabilitas, disebutkan di pasal 30 dan 31 yang menyatakan bahwa akuntabilitas keuangan negara harus berorientasi kepada hasil.
Untuk UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, dijelaskan di Pasal 23 ayat (2) bahwa keuangan daerah harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Kemudian dalam PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai salah satu peraturan pelaksana dari UU No.32/2004, di Pasal 4 ayat (1) bahkan lebih luas dan tegas lagi, yang mensyaratkan agar keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Dari aturan tersebut dapat diketahui lebih lanjut bahwa memang tidak ada pilihan bagi pemerintah untuk melibatkan peran serta masyarakat secara langsung dalam setiap proses penyusunan dan realisasi anggaran daerah jika memang menginginkan terwujudnya pengelolaan keuangan daerah yang berdasarkan pada nilai-nilai keadilan, kepatutan dan manfaat (kebutuhan riil) bagi masyarakat.
Tanpa partisipasi masyarakat, tentu sangat sulit untuk mengukur sejauh mana anggaran yang telah disusun bersifat adil dan benar-benar berpihak pada kebutuhan masyarakat, karena dominasi dan subyektifitas pemerintah daerah begitu tinggi dalam menerjemahkan kebutuhan masyarakat di daerahnya, padahal hanya masyarakatlah yang benar-benar mengetahui apa sebenarnya yang menjadi kebutuhannya. Tanpa partisipasi masyarakat sudah dapat dipastikan kesia-siaan, pemborosan dan kebocoran anggaran akan kembali terjadi karena tidak adanya kontrol kuat masyarakat. Untuk itulah kenapa kemudian PP No.20/2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah juga urgen untuk dijadikan acuan demi terwujudnya peran kontrol masyarakat dalam setiap kebijakan anggaran dan program pembangunan yang dijalankan di daerah. Sebab dalam PP No.20/2001 tersebut, masyarakat (baik perorangan maupun kelompok dan atau organisasi masyarakat) diberikan ruang (hak) yang begitu luas untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah baik langsung maupun tidak langsung.
Kembali kepada UU No.32/2004, di pasal 137 butir g juga disebutkan bahwa pembentukan Perda menganut asas keterbukaan. Keterbukaan tersebut mensyaratkan bahwa setiap penyusunan Perda harus dilakukan secara terbuka yang berarti akan menuntut peran serta masyarakat untuk ikut memberikan masukan demi terbentuknya Perda yang aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat, dan sebagaimana diketahui bahwa pengesahan APBD juga harus melalui Perda. Keterbukaan ini kemudian diperkuat di Pasal 139 ayat (1) yang menjami hak masyarakat untuk ikut memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
Lebih jauh dari UU No.32/2004 dan UU No.17/2004, pada dasarnya di dalam UU 25/2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional secara implisit juga mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat dalam setiap program pembangunan, yang salah satunya di bidang anggaran. Hal itu tersirat diberbagai pasal antara lain: Pasal 2 ayat (4) huruf d, pasal 5 ayat 3, pasal 6 ayat 2, pasal 7 ayat 2, Pasal 11 ayat (1), pasal 16 ayat (2) dan pasal 22.
Lebih spesifik lagi, Kepmendagri No.29/2002 Tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Serta Tata Cara Pengawasan, Penyusunan dan Perhitungan APBD juga menyatakan bahwa DPRD wajib mensosialisasikan RAPBD kepada masyarakat. Dipertegas lagi dengan Permendagri 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa sosialisasi perda RAPBD kepada masyarakat disampaikan oleh Sekda selaku Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah . Dengan adanya sosialisasi tersebut diharapkan masyarakat akan dapat mengetahui setiap kekurangan dan kelebihan program dan anggaran dalam RAPBD tersebut, sehingga nantinya dengan adanya penilaian dan masukan dari masyarakat, RAPBD tersebut akan lebih aspiratif dan berkeadilan. Dan dalam SE Bersama Mendagri dan Meneg BUMN No.1181/M/PPN/02/2006 tahun 2006 masyarakat juga diberikan ruang untuk berpartisipasi melalui forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan sampai tingkat kabupaten/kota. Di dalam musrenbang tersebut, setiap masyarakat dapat menyampaikan usulan dan program-programnya untuk ditampung dan nantinya akan disusun berdasarkan skala prioritas kebutuhan masyarakat.

Pelaksanaan Anggaran Partisipatif di Daerah
Dalam praktek, partisipasi masyarakat di bidang anggaran oleh pemerintah daerah diimplementasikan dalam beberapa forum yang berjenjang dan bersifat bottom up. Partisipasi masyarakat diawali melalui penjaringan aspirasi melalui media Pra Musyawarah Kelurahan di tingkatan RT/RW yang kemudian dilanjutkan ke tingkatan Musrenbang Desa/Kelurahan (Musrenbangdes/kel) dan Musrenbang Kecamatan. Dalam forum musyawarah tersebut masyarakat diberikan ruang untuk menyampaikan usulan-usulan program/kegiatan, sekaligus kritik, saran dan masukan terhadap kinerja pemerintah daerah. Hasil musyawarah di tiap tingkatan itu kemudian didokumentasikan ke dalam “Dokumen Perencanaan Hasil Musyawarah”. Hasil dari Musrenbangdes/kel dan Musrenbang Kecamatan tersebut akan disinergikan pada saat dilaksanakannya Murenbang tingkat Kabupaten/Kota yang melibatkan pejabat Kelurahan, Kecamatan, LSM, organisasi profesi dan perwakilan-perwakilan masyarakat. Di tingkatan Musrenbang Kabupaten/Kota itulah nantinya setiap usulan dan program yang diajukan masyarakat akan disinergikan dengan SKPD.
Pada level musyawarah dari RT/RW, Kelurahan, Kecamatan sampai Kabupaten/Kota peran dan kontrol masyarakat dalam proses perencanaan program dan anggaran masih kuat karena melibatkan masyarakat secara langsung. Namun pasca musyawarah tersebut, dari tahap penetapan Kebijakan Umum APBD (KUA), Penyusunan Plafon dan Prioritas APBD (PPAS), Penyusunan Standar Harga, Penyusunan Pedoman RAPBD, Penyusunan RKA-SKPD, Penyusunan RAPBD, sampai pada penetapan RAPBD, sudah tidak melibatkan masyarakat secara langsung, karena semua agenda pembahasan murni di tangan Kepala Daerah dan DPRD. Masyarakat hanya dapat mengontrol melalui media-media sosialisasi (media massa, dll). Dalam proses inilah biasanya usulan dan program-program yang diusulkan masyarakat seringkali terpangkas dan terpotong dengan berbagai alasan subyektif pemerintah daerah.
Namun, berbagai elemen masyarakat seperti NGO yang concern terhadap transparansi anggaran, tetap mencoba untuk membuka ruang-ruang intervensi dengan mengadakan berbagai program-program yang bersifat advokatif dan pemberdayaan bagi masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain misalnya: audensi yang bersifat kontinyu dan fokus anggaran yang melibatkan unsur pemerintah daerah; diskusi-diskusi publik yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah dan media massa; kampanye-kampanye anggaran untuk membangun opini publik; dan assesment.


Menyoal Otonomi Anggaran Kelurahan di DKI Jakarta (Catatan SekNas FITRA)
Sebagaimana diketahui, anggaran kelurahan adalah hal baru yang merupakan pendelegasian kewenangan dari tingkat kabupaten/kota kepada wilayah kelurahan. Kewenangan kelurahan tersebut meliputi kewenangan untuk merencanakan sendiri kebutuhan-kebutuhan di wilayahnya; kewenangan untuk mengelola sendiri keuangannya; dan kewenangan untuk menentukan alokasi penggunaan anggarannya. Sehingga kelurahan harus bertanggungjawab secara penuh terhadap keuangannya, tidak lagi menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota.
Menyikapi itu, SekNas FITRA pada tahun 2005 melakukan pemantauan di 50 kelurahan di wilayah DKI Jakarta, seiring dengan program penguatan anggaran kelurahan oleh Pemprov DKI. Dan berdasarkan hasil pemantauan SekNas FITRA, tingkat partisipasi masyarakat pada pra forum kelurahan ternyata masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan adanya persepsi yang masih salah (cenderung sempit) dari aparat Kelurahan yang memandang pelibatan masyarakat dalam penyampaian aspirasi cukup direpresentasikan oleh Dewan Kelurahan, Ketua RT dan RW. Sementara itu, representasi masyarakat atas dasar ketokohan (tokoh agama, tokoh adat, dll) serta wakil-wakil masyarakat dari unsur profesi (buruh, asongan, tukang becak, PKL, sopir, dll) masih cenderung ternegasikan dan dianggap bukan merupakan bagian dari representasi masyarakat.
Akibat terbatasnya peran serta masyarakat dan tidak representatifnya forum, membuat usulan-usulan masyarakat yang terakomodasi dalam anggaran kelurahan dan APBD sangat kecil dan tidak aspiratif. Lebih parah lagi, apatisme dan keterbatasan informasi yang dimiliki masyarakat dibidang anggaran, membuat kontrol masyarakat terhadap usulan-usulan mereka sangat lemah. Dari pengamatan SekNas FITRA terhadap APBD 2005 DKI, usulan-usulan masyarakat yang terakomodir di tingkat Kelurahan hampir 50% hilang ketika sampai di tingkat Kecamatan, bahkan di tingkat Rakorbang hilang sampai 80%. Usulan-usulan masyarakat seringkali masih dikalahkan oleh usulan-usulan sektor/dinas tanpa adanya rasionalisasi atas skala prioritas dan ketersediaan anggaran yang selama ini seringkali dijadikan alasan oleh Pemerintah Daerah.

Kesimpulan
Peluang keterlibatan masyarakat dalam penyusunan anggaran pada dasarnya sangat terbuka seiring dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Namun demikian, untuk membangun peran serta masyarakat agar lebih peduli dan ikut menyusun serta mengontrol pelaksanaan program dan anggaran memang bukan merupakan sebuah pekerjaan mudah jika melihat realitas pengetahuan masyarakat (khususnya masyarakat miskin) yang masih rendah karena terbatasnya akses terhadap pengetahuan dan informasi. Sehingga dalam banyak hal, pelaksanaan otonomi daerah di beberapa daerah masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, bahkan di satu sisi cenderung distorsif. Pemborosan dan kebocoran anggaran masih kerap terjadi. Berdasarkan data Kejaksaan Agung, sampai tahun 2004, anggota DPRD yang diperiksa atas keterlibatan korupsi anggaran yang merugikan keuangan daerah telah mencapai 269 orang.
Dari catatan SekNas FITRA di 20 daerah di Indonesia, bentuk penyimpangan/korupsi anggaran sudah terjadi sejak awal proses perencanaan anggaran. Pola yang terjadi pada sisi belanja, melakukan mark-up penetapan harga barang di atas harga pasar, barang yang menunjuk pada spesifikasi merk tertentu, dan pengalokasian proyek-proyek titipan dari kalangan yang dekat dengan kesekutif dan legislatif. Di sisi belanja, melakukan mark-down penetapan estimasi pendapatan di bawah potensi pendapatan. Bentuk korupsi dalam perencanaan anggaran berimplikasi pada realisasi anggaran, dimana terjadi proses tender tertutup, penunjukan langsung, dan proyek fiktif. Dalam tahap pertanggungjawaban, untuk menutupi korupsi pada saat implementasi anggaran dilakukan pembuatan laporan pertanggungjawaban fiktif.
Melihat masih banyaknya penyimpangan anggaran di daerah menunjukkan kontrol masyarakat kepada pemerintah dalam hal penyusunan dan pelaksanaan anggaran masih lemah. Sehingga sangat urgen untuk tetap melakukan upaya-upaya penguatan di tingkatan masyarakat demi terbangunnya mekanisme kontrol yang efektif dari masyarakat sehingga setiap anggaran yang disusun akan lebih aspiratif dan pro rakyat miskin. Dengan demikian pula, pemborosan dan penyimpangan anggaran oleh eksekutif dan legislatif seperti yang sering terjadi saat ini dapat diminimalisir.
Terhentinya partisipasi langsung masyarakat di tingkatan Musrenbang, membuat posisi masyarakat dalam penentuan kebijakan program dan anggaran di daerah masih lemah dan terbatas. Oleh karena itu masih diperlukan sebuah bentuk kerjasama yang kuat antara elemen masyarakat, NGO dan media massa untuk terus menciptakan ruang-ruang publik pasca musrenbang guna mengawal usulan-usulan masyarakat agar tidak lagi terpatahkan ditingkatan AKU sampai penetapan RAPBD.