Kamis, 31 Desember 2009

CATATAN ANGGARAN DEPKUMHAM TAHUN 2009

Jika melihat alokasi anggaran di Departemen Hukum dan HAM dalam kurun waktu 5 tahun terakhir telah mengalami kenaikan yang cukup tajam, jika di tahun 2005 anggaran Depkumham baru sebesar Rp 1,95 triliun, di tahun 2009 telah naik 2 kali lipat lebih, yaitu sebesar Rp 4,57 triliun.

Di tahun 2009, anggaran Depkumham terbagi ke dalam beberapa program baik prioritas maupun non prioritas di tubuh Depkumham antara lain:
- Penerapan Kepemerintahan yang baik Rp 2,5 triliun
- Peningkt. Pengawasan dan Akuntallitas Aparatur Rp15,3 milyar
- Pengelolaan SDM Aparatur Rp19,9 milyar
- Perencanaan Hukum Rp 5,0 milyar
- Pembentukan Hukum Rp 45,8 milyar
- Peningkt. Kesadaran Hukum dan HAM Rp 33,7 milyar
- Peningkt. Pelayanan dan Bantuan Hukum Rp 325,4 milyar
- Peningkatan Kinerja Lembaga Peradilan/Penegak Hukum Rp 745,2 milyar
- Penegakan Hukum dan HAM Rp 843,3 milyar
- Peningkt. Kualitas Profesi Hukum Rp 54,0 milyar
- Pendidikan Kedinasan Rp 9,1 milyar
- Penguatan Kelembagaan PUG dan Anak Rp 500 juta

Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk 908 satuan kerja (satker), meliputi: 11 kantor Unit Eselon I Dep. Hukum dan HAM ada 11 kantor (Sekjend Pusat dan Daerah, Inspektorat Jenderal, Ditjen Adm.Hukum Umum, Ditjen Pemasyarakatan, Ditjen Imigrasi, Ditjen Hak Atas Kekayaan Intelektual, Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Ditjen HAM, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Badan Litbang HAM, dan Badan Pengembangan SDM); 33 Kantor Wilayah Depkumham; 5 Balai harta Peninggalan; 231 kantor Lembaga Pemasyarakatan; 189 kantor Rumah Tahanan Negara; 68 kantor Balai Pemasyarakatan; 61 kantor Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara; 107 kantor Imigrasi; 13 kantor Rumah Detensi Negara; 126 kantor Tempat Pemeriksaan Imigrasi; 46 kantor Pos Lintas Batas; dan 18 kantor Perwakilan RI di Luar Negeri.
Dari hasil analisis terhadap berbagai program Depkumham, anggaran yang terserap untuk gaji,honor dan tunjangan pejabat/pegawai sebesar 35% dari total anggaran. Anggaran yang digunakan untuk belanja administrasi dan aparatur juga cukup besar mencapai 18% dari total anggaran. Sehingga total anggaran belanja yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan birokrasi, administrasi dan aparatur totalnya mencapai 53%. Sisanya sebesar 47% dari total anggaran digunakan untuk program-program yang berhubungan dengan tupoksi Depkumham langsung.

Namun demikian, program-program yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik, tidak sepenuhnya digunakan untuk pelayanan publik, namun juga tercampur dengan program-program administrasi/pemeliharaan perkantoran dan aparatur. Beberapa program tersebut antara lain:
- Program Peningkatan Pelayanan dan Bantuan Hukum. Dari total anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 325,4 milyar, yang digunakan untuk pelayanan hanya sebesar Rp 152,2 milyar, sisanya sebesar 200,2 milyar habis untuk administrasi/pemeliharaan perkantoran dan aparatur ;
- Program Penegakan Hukum dan HAM. Dari total anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 843,3 milyar, hanya Rp 43 milyar saja yang benar-benar digunakan untuk penegakan hukum dan HAM, sisanya sebesar Rp 800,3 juga habis untuk administrasi/pemeliharaan perkantoran dan aparatur (pengadaan/pemeliharaan sarana prasarana, pengadaan kendaraan dll). (yenny sucipto)

CATATAN ANGGARAN KEPOLISIAN TAHUN 2009

Anggaran kepolisian di tahun 2009 sebesar Rp 25,7 triliun. Anggaran ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2008 yang baru mencapai Rp 21,2 triliun. Anggaran tersebut dialokasikan bagi 1.052 satuan kerja (terdapat penambahan 15 satker dibandingkan 2008 karena pemekaran daerah).

Sumber anggaran kepolisian tersebut terdiri dari: rupiah murni sebesar Rp 23,1 triliun, rupiah murni pendamping Rp 200 milyar, Pinjaman Luar Negeri sebesar Rp 883,7 milyar, dan PNBP sebesar Rp 1,5 triliun.

Sesuai dengan RKA-KL Kepolisian sebelumnya, anggaran tersebut digunakan untuk berbagai program prioritas antara lain:
1. Penerapan Kepemerintahan Yang Baik Rp 16,7 triliun
2. Pengembangan SDM Kepolisian Rp 337,6 milyar
3. Pengembangan Sarana dan Prasarana Kepolisian Rp 2,6 triliun
4. Pengembangan Strategi Keamanan dan Ketertiban Rp 68,4 milyar
5. Pemberdayaan Potensi Keamanan Rp 162,8 milyar
6. Pemeliharaan Kamtibmas Rp 5,4 triliun
7. Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Rp 552,8 milyar
8. Kerjasama Keamanan dan Ketertiban Rp 29,1 milyar

Berdasarkan hasil analisis, sebagian besar anggaran di tubuh Kepolisian masih diporsikan untuk belanja pegawai sebesar 60,2% (Rp 15,6 triliun) yang tertuang di dalam proram kepemerintahan yang baik. Peningkatan sebesar Rp 4,5 triliun anggaran kepolisian tahun 2009 sebagian besar didasarkan pada alasan kebutuhan ekstra pengamanan Pemilu 2009 yang mencapai Rp 1,8 triliun (Rp 1,5 triliun untuk kegiatan operasi pengamanan dan Rp 213 milyar untuk pengadaan materiil pendukung pengamanan Pemilu) serta pembentukan satker-satker baru (polres dan polsek) sebagai implikasi pemekaran daerah.

Yang menarik adalah anggaran bagi pengembangan SDM Kepolisian yang sebenarnya cukup besar yaitu mencapai Rp 337,6 milyar. Anggaran ini cukup urgen bagi Polri mengingat masih lemahnya profesionalisme tubuh Polri yang ditunjukkan dari berbagai penanganan kasus yang sangat diskriminatif dan jauh dari rasa keadilan. Penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang terhadap kasus-kasus kecil seperti kasus Minah dengan 3 buah kakao, Kakek Klijo dengan pisang klutuk di Sleman, 3 orang dengan 1 butir semangka di Kediri menunjukkan masih banyaknya anggota Polri khususnya di tingkat Sektor (Kecamatan) dalam memahami hukum, moral dan keadilan. Penegakan hukum semata-mata didasarkan pada positivisme an sich (apa yang ada di atas kertas/aturan). Moral dan keadilan sama sekali lepas dari pertimbangan-pertimbangan anggota Polri dalam penanganan kasus. Akibatnya kewenangan menerapkan diskresi yang dimiliki Polri seringkali tidak tepat digunakan. Dalam kasus Minah dan Klijo misalnya, dengan kewenangan diskresi yang dimiliki seharusnya kasus tersebut bisa didamaikan justru malah diteruskan ke meja hijau disertai penahanan. Begitu pula dalam kasus perkelahian anak (Raju) yang baru berusia 9 tahun yang juga seharusnya berujung damai, pun juga diproses sampai pengadilan.

Jika melihat anggaran pengembangan SDM Kepolisian yang mencapai Rp 337,6 milyar, seharusnya di tahun 2009 ini wajah penegakan hukum yang dilaksanakna Polri lebih profesional dan berkeadilan, namun sayangnya hal ini belum terwujud. Sebaliknya penegakan hukum masih berwajah diskriminatif dan jauh dari rasa keadilan. Oleh karena itu, ke depan (2010) khusus untuk anggaran pengembangan SDM Kepolisian tersebut perlu dievaluasi secara komprehensif agar lebih efektif dalam membangun Polri yang profesional dan adil dalam penegakan hukum. (yenny sucipto)

CATATAN ANGGARAN KEJAKSAAN TAHUN 2009

Alokasi anggaran yang diberikan kepada Kejaksaan sebenarnya cukup besar, bahkan alokasinya terus naik dalam 3 tahun terakhir. Tahun 2007 alokasinya sebesar Rp 1,7 triliun, di tahun 2008 telah naik menjadi 1,9 triliun dan tahun 2009 naik hampir sebesar Rp 1,98 triliun. Anggaran tersebut diperuntukkan bagi 499 satuan kerja kejaksaan baik di pusat maupun di daerah yang terdiri dari 1 Kejaksaan Agung, 1 Pusat Diklat, 1 Sekretariat Komisi Kejaksaan, 1 Perwakilan Kejaksaan di Bangkok, 1 Perwakilan Kejaksaan di Hongkong, 31 Kejaksaan Tinggi, 372 Kejaksaan Negeri dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri.

Jika dianalisis per-program besar, anggaran Kejaksaan 2009 dialokasikan pada 8 (delapan) program antara lain: Program Penerapan Kepemerintahan Yang Baik; Perencanaan Hukum; Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan HAM; Peningkatan Pelayanan dan Bantuan Hukum; Peningkatan Kinerja Lembaga Peradilan dan Penegak Hukum; Penegakan Hukum dan HAM; Peningkatan Kualitas Profesi Hukum; Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak.

Alokasi terbesar anggaran kejaksaan masih diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan aparatur dan birokrasi meliputi: belanja pegawai (gaji, honorarium dan tunjangan) dan operasional perkantoran dan pemeliharaan (birokrasi). Program-program tersebut dimasukkan ke dalam program penerapan kepemerintahan yang baik. Total anggaran yang diperuntuukan bagi kebutuhan aparatur dan birokrasi tersebut mencapai 65,7% dari total anggaran. Untuk belanja pegawai saja telah menghabiskan 50,3% dari total belanja (Rp 1,1 trilun), ditambah dengan belanja operasional dan pemeliharaan perkantoran yang juga cukup besar mencapai 15,4% (Rp 306,3 milyar), sehingga totalnya mencapai Rp 1,3 triliun lebih.

Sehingga anggaran yang tersisa dan masih bisa digunakan untuk tugas-tugas tupoksi secara langsung khususnya dalam pelayanan publik hanya sebesar Rp + 694 milyar (34,3%). Dari hasil analisis anggaran tersebut tertuang ke dalam berbagai sub program antara lain:

1. Kegiatan penyuluhan hukum dalam bentuk kegiatan penerangan hukum kepada 31 Kejaksaan Tinggi, 361 Kejaksaan Negeri, 99 Cabang Kejaksaan Negeri dan 1 Kejagung totalnya Rp 20 milyar (masuk ke dalam Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan HAM);

2. Program-program yang terdapat di dalam program penegakan hukum dan HAM dengan anggaran Rp 262,8 milyar, antara lain:
- Penanganan Perkara Pidana Umum mempunyai target 10.615 Perkara dengan alokasi anggaran Rp 118,0 milyar;
- Penanganan Perkaran Perdata dan TUN mempunyai target 286 Perkara dengan alokasi anggaran sebesar Rp 6,1 milyar;
- Penanganan/Penyelidikan Kasus Intelejen mempunyai target 1.852 Kasus dengan alokasi anggaran sebesar Rp 27,8 milyar;
- Penindakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi mempunyai target 1.967 Perkara dengan alokasi anggaran sebesar Rp 98,7 milyar;
- Penanganan Perkara Pidan Khusus mempunyai target 318 Perkara dengan alokasi anggaran sebesar Rp 10,9 milyar;
- Dan Penanganan Perkara Perkara Pelanggaran HAM mempunyai target 14 Perkara dengan alokasi anggaran sebesar 1,2 milyar

3. Program Peningkatan Kualitas Profesi Hukum dengan anggaran Rp 36,9milyar, digunakan untuk:
- Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa untuk 450 orang dengan alokasi anggaran sebesar Rp 15,3 milyar;
- Dan Penyelenggaraan Diklat Aparatur Negara untuk 24 Jenis Diklat dengan peserta 1.188 orang dengan alokasi anggaran sebesar Rp 20,4 milyar.

Minimnya anggaran yang menunjang fungsi-fungsi khususnya di bidang penegakan hukum dan HAM cenderung memperlihatkan adanya ketidak-seriusan pemerintah terutama di tubuh Kejaksaan yang seolah memandang masalah penegakan hukum dan HAM bukanlah masalah krusial. Sebaliknya, besarnya anggaran yang diperuntukkan untuk belanja pegawai maupun belanja operasional dan pemeliharaan perkantoran (seperti halnya pengadaan dan pemeliharaan sarana prasarana fisik) menunjukkan ketidakefisienan anggaran di tubuh Kejaksaan.(yenny sucipto)

Jumat, 28 Agustus 2009

Kebijakan Anggaran Kesehatan 2010

Oleh: Yenny Sucipto

PENGANTAR

Millennium Development Goals disebut sebagai suatu pendekatan yang inklusif dalam pemenuhan hak-hak dasar manusia, yang terdiri dari delapan Tujuan Pembangunan Millennium yakni 1) Penghapusan kemiskinan (Eradicate Extreme Poverty and Hunger); 2) Pendidikan untuk Semua (Achieve Universal Primary Education); 3) Persamaan Gender (Promote Gender Equality and Empower Women); 4) Perlawanan Terhadap Penyakit (Combat HIV/AIDS, malaria and Other Diseases); 5) Penurunan Angka Kematian Anak (Reduce Child Mortality); 6) Peningkatan Kesehatan Ibu (Improve Maternal Health); 7) Pelestarian Lingkungan Hidup (Ensure Environmental Sustainability); dan 8) Kerjasama Global (Develop a Global Partnership for Development). Kedelapan goal tersebut dijabarkan ke dalam 18 target dan 52 indikator terkait untuk dapat dicapai dalam jangka waktu 25 tahun antara 1990 dan 2015.

Dari beberapa target dan indikator dalam MDGs, ada yang menjadi wewenang dan tugas dari Departemen Kesehatan dalam mengemban target pencapaian MDGs tersebut, antara lain;
- Menurunnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara 1990 – 2015 yang salah satu indikatornya mengenai prevelansi balita kurang gizi;
- Menurunkan angka kematian balita sebesar 2/3 antara tahun 1990 – 2015 dengan indikatornya adalah angka kematian balita dan bayi serta presentase anak dibawah 1 tahun yang diimunisasi campak;
- Menurunkan angka kematian ibu antara 1990 dan 2015 sebesar ¾ nya dengan salah satu indikatornya adalah angka kematian ibu, proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dan angka pemakaian kontrasepsi;
- Pengendalian penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015 dengan salah satu indikatornya adalah prevelensi di kalangan Bumil yang berusia 15 – 24 th;
- Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya pada tahun 2015 dengan salah satu indikatornya adalah prevelensi malaria dan angka kematiannya, Presentase penduduk yang menggunakan cara pencegahan yang efektif untuk memerangi malaria, Presentase penduduk yang mendapat penanganan malaria secara efektif, Prevelensi TBC dan angka kematian penderita TBC dengan sebab apapun selama pengobatan OAT, Angka penemuan penderita tuberkulosis BTA positif baru, dan angka kesembuhan penderita tuberkulosis;
- Penurunan sebesar separuh, proporsi tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015 dengan salah satu indikatornya adalah Proporsi penduduk dengan akses terhadap air minum yang terlindungi dan berkelanjutan.


Alokasi Anggaran Kesehatan

Sudah seharusnya kebijakan anggaran di sektor kesehatan segera ditargetkan 15% dari total anggaran (Rp 151,4 triliun) dalam APBN/P 2010, namun sayangnya alokasinya masih tidak beranjak dari angka 2% dari total belanja negara atau sebesar Rp 20,8 triliun. Hasil penelusuran anggaran di Departemen Kesehatan untuk program peningkatan dan pelayanan untuk masyarakat teralokasi sebesar Rp 13,9 trilun (67,2%) mengalami kenaikan 3 kali dibandingkan alokasi tahun 2008 yang hanya sebesar Rp 5,1 triliun ( 27,1%). Pengalokasian yang diperuntukkan untuk kebutuhan birokrasi (28,6%) masih dianggap proporsional karena sebagian besar alokasi kesehatan dianggarkan dalam program peningkatan dan pelayan untuk masyarakat hingga mencapai 67,2% (13,9 triliun). Namun yang perlu ditelusuri dengan alokasi anggaran sebesar Rp 13,9 triliun apakah telah tepat sasaran dan menjangkau beberapa permasalah kesehatan yang ada.

Dari hasil penelusuran sementara, untuk kebutuhan birokrasi terbesar, yang mencapai 28,6 % (Rp 5,9 triliun). Kebutuhan terbesar di sektor birokrasi adalah untuk program pelayanan birokrasi, pembinaan dan pengawasan aparatur, pembangunan dan rehabilitasi gedung kantor.

Masalah Kesehatan dan Bagaimana Anggaran Menjawabnya Permasalahan

1. Kebijakan Alokasi Anggaran Malnutrisi Anak

Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan khususnya gizi buruk.Tercatat 30% dari 110 juta atau sekitar 33 juta balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Program perbaikan gizi masyarakat khususnya penanganan masalah kurang dan gizi buruk pada ibu hamil dan menyusui, bayi dan anak balita hanya dialokasikan sebesar Rp 301 milyar (1,45% dari total anggaran kesehatan). Asumsinya dengan alokasi sebesar Rp 301 milyar untuk 33 juta balita penderita kasus gizi buruk, hanya dialokasikan Rp 9.122/kasus balita/tahun untuk perbaikan gizi belum menjamah pada persoalan bumil dan menyusui.
Jika melihat target pencapaian malnutrisi anak tahun 2015 sebesar 3,3% gizi buruk dan 18% gizi kurang dapat diyakini akan sulit tercapai karena sampai saat ini angka pencapaian masih diposisi tinggi yaitu 8,8% Gizi buruk dan 28% gizi kurang.

2. Kebijakan Alokasi Anggaran untuk Meningkatkan Kesehatan Ibu dan Menurunkan Angka Kematian Anak

a. Pada saat ini telah diperkirakan 228 orang ibu meninggal dalam tiap 1.000 proses persalinan di Indonesia. Angka kematian ibu saat melahirkan yang telah ditargetkan dalam MDGs pada tahun 2015 adalah 110, dengan kata lain akselerasi sangat dibutuhkan sebab pencapaian target tersebut masih cukup jauh.
b. Setiap tahunnya ada 13.778 kematian ibu atau setiap dua jam ada dua ibu hamil, bersalin, nifas yang meninggal karen berbagai penyebab. Kecenderungan perbandingan pada tahun 1990 yang masih 450 per 1.000 kelahiran hidup namun target MDGs yang 125 per 1.000 kelahiran hidup terasa sangat berat untuk dicapai tanpa upaya percepatan.
c. Berdasarkan data Susenas tahun 2001, memperlihatkan bahwa hanya sebanyak 45,83% kelahiran yang ditolong oleh bidan di pedesaan.
d. Jumlah bidan di seluruh Indonesia berdasarkan IBI (Ikatan Bdan Indonsia) sat ini hanya sekitar 80.000 orang.
e. Dan menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000, berkisar 80% penduduk Indonesia bermukim di sekitar 69.061 desa dan saat ini sekitar 22.906 desa tidak memiliki bidan desa. Penurunan jumlah bidan atau honor bidan desa diasumsikan merupakan damapak dari desentralisasi. Karena pembayaran gaji atau honor bidan desa yang dahulu ditanggung oleh pemerintah pusat sekarang dibebankan kepada pemerintah daerah, dan banyak pemerintah daerah yang tidak mau atau tidak mampu membayar gaji atau honor bidan desa tersebut. Akibatnya, jumlah bidan desa mengalami penurunan yang sangat drastis.
f. Alokasi dana untuk kesehatan selama ini lebih banyak untuk mensubsidi rumah sakit daripada untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar, dimana kesehatan reproduksi perempuan menjadi salah satu bagian dari kategori kesehatan dasar. Begitupun dengan sedikitnya ketersediaan tenaga kesehatan yang mudah diakses dengan biaya murah, terutama di daerah-daerah terpencil. Kenyataan ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah kematian ibu melahirkan.
g. Angka kematian bayi dan balita di Indonesia masih tertingi di Asia. Di tingkat ASEAN, angka kematian bayi di Indonesia mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup yaitu hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan angka kematian bayi Malaysia, hampir 2 kali dibandingkan dengan thailand dan 1,3 kali dibandingkan dengan Philipina.
h. Sedangkan untuk menurut data pemerintah bahwa angka kematian balita mengalami penurunan yang cukkup tajam dari 82,6 per 1.000 menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup. Namun ironisnya, kasus kematian bayi banyak terjadi pada keluarga miskin dan sebagian besar penyebab utamanya adalah disebabkan oleh akses, biaya, pengetahuan dan perilaku

Program untuk peningkatan pelayanan kesehatan khususnya meningkatkan kesehatan Ibu dan menurunkan kematian anak yang kewenangannya diberikan kepada Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat hanya dialokasikan sebesar Rp 20 milyar (0,1% dari total anggaran kesehatan)

3. Kebijakan Alokasi Anggaran untuk sanitasi Dasar

a. Masih lebih dari 100 juta penduduk yang tersebar di 30.000 desa masih kesulitan memperoleh akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitsi dasar. Buruknya pelayanan air minum dan sanitasi merupakan kendala serius dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Padahal target indonesia tahun 2015, meningkatkan hingga 67% proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sumber air minum yang aman dan meningkatkan hingga 69,3% proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dasar.
b. Berdasarkan data Direktorat Penyehatan Lingkungan Depkes RI, menyebutkan bahwa air dan sanitasi yang buruk berdampak pada meningkatnya jumlah kasus diare 423/1.000 orang dan angka kematian tertinggi terjadii pada kelompok usia di bawah 5 tahun, yaitu 75/100.000 orang. Kemudian 350 sampai 810 orang pada setiap 100.000 orang penduduk terpapar tifus, dengan laju kematian 0,6 sampai 5%. Sekitar 35,5% penduduk Indonesia diperkirakan terpapar cacingan.
c. Menurut laporan World Bank tahun 2008, dampak kesehatan akibat pengelolaan air dan sanitasi yang buruk menyebabkan Indonesia kehilangan Rp 56 triliun (2,3% dari PDRB).
Dalam anggaran kesehatan tahun 2010, alokasi untuk program pemberdayaan komunitas permukiman khususnya untuk penyediaan sanitasi dasar dianggarkan sebesar Rp 167,8 M. Menurut WHO dan sejumlah lembaga lain, setiap 1 dollar AS investasi di sanitasi, akan memberikan manfaat ekonomi sebesar 8 dollar AS dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian. Dan pemerintah dalam 30 tahun terakhir, baru bisa memenuhi anggaran sekitar 10% yaitu sekitar 820 juta dolar AS untuk sanitasi dan hanya Rp 200/orang/tahun untuk setiap penduduk. Padahal kebutuhan minimal agar akses terhadap sanitasi memadai dibutuhkan sekitar Rp 47.000.per/orang/tahun . Dan menurut versi Bank Pembangunan Asia, memerlukan Rp 50 triliun untuk mencapai target MDGs 2015, dengan 72,5% penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.


4. Dana Bantuan Asing
Temuan lain dari hasil penelusuran, ternyata dari total anggaran kesehatan sebesar Rp 20,8 triliun ada rupiah bukan murni alias dana asing yang mengucur di Departemen Kesehatan sebesar Rp 513, triliun yang tersebar di beberapa program kegiatan baik dalam bentuk hibah/bantuan maupun dalam bentuk utang, antara lain:
1. Program peningkatan kesehatan masyarakat - Ditjen Bina Kesehatan Masyarat sebesar Rp 200,1 milyar yang didanai oleh (DHS – II – ADB). Tiap tahun untuk program ini memang didanai oleh bantuan asing terlihat dianggaran tahun 2008 dan 2009 yaitu masing-masing sebesar Rp 211,2 milyar dan Rp 10,8 milyar (DHS – I ADB dan DHS – II ADB).
2. Program Pemberdayaan Komunitas Permukiman – Ditjend Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan khusus untuk kegiatan program Pelayanan Dukungan Administrasi dan Manajemen sebesar Rp 7,6 milyar yang didanai oleh LS
3. Program Pemberdayaan Komunitas Permukiman – Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan khusus untuk kegiatan program Penyediaan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Dasar Masyarakat Miskin sebesar Rp 2,4 milyar serta untuk kegiatan program Pelayanan Dukungan Administrasi dan Manajemen sebesar Rp 35,1 mliar yang semuanya didanai oleh (WSLIC II)
4. Program Pemberdayaan Komunitas Permukiman – Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan khusus untuk kegiatan program Penyedian Sarana Air Bersih dan Sanitasi Dasar Masyarakat Miskin sebesar Rp 74,6 milyar, kegiatan program Pelayanan Dukungan Administrasi dan Manajemen sebesar Rp 193,1 milyar, kegiatan program Pemeliharaan dan Pengawasan Kualitas Lingkungan sebesar Rp 30 juta dan kegiatan program Pengendalian Dampak Pencemaran Lingkungan sebesar Rp 11,5 juta yang semuanya didanai oleh CWSH.
Tujuan umum proyek WSLIC adalah bentuk kerjasama antara Indonesia(Depkes) - Australia untuk pogram penyediaan air bersih dan sanitasi masyarakat dengan target sasaran adalah berpenghasilan rendah. WSLIC II merupakan proyek bertahap selama 6 tahun dengan nilai sebesar Rp US$ 106 juta yang dibiayai melalui bantuan hibah Australia, IDA. Dan sumbangan Australia sebesar Rp US$ 6,5 juta akan dikelola oleh Bank Dunia melalui kesepakatan pendanaan bersama, Departemen Kesehatan sepenuhnya bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek tersebut.
Guna mewujudkan cakupan layanan air minum dan sanitasi dasar maka pemerintah Indonesia menggandeng Asian Development Bank (ADB) melaksanakan kegiatan pembangunan sarana air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tertuang dalam program Community Water Services and Health (CWSH).

Kamis, 20 Agustus 2009

Komitmen Pemerintah Terhadap Kebijakan Anggaran yang Responsif HIV/AIDS

Oleh : Yenny Sucipto

Memerangi penyebaran penyakit menular terutama penyebaran HIV dan AIDS merupakan salah satu target MDGs yang memerlukan kerja keras dan perhatian besar bagi Indonesia, dimana membutuhkan keseriusan untuk mencurahkan segala bentuk strategi pencegahan dan penangggulangannya jika Indonesia tidak ingin di nilai kalangan internasional sebagai Negara yang gagal mencapai komitmen global MDGs di tahun 2015 nantinya.
Jika mengkaji laporan pemerintah dalam penanganan kasus HIV/AIDS, efektitasnya ternyata kurang signifikan. Target di tahun ini saja hanya dapat dicapai sebesar 0,1%, padahal target sampai tahun 2015 pemerintah mentargetkan dapat mencegah 1 juta kasus baru dan mencegah 350 ribu kematian. Namun sebaliknya justru kasus HIV/AIDS terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Dan Indonesia saat ini telah menjadi salah satu negara yang memiliki angka penderita HIV/AIDS tertinggi di Asia. Lebih mengkhawatirkan lagi, penularan HIV/AIDS tersebut ternyata terus meningkat tajam dari tahun ke tahun. Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sudah sampai tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI (Ditjen PP & PL), per 30 juni 2006 kasus HIV/AIDS secara kumulatif telah mencapai angka 10.859 kasus dengan rincian 6.332 jiwa penderita AIDS dan 4.527 jiwa pengidap HIV. Dan sampai akhir September 2008, Departemen Kesehatan mencatat 21.151 orang di Indonesia terinfeksi HIV, 15.136 orang dalam fase AIDS. Peningkatan signifikan dari kasus HIV/AIDS tersebut sebagian besar disumbang oleh pengguna narkotika suntik dan seks bebas. Ahli epidemiologi telah memproyeksi jika tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk menanggulangi penyebaran virus HIV/AIDS secara massif, diperkirakan pada 2010 jumlah penderita di Indonesia akan mencapat 400 ribu orang, bahkan pada 2015 nanti jumlah terinfeksi HIV/AIDS diperkirakan dapat mencapai 1 juta jiwa.
Situasi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Sehingga wajar jika banyak kalangan masyarakat yang kemudian ikut peduli, ambil bagian dan menuntut Pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap problem penyebaran HIV/AIDS ini. Pun juga wajar jika masyarakat tidak bisa berpuas diri dengan telah masuknya program perang terhadap HIV/AIDS dalam deklarasi millenium. Jauh dari itu, yang diharapkan masyarakat adalah follow up melaui praktek nyata dalam program-program pembangunan tahun ke tahun, apakah memang ada langkah konkrit yang dilakukan pemerintah sebagaimana yang menjadi targetan pembangunan millenium sampai tahun 2015 nanti.
Dan salah satu faktor untuk melihat seberapa besar dan efektif komitmen Negara terhadap suatu persoalan bangsa adalah dengan melihat kebijakan alokasi anggaran. Kebijakan alokasi anggaran sebagai salah satu instrumen Negara, dapat memberikan gambaran apakah upaya memerangi HIV/AIDS mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah. Pemenuhan kebutuhan anggaran penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia selama ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan beberapa sumber lain.
Dari hasil penelusuran anggaran dan analisis dokumen di semua kementerian/lembaga, ternyata alokasi anggaran untuk penanganan AIDS hanya sebesar Rp 348,2 milyar di tahun 2007, Rp 407,3 milyar tahun 2008, dan Rp 366,6 milyar tahun 2009. Bahkan tahun 2010 anggaran tersebut turun menjadi Rp278,1 milyar dan hanya tersebar di 6 (enam) kementerian/lembaga (Depdiknas, Depkes, Depsos, BKKBN, Kementerian Pemuda dan Olah Raga dan Badan Narkotika Nasional). Padahal jika mengacu pada struktur kelembagaan KPAN seharusnya anggaran tersebut tersebar di 13 (tiga) belas kementerian/lembaga sesuai dengan jumlah kementerian/lembaga yang masuk dalam keanggotaan KPAN.
Dan ketika ditelusuri ke semua program-program penanggulangan HIV/AIDS di keenam kementerian/lembaga ternyata hampir 90% semua programnya juga fokus pada pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang disebabkan oleh pengguna narkoba. Memang dilihat dari angka kasusnya, jumlah pengidap HIV dan AIDS yang disebabkan oleh Narkoba dan jarum suntik (Penasun) memang lebih besar yaitu sebesar 46%. Sehingga terlihat Pemerintah kemudian lebih memilih untuk memprioritaskan penanggulangan HIV/AIDS kepada Penasun saja daripada hubungan seks. Padahal berdasarkan hasil pertemuan ICAAP di Bali, dari data terakhir kasus HIV/AIDS saat ini justru lebih banyak yang menjangkit dikalangan pasutri khususnya ibu rumah tangga melalui hubungan seks (bukan melalui narkoba dan jarum suntik).
Diskriminasi penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan Pemerintah kepada kalangan WPS (Wanita Penjaja Seks), PWS (Pengguna Wanita Seks) tentu tidak bisa dibenarkan dari sisi apapun, karena sudah menjadi kewajiban Pemerintah untuk menangulangi HIV/AIDS dari segala penyebab apapun tanpa harus memilah dan memprioritasi.
Di sisi yang lain, dari hasil penelusuran anggaran, ternyata sebagian besar anggaran hanya dipergunakan untuk pencegahan daripada perawatan dan pengobatan. Di tahun 2010 misalnya, dari total alokasi anggaran penanggulangan HIV/AIDS, sebesar 82,1% digunakan untuk pencegahan, sementara untuk program perawatan dan pengobatan hanya sebesar 9%. Dengan melihat tidak proporsionalnya alokasi anggaran tersebut sudah dapat dipastikan program-program yang dipergunakan untuk merawat dan mengobati para penderita HIV/AIDS akan terabaikan. Mungkin itu pula kenapa pengadaan obat retroviral bagi penderita seringkali kosong (tidak tersedia) karena semua anggaran HIV/AIDS dipergunakan untuk pencegahan saja. Dan dengan melihat proporsi anggaran ini pula, sudah dapat dipastikan target pemerintah untuk menekan angka kematian akibat HIV/ADIS 2010 nanti akan gagal.
Rendahnya respon anggaran dan program terhadap penanggulangan HIV/AIDS ini di Indonesia ini sebenarnya sudah dapat dilihat dari tingkat penularan HIV yang terus meningkat tajam. Dan jika respon anggaran dan program yang lemah ini terus berlangsung diperkirakan akan ada sekitar 400 ribu orang terinfeksi HIV pada tahun 2010, dan 100 ribu orang diantaranya diperkirakan meninggal atau akan ada 1 juta ODHA pada tahun 2015 dengan 350 ribu kematian. Dan diperkirakan juga 2015 nanti akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu terinfeksi HIV yang tertular dari suaminya.(dimuat oleh Satu Dunia)

Selasa, 09 Juni 2009

Kerangka Ekonomi Makro 2010

Yenny Sucipto

Pertumbuhan Ekonomi Makro
Pertumbuhan ekonomi semester I 2008 adalah 6,2% dan tahun 2009 tidak jauh beda hanya diperkirakan sebesar 6,2%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010 diperkirakan tidak akan dapat lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yang diperkirakan sebesar 5 – 6%.
Meskipun perekonomian dunia diperkikan akan memperlihatkan perkembangan yang optimistik, akan tetapi ancaman ketidakpastian perekonomian dunia masih membayangi perkembangan dalam negeri. Tingginya tingkat bunga di luar negeri akibat penerapan kebijakan moneter uang ketat di Amerika Serikat mengakibatkan tindakan antisipatif dari pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia. Didukung dengan fakta bahwa investasi di Indonesia masih dianggap mempunyai resiko yang cukup besar antara tingkat bunga Indonesia dengan The Fed.
Laju Inflasi
Perekonomian Indonesia menunjukkan kecenderungan mengalami perlambatan, itu terlihat sejak tahun 2006. Dan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi global sangat terlihat dalam semester I tahun 2008, yang antara lain disebabkan oleh terus meningkatnya harga minyak mentah di pasar dunia telah mendorong dilakukannya kegiatan diverswifikasi energi berbasis sumber-sumber energi terbarukan. Hal ini menyebabkan permintaan terhadap bahan-bahan baku bio-fuel, seperti jagung, Crude Palm Oil (CPO), tebu/gula, melonjak. Lonjakan permintaan ini menyebabkan naiknya harga komiditi-komiditi tersebut di pasar global. Dan berdampak pada harga pangan dunia ikut melonjak dan telah mengakibatkan mengakibatkan tekanan inflasi pangan.
Berdasarkan laporan Semester I 2008, tingginya tingkat inflasi mencapai 7,3% dari januari – juni 2008. Jika dilihat berdasarkan kelompok pengeluaran, inflasi kumulatif tertinggi terjadi pada kelompok pengeluaran untuk bahan makanan sebesar 10,4%; diikuti oleh kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 9,7%; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 7%; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 6%; kelompok kesehatan sebesar 5%; Kelompok sandang 3,8%; dan kelompok pendidikan dan olah raga sebesar 1,9%
Laju inflasi tahun 2010 akan lebih baik dibandingkan tahun sebelum, jika memang laju inflasi yang diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2009 dan hal ini akan mendorong konsumsi rumah tangga. Inflasi yang rendah akan membuka ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat bunga dan kemungkinan akan mendorong pada investasi lebih tinggi. Namun gejolak harga di pasar komoditi Internasional, serta tingginya harga minyak mentah dunia memang diperkirakan akan tetap memberikan tekanan terhadap inflasi dalam negeri.
Nilai Tukar Rupiah
Proyeksi dalam tahun 2010, nilai tukar rupiah diperkirakan rata-rat sebesar Rp 9.500 – Rp 10.500 per US$. Penguatan nilai tukar rupiah pada level sekitar Rp 9.500-an masih dibawah nilai normal (undervalued). Suatu mata uang yang undervalued akan cenderung menguat samapai ketingkat nilai wajarnya. Berbagai faktor eksternal dan domestik yang akan mempengaruhi fluktuasi yang terjadi pada nilai tukar rupiah antara lain: perssistensi tingginya harga minyak dunia yang akan mendorong meningkatnya volume pembelian valuta asing oleh korporasi, antisipasi pelaku pasar terhadap tingginya inflasi sebagai dampak lanjutan kenaikan harga BBM di kemudian harinya serta kenaikan pangan dan tambang dunia yang akan menimbulkan sentimen negatif terhadap rupiah, kemudian imbas dari tekanan depreasiasi pada mata uang regional.
Suku Bunga SBI 3 Bulan
Dalam tahun 2010, sejalan dengan perkiraan laju inflasi, nilai tukar rupiah, dan kebijakan moneter, suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan mengalami penurunan sebesar 6,0 -7,0 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2009. Pada Juni 2008 yang lalu, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter yang lebih ketat dengan kembali menaikkan suku bunga BI rate 25 bps menjadi 8,5% kemudian pada tahun 2009 kembali turun diperkirakan menjadi 7,5%. Di tengah ancaman inflasi global, The Fed telah melakukan kebijakan penurunan suku bunga The Fed (Fed Rate/FFR) yang dimaksudkan untuk menstabilkan pasar keuangan karena krisis suprime loan. Tercatatat, sepanjang semester I 2008, The Fed telah empat kali menurunkan tingkat suku bunga yakni pada 22 januari, 30 anuari, 18 maret dan 30 April 2008. Pada 30 april 2008 the Fed menurunkan suku bunganya pada posisi 2% dan bertahan hingga saat ini.
Harga Minyak Mentah Internasional
Harga minyak mentah Indonesia (ICP) tahun 2010 diperkirakan rata-rata sekitar 45 -60 US$/barel atau lebih rendah dari perkiraan tahun 2009 yang mencapai 80 US$/barel. Berdasrkan Laporan Semester I 2008, periode januari – juni 2008 harga ICP mencapai US$ 109,4/barel, meningkat 73,8% dari harga periode yang sama di tahun 2007 sebesar US$ 62,9/barel. Sedangkan untuk penerimaan negara, digunakan harga rat-rata ICP pada periode Desember 2007 – Mei 2008 sebesar US$ 102,6/barel, meningkat 63,9% dari harganya pada periode yang sama di tahun 2007 sebesar US$ 62,5%/barel.

Lifting Minyak
Tingkat produksi minyak mentah Indonesia merupakan angka yang didasarkan pada kuota OPEC dan kapasitas tingkat produksi minyak Indonesia. Dalam tahun 2010 diproyeksikan tingkat produksi minyak mentah Indonesia diperkirakan sekitar 0,950 -0,970 juta barel/hari atau sama dengan perkiraan pada tahun 2009.
Berdasarkan laporan semester I 2008, realisasi rata-rata volume lifting minyak Indonesia untuk tahun 2007 mencapai 0,899 juta barel/hari, lebih rendah dari asumsi dalam APBNP 2007 sebesar 0,950 juta barel/hari. Pada periode januari – Juni 2008 realisasi lifting minyak mencapai 0,924 juta barel/hari. Sedangkan besaran lifting periode Desember 2007 – Mei 2008 yang digunakan sebagai dasar penghitungan penerimaan negara mencapai 0,925 juta barel/hari, sedikit lebih rendah dari asumsi lifting dalam APBNP 2008 yaitu 0,927 juta barel/hari.
Terus menurunnya lifting minyak mentah dan tidak adanya kenaikan produksi migas hingga proyek tahun 2010, dengan suatu alasan bahwa sehubungan dengan penurunan produksi secara alamiah (natural decline) pada beberapa sumur-sumur produksi yang sudah tua, kegiatan investasi bidang perminyakan yang belum mampu meningkatkan produksi minyak. Sebanyak 5.000 dari total 13.824 sumur tua diproyeksikan akan menghasilkan 5.000 sampai dengan 12.000 barel/hari dengan dikeluarkannya Permen ESDM no 1 tahun 2008 untuk melakukan revitalisasi pemanfaatan sumur tua. Terkait dengan produksi minyak baru, Exxon mobil yang menguasai lapangan minyak di Blok Cepu telah beroperasi sejak penghujung tahun 2008 dengan kapasitas awal sekitar 10.000barel/hari dan produksi lapangan minyak diperkirakan mencapai puncaknya pada tahun 2010 – 2011 dengan menghasilkan 165.000-185.000 barel/hari. Dan dalam rangka meningkat produksi minyak, menurut laporan semester I 2008 bahwa pemerintah telah memberikan fasilitas fiskal untuk eksplorasi minyak bumi.
Arah Kebijakan Tahun 2010
Arah kebijakan tahun 2010 masih tetap tidak beranjak dari gaya lama yang masih kental dengan garis kebijakan IMF. Ini tercermin dari beberapa usaha pemerintah dalam memperbesar jumlah pendapatan negara dengan terus menggali penerimaan Negara melalui peningkatan penerimaan pajak dalam negeri melalui langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan untuk meningkatkan tingkat pemungutan pajak serta mengeluarkan kebijakan insentif perpajakan dengan alasan untuk mendukung program stimulus fiskal dan pembangunan nasional, penjualan aset BUMN, dan tidak melupakan tradisi lamanya yaitu membuat utang baru dari luar negeri, termasuk menerbitkan obligasi (Surat Berharga Negara) dalam maupun luar negeri dan mempersiapkan penarikan pinjaman siaga. Dan lagi-lagi pendanaan dari utang akan diupayakan melalui pinjaman program lembaga keuangan international, seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB dan donor bilateral.
Sejalan dengan tema pembangunan nasional yaitu ”Pemulihan Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat”, kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam tahun 2010 diarahkan kepada pemeliharaan kesejahteraan rakyat, serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial; peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; pemantapan reformasi birokrasi dan hukum, serta pemantapan demokrasi dan keamanan nasional; pemulihan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi; serta peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya alam dan kapasitas penanganan perubahan iklim.
Dan alokasi anggaran dalam tahun 2010 diletakkan pada:
(i) belanja investasi, masih diprioritaskan seperti pada tahun 2009 untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional;
(ii) bantuan sosial masih tetap menjadi program prioritas dan dialokasi juga seperti tahun 2009, terutama menyediakan pelayanan dasar kepada masyarakat di bidang kesehatan (Jamkesmas) dan pendidikan (BOS, beasiswa), pemberdayaan masyarakat (PNPM), Pangan (Raskin), Program Keluarga Harapan (PKH)
(iii) Fokus memprioritaskan alokasi anggaran untuk TNI yaitu mengenai Pemeliharaan dan Pengadaan Alutsista, dengan mengupayakan alokasi anggaran untuk TNI dapat mencapai tingkat minimum essensial force.
(iv) Seperti program 2009 kemarin juga, yaitu penyediaan subsidi masih tetap diprioritaskan untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa untuk hidup masyarakat, mendukung peningkatan produktivitas dan revitalisasi pertanian, meningkatkan pelayanan publik (PSO) dan mendorong pengembangan energi alternatif non-BBM.
(v) Dalam rangka penyempurnaan sistem penganggaran tahun 2010 akan dilaksanakan Kerangka Pengeluaran Jangka menengah (KPJM) khususnya di 6 K/L sebagai pilo project yaitu anatara lain DPU, Deptan, Depdiknas, Depkes, Depkeu, dan Bappenas.
Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun 2010, maka postur dalam RAPBN 2010 meliputi pokok-pokok besaran sebagai berikut:
a. Pendapatan Negara dan Hibah
Diperkirakan sebesar Rp 871,9 triliun mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Hal ini juga diiukuti penurunan penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak yang masing- masing sebesar Rp 717,1 triliun dan Rp 153,4 triliun. Sedangkan untuk hibah sebesar Rp 1,4 triliun.
Selama satu dasawarsa terakhir, rata-rata pajak mampu memberikan kontribusi lebih dari 50%, menggeser dominasi penerimaan negara dari sektor migas. Besarnya kontribusi pajak ini memberikan sinyal bahwa peranan pajak semakin penting dan sustainable bagi sumber pembiayaan belanja negara. Pajak Penghasilan (PPh) merupakan jenis pajak yang memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan perpajakan. Sampai dengan juni 2008, laporan semester I 2008 menuangkan bahwa realisasi penerimaan PPh mencapai Rp 164 milyar (53,3%) dari total penerimaan perpajakan dan sebagaian besar penerimaan PPh tersebut berasal dari PPh non migas hingga mencapai 79,1%.
Peningkatan penerimaan PPh nonmigas dalam semester I 2008 tersebut terutama disebabkan oleh adanya booming pada komoditi tertentu, yang pada gilirannya meningkatkan penerimaan PPh pasal 25/29 Badan, sebagai contoh adalah booming kelapa sawit yang sebagian besar disumbangkan oleh Sumatera Utara danintensifikasi dan ekstensifikasi PPh. Dilihat secara per jenis PPh, realisasi PPh non migas sebagian besar berasal dari PPh pasal 25/29 Badan yang hingga mencapai Rp 62,3 milyar (48,1% dari total penerimaan PP non migas). Dan tiga sektor utama yang mempengaruhi PPh nonmigas adalah sektor industri pengolahan, sektor keuangan, dan jasa perusahaan, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Perkiraan penerimaan perpajakan pada tahun 2010 secara nominal mengalami penurunan, rasio terhadap PDB juga mengalami penurunan dari 14,1% di tahun 2009 menjadi 12% untuk tahun 2010. Hal tersebut antara lain salah satunya dipengaruhi oleh beberapa kebijakan yang ditelorkan oleh pemerintah mengenai stimulus fiskal berupa penurunan tarif PPh Badan menjadi 25% sesuai yang diamanatkan dalam amandemen UU PPh dan kebijakan pajak ditanggung pemerintah (DTP) untuk beberapa kegiatan tertentu yang mendukung kegiatan ekonomi dalam negeri.
b. Belanja Negara
Anggaran belanja non-K/L juga dikenal sebagai bagian anggaran pembiayaan dan perhitungan (APP), terdiri dari belanja pegawai, pembayaran bunga utang, subsidi dan belanja lain-lain. Dalam proyeksi tahun 2010, volume anggaran belanja negara ditetapkan mencapai Rp 949,1 triliun mengalami perkiraan penurunan dari tahun 2009 sebesar Rp 1.037,1 triliun. Diikuti juga dengan penurunan rasio yang dipengaruhi dengan penurunan belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah yang masing-masing sebesar Rp 661,4 triliun dan Rp 287,7 triliun.
Transfer ke Daerah
Terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang penyaluran anggaran transfer ke daerah, proyeksi tahun 2010 mencapai Rp 287,7 triliun dan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2009 yang sebesar Rp 329,7 triliun. Berdasarkan laporan semester I 2008, mengalami daya serap yang rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini sejalan dengan penyempurnaan pola penyaluran dana transfer ke daerah mulai tahun anggaran 2008 khususnya pola penyaluran DAU. Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan dana Alokasi khusus. Untuk penyaluran direncanakan sebesar 26% dari penerimaan dalam negeri (PDN).

Rabu, 08 April 2009

Melawan Bangunan Makna Bipolar

Donny Tri Istiqomah. Adalah pengamen yang tiba-tiba hadir di depan kita, entah di bis kota, mentromini, angkot maupun omprengan, yang mengeluarkan suara-suara yang dianggap bisa menghibur, kemudian menyodorkan kantong permen, dan penumpang pun mulai mengisinya dengan uang receh. Adalah pengamen pula yang memberikan makna baru bahwa bus kota tidak hanya alat transportasi, melainkan sebuah panggung berjalan yang berisi orang-orang yang dapat memberi imbalan untuk memenuhi kebutuhan perut mereka.

Fenomena pengamen dalam bangunan masyarakat transisi antara agraris menuju produksi kapitalis adalah sebuah fenomena yang lazim terdapat di kota-kota besar Indonesia Harus diakui, bahwa efek negatif dari strategi pembangunan nasional yang diterapkan selama ini adalah penyebab utama munculnya fenomena itu. Sehingga mau tidak mau strategi itu harus kembali diurai dan direvisi agar tidak tersandung pada batu yang sama.

Fenomena pengamen adalah sebuah fakta sosial yang menunjukkan kepada kita bahwa ada sebuah kelompok sosial yang tidak terakomodir dalam penataan sosial, yang harus mencari jalan sendiri-sendiri dan menciptakan ruang-ruang bagi eksistensi mereka, walaupun itu hanya cukup untuk survive saja.

Dalam upaya membuka ruang-ruang eksistensinya, tentu saja mereka terus berhadapan dengan wacana yang berkuasa. Sebuah wacana yang menganggap mereka benalu dan sampah masyarakat. Wacana itu pun pelan-pelan mereka lawan dengan cara menghadapkan realitas kehidupan mereka dalam lirik-lirik lagu yang diharapkan akan menarik simpati para penumpang. Sebuah lirik yang syarat akan nilai-nilai perenungan tentang eksistensi dan jati dirinya.

Simak saja salah satu lirik mereka yang biasa kita dengarkan ketika kita akan berangkat dan pulang kerja:

“Gema adzan subuh kami tertidur terlelap”

“Gema adzan dhuhur kami sibuk bekerja”

“Gema adzan maghrib kami di perjalanan”

“Gema adzan isyak lelah tubuhku tuan”

“Tuhan pantaskah surga untukku”

Adalah Faucault yang melihat bahwa setiap periode sejarah selalu diatur oleh kekuatan episteme. Suatu praktik diskursif yang selalu memunculkan figur-figur epistimologis, sains dan sistem-sistem formal dimana pada akhirnya tiap-tiap masyarakat harus memiliki “rejim kebenaran”nya sendiri-sendiri sesuai dengan periode jamannya.

Dan saat ini, pengamen menjadi salah satu korban dari “rejim kebenaran” itu. Atas nama “kebenaran”, sebuah hegemoni epistemologis telah memaksa mereka masuk dalam “stereotip” sampah masyarakat. Mereka dikategorikan sebagai kelompok sosial yang menjadi benalu sosial, yang seharusnya tak ada dan harus hilang. Padahal, mereka juga memiliki episteme yang sama sahnya dengan episteme kelompok sosial lain.

Episteme sang pengamen juga bisa berkata bahwa pengamen adalah manusia yang juga berjuang melawan hidup, yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan kelompok sosial lainnya. Hanya saja episteme mereka harus kalah dengan episteme kelas berkuasa yang mampu menjadikan epistemenya sebagai “rejim kebenaran”.

Bangunan makna inilah yang kemudian memasukkan pengamen dalam bangunan makna bipolar, yang meletakkan pengamen dalam dikotomi yang baik dan buruk, yang beriman dan kafir, dalam sebuah kesadaran bahwa ritus adalah yang menyatukan dunia dan Tuhan.

Bangunan ini kemudian coba mereka lawan dengan menghadapkannya pada satu realitas eksistensi mereka dengan lirik-lirik lagu yang dikarangnya, agar bisa menempatkan mereka dalam posisi yang juga sama terhomat dengan manusia yang lain.

Selasa, 31 Maret 2009

Mengukur Derajat Partisipasi Masyarakat Kota Depok Dalam Perencanaan Penganggaran

Karya: Yenny Sucipto & Roy Prigyna

1. Depok, Sampah dan Banjir
Wilayah Kota Depok berada di sebelah selatan Propinsi DKI Jakarta berawal dari sebuah Kecamatan yang berada dalam lingkungan Kawedanan (Pembantu Bupati) Wilayah Parung Kabupaten Bogor. Sejak tahun 1981 Kota Depok oleh Pemerintah dilepaskan dari Kabupaten Bogor untuk dijadikan Kota Administratif (Kotatif) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1981. Jumlah penduduk di Kota Depok tahun 2005 mencapai 1.374.522 jiwa, terdiri atas laki-laki 696.329 jiwa (50,66%) dan perempuan 678.193 jiwa (49,34%). Luas wilayahnya cukup besar untuk sebuah kota yaitu 200,29 km2 dengan tingkat kepadatan penduduk 6.863 jiwa/km2. Untuk angka kelahiran penduduk dari tahun 1999 sampai 2004 cenderung fluktuatif, demikian juga angka kematian berfluktuasi hampir mendekati pola angka kelahiran. Pada tahun 2004, angka kelahiran sebesar 3.713 jiwa dan angka kematian 1,962 jiwa.
Pemerintah Kota (Pemkot) Depok sejak tahun 2007 oleh banyak kalangan diakui sukses dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat di tengah pesatnya pembangunan Kota Depok. Beberapa masalah krusial yang dinilai sukses ditangani Pemerintah Depok adalah masalah sampah dan pelestarian situ. Masalah sampah telah lama menempatkan Kota Depok dalam predikat sebagai salah satu kota terkotor di Indonesia. Dampak yang ditimbulkannya pun tidak sederhana, penumpukan sampah yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun membuat tingkat pencemaran lingkungan ikut meningkat sehingga mengancam kualitas kesehatan masyarakat ke wilayah rentan penyakit akibat persebaran bibit penyakit yang ditimbulkan dari sampah-sampah yang tidak terangkut. Belum lagi rusaknya estetika kota karena tertutupi oleh sampah. Berdasarkan data Pemkot Depok, pada tahun 2005 jumlah volume sampah perhari sebesar 3.000 m3, sedangkan yang mampu terangkut baru sebesar 1.320 m3 (44 %), dan pada tahun 2006 jumlah volume sampah meningkat menjadi 3.200 m3 per hari dan volume yang terangkut hanya sebesar 1.752 m3 (54,74 %).
Masalah krusial kedua yang dihadapi masyarakat Kota Depok adalah ancaman bencana banjir yang dari tahun ke tahun volumenya cenderung meningkat dan meluas dengan durasi yang semakin tinggi, sehingga berakibat meluasnya korban bencana di wilayah pemukiman terutama yang berada di wilayah hilir (DKI Jakarta). Beberapa penyebab terjadinya banjir berdasarkan data dari Pemkot Depok adalah kurangnya penataan drainase dan Daerah Aliran Sungai (DAS), belum termanfaatkannya situ sebagai kawasan resapan air, banyaknya lahan-lahan kritis, serta masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam penanganan masalah banjir.
Menghadapi kedua permasalahan tersebut (sampah dan banjir) Pemkot Depok telah mengeluarkan 2 (dua) program unggulan untuk mengatasi penumpukan sampah dan banjir, yaitu program sistem pengelolaan sampah terpadu (SIPESAT) dan program pengendalian banjir melalui pelestarian dan pemanfaatan fungsi situ. Menariknya, dari kedua program tersebut kedua-duanya di-claim menggunakan pola partisipatif yang berarti terdapat unsur keterlibatan masyarakat di dalamnya.
Dalam program SIPESAT, konsep yang dikembangkan Pemkot Depok adalah mengenalkan prinsip pengelolaan 4R-P, reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), replace (mengganti barang berpotensi sampah ke arah bahan recycle), dan participation (pelibatan masyarakat). Pendauran ulang dilakukan dengan cara mengolah sampah untuk dijadikan bahan yang lebih bermanfaat seperti kompos, briket, dan energi listrik. Dalam prakteknya, program SIPESAT lebih banyak dilakukan dengan memadukan 2 (dua) konsep pengelolaan yaitu mereduksi dan membangun partisipasi. Konsep reduksi mengacu pada sistem yang dikembangkan di Turki yaitu mereduksi sampah dengan mengolahnya menjadi kompos. Sampah yang bisa dijadikan kompos hanyalah sampah organik, sehingga dibutuhkan upaya pemilahan terlebih dahulu sebelum mengolahnya menjadi kompos. Untuk menjalankan pemilahan itulah Walikota kemudian memiliki sebuah gagasan untuk melibatkan partisipasi seluruh masyarakat Kota Depok. Model partisipasi yang digagas Pemkot Depok adalah mengajak masyarakat untuk bersama-sama melakukan kegiatan pemilahan sampah antara sampah organik dan non organik.
Di dalam program pelestarian dan pemanfaatan fungsi situ, Pemkot Depok telah melaksanakannya sejak tahun 1999 dengan membentuk Kelompok Kerja Pengendalian, Pengamanan dan Pelestarian Fungsi Situ-Situ (Pokja Situ) melalui Keputusan Walikota No. 821.29/71/Kpts/Huk/1999. Dalam perkembangan berikutnya (2005) keanggotaan Pokja Situ diremajakan (direkstrukturisasi) atas dorongan konsorsium LSM bernama Gugus Kerja Good Governance Jaringan Advokasi Anggaran (GGKG-JANGKAR) yang ikut terlibat aktif dalam kerja advokasi pelestarian situ di Kota Depok. Keanggotaan Pokja Situ yang awalnya kebanyakan diisi oleh pejabat dan PNS Pemkot Depok digantikan dari unsur-unsur masyarakat murni agar lebih efektif dan partisipatif. Tugas dan fungsi Pokja Situ adalah menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pengelolaan situ-situ di Kota Depok, menyelenggarakan rehabilitasi, konservasi, penertiban, pengamanan, pemeliharaan dan pemberdayaan fungsi situ-situ secara tepat, berdaya guna dan berhasil guna.
Kedua program tersebut sampai saat ini dinilai telah berhasil mengatasi permasalahan sampah dan pelestarian situ di Kota Depok dengan pola-pola partisipatif dari awal sampai pada saat realisasi program, sehingga menjadi menarik untuk diketahui lebih jauh mengenai tingkat dan derajat partisipasi masyarakat yang coba dibangun dan terbangun dan seperti apa pola dan bentuk partisipasinya.

2. Regulasi dan Praktik Perencanaan Penganggaran Partisipatif Kota Depok
Untuk Kota Depok, regulasi yang mengatur secara khusus tentang partisipasi masyarakat dalam kebijakan dan anggaran belum diatur dalam peraturan khusus misalnya Perda tentang partisipasi seperti yang telah dilakukan di daerah-daerah lain selama ini. Partisipasi masyarakat hanya diatur secara tersirat di dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok No.1 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Di dalamnya dinyatakan bahwa dalam rangka menyiapkan penyusunan APBD, DPRD dan Pemerintah Daerah diwajibkan melaksanakan proses penjaringan aspirasi masyarakat dengan berpedoman pada Rencana Strategis Daerah. Hasil penyaringan aspirasi tersebut akan dijadikan pedoman untuk menetapkan arah dan kebijakan umum APBD. Sebelum APBD dibahas dan ditetapkan dengan Perda, DPRD juga diwajibkan untuk mensosialisasikan RAPBD kepada masyarakat agar mendapatkan masukan terlebih dahulu. Hasil masukan tersebut akan dijadikan bahan kajian dalam penyempurnaan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang akan dilampirkan dan didokumentasikan dalam Perda tersebut.
Dalam hal teknis pelaksanaan partisipasi perencanaan peganggaran, Pemkot Depok masih merujuk kepada regulasi nasional yaitu Surat Edaran Bersama (SEB) Mendagri dan Meneg BUMN No.1181/M/PPN/02/2006 tahun 2006 yang memberikan ruang kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi melalui forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan sampai tingkat kabupaten/kota. Di dalam musrenbang tersebut, setiap masyarakat dapat menyampaikan usulan dan program-programnya untuk ditampung dan nantinya akan disusun berdasarkan skala prioritas kebutuhan masyarakat.
Karena belum adanya Peraturan Daerah Kota Depok yang mengatur tentang teknis musrenbang maka dalam pelaksanaan musrenbang yang dilakukan di Kota Depok selama ini juga mengacu kepada peraturan nasional yaitu Permendagri No.13/2006 yang mengatur teknis-teknis pelaksanaan musrenbang.
Dalam praktiknya, berdasarkan pengalaman FITRA Depok selama melakukan advokasi pengawalan musrenbang, pelaksanaannya dinilai cenderung tidak efektif dengan derajat partisipasi yang sangat rendah. Penyebabnya karena telah terjadi kegagalan proses partisipasi sejak tahap awal. Tidak ada satu pun RT yang melaksanakan forum pra musrenbang dalam rangka menyerap aspirasi dan tuntutan masyarakatnya. Akibatnya ruang partisipasi menjadi tertutup, padahal level ini sangat penting dan menentukan sebagai embrio lahirnya gagasan dari masyarakat. Begitu pula di tingkat pra musrenbang RW, sebagian besar RW juga tidak melaksanakan kegiatan pra musrenbang di wilayahnya. Memang masih terdapat beberapa RW yang melaksanakannya, namun peserta yang diundang hanyalah terbatas pengurus RT tanpa melibatkan masyarakat sama sekali. Begitu pula yang terjadi di tingkat musrenbang kelurahan, para peserta yang diundang oleh panitia hanyalah para pengurus RW. Dengan kualitas musrenbang yang demikian sudah dapat dipastikan tidak akan ada usulan dan gagasan yang murni digali dan disampaikan oleh masyarakat karena ruang partisipasi telah terputus sejak awal.
Dari hasil penelitian, memang terlihat belum ada upaya dan komitmen serius dari pihak Pemkot Depok untuk memperbaiki kualitas musrenbang yang masih rendah derajat partisipasinya. Bahkan terlihat adanya kesan yang memandang remeh terhadap pentingnya partisipasi masyarakat di dalam perencanaan dan penyusunan kebijakan dan anggaran. Sebagian pandangan elit Depok terutama di level kelurahan masih menempatkan masyarakat sebagai obyek yang tidak dibutuhkan partisipasinya terutama di tingkat perencanaan. Sebab masyarakat dinilai belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mengenal, memprioritasi dan menerjemahkan kebutuhan mereka dalam pembangunan. Oleh karena itu bagaimanapun tetap pemerintahlah yang harus menjadi aktor dominan dalam tahap perencanaan, penyusunan dan penetapan arah kebijakan dan anggaran termasuk dalam menetapkan skala prioritas kebutuhan masyarakat di dalam musrenbang. Akibatnya forum musrenbang yang dijalankan hanyalah sebatas kegiatan formalitas untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan tanpa diimbangi kesungguhan untuk menggali gagasan dan aspirasi masyarakat. Forum musrenbang lebih cenderung bersifat sosialisasi dan penyuluhan daripada sharing dan assesment.
Dalam beberapa kasus, pola musrenbang demikian berimplikasi pada pengamputasian proses “partisipasi”. Partisipasi masyarakat dalam kebijakan dan anggaran yang seharusnya dibangun sejak tahap awal perencanaan, dipotong dan baru dimulai pada tahap pelaksanaan (realisasi) program. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam kasus SIPESAT. Wacana dan gagasan tentang pengelolaan sampah tidak dirintis dan digali dari masyarakat melalui forum-forum musrenbang namun bergulir terbatas di level elit kekuasaan. Bahkan ketika gagasan SIPESAT dicetuskan oleh Walikota Depok, gagasan tersebut tidak pernah di-sharing-kan dengan masyarakat untuk memperkaya gagasan. Sehingga partisipasi pada tahap perencanaan sama sekali tidak terbangun. Partisipasi baru mulai terlihat ketika SIPESAT telah menjadi salah satu prioritas program pembangunan di Kota Depok yang ditetapkan dalam RPJMD 2006-2011, yang itupun karena kebetulan sistem pengelolaan sampahnya menuntut adanya kerjasama dengan masyarakat. Partisipasi tersebut kemudian diterjemahkan dengan melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pelaksana program pengelolaan sampah terpadu dengan memberikan tugas dan tanggung jawab memilah sampah di level rumah tangga.
Begitu pula dalam kasus SITU, awalnya program pelestarian SITU merupakan program dari pemerintah Pusat melalui Surat Instruksi Mendagri No.14 Tahun 1998 tentang pembinaan dan pengelolaan situ-situ di wilayah Jabodetabek. Dasar lahirnya surat instruksi tersebut disebabkan penurunan fungsi Situ yang berakibat banjir di berbagai wilayah di DKI Jakarta. Bahkan dari tahun ke tahun cenderung meluas ke berbagai wilayah.
Sebagaimana diketahui selama ini situ lebih banyak dikenal sebagai daerah resapan air yang memiliki fungsi pokok pengendalian banjir. Di wilayah Jabotabek, situ memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga volume air agar tidak meningkat menjadi banjir khususnya di wilayah hilir (DKI Jakarta). Saat ini di kawasan Jabodetabek tercatat masih terdapat 198 situ alami dan buatan yang tersebar secara merata. Dari jumlah tersebut, sebanyak 134 (68%) situ dalam keadaan rusak dan hanya 42 (20%) situ yang berada dalam kondisi baik. Sementara sebanyak 9 (4,5%) situ telah terkonversi menjadi permukiman atau bangunan lain, dan 2 situ hilang atau tidak jelas keberadaannya. Khusus Kota Depok, dari 30 situ yang ada, diperkirakan sebanyak 28 situ berada dalam kondisi kritis. Hal tersebut disebabkan selain endapan gulma, teratai liar dan tumbuhan enceng gondok yang menutup permukaan air, juga karena ulah penduduk yang memanfaatkan situ sebagai empang dan permukiman. Sementara para pengembang juga banyak memakai lahan rawa dan situ untuk pembangunan real estate. Seperti Rawa Denok yang diatasnya kini berdiri perumahan Griya Pancoran Mas dan Rawa Buta yang dibekas lahannya kini berdiri komplek perumahan BDNI.
Untuk menindaklanjuti surat instruksi Mendagri tersebut, Pemkot Depok akhirnya membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Situ melalui Keputusan Walikota Depok Nomor 821.29/71/Kpts/Huk/1999 dengan tugas pokok menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pengelolaan situ-situ; serta menyelenggarakan rehabilitasi, konservasi, penertiban, pengamanan, pemeliharaan, dan pemberdayaan fungsi-fungsi situ secara tepat, berdaya guna dan berhasil guna melalui pemberdayaan masyarakat
Namun dalam perkembangannya pembentukan Pokja Situ tersebut cenderung tidak efektif. Penyebabnya karena keanggotaan Situ sebagian besar diisi dari pejabat-pejabat dinas pemerintahan Kota Depok sendiri beserta camat dan lurah yang telah memiliki tugas dan pekerjaannya sendiri berkaitan dengan profesinya sebagai PNS. Sehingga kerja-kerja pengelolaan situ menjadi terlantar karena dinomor duakan oleh para pejabat itu sendiri. Akibatnya sebagian besar Pokja Situ dalam kurun waktu 1999 sampai tahun 2005 cenderung stagnan. Kalaupun terdapat program-program pelestarian situ seperti pengerukan dan penurapan, kerja-kerja tersebut murni atas inisiatif Pemerintah sendiri baik Pemerintah Pusat maupun Pemkot Depok tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Alasan yang terungkap mengenai diisinya Pokja Situ oleh pegawai pemerintahan (bukan oleh masyarakat sekitar situ) karena hanya para PNS yang paling rasional dan memungkinkan untuk menjalankan tugas-tugas pengelolaan dan pelestarian situ, tidak mungkin melibatkan masyarakat walaupun disadari hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Namun bentuk pelibatan masyarakat tidak dalam level Pokja Situ karena tingkat kesadaran masyarakat terhadap kelestarian situ saat itu masih dipandang rendah. Bahkan masyarakat dituding sebagai aktor yang paling banyak menyebabkan kritisnya situ diberbagai wilayah di Kota Depok karena tindakan-tindakan reclaiming dan pengkonversian liar menjadi lahan pemukiman, sawah dan tambak/empang.
Oleh karena itu, tugas berat yang diberikan kepada Pokja Situ saat itu adalah berupaya membangun dan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya peranan situ serta mengajak mereka untuk ikut bertanggungjawab dalam mengelola situ. Namun ternyata tugas-tugas tersebut gagal karena selain vakum-nya Pokja situ, juga tidak tersampaikannya urgensi pengelolaan situ ke masyarakat dengan baik. Sebab pemerintah tidak pernah berupaya mendalami kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekitar situ untuk kemudian diintegrasikan dengan program pelestarian situ. Akibatnya masyarakat merasa tidak mendapatkan manfaat apapun (manfaat yang dapat dirasakan secara langsung) dengan ikut mengelola dan melestarikan situ misalnya dalam bentuk kerja bakti penurapan dan pengerukan situ.
Adalah masyarakat sekitar situ Sawangan yang pada akhirnya mampu mengintegrasikan kebutuhan masyarakat dengan pogram pelestarian situ dengan cara mengembangkan bibit tanaman hias disekitar bibir situ sehingga mengubahnya menjadi kawasan pertamanan yang cukup indah. Nilai estetika yang dimunculkan dari taman-taman tanaman hias di sekitar situ tersebut telah memunculkan daya tarik masyarakat untuk datang dan menjadikannya sebagai sarana rekreasi. Pemanfaatan situ sebagai sarana rekreasi tersebut secara tidak langsung telah memberikan manfaat dan keuntungan tersendiri bagi masyarakat sekitar situ Sawangan. Berbagai kegiatan ekonomi pun mulai berkembang seiring dengan semakin ramainya masyarakat yang datang untuk berekreasi.
Gagasan masyarakat situ Sawangan tersebut memang sangat menarik untuk dianalisis sebab kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian situ justru lahir secara alami dari masyarakat tanpa terpengaruh dengan ada atau tidaknya program dan alokasi anggaran pelestarian situ dari pemerintah. Gagasan ini juga secara tidak langsung telah mematahkan tesis yang menyatakan upaya pelestarian situ akan selalu berkontradiksi dengan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar situ. Tesis tersebut didasarkan pada satu pandangan bahwa di satu sisi pelestarian situ dibutuhkan untuk konservasi, cadangan air dan pengendali banjir, di sisi lain kebutuhan ekonomi masyarakat memaksa situ dikonversi menjadi pemukiman, sawah dan tambak ikan. Sehingga sampai kapanpun upaya pelestarian situ tersebut tidak akan pernah berjalan efektif karena akan terus berbenturan dengan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar situ sendiri. Namun tesis ini berhasil dipatahkan oleh masyarakat situ Sawangan. Pelestarian situ dan kebutuhan ekonomi masyarakat ternyata mampu disinergikan dalam hubungan simbiosis mutualism (saling menguntungkan) dengan mengembangkan pemanfaatan situ sebagai sarana rekreasi. Dengan pola seperti yang dibangun di Sawangan maka pelestarian situ dapat berjalan secara alami karena masyarakat akan membangun kesadarannya sendiri karena merasa ikut berkepentingan atas kelestarian situ sebagai salah satu mata pencaharian mereka.
Gagasan masyarakat sekitar situ Sawangan ini pun akhirnya ditangkap dan coba dikembangkan oleh 2 (dua) NGO Depok yang concern dibidang lingkungan hidup yaitu Forum Depok Sehat dan Depok Wacht (DEWA). Pola pemanfaatan situ di Sawangan akhirnya menjadi sumber inspirasi untuk menyusun sebuah program pelestarian situ dengan cara menjadikan situ sebagai obyek wisata berwawasan lingkungan (agro wisata) seperti yang dilakukan masyarakat Sawangan. Dalam penyusunan program tersebut, Forum Depok Sehat dan Depok Wacht menggunakan konsorsium NGO’s yang telah ada sebelumnya yaitu Gugus Kerja untuk Good Governance Jaringan Advokasi Anggaran (GKGG-JANGKAR) untuk lebih memperkuat kerja-kerja advokasi pelestarian situ yang akan dilaksanakan.
Rencana program pelestarian situ yang disusun JANGKAR tersebut dalam perkembangannya ternyata mendapatkan dukungan dari lembaga donor Local Governance Support Program (LGSP)-USAID dalam pendanaannya. Kerja-kerja yang dilakukan JANGKAR untuk memperluas ide pemanfaatan situ sebagai obyek wisata adalah melakukan kerja-kerja advokasi kepada masyarakat di 19 (sembilan belas) lokasi situ.

3. Menilai Derajat Partisipasi
Derajat Partisipasi dalam Program Sistem Pengelolaan
Sampah Terpadu
Dalam Program Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu (SIPESAT), derajat partisipasi masyarakatnya cenderung rendah karena partisipasi baru dimulai ditahapan realisasi program. Forum musrenbang yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai wahana partisipasi urun rembug untuk menyelesaikan persoalan sampah, sama sekali tidak digunakan oleh Pemkot Depok. Permasalahan penanganan sampah cenderung bergulir terbatas dalam diskursus-diskursus di wilayah elit, tidak terkonsumsi dan disentuhkan ke tengah masyarakat secara langsung. Di dalam forum-forum musrenbang, masyarakat tidak pernah diajak untuk membahas dan mencari solusi program yang jitu dalam menangani sampah Kota Depok. Masalah sampah diperlihatkan seolah bukan menjadi persoalan yang perlu dibahas di dalam musrenbang yang ditunjukkan dengan tidak adanya penjelasan secara khusus dari perwakilan pemerintah kecuali sebatas menunjukkan program-program kebersihan secara umum sehingga terlihat seolah tidak ada masalah apa-apa terhadap sampah Kota Depok. Peserta yang hadir dalam musrenbang pun akhirnya ikut terbawa pada penilaian yang sama sehingga tidak ada inisiatif apapun yang bisa dibangun dalam musrenbang dalam menghadapi permasalahan sampah Kota Depok.
Wahana partisipasi mulai dibangun oleh Pemkot Depok selaku pencetus gagasan SIPESAT pada saat SIPESAT telah selesai ditingkatan konsep untuk diarahkan ketingkatan lebih lanjut dalam kebijakan program pembangunan Kota Depok. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan wahana musrenbang dimana Pemkot Depok secara khusus mensosialisasikan rencana program SIPESAT kepada masyarakat yang hadir didalam musrenbang di seluruh Kelurahan. Namun jika dianalisis lebih jauh, sosialisasi itu sebenarnya bukan ditujukan untuk membangun partisipasi masyarakat, tetapi lebih cenderung mengarah pada upaya penggalangan dukungan dan legitimasi dari masyarakat agar SIPESAT tidak terlihat sebagai program subyektif Pemkot Depok.
Konsep partisipasi SIPESAT disusun dengan memadukan 2 (dua) konsep pengelolaan yaitu mereduksi dan membangun partisipasi. Konsep reduksi dilakukan dengan cara mengolah sampah organik menjadi kompos. Untuk memilah sampah organik dan non organik dijalankan dengan melibatkan partisipasi seluruh masyarakat Kota Depok. Model partisipasi yang dikehendaki adalah membiasakan masyarakat untuk langsung memilah sampahnya ke dalam 2 (dua) tempat yaitu tempat sampah organik (sisa sayuran, nasi, dll) dan tempat sampah non organik (plastik, kayu, besi, dll). Untuk itu akan disediakan tempat penampungan sampah di tiap-tiap lingkungan masyarakat yang juga telah terpilah/terpisah.
Sebagai langkah awal, program yang dilakukan oleh Pemkot Depok adalah rencana pembangunan pilot project SIPESAT dan sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat dalam rangka membangun kesadaran. Dalam rangka efektifitas sosialisasi SIPESAT, Pemkot Depok melalui Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup membangun kerjasama dengan NGO’S yang concern terhadap isu lingkungan hidup di Kota Depok seperti “Forum Depok Sehat”, tokoh masyarakat dan ulama untuk dilibatkan ke dalam tim sosialisasi. Sasaran sosialisasi adalah elemen-elemen masyarakat yang dipandang potensial dan mampu menggerakkan masyarakat antara lain kelompok PKK, Majelis Ta’lim dan Karang Taruna. Ketiga elemen tersebut paling tidak dinilai telah memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam berbagai kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat secara langsung. Elemen-elemen tersebut akan dicetak menjadi kader-kader (team leader) yang bertugas membangun kesadaran masyarakat sekaligus menggerakkannya dalam kegiatan pemilahan sampah.
Untuk membangun pilot project (proyek percontohan) SIPESAT, Pemkot Depok melaksanakannya dengan membangun kerjasama secara langsung dengan masyarakat yang diwakili oleh Lembaga Perwakilan Masyarakat (LPM) sebagai lembaga perwakilan rakyat di tingkat kelurahan. Menurut mantan Kepala Seksi Kebersihan dan Lingkungan, Komaruddin, dipilihnya unsur LPM didasarkan pada 2 (dua) pertimbangan pokok, pertama LPM merupakan representasi (wakil) masyarakat di masing-masing kelurahan, wujud konsistensi terhadap konsep partisipasi masyarakat yang dikembangkan Pemkot Depok. Kedua rencana pembangunan Unit Pengolahan Sampah (UPS) memang akan dipusatkan di tiap-tiap kelurahan sehingga LPM Kelurahan mau tidak mau sangat dibutuhkan keterlibatannya.
Dalam perkembangannya, akhirnya LPM yang dipilih adalah LPM Kelurahan Tugu Asri. Pertimbangan pemilihan LPM Tugu Asri, masih berdasarkan keterangan mantan Kasi Kebersihan dan Lingkungan, karena LPM Tugu Asri adalah LPM yang paling siap untuk melaksanakan pilot project SIPESAT dibandingkan dengan LPM-LPM lainnya di Kota Depok. Kesiapan tersebut dilihat dari tingkat kesadaran masyarakat Tugu Asri yang telah terbangun dengan bagus, disamping itu juga telah terdapat lokasi tanah yang dapat dijadikan sebagai tempat pengolahan sampah (tanah Fasilitas Sosial-Fasilitas Umum yang dikelola Pemkot Depok). Dari pengamatan di lapangan, Kelurahan Tugu Asri rata-rata dihuni oleh masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas. Domisili (kediaman) Walikota Depok juga berada di wilayah Kelurahan Tugu Asri.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa keterlibatan LPM pada dasarnya merupakan bagian dari cara yang dilakukan Pemkot Depok untuk mencairkan dana APBD bagi program SIPESAT. Sebab pada saat itu (2006) program SIPESAT belum menjadi bagian dari program resmi Kota Depok sehingga tidak ada anggarannya di dalam APBD 2006. Satu-satunya peluang untuk mengambil dana dari APBD hanyalah dari pos dana bencana alam yang akan dicairkan dalam bentuk dana stimulan dengan syarat harus ada permintaan dari masyarakat secara langsung. Oleh karena itu akhirnya mau tidak mau Pemkot Depok harus membangun kerjasama dengan LPM. Bentuk kerjasamanya adalah dengan menyerahkan pelaksanaan (pengelolaan) pilot project SIPESAT kepada LPM yang ditunjuk, sehingga LPM dimaksud dapat mengajukan proposal pencairan dana untuk program SIPESAT kepada Pemkot Depok. Dana stimulan yang dicairkan untuk LPM Tugu Asri totalnya sebesar Rp 111 juta yang dipergunakan untuk biaya operasional pengelolaan sampah.
Secara umum gagasan SIPESAT memang telah mendapatkan banyak dukungan di tingkatan masyarakat setelah adanya proses sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup di berbagai seminar dan di dalam forum musrenbang. Namun banyak juga masyarakat yang menolaknya karena kekhawatiran akan terganggunya lingkungan mereka dari bau busuk yang ditimbulkan sampah jika tempatnya dijadikan lokasi pengolahan sampah.
Untuk di tingkatan elit responnya cenderung lebih rumit karena bercampur aduk dengan konflik pasca Pilkada. Pada awalnya, gagasan SIPESAT tidak didukung bahkan tidak disetujui oleh sebagian besar anggota DPRD Kota Depok kecuali yang berasal dari fraksi PKS. Bentuk ketidak-setujuan tersebut ditunjukkan dengan tidak didukungnya program SIPESAT masuk sebagai salah satu program di dalam APBD 2007. Dalam APBD Perubahan 2007 program SIPESAT juga masih ditolak dengan alasan program tersebut masih perlu dikaji lebih dalam lagi sehingga di diubah menjadi program kajian dengan alokasi anggaran Rp 150 juta. Itupun gagal dicairkan karena APBD P 2007 terlambat disahkan (baru disahkan bulan November 2007) karena memang sengaja diulur-ulur oleh DPRD Kota Depok.
Alasan penolakan DPRD (non Fraksi PKS) sebenarnya lebih bersifat politis. Menurut DPRD program SIPESAT dinilai sangat “berbau” Nurmahmudi karena selama proses sosialisasi baik di tingkatan masyarakat, media massa dan daerah-daerah lain, Walikota sengaja membangun opini untuk memunculkan sebuah asumsi publik bahwa program SIPESAT adalah karya dan gagasan pribadi Nurmahmudi (Walikota) yang notabene adalah kader PKS. Sehingga program SIPESAT bagi kelompok oposisi dipandang tidak lebih sebagai bentuk kampanye untuk mengharumkan nama Nurmahmudi dan partainya sendiri (PKS).
Akhirnya di dalam pembahasan R-APBD 2008 gagasan SIPESAT disetujui menjadi program Pemkot Depok setelah adanya “kompromi politik” antara Walikota dan DPRD. Kompromi politiknya adalah nama SIPESAT harus diganti menjadi program UPS (Unit Pengolahan Sampah). Pengubahan nama tersebut oleh kelompok oposisi di DPRD dinilai penting agar program pengolahan sampah di Kota Depok dapat berjalan secara fair tanpa perlu lagi ada claim dari Walikota bahwa program SIPESAT adalah gagasan pribadinya. Di dalam APBD 2008 telah disetujui alokasi anggaran sebesar Rp 120 milyar yang akan digunakan untuk pengadaan alat (mesin) pengolah sampah sebanyak 20 unit, masing-masing unit harganya Rp 300 juta, sisanya digunakan untuk biaya operasional alat juga sebesar Rp 300 juta per unit. Namun sampai penelitian ini selesai dilaksanakan, APBD 2008 Kota Depok masih belum disahkan.

Derajat Partisipasi dalam Program Pelestarian Situ
Partisipasi masyarakat dalam isu pelestarian situ mulai terbangun ketika konsorsium NGO’S Depok yang tergabung dalam JANGKAR mulai melakukan kerja-kerja advokasi pelestarian situ. Partisipasi tersebut didasarkan pada sebuah ide pemanfaatan situ sebagai obyek wisata alam seperti yang dikembangkan oleh masyarakat situ Sawangan. Konsep tersebut memang belum pernah tergali dan tersampaikan ke wilayah pengambil kebijakan karena tidak ada upaya dari masyarakat Sawangan untuk menjadikannya sebagai proyek percontohan. Disamping itu, kondisi situ Sawangan yang cukup baik membuat masyarakat Sawangan merasa tidak terlalu membutuhkan bantuan pemerintah dari sisi anggaran dalam upaya meningkatkan fasilitas-fasilitas publik di sekitar situ untuk meningkatkan daya tarik wisatawan. Wajar jika kemudian, perkembangan situ yang telah menjadi obyek wisata belum pernah disampaikan di dalam forum partisipatif (musrenbang) sehingga tidak sampai terekspos ke tingkatan yang lebih luas. Akhirnya program-program lingkungan hidup Kota Depok yang berkaitan dengan pengelolaan situ masih terbatas pada ide-ide yang terfokus pada perbaikan fisik bersifat pelestarian belaka belum menyentuh pada program-program pengembangan pariwisata.
Di luar Sawangan, khususnya di masyarakat sekitar situ lainnya, proses partisipasi dalam pelestarian situ terutama di tahap usulan perencanaan hampir dikatakan tidak ada. Penyebabnya karena masyarakat tidak melihat adanya manfaat terhadap kelestarian situ diwilayahnya sehingga tidak masuk dalam usulan kebutuhan masyarakat. Justru sebaliknya, atas dasar tuntutan ekonomi membuat masyarakat melakukan inovasi-inovasi bersifat naluriah dengan memanfaatkan (mengkonversi) situ sebagai lahan sawah, pemukiman dan tambak ikan. Masyarakat sebenarnya menyadari jika tindakan pengkonversian situ tersebut merupakan tindakan yang salah karena mengancam kelestarian dan keberadaan situ sebagai sumber resapan air. Namun lilitan ekonomi akibat kemiskinan membuat masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain menjadikan situ sebagai lahan ekonomi mereka. Itulah kenapa program-program pelestarian situ yang disosialisasikan dalam musrenbang oleh pemerintah tidak mendapatkan respon sama sekali dari masyarakat sekitar situ.
JANGKAR-lah yang kemudian mencoba untuk memulai proses partisipasi dengan masuk ke tengah-tengah masyarakat di 19 (sembilan belas) situ yang tersebar di wilayah Depok dengan membawa isu pelestarian isu dengan memanfaatkan sebagai obyek wisata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar situ dengan menjadikan situ Sawangan sebagai contoh kasus. Proses partisipasi dibangun melalui kerja-kerja advokasi yang bersifat penyadaran dan kontrol terhadap kebijakan. Upaya penyadaran dilakukan dengan cara membangun diskusi-diskusi komunitas serta dialog dengan masyarakat secara langsung. Pada tahap awal advokasi, materi diskusi yang dibangun oleh JANGKAR difokuskan pada pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya musrenbang sebagai sarana masyarakat dalam mengajukan gagasan, aspirasi dan tuntutannya agar arah pembangunan dan kebijakan anggaran Kota Depok bisa lebih berpihak kepada mereka. Dengan materi tersebut diharapkan akan lahir kesadaran masyarakat atas anggaran sehinga mau berperan serta dalam setiap perencanaan anggaran yang dimulai dari forum musrenbang.
Di tengah-tengah diskusi, JANGKAR juga melakukan berbagai assesment terhadap kemiskinan untuk mengidentifikasi kebutuhan mendasar (basic need) masyarakat sekitar situ. Hasil indentifikasi tersebut kemudian diklasifikasi ke beberapa sektor, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur ekonomi. Pasca identifikasi, JANGKAR mengajak masyarakat bersama-sama untuk merumuskan program alternatif (yang nantinya akan disampaikan dalam musrenbang) yang dinilai berpeluang mengentaskan kemiskinan yang dihadapi masyarakat, yang salah satunya sengaja didorong untuk diarahkan pada adanya usulan program pemanfaatan situ sebagai obyek wisata dengan mengambil contoh Situ Sawangan. Namun sebelum diarahkan pada usulan program tersebut masyarakat telah terlebih dahulu diajak sharing dan diskusi tentang persoalan kelestarian situ yang seringkali berbenturan dengan kebutuhan ekonomi masyarakat yang diarahkan pada satu kesimpulan bahwa ternyata situ tetap bisa dimanfaatkan tanpa harus mengkonversinya menjadi lahan sawah maupun tambak ikan, tetapi bisa juga dengan mengembangkannya sebagai obyek wisata tanpa harus mengganggu kelestarian situ itu sendiri.
Untuk lebih menjamin kualitas partisipasi masyarakat dalam musrenbang sekaligus sebagai kontrol terhadap jalannya musrenbang, JANGKAR juga melakukan langkah-langkah intervensi dengan cara ikut hadir mengawal musrenbang di tiap tingkatan. Menurut JANGKAR pengawalan tersebut sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan forum mengingat antara masyarakat dan pemerintah dalam forum musrenbang tidak berangkat dari level yang sejajar. Budaya minderwarde dan keterbatasan pengetahuan masyarakat adalah kelemahan-kelemahan yang membuat seringkali forum musrenbang berjalan timpang sehingga didominasi pihak pemerintah. Oleh karena itu mengawal proses musrenbang dengan cara menjaga keseimbangan forum menjadi sangat penting untuk menjamin tuntutan-tuntutan masyarakat tersampaikan seutuhnya tanpa perlu ada pemotongan, kooptasi dan intervensi dari pemerintah.
Pengawalan musrenbang juga diharapkan akan membantu masyarakat dalam membangun rasa percaya diri mereka. Sebab rasa percaya diri tersebut menjadi syarat mutlak dalam forum musrenbang karena dengan demikian masyarakat akan berani menegosiasikan tuntutan mereka terhadap pemerintah (tidak lagi hanya sebatas mengusulkan). Dan dengan adanya keberanian bernegosiasi diharapkan akan terbangun proses bargaining yang cepat atau lambat –seiring dengan meningkatnya rasa percaya diri masyarakat– akan membuat forum musrenbang berjalan seimbang, tak lagi timpang.
Langkah-langkah advokasi lain yang dilakukan JANGKAR dalam upaya memperdalam partisipasi masyarakat adalah dengan jalan memotong jalur penyaluran aspirasi dan tuntutan masyarakat. Yang awalnya saluran partisipasi hanya terfokus pada musrenbang yang bertingkat-tingkat dan membutuhkan waktu yang cukup panjang dan lama, ditempuh dengan jalan mengadakan hearing langsung dengan eksekutif dan legislatif. Dengan hearing tersebut diharapkan usulan-usulan masyarakat dapat langsung diterima oleh pemegang kebijakan tanpa perlu lagi diperumit oleh birokrasi seperti di dalam musrenbang.
Keberhasilan paling menonjol dalam pembangunan partisipasi masyarakat yang dilakukan oleh JANGKAR adalah terestrukturisasinya Pokja Situ digantikan dari unsur-unsur masyarakat murni. Dalam perkembangannya, Pokja Situ yang dibentuk ulang oleh JANGKAR tersebut ternyata cukup efektif dalam meningkatkan derajat partisipasi masyarakat karena Pokja Situ mampu menjadi leader dalam gerakan-gerakan advokasi pelestarian situ selanjutnya, bahkan kini Pokja Situ telah mampu membangun jaringannya sendiri baik dengan pemerintah, media massa maupun NGO’s.
Jika dilihat darp wahana-wahana partisipasi yang terbangun, program pelestarian Situ derajat partisipasinya jauh lebih tinggi dibandingkan SIPESAT. Hal ini tidak terlepas dari peran JANGKAR sebagai aktor utama yang terus berupaya memperluas wahana-wahana partisipasi masyarakat dalam pelestarian Situ. Langkah pertama yang dilakukan JANGKAR adalah mencoba mengefektifkan wahana partisipasi yang telah tersedia dan diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu musrenbang. Hal ini didasarkan pada realitas pelaksanaan musrenbang Kota Depok yang tidak efektif karena stagnan di tingkat bawah dan distorsif di tingkatan atas sehingga perlu dibenahi dan diefektifkan pelaksanaannya. Stagnannya musrenbang dapat diketahui dari tidak dilaksanakannya forum pra musrenbang di tingkatan terbawah (tingkat RT dan RW) sehingga penyampaian aspirasi dan gagasan masyarakat di tingkat ini menjadi terputus yang berakibat tertutupnya ruang partisipasi. Distorsifnya pelaksanaan musrenbang dapat diketahui dari kehadiran peserta yang seharusnya melibatkan seluruh masyarakat berdasarkan Permendagri No.13/2006 namun ternyata hanya melibatkan para pengurus RW, dan itupun banyak yang tidak hadir.
Atas realitas itulah maka JANGKAR mencoba untuk memperbaiki kualitas wahana partisipasi musrenbang tersebut dengan melakukan kerja-kerja advokasi untuk mengajak masyarakat ikut hadir dan berpartisipasi aktif di dalam musrenbang. Untuk melakukan kerja advokasi bersifat penyadaran memang tidak mudah bagi JANGKAR karena realitas sebagian besar masyarakat belum memahami arti pentingnya musrenbang sebagai wahana partisipasi dalam menetapkan kebijakan dan anggaran. Bahkan sebagian besar masyarakat tidak tahu dan belum pernah terlibat atau mengikuti musrenbang. Oleh karena itu langkah awal yang dilakukan JANGKAR adalah memberikan pemahaman dan kesadaran terlebih dahulu akan pentingnya musrenbang dalam upaya menuntut hak-hak mereka atas anggaran dan kebijakan agar lebih berpihak kepada masyarakat.
Pasca pemberian pemahaman tentang musrenbang, JANGKAR masih memiliki satu kendala yang cukup sulit dalam mengefektifkan wahana musrenbang ketika menghubungkannya dengan isu perlunya pelestarian situ. Sebagian besar masyarakat masih enggan membahas dan mengusulkan pelestarian situ di dalam musrenbang karena dinilai tidak berhubungan dengan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Isu pelestarian situ dinilai bukanlah prioritas yang perlu untuk dituntut masyarakat karena isu tersebut hanya membahas masalah lingkungan hidup yang tidak akan memberi pengaruh apa-apa terhadap masalah kemiskinan yang dihadapi masyarakat. Sebaliknya, sebagian masyarakat merasa khawatir dan takut jika isu pelestarian situ diangkat dan disuarakan justru akan mengancam keberadaan lahan-lahan sawah dan tambak ikan yang mereka garap karena diperoleh dari hasil mengkonversi situ.
Walaupun JANGKAR telah memberikan alternatif pemanfaatan situ dengan menjadikannya sebagai obyek wisata sehingga tidak perlu lagi mengkonversinya, tetap saja masyarakat masih gamang untuk mengusulkannya dalam musrenbang. Namun setelah berbagai proses pendekatan dan dialog lebih intens dengan jaminan bahwa isu pelestarian situ tidak akan mengusik keberadaan sawah dan tambak ikan masyarakat, akhirnya lambat laun kesadaran dan keberanian masyarakat untuk menjadikan isu pelestarian situ sebagai bagian dari program mulai terbangun. Di berbagai musrenbang Kelurahan mulai muncul usulan-usulan program pemanfaatan situ sebagai obyek wisata untuk dijadikan sebagai salah satu kebijakan program Pemkot Depok. Masyarakat juga mulai berani menuntut pengalokasian anggaran yang lebih dalam program-program situ yang selama ini diberikan oleh Pemerintah. Jika awalnya program pelestarian situ hanya sebatas perbaikan sarana fisik berupa penurapan dan pengerukan, masyarakat sudah mulai meminta alokasi anggaran untuk penambahan fasilitas-fasilitas wisata seperti pengadaan bibit ikan untuk pemancingan dan pengadaan perahu sampan sebagai sarana rekreasi. Masyarakat juga meminta alokasi anggaran yang lebih untuk perbaikan infrastruktur fisik khususnya untuk pembuatan dan perbaikan jalan (pengaspalan) di sekitar situ, pembuatan jogging track dan penanaman pohon untuk memperindah situ.
Masih dalam upaya mengefektifkan wahana musrenbang, JANGKAR juga melakukan kontrol dan pengawalan terhadap jalannya musrenbang di tiap tingkatan, mulai dari tingkat kelurahan sampai tingkat Kota. Pengawalan tersebut dilakukan untuk 2 (dua) tujuan pokok yaitu, pertama memberikan dorongan moral kepada masyarakat dampingan agar timbul semangat dan rasa percaya diri sehingga akan mengarahkan forum musrenbang agar lebih berimbang; kedua menjaga usulan-usulan program dari masyarakat tidak sampai terpotong, karena belajar dari pengalaman di daerah lain banyak usulan-usulan masyarakat yang hilang ketika sudah memasuki tingkatan musrenbang yang lebih tinggi terutama pada saat dilakasanakannya musrenbang tingkat kota.
Selain mengefektifkan forum musrenbang sebagai wahana partisipasi masyarakat, JANGKAR juga melakukan beberapa terobosan dengan menciptakan wahana partisipasi lain yang dipandang lebih efektif dari musrenbang yaitu mengajak masyarakat yang tergabung ke dalam Pokja Situ untuk beraudiensi dan hearing dengan para pemegang kebijakan di wilayah eksekutif dan legislatif. Tujuannya tetap sama yaitu menyampaikan usulan-usulan program yang didasarkan pada kebutuhan dasar masyarakat yang digali oleh masyarakat sendiri. Wahana ini ternyata cukup efektif karena usulan-usulan masyarakat langsung dapat diterima para pemegang kebijakan tanpa harus melalui birokrasi dan proses yang bertingkat-tingkat seperti musrenbang yang kadang justru membuat usulan program dari masyarakat lenyap tidak terdeteksi.
Beberapa capaian kerja advokasi yang dilakukan JANGKAR jika diukur dari produk kebijakan telah berhasil melahirkan kesepakatan bersama antara Pemkot Depok dan JANGKAR (mewakili masyarakat) yang dituangkan dalam Surat Kesepakatan Kerjasama Nomor: 006/002/2005 tertanggal 5 Oktober 2005 yang isinya bersepakat menjalankan program bersama untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas serta penyediaan pelayanan di kota Depok yang salah satu prioritasnya adalah pemanfaatan situ, danau dan sungai sebagai obyek wisata berwawasan lingkungan (wisata agro).
Atas kesepakatan kerjasama tersebut, akhirnya program-program pelestarian situ melalui pemanfaatan sebagai obyek wisata alam mulai teralokasikan di dalam APBD. Di dalam APBD Kota Depok, kerja advokasi JANGKAR dalam pelestarian Situ telah dituangkan dimasukkan ke Pos Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan dalam program Pengelolaan Situ Berbasis Masyarakat. Untuk tahun 2007, alokasi pengelolaan situ sebesar Rp 107,63 juta untuk Situ Bahar yang terletak di Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Sukmajaya. Program-program yang telah dilaksanakan antara lain: pembersihan situ, perbaikan jalan sekitar situ, pembuatan bando dan papan larangan, pengadaan paving block dan pengadaan bibit tanaman. Untuk tahun 2008 alokasi pengelolaan situ masih sama dengan alokasi di tahun 2007 yaitu Rp 107,63 juta namun lokasi situnya difokuskan ke Situ Sawangan yang terletak di Kelurahan Sawangan, Kecamatan Sawangan. Program-programnya antara lain: pembersihan situ, perbaikan jalan sekitar situ, pembuatan bando dan pengadaan bahan baku bangunan.

4. Belajar dari Proses Partisipasi Kota Depok
Dari hasil penelitian di Kota Depok dapat diketahui jika model partisipasi yang dibangun dalam forum musrenbang Kota Depok ternyata masih mengandung beberapa kelemahan yang membuat rendahnya derajat partisipasi masyarakat. Beberapa penyebabnya antara lain:
a) Bagi masyarakat, forum musrenbang adalah pengalaman baru untuk terlibat dalam proses perencanaan kebijakan dan anggaran, sehingga masih dibutuhkan waktu untuk membangun rasa percaya diri mereka agar berani dan kritis dalam menyampaikan pendapat, gagasan dan aspirasinya. Namun pemerintah (Pemkot Depok) sepertinya tidak (mau) memahami persoalan ini sehingga di dalam forum musrenbang pemerintah masih bersifat hegemonik dan arogan sehingga membuat masyarakat semakin minder dan takut untuk menyampaikan pendapat dan gagasannya. Akibatnya forum musrenbang berjalan secara timpang dan lebih mirip forum sosialisasi program daripada forum penggalian aspirasi.
b) Tingkat kesadaran terhadap urgensi partisipasi masyarakat dalam musrenbang masih sangat rendah khususnya di tingkatan kelurahan ke bawah. Masih banyak pandangan yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan sebenarnya tidak perlu dilaksanakan karena masyarakat dinilai tidak akan mampu menyusun program-program pembangunan. Oleh karena itu di Kota Depok pembangunan partisipasi masyarakat menjadi tertutup karena telah diamputasi sejak dari pra musrenbang RT/RW sampai musrenbang tingkat kelurahan dengan tidak melibatkan masyarakat secara langsung di dalamnya.
c) Forum musrenbang tidak pernah diakhiri dengan pembuatan kesepakatan besama antara pemerintah dan masyarakat. Akibatnya forum musrenbang lebih cenderung bersifat konsultatif, dimana tidak ada keharusan dari pemerintah untuk menindaklanjutinya ke dalam program kebijakan dan anggaran. Tidak ada sanksi jika usulan masyarakat tidak diteruskan kecuali moral dan etik. Dengan demikian potensi hilangnya usulan-usulan masyarakat ketika memasuki lingkar kekuasaan sangat besar. Model yang seperti demikian harus diakui sama sekali tidak partisipatif karena tidak adanya aturan yang memaksa pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan aspirasi masyarakatnya.
Bagi internal Pemkot Depok, pada umumnya konsep partisipasi masih lebih banyak diartikan pada upaya pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan program. Partisipasi yang seharusnya dimulai dari proses perencanaan dipotong langsung pada realisasi program. Dalam menyusun rencana-rencana program, gagasan lebih banyak dicetus, didiskusikan dan diselesaikan di wilayah elit, musrenbang hanyalah alat sosialisasi program yang telah dicetus. Tidak terlihat adanya upaya mengajak sharing dan urun rembug masyarakat dalam memecahkan persoalan-persoalan publik untuk kemudian diterjemahkan pada solusi program. Jika menggunakan bahasa sederhana “masyarakat tinggal terima jadi, urusan konsep diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah sehingga tidak perlu ada partisipasi”.
Forum-forum diskusi publik yang dikemas dalam bentuk-bentuk hearing atau audiensi dengan pemerintah ternyata lebih efektif dalam membuka dan meningkatkan derajat partisipasi masyarakat dibandingkan dengan metode partisipasi yang dikembangkan dalam musrenbang. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain:
a) Masyarakat bisa langsung menyampaikan tuntutan-tuntutannya di tingkatan tertinggi. Berbeda dengan musrenbang yang harus diusulkan secara bertingkat mulai dari tahap pra musrenbang RT sampai musrenbang Kota, yang justru membuat banyak usulan masyarakat yang hilang tidak tersampaikan pada saat memasuki tahap pembahasan anggaran.
b) Masyarakat memiliki ruang dan kesempatan yang cukup luas dalam menyampaikan berbagai tuntutan dan persoalan karena terfokus pada satu atau dua isu saja, berbeda dengan musrenbang yang langsung membahas semua sektor.
c) Pemerintah tidak lagi sebagai pihak penyampai program seperti yang dilakukan di dalam musrenbang, tetapi lebih banyak menjadi pendengar dan penyerap dari setiap tuntutan dan aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat sehingga masyarakat memiliki keberanian untuk berbicara lebih panjang disertai argumen dan berbagai rasionalisasi atas tuntutannya.
d) Kesempatan untuk bernegosiasi lebih terbuka karena adanya argumen dan rasionalisasi yang mendasari tuntutan dari masyarakat dimana pemerintah mau tidak mau harus menyampaikan responnya disertai rasionalisasi pula. Pada saat itulah negosiasi berjalan sampai berada pada titik yang dapat mempertemukan antara tuntutan masyarakat dan kebijakan pemerintah.
Di tengah proses pembelajaran masyarakat berpartisipasi dalam proses pembangunan, peranan NGO’s ataupun CSO lain yang concern terhadap penganggaran partisipatif ternyata masih sangat dibutuhkan untuk membantu masyarakat dalam membangun kesadarannya akan hak-haknya atas anggaran, serta perlunya pemberdayaan masyarakat terhadap segala hal yang berkait dengan anggaran untuk membangun pola pikir kritis masyarakat. Peran NGO masih sangat menentukan peningkatan derajat partisipasi masyarakat.
Dari hasil penelitian di Kota Depok juga dapat ketahui bahwa ternyata tidak semua isu kebijakan publik yang bisa diarahkan pada upaya pembangunan partisipasi masyarakat. Belajar dari Kota Depok, pembangunan partisipasi masyarakat dalam penanganan sampah dan pelestarian situ menghadapi kendala besar karena kedua isu tersebut tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur ekonomi. Wajar jika kemudian proses membangun partisipasi dengan menggunakan isu kebijakan publik ini (sampah dan pelestarian situ) sangat sulit dikembangkan ke tengah masyarakat. Sebab masyarakat tidak dapat mengkaitkan antara manfaat kedua isu tersebut dengan kebutuhan dasar mereka. Bahasa sederhana yang dipakai masyarakat misalnya: “kotor atau bersihnya Kota Depok, rusak tidaknya situ di Kota Depok tetap saja miskin.” (diambil dari buku Inovasi 5 Daerah diterbitkan oleh FPPM)