Sabtu, 06 Desember 2008

catatan APBN 2008

Pendapatan negara dalam APBN 2008 sebesar Rp 761,4 triliun dan belanja sebesar Rp 836,4 triliun. Dari perbandingan pendapatan dan belanja, sudah dapat diketahui terjadi defisit sebesar Rp 75 triliun. Angka defisit ini cukup fantastis karena angkanya jauh lebih besar dari defisit 2007 yang hanya sebesar Rp 40,5 triliun. Penyebab tingginya defisit tersebut masih memuat cerita lama yaitu beban pelunasan utang dalam negeri dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang telah jatuh tempo hingga mencapai 106,6 triliun dan membiayai infrastruktur sebesar Rp 2,0 triliun.
Seperti yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya, untuk menutupi defisit lagi-lagi Pemerintah mengatasinya ala IMF yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Pembiayaan defisit itu antara lain dengan privatisasi BUMN sebesar Rp 1,5 triliun, penjualan aset program restrukturisasi perbankan Rp 300 milyar, penyertaan modal negara BUMN sebesar Rp 1,5 triliun, dan terbesar adalah penerbitan Surat Berharga Negara sebesar Rp 91,6 triliun serta penarikan utang luar negeri (yang baru) sebesar Rp 43 triliun.
Perlu diketahui pula bahwa di dalam APBN 2008 untuk pembayaran utang dan cicilan bunga utang dalam dan luar negeri alokasi dananya sangat besar, totalnya sampai mencapai Rp 151,2 triliun atau hampir mencapai 18,1% dari total anggaran. Angka tersebut jauh melampaui alokasi anggaran subsidi yang hanya sebesar Rp 92,6 (11,1 % dari total anggaran). Bahkan lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan yang hanya sebesar Rp 55,9 triliun (6,9% dari total anggaran), padahal banyak pihak berharap agar anggaran 20% untuk pendidikan dapat terpenuhi. Berdasarkan hitungan, jika ketentuan 20% anggaran pendidikan terpenuhi maka dana yang harus disediakan paling tidak sebesar Rp 167,3 triliun. Namun setelah mencermati dokumen APBN 2008, prosentase anggaran pendidikan justru semakin menurun menjadi 6,9% dari total anggaran dengan angka nominal Rp 55,9 triliun (berdasarkan belanja fungsi) jika dicermati pada anggaran anggaran Depdiknas adalah sebesar Rp 48,3 triliun. (yeeny sucipto)

Catatan 2008: "POTRET ANGGARAN KESEHATAN"

Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan khususnya gizi buruk.Tercatat 30% dari 110 juta atau sekitar 33 juta balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Dari data itu, seharusnya kebijakan anggaran di sektor kesehatan harus segera ditargetkan 15% dari total anggaran atau Rp 125,5 triliun dalam APBN/P 2008, namun sayang di tahun 2008 anggaran kesehatan masih tidak beranjak dari angka 2,5% atau sebesar Rp 18,8 triliun.
Dari hasil penelusuran anggaran di Departemen Kesehatan untuk program pelayanan masyarakat golongan miskin hanya dialokasikan sebesar Rp 5,1 triliun ( 27,1%) padahal menurut hasil laporan susenas BPS tahu 2008 jumlah penduduk miskin sebanyak 34,96 juta jiwa (15,42%) dengan asumsi besar pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin adalah Rp 145,-/org/tahun. Dan parahnya untuk program perbaikan gizi masyarakat khususnya penanganan masalah kurang dan gizi buruk pada ibu hamil dan menyusui, bayi dan anak balita hanya dialokasikan sebesar Rp 600 milyar (3,2% dari total anggaran kesehatan), Asumsinya dengan alokasi sebesar Rp 600 milyar untuk 33 juta balita penderita kasus gizi buruk, hanya dialokasikan Rp 18.182,-/kasus balita/tahun.
Temuan lain dari hasil penelusuran, ternyata dari total anggaran kesehatan sebesar Rp 18,8 triliun ada rupiah bukan murni alias dana asing yang mengucur di Departemen Kesehatan sebesar Rp 1,5 triliun yang tersebar di beberapa program kegiatan baik dalam bentuk hibah/bantuan maupun dalam bentuk utang, antara lain:
1. Program kegiatan peningkatan kesehatan masyarakat - Ditjen Bina Kesehatan Masyarat (DHS – I ADB dan DHS – II ADB) yang masing-masing sebesar Rp 211,2 milyar dan Rp 10,8 milyar
2. Program kegiatan peningkatan kesehatan masyarakat – Ditjend Bina Kesehatan Masyarakat (SCHS – Uni Eropa) sebesar Rp 3,4 milyar
3. Program kegiatan penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar masyarakat miskin – Ditjen Pengendalian Penyakt dan Penyehatan Lingkungan (WSLIC II – Australia)
4. Program kegiatan kebijakan manajemen sumber daya kesehatan – Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan (PHP – III World Bank)
Tujuan umujm proyek DHS untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan dan KB utamanya bagi penduduk miskin. Bantuan kesehatan dari Uni Eropa adalah sebesar Rp 450 milyar dan diberikan secara bertahap sejak tahun 2004, bantuan tersebut diberikan kepada tiga propinsi yang masyarakatnya dianggap miskin yaitu Jambi, Papua dan Sumatera Selatan.
Sedangkan kerjasama Australia dalam bentuk penyediaan air bersih dan sanitasi masyarakat dengan target sasaran adalah berpenghasilan rendah. WSLIC II merupakan proyek bertahap selama 6 tahun dengan nilai sebesar Rp US$ 106 juta yang dibiayai melalui bantuan hibah Australia, IDA. Dan sumbangan Australia sebesar Rp US$ 6,5 juta akan dikelola oleh Bank Dunia melalui kesepakatan pendanaan bersama, Departemen Kesehatan sepenuhnya bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek tersebut.

Catatan 2008: "UTANG MENJADI BEBAN RAKYAT"

Dalam APBN 2008, pemerintah telah menganggarkan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 151,2 triliun dengan rincian pembayaran cicilan pokok sebesar Rp 59,7 triliun dan pembayaran bunga utang sebesar Rp 91,5 triliun. Beban tersebut setara dengan 3,2 kali dari pengeluaran untuk pendidikan, 8,1 kali pengeluaran pemerintah pusat untuk kesehatan. Pembayaran utang dan bunga utang yang sampai mencapai 20 - 40% dari total anggaran belanja negara dalam setiap tahunnya, dikhawatirkan akan mengancam stabilitas perekonomian nasional. Sebab anggaran untuk pembayaran utang dan bunga utang tersebut tidak hanya memberikan tekanan pada devisit, tetapi juga pada cadangan devisa. Ironisnya, walaupun telah menjadi ancaman nyata bagi perekonomian nasional, namun sampai saat ini belum ada upaya-upaya yang signifikan dari pemerintah untuk mengurangi beban utang tersebut. Memang dalam kurun waktu tiga tahun terakhir rasio utang Indonesia telah mengalami penurunan yang sebelumnya mendekati 100 persen Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi sekitar 60 persen. Namun tetap harus disadari bahwa hal tersebut bukan berarti stok utang Indonesia berkurang, sebab Indonesia belum pernah meminta keringanan berupa pengurangan atau penghapusan utang kepada negara-negara donor.
Pemerintah sepertinjya enggan dalam menyelesaikan persoalan beban utang yang dihadapi, karena sama sekali tidak mengurangi utang, walaupun memang di satu sisi harus tetap diapresiasi karena memiliki nilai positif dalam konteks pemberantasan korupsi. Namun yang menjadi masalah pokok adalah bagaimana caranya agar Pemerintah dapat menghentikan kebiasaannya berutang agar tidak semakin menambah beban APBN. Namun sepertinya Pemerintah belum memiliki kesadaran akan hal ini. Di tahun 2008 ini Pemerintah sepertinya tetap akan terus berhutang, dalam bentuk proyek sebesar Rp 23,9 trilkiun dan pinjaman program sebesar Rp 19,1 triliun.
Gagasan lain yang cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam dalam upaya mengurangi beban utang negara adalah perlu ditetapkannya regulasi yang khusus mengatur mengenai pembatasan utang negara. Regulasi tersebut menyangkut batasan-batasan atau larangan-larangan utang berikut transparasi dan syarat-syarat program dalam pengelolaan dana utangan. Dengan regulasi tersebut diharapkan akan ada kontrol yang kuat terhadap pemerintah ketika mencari utangan baru ke negara-negara donor. Selama ini belum ada aturan yang khusus mengatur tentang hal tersebut. Konstitusi kita (UUD 1945) hanya menyebutkan secara umum tentang beberapa hal penting yang menyangkut perjanjian internasional yang harus mendapatkan persetujuan DPR. Namun tentu ketentuan tersebut belum cukup karena masih harus diderivasikan ke dalam aturan yang lebih rendah (undang-undang). Oleh karena itulah, undang-undang tentang pembatasan utang negara tetap dibutuhkan guna mengontrol kebijakan utang pemerintah. Jika pemerintah tidak ada kemauan menyusun RUU tersebut, DPR dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu sesuai dengan fungsi-fungsi legislasinya.(yenny sucipto)

Jumat, 23 Mei 2008

Kenaikan BBM : Liberalisasi dan Eksploitasi

Yenny Sucipto
Peneliti Seknas FITRA

Alasan yang selalu diulang-ulang Pemerintah dalam menaikkan tarif BBM adalah untuk mengurangi beban keuangan Negara. Kenaikan terakhir pada bulan Oktober 2005 lalu, Yusuf Kalla dengan enteng menyatakan bahwa kenaikan harga BBM memang tidak terhindarkan karena pemerintah tidak mungkin membebani keuangan negara dengan memberikan subsidi sebesar 26 persen dari total APBN untuk satu komoditas saja (Kompas, 21 Oktober 2005). Dan kini terulang kembali dengan tegasnya Presiden SBY menyatakan bahwa rencana untuk menaikkan harga BBM adalah cara terakhir keluar dari permasalahan beban keuangan negara.
Penyebabnya adalah melonjaknya harga minyak mentah di pasaran internasional yang sempat menembus US$ 120/barrel sehingga membuat subsidi BBM membengkak sampai mencapai 130 triliun rupiah dengan asumsi patokan harga minyak US$ 95 per barrel di APBN-P 2008.
Memang di satu sisi pendapat SBY – JK tersebut dapat dibenarkan, karena sampai saat ini Pemerintah masih mengimpor sekitar 406 ribu barrel minyak mentah dan 342 ribu barrel produk BBM setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri yang mencapai 1,15 juta barrel per hari (Suara Merdeka, (10 Juni 2005). Namun jangan lupa, kenaikan harga minyak mentah di pasaran internasional juga meningkatkan pendapatan ekspor Indonesia di sektor migas. Sehingga jika mau jujur, membengkaknya subsidi tersebut sebenarnya masih dapat diimbangi oleh pendapatan ekspor migas yang juga berlipat.
Berdasarkan dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Negara, pendapatan untuk ekspor migas Indonesia tahun 2008 ini mencapai Rp 182 triliun (naik 70% dibanding tahun 2007 lalu yang hanya mencapai Rp 107 triliun). Sementara subsidi BBM yang dihitung dengan harga minyak dunia sekarang hanya sebesar Rp 116 triliun. Artinya masih ada surplus sebesar Rp 66 triliun dari ekspor migas.
Jika bukan karena beban keuangan negara akibat lonjakan harga minyak mentah di pasaran internasional, lalu apa sebenarnya yang membuat Pemerintah tetap ngotot menaikkan harga BBM?
Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum jika kenaikan harga BBM tersebut hanyalah kedok Pemerintah guna melancarkan agenda liberalisasinya di sektor hilir migas. Caranya pun klasik, menyesuaikan harga BBM Indonesia dengan harga di pasaran Internasional. Dengan tarif internasional, maka otomatis perusahaan-perusahaan minyak internasional seperti CALTEX, SHELL, PETRO CHINA dapat leluasa masuk dan bersaing dengan pertamina di area hilir.
Agenda liberalisasi migas Pemerintah itu telah dimulai sejak dirombaknya aturan hukum perminyakan di Indonesia di awal tahun 2000 lalu. Liberalisasi itu akhirnya mulai terlihat sejak ditetapkannya Pasal 28 Ayat (2) dan (3) UU No.22/2001 tentang Migas yang menyatakan bahwa: ”Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Artinya, harga minyak dalam negeri sepenuhnya diserahkan kepada kompetisi pasar. Untunglah, pasal ini telah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan dikabulkan karena dinilai telah bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, Pemerintah dalam menetapkan harga BBM tidak lagi berdasar kepada pasar tetapi murni kepada kondisi dan kemampuan ekonomi rakyat.
Namun sayang, Pemerintah sepertinya tidak menggubris Putusan MK yang telah membatalkan Pasal tersebut, bahkan kenaikan harga BBM Oktober 2005 lalu yang ditetapkan melalui Perpres No. 55/2005, salah satu konsiderannya tetap mengacu pada UU No.22/2001 yang salah satu pasalnya telah dijudicial review oleh MK. Kenaikan harga BBM oleh Pemerintah tetap didasarkan pada harga pasar internasional, tanpa lagi mempedulikan tingkat perekonomian rakyat. Bahkan kenaikan yang diputuskan pemerintah pun tidak tanggung-tanggung sampai mencapai kisaran 100-110% kenaikan.
Kenaikan tahun lalu saja telah memberikan pukulan telak terhadap perekonomian masyarakat terutama kelas bawah. Dari data berbagai sumber, rata-rata konsumsi minyak tanah dalam satu rumah tangga masyarakat kelas bawah mencapai 2 liter/hari. Dengan harga yang baru, maka biaya yang harus dikeluarkan rumah tangga miskin untuk minyak tanah setiap bulannya mencapai Rp 144.000 (30 hari x harga minyak tanah perliter yang mencapai Rp. 4.800). Padahal menurut data BPS, untuk 15,5 juta rumah tangga miskin di Indonesia pendapatannya perbulan hanya mencapai Rp 150 ribu untuk perkotaan dan Rp 110 ribu untuk pedesaan. Dapat dibayangkan, untuk memenuhi kebutuhan minyak tanah saja sudah tidak tercukupi, belum lagi ditambah kebutuhan akan beras dan kebutuhan pokok lainnya, biaya pendidikan, kesehatan, listrik, transportasi dan lain-lain yang sudah pasti ikut naik. Sudah pasti kebijakan Pemerintah ini akan menjadi ”pembunuhan massal” terhadap 68 juta rakyat miskin Indonesia.
***
Banyak pakar ekonomi meyakini jika kebijakan pemerintah ini akan memberikan ekses sangat negatif dengan prediksi terburuk lahirnya social unrest di tengah masyarakat. Namun hal ini sepertinya telah diantisipasi oleh Pemerintah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) 100 ribu/bulan kepada rakyat miskin. Sebuah kebijakan karitatif yang tidak menyelesaikan persoalan namun efektif dalam meredam gejolak masyarakat. Kebijakan yang bersifat pengalihan isu sekaligus pengalihan konflik dari vertikal (masyarakat versus pemerintah) ke horisontal (masyarakat versus masyarakat) yang semakin menjerumuskan rakyat ke dalam konflik sosial.
Sebenarnya Pemerintah mengetahui jika pemberian BLT tersebut tidak akan pernah berjalan efektif di tengah birokrasi yang masih bobrok, corrupt dan kolutif. Sehingga juga tidak mengherankan jika pada akhirnya data BPS tentang masyarakat miskin sangat tidak valid karena telah dimanipulasi sebelumnya oleh birokrasi di tingkatan bawah yang kolutif dan nepotis (RT, RW sampai tingkat Kepala Desa/Lurah). Juga tidak heran pula jika di media terdapat banyak kasus pemotongan-pemotongan BLT oleh Pengurus RT dan Kepala Desa yang memang masih didominasi oleh birokrat yang corrupt.
Pemerintah pun sebenarnya juga mengetahui jika BLT tidak akan pernah bisa menutupi biaya akibat dampak kenaikan BBM yang memiliki efek domino dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok akibat naiknya biaya produksi barang dan transportasi.
Tapi toh, ternyata pemerintah tetap meneruskan program BLT tersebut karena memang hanya itulah satu-satunya kebijakan yang dapat meredam penolakan rakyat terhadap kenaikan BBM. Harus jujur diakui, bahwa kebijakan ini tidak lebih hanya sebagai ”siasat licik” pemerintah yang bersifat membodohi.
***
Patut dicurigai, jika kenaikan harga BBM ini tidak lagi semata-mata didasarkan pada pengurangan beban subsidi ataupun liberalisasi, tetapi telah mengarah kepada bentuk-bentuk eksploitasi dari pemerintah terhadap rakyatnya. Jika diturunkannya pun harga minyak, satu sisi beban subsidi impor minyak terkurangi, dan di satu sisi lain pemerintah tetap mendapatkan keuntungan yang sangat besar dengan tetap mempertahankan kenaikan harga BBM dalam negeri.
Realitas ini semakin menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap nasib perekonomian rakyatnya. Sudah seharusnya rakyat menuntut dan menggugat. Karena kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab pemerintah sebagaimana amanat konstitusi. Pengabaian kesejahteraan rakyat sama artinya pengkhianatan terhadap konstitusi. Kebijakan ini tidak tidak bisa diteruskan apalagi dengan kondisi pemerintah harus mengahadapi tekanan fiskal yang disebabkan oleh tekanan moneter dalam memenuhi kebutuhan BBM ditengah kenaikan harga minyak minyak dunia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri yang semakin tinggi.
Sebuah kebijakan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan konstitusi kita, karena konstitusi telah mengamanatkan bahwa minyak adalah bagian dari kekayaan alam yang menyangkut khalayak hidup orang banyak, yang harus dikuasai negara agar dikelola dan keuntungannya untuk kemakmuran bersama. Tetapi sayang, minyak dibiarkan dikelola perusahaan-perusahaan privat. Pun privatisasi di sektor lain, juga masih tetap dijalankan.
Kebijakan fiskal juga harus memberikan alokasi belanja yang memadai untuk mendukung kemajuan sektor energi nasional. Kebijakan tersebut antara lain adalah mengamankan kebijakan subsidi BBM sembari mengusahakan membengkaknya defisit dengan penghapusan atau pembatasan pembayaran utang dalam APBN dan pemangkasan belanja birokrasi yang rata-rata di setiap kementerian/lembaga menghabiskan 40 – 60% dari total anggaran negara.

Minggu, 27 April 2008

Mewujudkan Hak Perempuan Atas Anggaran

Dari laporan United Nations Development Programme (UNDP) peringkat Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2004 berada di peringkat 111 dari 175 negara. Peringkat ini jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga seperti Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (58), Thailand (76), bahkan Filipina (83).

Penurunan ini jelas mengkhawatirkan, sebab HDI merupakan parameter keberhasilan di bidang pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Rendahnya HDI menunjukkan pembangunan kualitas SDM khususnya rakyat miskin di Indonesia masih terabaikan. Dan memang faktanya, sejak APBN 2001 sampai saat ini anggaran pendidikan masih berputar pada angka 6 sampai 9 % dari total APBN (diluar DAU dan DAK). Angka ini jauh tertinggal dari Malaysia yang mencapai 25%, atau Thailand yang telah mencapai 30%. Di bidang kesehatan pun kita tidak dapat berharap banyak, APBN 2007 hanya mengalokasikan 2% dari total anggaran, padahal kasus busung lapar dan gizi buruk menunjukkan betapa buruknya kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.

Begitu pun fakta di daerah, di 17 Kabupaten/Kota hasil penelitian Seknas FITRA, alokasi anggaran bidang pendidikan dan kesehatan masih berkisar 3 sampai 7% dari total APBD (lebih rendah dari APBN), bahkan di beberapa daerah masih berada di bawah 3%.

Kota Palu misalnya, anggarannya sebagian besar masih dihabiskan di bidang PU Kimpraswil (43,62 %), sementara di bidang pendidikan hanya sebesar 5,89%, padahal RENSTRA Kota Palu telah menetapkan angka minimal 20% dari total APBD. Bahkan untuk APBD 2005, anggaran pendidikan semakin turun ke angka 5,05%. Padahal realitas pendidikan masyarakat Palu masih rendah, terutama kaum perempuan. Dari data yang tercatat, jumlah perempuan yang tidak sekolah masih mencapai 5.172 jiwa (4,18 %), lebih besar daripada laki-laki yang hanya sebesar 1.116 jiwa (3,61%). Sedangkan kaum perempuan yang tamat SLTA/MA sebesar 38.549 jiwa, jauh lebih kecil daripada laki-laki yang telah mencapai 54.928 jiwa.

Di bidang kesehatan, APBD Palu juga hanya mengalokasikan 1,72% dari total belanja. Padahal masalah kesehatan masih menjadi masalah utama Pemkot Palu. Dari laporan tahunan kesehatan keluarga pada Dinkes Kota Palu, angka kematian bayi tahun 2003 masih berjumlah 61 bayi. Menurut laporan Puskesmas, kematian ibu hamil, ibu melahirkan dan ibu nifas di Kota Palu selama 2002 berjumlah 8 orang dengan penyebab kematian terbesar adalah buruknya kualitas kesehatan seperti jantung dan TBC yang mencapai 60%.

Di Kabupaten Polmas, alokasi anggaran untuk kesehatan hanya 5,4% dari total belanja. Itupun sebagian besar dihabiskan untuk kebutuhan aparatur dan birokrasi seperti gaji dan tunjangan pegawai yang mencapai 77%, barulah sisanya (23%) yang dikucurkan langsung untuk kesehatan masyarakat.

Di Kabupaten Majene, alokasi anggaran kesehatan lebih rendah lagi yaitu 0,02% dari total pendapatan daerah, bahkan untuk rumah sakit alokasi anggarannya hanya 0,1% dari total pendapatan daerah, padahal masalah kesehatan masyarakat Majene juga sangat memprihatinkan. Dari data BPS angka kematian bayi per 1000 penduduk masih di atas 50%.

Minimnya anggaran pendidikan dan kesehatan di level nasional dan daerah sebenarnya adalah sebuah ironi jika melihat tingginya jumlah masyarakat miskin Indonesia yang saat ini telah mencapai 120 juta (data World Bank). Yang tidak boleh dilupakan, dari angka itu hampir 65% diantaranya adalah kelompok perempuan dan anak.

Dalam konstruksi budaya patriarkhi yang masih kental saat ini, kelompok perempuan masuk ke dalam kelompok termiskin dari masyarakat miskin. Selain termiskinkan oleh kebijakan, mereka juga termiskinkan oleh stereotip dan kultur yang masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki sehingga termarjinalkan dari segala akses sumber daya.

Namun pemerintah belum peka dengan masalah ini. Kebijakan yang berjalan terbukti masih jauh dari kepekaan jender, sehingga melahirkan ketidakadilan bagi perempuan. Dampak dari ketimpangan jender dapat dilihat dari data BPS tahun 2000, dimana perbedaan kemampuan membaca menulis antara laki-laki dan perempuan masih tinggi berbanding 56,9% : 88,1%. Ketimpangan ini secara tidak langsung telah memberikan konstribusi terhadap timpangnya perbandingan laki-laki perempuan yang bekerja pada sektor informal dengan perbandingan 29,6% : 39,2%.

Sebenarnya, kebijakan pembangunan responsif jender sudah tercantum sejak GBHN 1999 dan UU No.25/2000 yang eksplisit menyatakan bahwa semua bidang pembangunan harus memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender. Dalam Inpres No.9/2000 pun juga telah mengatur khusus tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program pembangunan di semua tingkatan pemerintahan.

Namun masalahnya, peraturan-peraturan tersebut ternyata tidak efektif. Baik pusat maupun daerah program dan anggarannya masih jauh dari keadilan jender. Bahkan dalam proses penganggaran pun sama sekali tidak menggambarkan keadilan gender didalamnya. Banyak daerah dalam praktik perencanaan/penganggaran masih menggunakan pola dan aturan lama yang bersifat top down tanpa melibatkan peran serta masyarakat terutama kelompok perempuan. Sehingga penyusunan anggaran masih berdasar government need assement bukan people need assement.

Program atau kebijakan pembangunan peka jender seharusnya diprioritaskan pada bidang-bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi, mengingat bidang ini merupakan bidang yang paling dasar dan secara signifikan berpengaruh pada tercapainya kesetaraan dan keadilan gender. Ketiga bidang prioritas ini juga merupakan indikator dari Gender Development Index (GDI).

Kunci utama dalam mewujudkan anggaran berkeadilan jender pada dasarnya terletak pada peran aktif kaum perempuan dalam setiap penyusunan program dan anggaran secara langsung, karena memang masyarakatlah yang benar-benar mengetahui kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Ini berarti tidak adanya anggaran yang terpisah antara laki-laki dan perempuan dengan mengupayakan pengarusutamaan jender dalam proses dan penentuan kebijakan anggaran yang akan diambil. Disamping itu juga perlu adanya ruang akses untuk berpartisipasi dalam proses penganggaran untuk perempuan sehingga anggaran yang dialokasikan mempunyai manfaat/dampak bagi perempuan itu sendiri agar tidak terjadi ketimpangan jender dalam program pembangunan.(Yenny Sucipto)

Minggu, 20 April 2008

PEMEKARAN DAERAH Vs BEBAN KEUANGAN NEGARA

Yenny Sucipto

Pemekaran daerah ternyata memberikan dampak pembengkakan terhadap DAU. Berdasarkan hasil analisis terhadap penerimaan DAU dari 114 daerah pemekaran (DOB) potensi pembebanan terhadap keuangan negara akibat pembengkakan DAU di tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2008 totalnya sebesar Rp 3,56 triliun. Jika menggunakan selisih prosentase pembengkakan DAU terhadap 114 DOB, dari tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2008 totalnya sebesar 4,66%. Jika prosentase tersebut dinilai berdasarkan nominal DAU 2008 maka potensi beban keuangan sebesar Rp 8,36 triliun.
Kenaikan alokasi DAK dalam APBN sebagian besar karena dipengaruhi oleh pertambahan jumlah DOB baru pertahunnya. Kenaikan terbesar khususnya terjadi pada tahun 2004 karena sampai mencapai 40 DOB. Jika di tahun 2003 jumlah kab/kota penerima DAK baru sejumlah 342, di tahun 2008 langsung naik menjadi 451 kab/kota karena lahirnya DOB baru sebanyak 118 DOB. Beban keuangan Negara yang harus ditanggung berdasarkan prosentase DAK yang diserap DOB dari tahun 2003 s/d 2008 sebesar Rp 13 triliun.
Sebagian besar DOB hasil pemekaran kondisi keuangannya memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pemerintah pusat. Hal ini terlihat dari sektor penerimaan yang didominasi dari DAU dan DAK yang rata-rata berada di atas 70% dari total penerimaan. Penerimaan terkecil justru dari sumber yang seharusnya merupakan potensi daerah murni yaitu PAD dan DBH. Rata-rata penerimaan dari sektor PAD hanya sebesar 2 – 5% dari total penerimaan APBD. Bahkan terdapat beberapa DOB yang PAD-nya di bawah 1%. Sementara DBH rata-rata di bawah 10 % dari total penerimaan. Ketergantungan penerimaan daerah dari sektor DAU dan DAK pada akhirnya berimbas negatif di sektor belanja. Dengan miskinnya keuangan daerah, akhirnya anggaran untuk belanja pelayanan publik harus dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan belanja aparatur terutama untuk gaji PNS, tunjangan dan perjalanan dinas pejabat daerah. Berdasarkan hasil analisis, rata-rata prosentase belanja pegawai (gaji, tunjangan, honorarium dan perjalanan dinas) setiap DOB berada antara 50 s/d 70% dari total belanja.
Kondisi keuangan daerah induk pasca pemekaran selalu berkurang sekitar 30% dari total penerimaan. Namun jika penerimaan daerah induk dan DOB digabungkan peningkatannya cukup tinggi. Penyebab peningkatan tersebut disebabkan adanya peningkatan dari penerimaan DAU yang cukup tinggi dan diikuti oleh peningkatan DAK. Peningkatan DAU tersebut adalah gambaran terhadap kondisi keuangan terutama daerah pemekaran yang memiliki celah fiskal tinggi karena antara kebutuhan fiskal yang besar (rencana program pembangunan) yang begitu tinggi tidak sebanding dengan kapasitas fiskalnya (potensi daerah) yang cenderung rendah, belum lagi ditambah dengan kebutuhan PNS baru yang otomatis membutuhkan alokasi dasar tambahan dari DAU yang mau tidak mau harus dipenuhi oleh Pemerintah pusat. Kenaikan di sektor DAK juga dapat mencerminkan adanya kesadaran dari pemerintah terhadap kondisi kedua daerah pasca pemekaran yang membutuhkan dukungan fiskal ekstra untuk mempercepat pembangunan di kedua daerah. Pengurangan jumlah penerimaan kedua daerah (pasca pemekaran) ternyata berdampak pada penurunan anggaran di sektor belanja publik terutama pendidikan dan kesehatan.(Diambil dari hasil penelitian yenny sucipto didukung oleh Prakarsa)