Minggu, 27 April 2008

Mewujudkan Hak Perempuan Atas Anggaran

Dari laporan United Nations Development Programme (UNDP) peringkat Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2004 berada di peringkat 111 dari 175 negara. Peringkat ini jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga seperti Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (58), Thailand (76), bahkan Filipina (83).

Penurunan ini jelas mengkhawatirkan, sebab HDI merupakan parameter keberhasilan di bidang pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Rendahnya HDI menunjukkan pembangunan kualitas SDM khususnya rakyat miskin di Indonesia masih terabaikan. Dan memang faktanya, sejak APBN 2001 sampai saat ini anggaran pendidikan masih berputar pada angka 6 sampai 9 % dari total APBN (diluar DAU dan DAK). Angka ini jauh tertinggal dari Malaysia yang mencapai 25%, atau Thailand yang telah mencapai 30%. Di bidang kesehatan pun kita tidak dapat berharap banyak, APBN 2007 hanya mengalokasikan 2% dari total anggaran, padahal kasus busung lapar dan gizi buruk menunjukkan betapa buruknya kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.

Begitu pun fakta di daerah, di 17 Kabupaten/Kota hasil penelitian Seknas FITRA, alokasi anggaran bidang pendidikan dan kesehatan masih berkisar 3 sampai 7% dari total APBD (lebih rendah dari APBN), bahkan di beberapa daerah masih berada di bawah 3%.

Kota Palu misalnya, anggarannya sebagian besar masih dihabiskan di bidang PU Kimpraswil (43,62 %), sementara di bidang pendidikan hanya sebesar 5,89%, padahal RENSTRA Kota Palu telah menetapkan angka minimal 20% dari total APBD. Bahkan untuk APBD 2005, anggaran pendidikan semakin turun ke angka 5,05%. Padahal realitas pendidikan masyarakat Palu masih rendah, terutama kaum perempuan. Dari data yang tercatat, jumlah perempuan yang tidak sekolah masih mencapai 5.172 jiwa (4,18 %), lebih besar daripada laki-laki yang hanya sebesar 1.116 jiwa (3,61%). Sedangkan kaum perempuan yang tamat SLTA/MA sebesar 38.549 jiwa, jauh lebih kecil daripada laki-laki yang telah mencapai 54.928 jiwa.

Di bidang kesehatan, APBD Palu juga hanya mengalokasikan 1,72% dari total belanja. Padahal masalah kesehatan masih menjadi masalah utama Pemkot Palu. Dari laporan tahunan kesehatan keluarga pada Dinkes Kota Palu, angka kematian bayi tahun 2003 masih berjumlah 61 bayi. Menurut laporan Puskesmas, kematian ibu hamil, ibu melahirkan dan ibu nifas di Kota Palu selama 2002 berjumlah 8 orang dengan penyebab kematian terbesar adalah buruknya kualitas kesehatan seperti jantung dan TBC yang mencapai 60%.

Di Kabupaten Polmas, alokasi anggaran untuk kesehatan hanya 5,4% dari total belanja. Itupun sebagian besar dihabiskan untuk kebutuhan aparatur dan birokrasi seperti gaji dan tunjangan pegawai yang mencapai 77%, barulah sisanya (23%) yang dikucurkan langsung untuk kesehatan masyarakat.

Di Kabupaten Majene, alokasi anggaran kesehatan lebih rendah lagi yaitu 0,02% dari total pendapatan daerah, bahkan untuk rumah sakit alokasi anggarannya hanya 0,1% dari total pendapatan daerah, padahal masalah kesehatan masyarakat Majene juga sangat memprihatinkan. Dari data BPS angka kematian bayi per 1000 penduduk masih di atas 50%.

Minimnya anggaran pendidikan dan kesehatan di level nasional dan daerah sebenarnya adalah sebuah ironi jika melihat tingginya jumlah masyarakat miskin Indonesia yang saat ini telah mencapai 120 juta (data World Bank). Yang tidak boleh dilupakan, dari angka itu hampir 65% diantaranya adalah kelompok perempuan dan anak.

Dalam konstruksi budaya patriarkhi yang masih kental saat ini, kelompok perempuan masuk ke dalam kelompok termiskin dari masyarakat miskin. Selain termiskinkan oleh kebijakan, mereka juga termiskinkan oleh stereotip dan kultur yang masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki sehingga termarjinalkan dari segala akses sumber daya.

Namun pemerintah belum peka dengan masalah ini. Kebijakan yang berjalan terbukti masih jauh dari kepekaan jender, sehingga melahirkan ketidakadilan bagi perempuan. Dampak dari ketimpangan jender dapat dilihat dari data BPS tahun 2000, dimana perbedaan kemampuan membaca menulis antara laki-laki dan perempuan masih tinggi berbanding 56,9% : 88,1%. Ketimpangan ini secara tidak langsung telah memberikan konstribusi terhadap timpangnya perbandingan laki-laki perempuan yang bekerja pada sektor informal dengan perbandingan 29,6% : 39,2%.

Sebenarnya, kebijakan pembangunan responsif jender sudah tercantum sejak GBHN 1999 dan UU No.25/2000 yang eksplisit menyatakan bahwa semua bidang pembangunan harus memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender. Dalam Inpres No.9/2000 pun juga telah mengatur khusus tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program pembangunan di semua tingkatan pemerintahan.

Namun masalahnya, peraturan-peraturan tersebut ternyata tidak efektif. Baik pusat maupun daerah program dan anggarannya masih jauh dari keadilan jender. Bahkan dalam proses penganggaran pun sama sekali tidak menggambarkan keadilan gender didalamnya. Banyak daerah dalam praktik perencanaan/penganggaran masih menggunakan pola dan aturan lama yang bersifat top down tanpa melibatkan peran serta masyarakat terutama kelompok perempuan. Sehingga penyusunan anggaran masih berdasar government need assement bukan people need assement.

Program atau kebijakan pembangunan peka jender seharusnya diprioritaskan pada bidang-bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi, mengingat bidang ini merupakan bidang yang paling dasar dan secara signifikan berpengaruh pada tercapainya kesetaraan dan keadilan gender. Ketiga bidang prioritas ini juga merupakan indikator dari Gender Development Index (GDI).

Kunci utama dalam mewujudkan anggaran berkeadilan jender pada dasarnya terletak pada peran aktif kaum perempuan dalam setiap penyusunan program dan anggaran secara langsung, karena memang masyarakatlah yang benar-benar mengetahui kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Ini berarti tidak adanya anggaran yang terpisah antara laki-laki dan perempuan dengan mengupayakan pengarusutamaan jender dalam proses dan penentuan kebijakan anggaran yang akan diambil. Disamping itu juga perlu adanya ruang akses untuk berpartisipasi dalam proses penganggaran untuk perempuan sehingga anggaran yang dialokasikan mempunyai manfaat/dampak bagi perempuan itu sendiri agar tidak terjadi ketimpangan jender dalam program pembangunan.(Yenny Sucipto)

Minggu, 20 April 2008

PEMEKARAN DAERAH Vs BEBAN KEUANGAN NEGARA

Yenny Sucipto

Pemekaran daerah ternyata memberikan dampak pembengkakan terhadap DAU. Berdasarkan hasil analisis terhadap penerimaan DAU dari 114 daerah pemekaran (DOB) potensi pembebanan terhadap keuangan negara akibat pembengkakan DAU di tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2008 totalnya sebesar Rp 3,56 triliun. Jika menggunakan selisih prosentase pembengkakan DAU terhadap 114 DOB, dari tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2008 totalnya sebesar 4,66%. Jika prosentase tersebut dinilai berdasarkan nominal DAU 2008 maka potensi beban keuangan sebesar Rp 8,36 triliun.
Kenaikan alokasi DAK dalam APBN sebagian besar karena dipengaruhi oleh pertambahan jumlah DOB baru pertahunnya. Kenaikan terbesar khususnya terjadi pada tahun 2004 karena sampai mencapai 40 DOB. Jika di tahun 2003 jumlah kab/kota penerima DAK baru sejumlah 342, di tahun 2008 langsung naik menjadi 451 kab/kota karena lahirnya DOB baru sebanyak 118 DOB. Beban keuangan Negara yang harus ditanggung berdasarkan prosentase DAK yang diserap DOB dari tahun 2003 s/d 2008 sebesar Rp 13 triliun.
Sebagian besar DOB hasil pemekaran kondisi keuangannya memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pemerintah pusat. Hal ini terlihat dari sektor penerimaan yang didominasi dari DAU dan DAK yang rata-rata berada di atas 70% dari total penerimaan. Penerimaan terkecil justru dari sumber yang seharusnya merupakan potensi daerah murni yaitu PAD dan DBH. Rata-rata penerimaan dari sektor PAD hanya sebesar 2 – 5% dari total penerimaan APBD. Bahkan terdapat beberapa DOB yang PAD-nya di bawah 1%. Sementara DBH rata-rata di bawah 10 % dari total penerimaan. Ketergantungan penerimaan daerah dari sektor DAU dan DAK pada akhirnya berimbas negatif di sektor belanja. Dengan miskinnya keuangan daerah, akhirnya anggaran untuk belanja pelayanan publik harus dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan belanja aparatur terutama untuk gaji PNS, tunjangan dan perjalanan dinas pejabat daerah. Berdasarkan hasil analisis, rata-rata prosentase belanja pegawai (gaji, tunjangan, honorarium dan perjalanan dinas) setiap DOB berada antara 50 s/d 70% dari total belanja.
Kondisi keuangan daerah induk pasca pemekaran selalu berkurang sekitar 30% dari total penerimaan. Namun jika penerimaan daerah induk dan DOB digabungkan peningkatannya cukup tinggi. Penyebab peningkatan tersebut disebabkan adanya peningkatan dari penerimaan DAU yang cukup tinggi dan diikuti oleh peningkatan DAK. Peningkatan DAU tersebut adalah gambaran terhadap kondisi keuangan terutama daerah pemekaran yang memiliki celah fiskal tinggi karena antara kebutuhan fiskal yang besar (rencana program pembangunan) yang begitu tinggi tidak sebanding dengan kapasitas fiskalnya (potensi daerah) yang cenderung rendah, belum lagi ditambah dengan kebutuhan PNS baru yang otomatis membutuhkan alokasi dasar tambahan dari DAU yang mau tidak mau harus dipenuhi oleh Pemerintah pusat. Kenaikan di sektor DAK juga dapat mencerminkan adanya kesadaran dari pemerintah terhadap kondisi kedua daerah pasca pemekaran yang membutuhkan dukungan fiskal ekstra untuk mempercepat pembangunan di kedua daerah. Pengurangan jumlah penerimaan kedua daerah (pasca pemekaran) ternyata berdampak pada penurunan anggaran di sektor belanja publik terutama pendidikan dan kesehatan.(Diambil dari hasil penelitian yenny sucipto didukung oleh Prakarsa)