Selasa, 31 Maret 2009

Mengukur Derajat Partisipasi Masyarakat Kota Depok Dalam Perencanaan Penganggaran

Karya: Yenny Sucipto & Roy Prigyna

1. Depok, Sampah dan Banjir
Wilayah Kota Depok berada di sebelah selatan Propinsi DKI Jakarta berawal dari sebuah Kecamatan yang berada dalam lingkungan Kawedanan (Pembantu Bupati) Wilayah Parung Kabupaten Bogor. Sejak tahun 1981 Kota Depok oleh Pemerintah dilepaskan dari Kabupaten Bogor untuk dijadikan Kota Administratif (Kotatif) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1981. Jumlah penduduk di Kota Depok tahun 2005 mencapai 1.374.522 jiwa, terdiri atas laki-laki 696.329 jiwa (50,66%) dan perempuan 678.193 jiwa (49,34%). Luas wilayahnya cukup besar untuk sebuah kota yaitu 200,29 km2 dengan tingkat kepadatan penduduk 6.863 jiwa/km2. Untuk angka kelahiran penduduk dari tahun 1999 sampai 2004 cenderung fluktuatif, demikian juga angka kematian berfluktuasi hampir mendekati pola angka kelahiran. Pada tahun 2004, angka kelahiran sebesar 3.713 jiwa dan angka kematian 1,962 jiwa.
Pemerintah Kota (Pemkot) Depok sejak tahun 2007 oleh banyak kalangan diakui sukses dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat di tengah pesatnya pembangunan Kota Depok. Beberapa masalah krusial yang dinilai sukses ditangani Pemerintah Depok adalah masalah sampah dan pelestarian situ. Masalah sampah telah lama menempatkan Kota Depok dalam predikat sebagai salah satu kota terkotor di Indonesia. Dampak yang ditimbulkannya pun tidak sederhana, penumpukan sampah yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun membuat tingkat pencemaran lingkungan ikut meningkat sehingga mengancam kualitas kesehatan masyarakat ke wilayah rentan penyakit akibat persebaran bibit penyakit yang ditimbulkan dari sampah-sampah yang tidak terangkut. Belum lagi rusaknya estetika kota karena tertutupi oleh sampah. Berdasarkan data Pemkot Depok, pada tahun 2005 jumlah volume sampah perhari sebesar 3.000 m3, sedangkan yang mampu terangkut baru sebesar 1.320 m3 (44 %), dan pada tahun 2006 jumlah volume sampah meningkat menjadi 3.200 m3 per hari dan volume yang terangkut hanya sebesar 1.752 m3 (54,74 %).
Masalah krusial kedua yang dihadapi masyarakat Kota Depok adalah ancaman bencana banjir yang dari tahun ke tahun volumenya cenderung meningkat dan meluas dengan durasi yang semakin tinggi, sehingga berakibat meluasnya korban bencana di wilayah pemukiman terutama yang berada di wilayah hilir (DKI Jakarta). Beberapa penyebab terjadinya banjir berdasarkan data dari Pemkot Depok adalah kurangnya penataan drainase dan Daerah Aliran Sungai (DAS), belum termanfaatkannya situ sebagai kawasan resapan air, banyaknya lahan-lahan kritis, serta masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam penanganan masalah banjir.
Menghadapi kedua permasalahan tersebut (sampah dan banjir) Pemkot Depok telah mengeluarkan 2 (dua) program unggulan untuk mengatasi penumpukan sampah dan banjir, yaitu program sistem pengelolaan sampah terpadu (SIPESAT) dan program pengendalian banjir melalui pelestarian dan pemanfaatan fungsi situ. Menariknya, dari kedua program tersebut kedua-duanya di-claim menggunakan pola partisipatif yang berarti terdapat unsur keterlibatan masyarakat di dalamnya.
Dalam program SIPESAT, konsep yang dikembangkan Pemkot Depok adalah mengenalkan prinsip pengelolaan 4R-P, reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), replace (mengganti barang berpotensi sampah ke arah bahan recycle), dan participation (pelibatan masyarakat). Pendauran ulang dilakukan dengan cara mengolah sampah untuk dijadikan bahan yang lebih bermanfaat seperti kompos, briket, dan energi listrik. Dalam prakteknya, program SIPESAT lebih banyak dilakukan dengan memadukan 2 (dua) konsep pengelolaan yaitu mereduksi dan membangun partisipasi. Konsep reduksi mengacu pada sistem yang dikembangkan di Turki yaitu mereduksi sampah dengan mengolahnya menjadi kompos. Sampah yang bisa dijadikan kompos hanyalah sampah organik, sehingga dibutuhkan upaya pemilahan terlebih dahulu sebelum mengolahnya menjadi kompos. Untuk menjalankan pemilahan itulah Walikota kemudian memiliki sebuah gagasan untuk melibatkan partisipasi seluruh masyarakat Kota Depok. Model partisipasi yang digagas Pemkot Depok adalah mengajak masyarakat untuk bersama-sama melakukan kegiatan pemilahan sampah antara sampah organik dan non organik.
Di dalam program pelestarian dan pemanfaatan fungsi situ, Pemkot Depok telah melaksanakannya sejak tahun 1999 dengan membentuk Kelompok Kerja Pengendalian, Pengamanan dan Pelestarian Fungsi Situ-Situ (Pokja Situ) melalui Keputusan Walikota No. 821.29/71/Kpts/Huk/1999. Dalam perkembangan berikutnya (2005) keanggotaan Pokja Situ diremajakan (direkstrukturisasi) atas dorongan konsorsium LSM bernama Gugus Kerja Good Governance Jaringan Advokasi Anggaran (GGKG-JANGKAR) yang ikut terlibat aktif dalam kerja advokasi pelestarian situ di Kota Depok. Keanggotaan Pokja Situ yang awalnya kebanyakan diisi oleh pejabat dan PNS Pemkot Depok digantikan dari unsur-unsur masyarakat murni agar lebih efektif dan partisipatif. Tugas dan fungsi Pokja Situ adalah menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pengelolaan situ-situ di Kota Depok, menyelenggarakan rehabilitasi, konservasi, penertiban, pengamanan, pemeliharaan dan pemberdayaan fungsi situ-situ secara tepat, berdaya guna dan berhasil guna.
Kedua program tersebut sampai saat ini dinilai telah berhasil mengatasi permasalahan sampah dan pelestarian situ di Kota Depok dengan pola-pola partisipatif dari awal sampai pada saat realisasi program, sehingga menjadi menarik untuk diketahui lebih jauh mengenai tingkat dan derajat partisipasi masyarakat yang coba dibangun dan terbangun dan seperti apa pola dan bentuk partisipasinya.

2. Regulasi dan Praktik Perencanaan Penganggaran Partisipatif Kota Depok
Untuk Kota Depok, regulasi yang mengatur secara khusus tentang partisipasi masyarakat dalam kebijakan dan anggaran belum diatur dalam peraturan khusus misalnya Perda tentang partisipasi seperti yang telah dilakukan di daerah-daerah lain selama ini. Partisipasi masyarakat hanya diatur secara tersirat di dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok No.1 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Di dalamnya dinyatakan bahwa dalam rangka menyiapkan penyusunan APBD, DPRD dan Pemerintah Daerah diwajibkan melaksanakan proses penjaringan aspirasi masyarakat dengan berpedoman pada Rencana Strategis Daerah. Hasil penyaringan aspirasi tersebut akan dijadikan pedoman untuk menetapkan arah dan kebijakan umum APBD. Sebelum APBD dibahas dan ditetapkan dengan Perda, DPRD juga diwajibkan untuk mensosialisasikan RAPBD kepada masyarakat agar mendapatkan masukan terlebih dahulu. Hasil masukan tersebut akan dijadikan bahan kajian dalam penyempurnaan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang akan dilampirkan dan didokumentasikan dalam Perda tersebut.
Dalam hal teknis pelaksanaan partisipasi perencanaan peganggaran, Pemkot Depok masih merujuk kepada regulasi nasional yaitu Surat Edaran Bersama (SEB) Mendagri dan Meneg BUMN No.1181/M/PPN/02/2006 tahun 2006 yang memberikan ruang kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi melalui forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan sampai tingkat kabupaten/kota. Di dalam musrenbang tersebut, setiap masyarakat dapat menyampaikan usulan dan program-programnya untuk ditampung dan nantinya akan disusun berdasarkan skala prioritas kebutuhan masyarakat.
Karena belum adanya Peraturan Daerah Kota Depok yang mengatur tentang teknis musrenbang maka dalam pelaksanaan musrenbang yang dilakukan di Kota Depok selama ini juga mengacu kepada peraturan nasional yaitu Permendagri No.13/2006 yang mengatur teknis-teknis pelaksanaan musrenbang.
Dalam praktiknya, berdasarkan pengalaman FITRA Depok selama melakukan advokasi pengawalan musrenbang, pelaksanaannya dinilai cenderung tidak efektif dengan derajat partisipasi yang sangat rendah. Penyebabnya karena telah terjadi kegagalan proses partisipasi sejak tahap awal. Tidak ada satu pun RT yang melaksanakan forum pra musrenbang dalam rangka menyerap aspirasi dan tuntutan masyarakatnya. Akibatnya ruang partisipasi menjadi tertutup, padahal level ini sangat penting dan menentukan sebagai embrio lahirnya gagasan dari masyarakat. Begitu pula di tingkat pra musrenbang RW, sebagian besar RW juga tidak melaksanakan kegiatan pra musrenbang di wilayahnya. Memang masih terdapat beberapa RW yang melaksanakannya, namun peserta yang diundang hanyalah terbatas pengurus RT tanpa melibatkan masyarakat sama sekali. Begitu pula yang terjadi di tingkat musrenbang kelurahan, para peserta yang diundang oleh panitia hanyalah para pengurus RW. Dengan kualitas musrenbang yang demikian sudah dapat dipastikan tidak akan ada usulan dan gagasan yang murni digali dan disampaikan oleh masyarakat karena ruang partisipasi telah terputus sejak awal.
Dari hasil penelitian, memang terlihat belum ada upaya dan komitmen serius dari pihak Pemkot Depok untuk memperbaiki kualitas musrenbang yang masih rendah derajat partisipasinya. Bahkan terlihat adanya kesan yang memandang remeh terhadap pentingnya partisipasi masyarakat di dalam perencanaan dan penyusunan kebijakan dan anggaran. Sebagian pandangan elit Depok terutama di level kelurahan masih menempatkan masyarakat sebagai obyek yang tidak dibutuhkan partisipasinya terutama di tingkat perencanaan. Sebab masyarakat dinilai belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mengenal, memprioritasi dan menerjemahkan kebutuhan mereka dalam pembangunan. Oleh karena itu bagaimanapun tetap pemerintahlah yang harus menjadi aktor dominan dalam tahap perencanaan, penyusunan dan penetapan arah kebijakan dan anggaran termasuk dalam menetapkan skala prioritas kebutuhan masyarakat di dalam musrenbang. Akibatnya forum musrenbang yang dijalankan hanyalah sebatas kegiatan formalitas untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan tanpa diimbangi kesungguhan untuk menggali gagasan dan aspirasi masyarakat. Forum musrenbang lebih cenderung bersifat sosialisasi dan penyuluhan daripada sharing dan assesment.
Dalam beberapa kasus, pola musrenbang demikian berimplikasi pada pengamputasian proses “partisipasi”. Partisipasi masyarakat dalam kebijakan dan anggaran yang seharusnya dibangun sejak tahap awal perencanaan, dipotong dan baru dimulai pada tahap pelaksanaan (realisasi) program. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam kasus SIPESAT. Wacana dan gagasan tentang pengelolaan sampah tidak dirintis dan digali dari masyarakat melalui forum-forum musrenbang namun bergulir terbatas di level elit kekuasaan. Bahkan ketika gagasan SIPESAT dicetuskan oleh Walikota Depok, gagasan tersebut tidak pernah di-sharing-kan dengan masyarakat untuk memperkaya gagasan. Sehingga partisipasi pada tahap perencanaan sama sekali tidak terbangun. Partisipasi baru mulai terlihat ketika SIPESAT telah menjadi salah satu prioritas program pembangunan di Kota Depok yang ditetapkan dalam RPJMD 2006-2011, yang itupun karena kebetulan sistem pengelolaan sampahnya menuntut adanya kerjasama dengan masyarakat. Partisipasi tersebut kemudian diterjemahkan dengan melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pelaksana program pengelolaan sampah terpadu dengan memberikan tugas dan tanggung jawab memilah sampah di level rumah tangga.
Begitu pula dalam kasus SITU, awalnya program pelestarian SITU merupakan program dari pemerintah Pusat melalui Surat Instruksi Mendagri No.14 Tahun 1998 tentang pembinaan dan pengelolaan situ-situ di wilayah Jabodetabek. Dasar lahirnya surat instruksi tersebut disebabkan penurunan fungsi Situ yang berakibat banjir di berbagai wilayah di DKI Jakarta. Bahkan dari tahun ke tahun cenderung meluas ke berbagai wilayah.
Sebagaimana diketahui selama ini situ lebih banyak dikenal sebagai daerah resapan air yang memiliki fungsi pokok pengendalian banjir. Di wilayah Jabotabek, situ memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga volume air agar tidak meningkat menjadi banjir khususnya di wilayah hilir (DKI Jakarta). Saat ini di kawasan Jabodetabek tercatat masih terdapat 198 situ alami dan buatan yang tersebar secara merata. Dari jumlah tersebut, sebanyak 134 (68%) situ dalam keadaan rusak dan hanya 42 (20%) situ yang berada dalam kondisi baik. Sementara sebanyak 9 (4,5%) situ telah terkonversi menjadi permukiman atau bangunan lain, dan 2 situ hilang atau tidak jelas keberadaannya. Khusus Kota Depok, dari 30 situ yang ada, diperkirakan sebanyak 28 situ berada dalam kondisi kritis. Hal tersebut disebabkan selain endapan gulma, teratai liar dan tumbuhan enceng gondok yang menutup permukaan air, juga karena ulah penduduk yang memanfaatkan situ sebagai empang dan permukiman. Sementara para pengembang juga banyak memakai lahan rawa dan situ untuk pembangunan real estate. Seperti Rawa Denok yang diatasnya kini berdiri perumahan Griya Pancoran Mas dan Rawa Buta yang dibekas lahannya kini berdiri komplek perumahan BDNI.
Untuk menindaklanjuti surat instruksi Mendagri tersebut, Pemkot Depok akhirnya membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Situ melalui Keputusan Walikota Depok Nomor 821.29/71/Kpts/Huk/1999 dengan tugas pokok menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pengelolaan situ-situ; serta menyelenggarakan rehabilitasi, konservasi, penertiban, pengamanan, pemeliharaan, dan pemberdayaan fungsi-fungsi situ secara tepat, berdaya guna dan berhasil guna melalui pemberdayaan masyarakat
Namun dalam perkembangannya pembentukan Pokja Situ tersebut cenderung tidak efektif. Penyebabnya karena keanggotaan Situ sebagian besar diisi dari pejabat-pejabat dinas pemerintahan Kota Depok sendiri beserta camat dan lurah yang telah memiliki tugas dan pekerjaannya sendiri berkaitan dengan profesinya sebagai PNS. Sehingga kerja-kerja pengelolaan situ menjadi terlantar karena dinomor duakan oleh para pejabat itu sendiri. Akibatnya sebagian besar Pokja Situ dalam kurun waktu 1999 sampai tahun 2005 cenderung stagnan. Kalaupun terdapat program-program pelestarian situ seperti pengerukan dan penurapan, kerja-kerja tersebut murni atas inisiatif Pemerintah sendiri baik Pemerintah Pusat maupun Pemkot Depok tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Alasan yang terungkap mengenai diisinya Pokja Situ oleh pegawai pemerintahan (bukan oleh masyarakat sekitar situ) karena hanya para PNS yang paling rasional dan memungkinkan untuk menjalankan tugas-tugas pengelolaan dan pelestarian situ, tidak mungkin melibatkan masyarakat walaupun disadari hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Namun bentuk pelibatan masyarakat tidak dalam level Pokja Situ karena tingkat kesadaran masyarakat terhadap kelestarian situ saat itu masih dipandang rendah. Bahkan masyarakat dituding sebagai aktor yang paling banyak menyebabkan kritisnya situ diberbagai wilayah di Kota Depok karena tindakan-tindakan reclaiming dan pengkonversian liar menjadi lahan pemukiman, sawah dan tambak/empang.
Oleh karena itu, tugas berat yang diberikan kepada Pokja Situ saat itu adalah berupaya membangun dan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya peranan situ serta mengajak mereka untuk ikut bertanggungjawab dalam mengelola situ. Namun ternyata tugas-tugas tersebut gagal karena selain vakum-nya Pokja situ, juga tidak tersampaikannya urgensi pengelolaan situ ke masyarakat dengan baik. Sebab pemerintah tidak pernah berupaya mendalami kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekitar situ untuk kemudian diintegrasikan dengan program pelestarian situ. Akibatnya masyarakat merasa tidak mendapatkan manfaat apapun (manfaat yang dapat dirasakan secara langsung) dengan ikut mengelola dan melestarikan situ misalnya dalam bentuk kerja bakti penurapan dan pengerukan situ.
Adalah masyarakat sekitar situ Sawangan yang pada akhirnya mampu mengintegrasikan kebutuhan masyarakat dengan pogram pelestarian situ dengan cara mengembangkan bibit tanaman hias disekitar bibir situ sehingga mengubahnya menjadi kawasan pertamanan yang cukup indah. Nilai estetika yang dimunculkan dari taman-taman tanaman hias di sekitar situ tersebut telah memunculkan daya tarik masyarakat untuk datang dan menjadikannya sebagai sarana rekreasi. Pemanfaatan situ sebagai sarana rekreasi tersebut secara tidak langsung telah memberikan manfaat dan keuntungan tersendiri bagi masyarakat sekitar situ Sawangan. Berbagai kegiatan ekonomi pun mulai berkembang seiring dengan semakin ramainya masyarakat yang datang untuk berekreasi.
Gagasan masyarakat situ Sawangan tersebut memang sangat menarik untuk dianalisis sebab kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian situ justru lahir secara alami dari masyarakat tanpa terpengaruh dengan ada atau tidaknya program dan alokasi anggaran pelestarian situ dari pemerintah. Gagasan ini juga secara tidak langsung telah mematahkan tesis yang menyatakan upaya pelestarian situ akan selalu berkontradiksi dengan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar situ. Tesis tersebut didasarkan pada satu pandangan bahwa di satu sisi pelestarian situ dibutuhkan untuk konservasi, cadangan air dan pengendali banjir, di sisi lain kebutuhan ekonomi masyarakat memaksa situ dikonversi menjadi pemukiman, sawah dan tambak ikan. Sehingga sampai kapanpun upaya pelestarian situ tersebut tidak akan pernah berjalan efektif karena akan terus berbenturan dengan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar situ sendiri. Namun tesis ini berhasil dipatahkan oleh masyarakat situ Sawangan. Pelestarian situ dan kebutuhan ekonomi masyarakat ternyata mampu disinergikan dalam hubungan simbiosis mutualism (saling menguntungkan) dengan mengembangkan pemanfaatan situ sebagai sarana rekreasi. Dengan pola seperti yang dibangun di Sawangan maka pelestarian situ dapat berjalan secara alami karena masyarakat akan membangun kesadarannya sendiri karena merasa ikut berkepentingan atas kelestarian situ sebagai salah satu mata pencaharian mereka.
Gagasan masyarakat sekitar situ Sawangan ini pun akhirnya ditangkap dan coba dikembangkan oleh 2 (dua) NGO Depok yang concern dibidang lingkungan hidup yaitu Forum Depok Sehat dan Depok Wacht (DEWA). Pola pemanfaatan situ di Sawangan akhirnya menjadi sumber inspirasi untuk menyusun sebuah program pelestarian situ dengan cara menjadikan situ sebagai obyek wisata berwawasan lingkungan (agro wisata) seperti yang dilakukan masyarakat Sawangan. Dalam penyusunan program tersebut, Forum Depok Sehat dan Depok Wacht menggunakan konsorsium NGO’s yang telah ada sebelumnya yaitu Gugus Kerja untuk Good Governance Jaringan Advokasi Anggaran (GKGG-JANGKAR) untuk lebih memperkuat kerja-kerja advokasi pelestarian situ yang akan dilaksanakan.
Rencana program pelestarian situ yang disusun JANGKAR tersebut dalam perkembangannya ternyata mendapatkan dukungan dari lembaga donor Local Governance Support Program (LGSP)-USAID dalam pendanaannya. Kerja-kerja yang dilakukan JANGKAR untuk memperluas ide pemanfaatan situ sebagai obyek wisata adalah melakukan kerja-kerja advokasi kepada masyarakat di 19 (sembilan belas) lokasi situ.

3. Menilai Derajat Partisipasi
Derajat Partisipasi dalam Program Sistem Pengelolaan
Sampah Terpadu
Dalam Program Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu (SIPESAT), derajat partisipasi masyarakatnya cenderung rendah karena partisipasi baru dimulai ditahapan realisasi program. Forum musrenbang yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai wahana partisipasi urun rembug untuk menyelesaikan persoalan sampah, sama sekali tidak digunakan oleh Pemkot Depok. Permasalahan penanganan sampah cenderung bergulir terbatas dalam diskursus-diskursus di wilayah elit, tidak terkonsumsi dan disentuhkan ke tengah masyarakat secara langsung. Di dalam forum-forum musrenbang, masyarakat tidak pernah diajak untuk membahas dan mencari solusi program yang jitu dalam menangani sampah Kota Depok. Masalah sampah diperlihatkan seolah bukan menjadi persoalan yang perlu dibahas di dalam musrenbang yang ditunjukkan dengan tidak adanya penjelasan secara khusus dari perwakilan pemerintah kecuali sebatas menunjukkan program-program kebersihan secara umum sehingga terlihat seolah tidak ada masalah apa-apa terhadap sampah Kota Depok. Peserta yang hadir dalam musrenbang pun akhirnya ikut terbawa pada penilaian yang sama sehingga tidak ada inisiatif apapun yang bisa dibangun dalam musrenbang dalam menghadapi permasalahan sampah Kota Depok.
Wahana partisipasi mulai dibangun oleh Pemkot Depok selaku pencetus gagasan SIPESAT pada saat SIPESAT telah selesai ditingkatan konsep untuk diarahkan ketingkatan lebih lanjut dalam kebijakan program pembangunan Kota Depok. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan wahana musrenbang dimana Pemkot Depok secara khusus mensosialisasikan rencana program SIPESAT kepada masyarakat yang hadir didalam musrenbang di seluruh Kelurahan. Namun jika dianalisis lebih jauh, sosialisasi itu sebenarnya bukan ditujukan untuk membangun partisipasi masyarakat, tetapi lebih cenderung mengarah pada upaya penggalangan dukungan dan legitimasi dari masyarakat agar SIPESAT tidak terlihat sebagai program subyektif Pemkot Depok.
Konsep partisipasi SIPESAT disusun dengan memadukan 2 (dua) konsep pengelolaan yaitu mereduksi dan membangun partisipasi. Konsep reduksi dilakukan dengan cara mengolah sampah organik menjadi kompos. Untuk memilah sampah organik dan non organik dijalankan dengan melibatkan partisipasi seluruh masyarakat Kota Depok. Model partisipasi yang dikehendaki adalah membiasakan masyarakat untuk langsung memilah sampahnya ke dalam 2 (dua) tempat yaitu tempat sampah organik (sisa sayuran, nasi, dll) dan tempat sampah non organik (plastik, kayu, besi, dll). Untuk itu akan disediakan tempat penampungan sampah di tiap-tiap lingkungan masyarakat yang juga telah terpilah/terpisah.
Sebagai langkah awal, program yang dilakukan oleh Pemkot Depok adalah rencana pembangunan pilot project SIPESAT dan sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat dalam rangka membangun kesadaran. Dalam rangka efektifitas sosialisasi SIPESAT, Pemkot Depok melalui Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup membangun kerjasama dengan NGO’S yang concern terhadap isu lingkungan hidup di Kota Depok seperti “Forum Depok Sehat”, tokoh masyarakat dan ulama untuk dilibatkan ke dalam tim sosialisasi. Sasaran sosialisasi adalah elemen-elemen masyarakat yang dipandang potensial dan mampu menggerakkan masyarakat antara lain kelompok PKK, Majelis Ta’lim dan Karang Taruna. Ketiga elemen tersebut paling tidak dinilai telah memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam berbagai kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat secara langsung. Elemen-elemen tersebut akan dicetak menjadi kader-kader (team leader) yang bertugas membangun kesadaran masyarakat sekaligus menggerakkannya dalam kegiatan pemilahan sampah.
Untuk membangun pilot project (proyek percontohan) SIPESAT, Pemkot Depok melaksanakannya dengan membangun kerjasama secara langsung dengan masyarakat yang diwakili oleh Lembaga Perwakilan Masyarakat (LPM) sebagai lembaga perwakilan rakyat di tingkat kelurahan. Menurut mantan Kepala Seksi Kebersihan dan Lingkungan, Komaruddin, dipilihnya unsur LPM didasarkan pada 2 (dua) pertimbangan pokok, pertama LPM merupakan representasi (wakil) masyarakat di masing-masing kelurahan, wujud konsistensi terhadap konsep partisipasi masyarakat yang dikembangkan Pemkot Depok. Kedua rencana pembangunan Unit Pengolahan Sampah (UPS) memang akan dipusatkan di tiap-tiap kelurahan sehingga LPM Kelurahan mau tidak mau sangat dibutuhkan keterlibatannya.
Dalam perkembangannya, akhirnya LPM yang dipilih adalah LPM Kelurahan Tugu Asri. Pertimbangan pemilihan LPM Tugu Asri, masih berdasarkan keterangan mantan Kasi Kebersihan dan Lingkungan, karena LPM Tugu Asri adalah LPM yang paling siap untuk melaksanakan pilot project SIPESAT dibandingkan dengan LPM-LPM lainnya di Kota Depok. Kesiapan tersebut dilihat dari tingkat kesadaran masyarakat Tugu Asri yang telah terbangun dengan bagus, disamping itu juga telah terdapat lokasi tanah yang dapat dijadikan sebagai tempat pengolahan sampah (tanah Fasilitas Sosial-Fasilitas Umum yang dikelola Pemkot Depok). Dari pengamatan di lapangan, Kelurahan Tugu Asri rata-rata dihuni oleh masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas. Domisili (kediaman) Walikota Depok juga berada di wilayah Kelurahan Tugu Asri.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa keterlibatan LPM pada dasarnya merupakan bagian dari cara yang dilakukan Pemkot Depok untuk mencairkan dana APBD bagi program SIPESAT. Sebab pada saat itu (2006) program SIPESAT belum menjadi bagian dari program resmi Kota Depok sehingga tidak ada anggarannya di dalam APBD 2006. Satu-satunya peluang untuk mengambil dana dari APBD hanyalah dari pos dana bencana alam yang akan dicairkan dalam bentuk dana stimulan dengan syarat harus ada permintaan dari masyarakat secara langsung. Oleh karena itu akhirnya mau tidak mau Pemkot Depok harus membangun kerjasama dengan LPM. Bentuk kerjasamanya adalah dengan menyerahkan pelaksanaan (pengelolaan) pilot project SIPESAT kepada LPM yang ditunjuk, sehingga LPM dimaksud dapat mengajukan proposal pencairan dana untuk program SIPESAT kepada Pemkot Depok. Dana stimulan yang dicairkan untuk LPM Tugu Asri totalnya sebesar Rp 111 juta yang dipergunakan untuk biaya operasional pengelolaan sampah.
Secara umum gagasan SIPESAT memang telah mendapatkan banyak dukungan di tingkatan masyarakat setelah adanya proses sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup di berbagai seminar dan di dalam forum musrenbang. Namun banyak juga masyarakat yang menolaknya karena kekhawatiran akan terganggunya lingkungan mereka dari bau busuk yang ditimbulkan sampah jika tempatnya dijadikan lokasi pengolahan sampah.
Untuk di tingkatan elit responnya cenderung lebih rumit karena bercampur aduk dengan konflik pasca Pilkada. Pada awalnya, gagasan SIPESAT tidak didukung bahkan tidak disetujui oleh sebagian besar anggota DPRD Kota Depok kecuali yang berasal dari fraksi PKS. Bentuk ketidak-setujuan tersebut ditunjukkan dengan tidak didukungnya program SIPESAT masuk sebagai salah satu program di dalam APBD 2007. Dalam APBD Perubahan 2007 program SIPESAT juga masih ditolak dengan alasan program tersebut masih perlu dikaji lebih dalam lagi sehingga di diubah menjadi program kajian dengan alokasi anggaran Rp 150 juta. Itupun gagal dicairkan karena APBD P 2007 terlambat disahkan (baru disahkan bulan November 2007) karena memang sengaja diulur-ulur oleh DPRD Kota Depok.
Alasan penolakan DPRD (non Fraksi PKS) sebenarnya lebih bersifat politis. Menurut DPRD program SIPESAT dinilai sangat “berbau” Nurmahmudi karena selama proses sosialisasi baik di tingkatan masyarakat, media massa dan daerah-daerah lain, Walikota sengaja membangun opini untuk memunculkan sebuah asumsi publik bahwa program SIPESAT adalah karya dan gagasan pribadi Nurmahmudi (Walikota) yang notabene adalah kader PKS. Sehingga program SIPESAT bagi kelompok oposisi dipandang tidak lebih sebagai bentuk kampanye untuk mengharumkan nama Nurmahmudi dan partainya sendiri (PKS).
Akhirnya di dalam pembahasan R-APBD 2008 gagasan SIPESAT disetujui menjadi program Pemkot Depok setelah adanya “kompromi politik” antara Walikota dan DPRD. Kompromi politiknya adalah nama SIPESAT harus diganti menjadi program UPS (Unit Pengolahan Sampah). Pengubahan nama tersebut oleh kelompok oposisi di DPRD dinilai penting agar program pengolahan sampah di Kota Depok dapat berjalan secara fair tanpa perlu lagi ada claim dari Walikota bahwa program SIPESAT adalah gagasan pribadinya. Di dalam APBD 2008 telah disetujui alokasi anggaran sebesar Rp 120 milyar yang akan digunakan untuk pengadaan alat (mesin) pengolah sampah sebanyak 20 unit, masing-masing unit harganya Rp 300 juta, sisanya digunakan untuk biaya operasional alat juga sebesar Rp 300 juta per unit. Namun sampai penelitian ini selesai dilaksanakan, APBD 2008 Kota Depok masih belum disahkan.

Derajat Partisipasi dalam Program Pelestarian Situ
Partisipasi masyarakat dalam isu pelestarian situ mulai terbangun ketika konsorsium NGO’S Depok yang tergabung dalam JANGKAR mulai melakukan kerja-kerja advokasi pelestarian situ. Partisipasi tersebut didasarkan pada sebuah ide pemanfaatan situ sebagai obyek wisata alam seperti yang dikembangkan oleh masyarakat situ Sawangan. Konsep tersebut memang belum pernah tergali dan tersampaikan ke wilayah pengambil kebijakan karena tidak ada upaya dari masyarakat Sawangan untuk menjadikannya sebagai proyek percontohan. Disamping itu, kondisi situ Sawangan yang cukup baik membuat masyarakat Sawangan merasa tidak terlalu membutuhkan bantuan pemerintah dari sisi anggaran dalam upaya meningkatkan fasilitas-fasilitas publik di sekitar situ untuk meningkatkan daya tarik wisatawan. Wajar jika kemudian, perkembangan situ yang telah menjadi obyek wisata belum pernah disampaikan di dalam forum partisipatif (musrenbang) sehingga tidak sampai terekspos ke tingkatan yang lebih luas. Akhirnya program-program lingkungan hidup Kota Depok yang berkaitan dengan pengelolaan situ masih terbatas pada ide-ide yang terfokus pada perbaikan fisik bersifat pelestarian belaka belum menyentuh pada program-program pengembangan pariwisata.
Di luar Sawangan, khususnya di masyarakat sekitar situ lainnya, proses partisipasi dalam pelestarian situ terutama di tahap usulan perencanaan hampir dikatakan tidak ada. Penyebabnya karena masyarakat tidak melihat adanya manfaat terhadap kelestarian situ diwilayahnya sehingga tidak masuk dalam usulan kebutuhan masyarakat. Justru sebaliknya, atas dasar tuntutan ekonomi membuat masyarakat melakukan inovasi-inovasi bersifat naluriah dengan memanfaatkan (mengkonversi) situ sebagai lahan sawah, pemukiman dan tambak ikan. Masyarakat sebenarnya menyadari jika tindakan pengkonversian situ tersebut merupakan tindakan yang salah karena mengancam kelestarian dan keberadaan situ sebagai sumber resapan air. Namun lilitan ekonomi akibat kemiskinan membuat masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain menjadikan situ sebagai lahan ekonomi mereka. Itulah kenapa program-program pelestarian situ yang disosialisasikan dalam musrenbang oleh pemerintah tidak mendapatkan respon sama sekali dari masyarakat sekitar situ.
JANGKAR-lah yang kemudian mencoba untuk memulai proses partisipasi dengan masuk ke tengah-tengah masyarakat di 19 (sembilan belas) situ yang tersebar di wilayah Depok dengan membawa isu pelestarian isu dengan memanfaatkan sebagai obyek wisata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar situ dengan menjadikan situ Sawangan sebagai contoh kasus. Proses partisipasi dibangun melalui kerja-kerja advokasi yang bersifat penyadaran dan kontrol terhadap kebijakan. Upaya penyadaran dilakukan dengan cara membangun diskusi-diskusi komunitas serta dialog dengan masyarakat secara langsung. Pada tahap awal advokasi, materi diskusi yang dibangun oleh JANGKAR difokuskan pada pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya musrenbang sebagai sarana masyarakat dalam mengajukan gagasan, aspirasi dan tuntutannya agar arah pembangunan dan kebijakan anggaran Kota Depok bisa lebih berpihak kepada mereka. Dengan materi tersebut diharapkan akan lahir kesadaran masyarakat atas anggaran sehinga mau berperan serta dalam setiap perencanaan anggaran yang dimulai dari forum musrenbang.
Di tengah-tengah diskusi, JANGKAR juga melakukan berbagai assesment terhadap kemiskinan untuk mengidentifikasi kebutuhan mendasar (basic need) masyarakat sekitar situ. Hasil indentifikasi tersebut kemudian diklasifikasi ke beberapa sektor, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur ekonomi. Pasca identifikasi, JANGKAR mengajak masyarakat bersama-sama untuk merumuskan program alternatif (yang nantinya akan disampaikan dalam musrenbang) yang dinilai berpeluang mengentaskan kemiskinan yang dihadapi masyarakat, yang salah satunya sengaja didorong untuk diarahkan pada adanya usulan program pemanfaatan situ sebagai obyek wisata dengan mengambil contoh Situ Sawangan. Namun sebelum diarahkan pada usulan program tersebut masyarakat telah terlebih dahulu diajak sharing dan diskusi tentang persoalan kelestarian situ yang seringkali berbenturan dengan kebutuhan ekonomi masyarakat yang diarahkan pada satu kesimpulan bahwa ternyata situ tetap bisa dimanfaatkan tanpa harus mengkonversinya menjadi lahan sawah maupun tambak ikan, tetapi bisa juga dengan mengembangkannya sebagai obyek wisata tanpa harus mengganggu kelestarian situ itu sendiri.
Untuk lebih menjamin kualitas partisipasi masyarakat dalam musrenbang sekaligus sebagai kontrol terhadap jalannya musrenbang, JANGKAR juga melakukan langkah-langkah intervensi dengan cara ikut hadir mengawal musrenbang di tiap tingkatan. Menurut JANGKAR pengawalan tersebut sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan forum mengingat antara masyarakat dan pemerintah dalam forum musrenbang tidak berangkat dari level yang sejajar. Budaya minderwarde dan keterbatasan pengetahuan masyarakat adalah kelemahan-kelemahan yang membuat seringkali forum musrenbang berjalan timpang sehingga didominasi pihak pemerintah. Oleh karena itu mengawal proses musrenbang dengan cara menjaga keseimbangan forum menjadi sangat penting untuk menjamin tuntutan-tuntutan masyarakat tersampaikan seutuhnya tanpa perlu ada pemotongan, kooptasi dan intervensi dari pemerintah.
Pengawalan musrenbang juga diharapkan akan membantu masyarakat dalam membangun rasa percaya diri mereka. Sebab rasa percaya diri tersebut menjadi syarat mutlak dalam forum musrenbang karena dengan demikian masyarakat akan berani menegosiasikan tuntutan mereka terhadap pemerintah (tidak lagi hanya sebatas mengusulkan). Dan dengan adanya keberanian bernegosiasi diharapkan akan terbangun proses bargaining yang cepat atau lambat –seiring dengan meningkatnya rasa percaya diri masyarakat– akan membuat forum musrenbang berjalan seimbang, tak lagi timpang.
Langkah-langkah advokasi lain yang dilakukan JANGKAR dalam upaya memperdalam partisipasi masyarakat adalah dengan jalan memotong jalur penyaluran aspirasi dan tuntutan masyarakat. Yang awalnya saluran partisipasi hanya terfokus pada musrenbang yang bertingkat-tingkat dan membutuhkan waktu yang cukup panjang dan lama, ditempuh dengan jalan mengadakan hearing langsung dengan eksekutif dan legislatif. Dengan hearing tersebut diharapkan usulan-usulan masyarakat dapat langsung diterima oleh pemegang kebijakan tanpa perlu lagi diperumit oleh birokrasi seperti di dalam musrenbang.
Keberhasilan paling menonjol dalam pembangunan partisipasi masyarakat yang dilakukan oleh JANGKAR adalah terestrukturisasinya Pokja Situ digantikan dari unsur-unsur masyarakat murni. Dalam perkembangannya, Pokja Situ yang dibentuk ulang oleh JANGKAR tersebut ternyata cukup efektif dalam meningkatkan derajat partisipasi masyarakat karena Pokja Situ mampu menjadi leader dalam gerakan-gerakan advokasi pelestarian situ selanjutnya, bahkan kini Pokja Situ telah mampu membangun jaringannya sendiri baik dengan pemerintah, media massa maupun NGO’s.
Jika dilihat darp wahana-wahana partisipasi yang terbangun, program pelestarian Situ derajat partisipasinya jauh lebih tinggi dibandingkan SIPESAT. Hal ini tidak terlepas dari peran JANGKAR sebagai aktor utama yang terus berupaya memperluas wahana-wahana partisipasi masyarakat dalam pelestarian Situ. Langkah pertama yang dilakukan JANGKAR adalah mencoba mengefektifkan wahana partisipasi yang telah tersedia dan diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu musrenbang. Hal ini didasarkan pada realitas pelaksanaan musrenbang Kota Depok yang tidak efektif karena stagnan di tingkat bawah dan distorsif di tingkatan atas sehingga perlu dibenahi dan diefektifkan pelaksanaannya. Stagnannya musrenbang dapat diketahui dari tidak dilaksanakannya forum pra musrenbang di tingkatan terbawah (tingkat RT dan RW) sehingga penyampaian aspirasi dan gagasan masyarakat di tingkat ini menjadi terputus yang berakibat tertutupnya ruang partisipasi. Distorsifnya pelaksanaan musrenbang dapat diketahui dari kehadiran peserta yang seharusnya melibatkan seluruh masyarakat berdasarkan Permendagri No.13/2006 namun ternyata hanya melibatkan para pengurus RW, dan itupun banyak yang tidak hadir.
Atas realitas itulah maka JANGKAR mencoba untuk memperbaiki kualitas wahana partisipasi musrenbang tersebut dengan melakukan kerja-kerja advokasi untuk mengajak masyarakat ikut hadir dan berpartisipasi aktif di dalam musrenbang. Untuk melakukan kerja advokasi bersifat penyadaran memang tidak mudah bagi JANGKAR karena realitas sebagian besar masyarakat belum memahami arti pentingnya musrenbang sebagai wahana partisipasi dalam menetapkan kebijakan dan anggaran. Bahkan sebagian besar masyarakat tidak tahu dan belum pernah terlibat atau mengikuti musrenbang. Oleh karena itu langkah awal yang dilakukan JANGKAR adalah memberikan pemahaman dan kesadaran terlebih dahulu akan pentingnya musrenbang dalam upaya menuntut hak-hak mereka atas anggaran dan kebijakan agar lebih berpihak kepada masyarakat.
Pasca pemberian pemahaman tentang musrenbang, JANGKAR masih memiliki satu kendala yang cukup sulit dalam mengefektifkan wahana musrenbang ketika menghubungkannya dengan isu perlunya pelestarian situ. Sebagian besar masyarakat masih enggan membahas dan mengusulkan pelestarian situ di dalam musrenbang karena dinilai tidak berhubungan dengan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Isu pelestarian situ dinilai bukanlah prioritas yang perlu untuk dituntut masyarakat karena isu tersebut hanya membahas masalah lingkungan hidup yang tidak akan memberi pengaruh apa-apa terhadap masalah kemiskinan yang dihadapi masyarakat. Sebaliknya, sebagian masyarakat merasa khawatir dan takut jika isu pelestarian situ diangkat dan disuarakan justru akan mengancam keberadaan lahan-lahan sawah dan tambak ikan yang mereka garap karena diperoleh dari hasil mengkonversi situ.
Walaupun JANGKAR telah memberikan alternatif pemanfaatan situ dengan menjadikannya sebagai obyek wisata sehingga tidak perlu lagi mengkonversinya, tetap saja masyarakat masih gamang untuk mengusulkannya dalam musrenbang. Namun setelah berbagai proses pendekatan dan dialog lebih intens dengan jaminan bahwa isu pelestarian situ tidak akan mengusik keberadaan sawah dan tambak ikan masyarakat, akhirnya lambat laun kesadaran dan keberanian masyarakat untuk menjadikan isu pelestarian situ sebagai bagian dari program mulai terbangun. Di berbagai musrenbang Kelurahan mulai muncul usulan-usulan program pemanfaatan situ sebagai obyek wisata untuk dijadikan sebagai salah satu kebijakan program Pemkot Depok. Masyarakat juga mulai berani menuntut pengalokasian anggaran yang lebih dalam program-program situ yang selama ini diberikan oleh Pemerintah. Jika awalnya program pelestarian situ hanya sebatas perbaikan sarana fisik berupa penurapan dan pengerukan, masyarakat sudah mulai meminta alokasi anggaran untuk penambahan fasilitas-fasilitas wisata seperti pengadaan bibit ikan untuk pemancingan dan pengadaan perahu sampan sebagai sarana rekreasi. Masyarakat juga meminta alokasi anggaran yang lebih untuk perbaikan infrastruktur fisik khususnya untuk pembuatan dan perbaikan jalan (pengaspalan) di sekitar situ, pembuatan jogging track dan penanaman pohon untuk memperindah situ.
Masih dalam upaya mengefektifkan wahana musrenbang, JANGKAR juga melakukan kontrol dan pengawalan terhadap jalannya musrenbang di tiap tingkatan, mulai dari tingkat kelurahan sampai tingkat Kota. Pengawalan tersebut dilakukan untuk 2 (dua) tujuan pokok yaitu, pertama memberikan dorongan moral kepada masyarakat dampingan agar timbul semangat dan rasa percaya diri sehingga akan mengarahkan forum musrenbang agar lebih berimbang; kedua menjaga usulan-usulan program dari masyarakat tidak sampai terpotong, karena belajar dari pengalaman di daerah lain banyak usulan-usulan masyarakat yang hilang ketika sudah memasuki tingkatan musrenbang yang lebih tinggi terutama pada saat dilakasanakannya musrenbang tingkat kota.
Selain mengefektifkan forum musrenbang sebagai wahana partisipasi masyarakat, JANGKAR juga melakukan beberapa terobosan dengan menciptakan wahana partisipasi lain yang dipandang lebih efektif dari musrenbang yaitu mengajak masyarakat yang tergabung ke dalam Pokja Situ untuk beraudiensi dan hearing dengan para pemegang kebijakan di wilayah eksekutif dan legislatif. Tujuannya tetap sama yaitu menyampaikan usulan-usulan program yang didasarkan pada kebutuhan dasar masyarakat yang digali oleh masyarakat sendiri. Wahana ini ternyata cukup efektif karena usulan-usulan masyarakat langsung dapat diterima para pemegang kebijakan tanpa harus melalui birokrasi dan proses yang bertingkat-tingkat seperti musrenbang yang kadang justru membuat usulan program dari masyarakat lenyap tidak terdeteksi.
Beberapa capaian kerja advokasi yang dilakukan JANGKAR jika diukur dari produk kebijakan telah berhasil melahirkan kesepakatan bersama antara Pemkot Depok dan JANGKAR (mewakili masyarakat) yang dituangkan dalam Surat Kesepakatan Kerjasama Nomor: 006/002/2005 tertanggal 5 Oktober 2005 yang isinya bersepakat menjalankan program bersama untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas serta penyediaan pelayanan di kota Depok yang salah satu prioritasnya adalah pemanfaatan situ, danau dan sungai sebagai obyek wisata berwawasan lingkungan (wisata agro).
Atas kesepakatan kerjasama tersebut, akhirnya program-program pelestarian situ melalui pemanfaatan sebagai obyek wisata alam mulai teralokasikan di dalam APBD. Di dalam APBD Kota Depok, kerja advokasi JANGKAR dalam pelestarian Situ telah dituangkan dimasukkan ke Pos Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan dalam program Pengelolaan Situ Berbasis Masyarakat. Untuk tahun 2007, alokasi pengelolaan situ sebesar Rp 107,63 juta untuk Situ Bahar yang terletak di Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Sukmajaya. Program-program yang telah dilaksanakan antara lain: pembersihan situ, perbaikan jalan sekitar situ, pembuatan bando dan papan larangan, pengadaan paving block dan pengadaan bibit tanaman. Untuk tahun 2008 alokasi pengelolaan situ masih sama dengan alokasi di tahun 2007 yaitu Rp 107,63 juta namun lokasi situnya difokuskan ke Situ Sawangan yang terletak di Kelurahan Sawangan, Kecamatan Sawangan. Program-programnya antara lain: pembersihan situ, perbaikan jalan sekitar situ, pembuatan bando dan pengadaan bahan baku bangunan.

4. Belajar dari Proses Partisipasi Kota Depok
Dari hasil penelitian di Kota Depok dapat diketahui jika model partisipasi yang dibangun dalam forum musrenbang Kota Depok ternyata masih mengandung beberapa kelemahan yang membuat rendahnya derajat partisipasi masyarakat. Beberapa penyebabnya antara lain:
a) Bagi masyarakat, forum musrenbang adalah pengalaman baru untuk terlibat dalam proses perencanaan kebijakan dan anggaran, sehingga masih dibutuhkan waktu untuk membangun rasa percaya diri mereka agar berani dan kritis dalam menyampaikan pendapat, gagasan dan aspirasinya. Namun pemerintah (Pemkot Depok) sepertinya tidak (mau) memahami persoalan ini sehingga di dalam forum musrenbang pemerintah masih bersifat hegemonik dan arogan sehingga membuat masyarakat semakin minder dan takut untuk menyampaikan pendapat dan gagasannya. Akibatnya forum musrenbang berjalan secara timpang dan lebih mirip forum sosialisasi program daripada forum penggalian aspirasi.
b) Tingkat kesadaran terhadap urgensi partisipasi masyarakat dalam musrenbang masih sangat rendah khususnya di tingkatan kelurahan ke bawah. Masih banyak pandangan yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan sebenarnya tidak perlu dilaksanakan karena masyarakat dinilai tidak akan mampu menyusun program-program pembangunan. Oleh karena itu di Kota Depok pembangunan partisipasi masyarakat menjadi tertutup karena telah diamputasi sejak dari pra musrenbang RT/RW sampai musrenbang tingkat kelurahan dengan tidak melibatkan masyarakat secara langsung di dalamnya.
c) Forum musrenbang tidak pernah diakhiri dengan pembuatan kesepakatan besama antara pemerintah dan masyarakat. Akibatnya forum musrenbang lebih cenderung bersifat konsultatif, dimana tidak ada keharusan dari pemerintah untuk menindaklanjutinya ke dalam program kebijakan dan anggaran. Tidak ada sanksi jika usulan masyarakat tidak diteruskan kecuali moral dan etik. Dengan demikian potensi hilangnya usulan-usulan masyarakat ketika memasuki lingkar kekuasaan sangat besar. Model yang seperti demikian harus diakui sama sekali tidak partisipatif karena tidak adanya aturan yang memaksa pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan aspirasi masyarakatnya.
Bagi internal Pemkot Depok, pada umumnya konsep partisipasi masih lebih banyak diartikan pada upaya pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan program. Partisipasi yang seharusnya dimulai dari proses perencanaan dipotong langsung pada realisasi program. Dalam menyusun rencana-rencana program, gagasan lebih banyak dicetus, didiskusikan dan diselesaikan di wilayah elit, musrenbang hanyalah alat sosialisasi program yang telah dicetus. Tidak terlihat adanya upaya mengajak sharing dan urun rembug masyarakat dalam memecahkan persoalan-persoalan publik untuk kemudian diterjemahkan pada solusi program. Jika menggunakan bahasa sederhana “masyarakat tinggal terima jadi, urusan konsep diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah sehingga tidak perlu ada partisipasi”.
Forum-forum diskusi publik yang dikemas dalam bentuk-bentuk hearing atau audiensi dengan pemerintah ternyata lebih efektif dalam membuka dan meningkatkan derajat partisipasi masyarakat dibandingkan dengan metode partisipasi yang dikembangkan dalam musrenbang. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain:
a) Masyarakat bisa langsung menyampaikan tuntutan-tuntutannya di tingkatan tertinggi. Berbeda dengan musrenbang yang harus diusulkan secara bertingkat mulai dari tahap pra musrenbang RT sampai musrenbang Kota, yang justru membuat banyak usulan masyarakat yang hilang tidak tersampaikan pada saat memasuki tahap pembahasan anggaran.
b) Masyarakat memiliki ruang dan kesempatan yang cukup luas dalam menyampaikan berbagai tuntutan dan persoalan karena terfokus pada satu atau dua isu saja, berbeda dengan musrenbang yang langsung membahas semua sektor.
c) Pemerintah tidak lagi sebagai pihak penyampai program seperti yang dilakukan di dalam musrenbang, tetapi lebih banyak menjadi pendengar dan penyerap dari setiap tuntutan dan aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat sehingga masyarakat memiliki keberanian untuk berbicara lebih panjang disertai argumen dan berbagai rasionalisasi atas tuntutannya.
d) Kesempatan untuk bernegosiasi lebih terbuka karena adanya argumen dan rasionalisasi yang mendasari tuntutan dari masyarakat dimana pemerintah mau tidak mau harus menyampaikan responnya disertai rasionalisasi pula. Pada saat itulah negosiasi berjalan sampai berada pada titik yang dapat mempertemukan antara tuntutan masyarakat dan kebijakan pemerintah.
Di tengah proses pembelajaran masyarakat berpartisipasi dalam proses pembangunan, peranan NGO’s ataupun CSO lain yang concern terhadap penganggaran partisipatif ternyata masih sangat dibutuhkan untuk membantu masyarakat dalam membangun kesadarannya akan hak-haknya atas anggaran, serta perlunya pemberdayaan masyarakat terhadap segala hal yang berkait dengan anggaran untuk membangun pola pikir kritis masyarakat. Peran NGO masih sangat menentukan peningkatan derajat partisipasi masyarakat.
Dari hasil penelitian di Kota Depok juga dapat ketahui bahwa ternyata tidak semua isu kebijakan publik yang bisa diarahkan pada upaya pembangunan partisipasi masyarakat. Belajar dari Kota Depok, pembangunan partisipasi masyarakat dalam penanganan sampah dan pelestarian situ menghadapi kendala besar karena kedua isu tersebut tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur ekonomi. Wajar jika kemudian proses membangun partisipasi dengan menggunakan isu kebijakan publik ini (sampah dan pelestarian situ) sangat sulit dikembangkan ke tengah masyarakat. Sebab masyarakat tidak dapat mengkaitkan antara manfaat kedua isu tersebut dengan kebutuhan dasar mereka. Bahasa sederhana yang dipakai masyarakat misalnya: “kotor atau bersihnya Kota Depok, rusak tidaknya situ di Kota Depok tetap saja miskin.” (diambil dari buku Inovasi 5 Daerah diterbitkan oleh FPPM)