Minggu, 11 Januari 2009

MENGUJI TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS DANA KAMPANYE PEMILU 2009

Yenny Sucipto

Sampai saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang khusus mengatur tentang dana kampanye maupun dana (keuangan) partai politik sebagaimana yang telah dilakukan di beberapa Negara terutama penganut civil law. Di Indonesia, aturan mengenai dana kampanye masih dititipkan di 3 (tiga) undang-undang yang mengatur tentang Pemilu legislatif (DPR, DPD dan DPRD), Pilpres dan Pilkada.
Jika dilihat dari perkembangannya, aturan dana kampanye di Indonesia hampir selalu mengalami perubahan di setiap penyelenggaraan Pemilu khususnya pasca Pemilu 1999. Kentalnya kepentingan politik partai-partai dalam pemenangan Pemilu mengakibatkan semua aturan-aturan tentang penyelenggaraan Pemilu –termasuk dana kampanye– selalu diselesaikan dalam pertarungan dan kompromi politik. Namun lepas dari itu, perkembangan regulasi dana kampanye satu sisi telah memiliki berbagai kemajuan dalam 10 tahun terakhir, walaupun berbagai pelanggaran tentang dana kampanye seperti sumbangan fiktif, penggunaan dana pemerintah (kasus dana non budgeter Bulog dan DKP) dan dana asing masih kerap terjadi.
Beberapa kemajuan tersebut misalnya, telah dituangkannya kewajiban pembuatan rekening khusus dana kampanye bagi setiap partai politik peserta Pemilu 2009, dan semua sumbangan berbentuk uang harus diserahkan via transfer bank ke masing-masing rekening partai politik (Pasal 129 (4) UU No.10/2008). Sebelumnya, aturan mengenai hal ini belum tertuang di dalam undang-undang Pemilu yang lama, kecuali dalam Keputusan KPU No. 676/2004. Tidak diaturnya pembuatan rekening khusus di dalam UU Pemilu yang lama dapat dibaca sebagai bentuk penolakan partai politik (saat itu) yang memang tidak mau diintervensi terlalu jauh terutama menyangkut pengelolaan keuangan internal mereka. Namun menariknya KPU mematahkannya dengan berinisiatif memasukkan aturan pembuatan rekening khusus dana kampanye di dalam salah satu keputusannya, walaupun sebenarnya tidak ada pendelegasian maupun mandat dari undang-undang. Hanya saja, ketentuan tersebut masih agak lemah karena tidak mencantumkan klausul yang mewajibkan semua sumbangan/bantuan berbentuk uang ditransfer ke rekening dimaksud, sehingga dalam beberapa kasus banyak sumbangan di dalam Pemilu 2004 yang diserahkan secara tunai maupun giro dan ceck. Dengan dimasukkannya kedua aturan (pembuatan rekening khusus dan kewajiban transfer bagi sumbangan berbentuk uang) ke dalam UU No.10/2008 tentunya memiliki beberapa nilai positif. Di tingkatan eksternal, sumber dan penggunaan dana kampanye setiap parpol dapat berjalan lebih transparan dan akuntabel karena semua transaksi tidak lagi dibenarkan dalam bentuk tunai, giro maupun traveller check seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya.
Disamping itu KPU juga dapat memperketat syarat-syarat pemberian sumbangan karena UU Pemilu mewajibkan pencantuman “identitas yang jelas” dari para penyumbang. Pengetatan itu bisa dengan cara mewajibkan kepada para penyumbang pada saat mentransfer dana sumbangan untuk terlebih dahulu mengisi “daftar isian khusus” yang ditetapkan KPU sebelumnya menyangkut identitas lengkap penyumbang. Identitas tersebut dapat meliputi: nama (orang/badan), alamat lengkap, pekerjaan/jenis usaha dan foto copy KTP/akta notaris perusahaan/yayasan, serta NPWP. Dengan kewajiban pengisian identitas penyumbang tersebut, dapat dipastikan akan semakin memperkuat semangat transparansi dan akuntabilitas dan kampanye yang diupayakan KPU selama ini.
Memang kewajiban pencantuman NPWP tidak diatur secara eksplisit dalam UU Pemilu, namun Pasal 131 telah memberikan kewenangan kepada KPU untuk menjabarkannya, dan dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, tidak ada alasan bagi parpol manapun menolaknya. Hanya saja, peraturan ini masih memiliki sedikit kelemahan, karena kewajiban pencantuman NPWP hanya diwajibkan kepada penyumbang diatas Rp 20 juta, sehingga masih bisa disiasati dengan memecahnya di bawah nominal 20 juta untuk menghindari pencantuman NPWP.
Kemajuan lain yang terlihat dalam UU No.10 Tahun 2008 adalah diwajibkannya Parpol untuk membuat pembukuan penerimaan dan pengeluaran khusus dana kampanye Pemilu yang terpisah dari pembukuan keuangan partai politik. Pembukuan dana kampanye Pemilu tersebut dibuat sejak 3 (tiga) hari setelah parpol ditetapkan sebagai Peserta Pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU. Ketentuan ini sebelumnya juga belum diatur secara tegas di dalam UU Pemilu yang lama, kecuali sebatas kewajiban kepada partai politik untuk melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye selama Pemilu kepada akuntan publik terdaftar . Dengan adanya kewajiban pembuatan pembukuan dana kampanye, maka KPU sebagai penyelenggara Pemilu memiliki dasar hukum untuk membuat aturan yang lebih rinci mengenai standar pembukuan dana kampanye dan audit khusus bagi partai politik.
Dalam Pemilu tahun 2004, sebenarnya KPU telah menerbitkan 2 (dua) peraturan yang khusus mengatur tentang standar pelaporan dan standar audit yaitu Keputusan KPU No. 676 Tahun 2003 dan Keputusan KPU No. 30 tahun 2004. Kedua peraturan tersebut disusun dengan bekerjasama dengan IAI, namun standar yang digunakan masih berpedoman kepada PSAK 45 tentang pelaporan keuangan untuk organisasi nirlaba. Padahal karakteristik parpol sangat berbeda dengan organisasi nirlaba umumnya, sehingga penggunaan PSAK 45 sebenarnya kurang tepat untuk digunakan dasar sebagai standar pelaporan keuangan partai politik.
Karakteristik parpol yang membedakan dengan organisasi nirlaba dapat dilihat dari tujuannya, jika parpol jelas untuk meraih kekuasaan sehingga perlu aturan khusus menyangkut keuangan sebagai bentuk upaya pencegahan praktek korupsi politik (money politic) dan dominasi kelompok kepentingan. Disamping itu dengan adanya agenda Pemilu setiap lima tahun tentu akan menyedot dana yang sangat besar dengan keterlibatan publik yang besar juga.
Untuk itu, ke depan diharapkan KPU dapat menyusun standar pelaporan keuangan yang khusus bagi partai politik. Apalagi jika belajar dari dua kali Pemilu sebelumnya, hampir semua partai politik tidak memiliki catatan keuangan yang lengkap, hingga akhirnya KPU memutuskan hanya memeriksa pembukuan dewan pimpinan pusat. Namun, itupun tidak bisa diserahkan oleh semua partai. Selain itu, minimnya data yang tersedia, menyebabkan kantor-kantor akuntan publik yang dikoordinasikan oleh IAI ini tidak memberikan opini terhadap hasil auditnya, sebagaimana yang biasanya mereka lakukan. Dalam laporan yang akhirnya diumumkan pada masyarakat pada tanggal 3 Juni 1999, terungkap bahwa secara umum sebagian besar peserta pemilu ini tidak memiliki sistem pembukuan yang memadai dan sebagian besar juga tidak mencatat atau melaporkan penerimaan sumbangan berupa natura.
Dalam hal pelaksanaan audit dana kampanye, UU No.10 tahun 2008 telah memberikan kewenangan kepada KPU untuk menunjuk akuntan publik bagi peserta Pemilu dengan bekerjasama dan memperhatikan masukan dari IAI. Aturan ini tentunya lebih mempertegas idependensi akuntan publik, karena dengan demikian setiap partai politik tidak dibenarkan lagi menyerahkan laporan keuangannya kepada akuntan publik yang dipilihnya sendiri, kecuali akuntan yang sengaja ditunjuk oleh KPU. Dengan demikian maka peluang terjadinya kolusi dan konspirasi antara partai politik dengan akuntan publik dapat dihindari. Sebab dalam UU Pemilu yang lama, setiap partai politik masih diperbolehkan melaporkan dana kampanyenya kepada setiap akuntan publik selama kantor akuntan publik tersebut terdaftar.
Disamping itu, UU No.10/2008 juga telah mewajibkan pelaporan dana kampanye secara berjenjang dari tingkat kabupaten/kota, provinsi sampai pusat. Ini berarti setiap pengurus parpol di tingkat DPC, DPD dan DPP wajib membuat pembukuan dana kampanye dan melaporkannya kepada akuntan publik di wilayahnya masing-masing. Ini berbeda dengan Pemilu sebelumnya, laporan dana kampanye baru berjalan di tingkat pusat saja, sehingga audit di tingkat propinsi (DPD) dan DPC (kabupaten/kota) tidak dapat dilakukan.
Kemajuan lain, adanya perbaikan konkrit terhadap pembelajaran Pemilu sebelumnya yaitu dihapusnya aturan mengenai batasan minimal sumbangan uang yang perlu dicatat atau tidak. Sebagaimana diketahui di dalam Pemilu yang lama, sumbangan yang perlu dicatat mengenai bentuk, jumlah sumbangan dan identitas penyumbang hanyalah sumbangan di atas Rp 5 juta. Pasal ini ternyata mengandung kelemahan yang bersifat fatal, karena sumbangan-sumbangan berjumlah besar kemudian sengaja dipecah ke dalam nominal di bawah Rp 5 juta untuk menghindari pencatatan dan pemuatan identitas para penyumbang.
Dengan dihapusnya ketentuan mengenai batasan minimal sumbangan untuk pencatatan identitas penyumbang di dalam UU Pemilu yang baru, maka tidak ada lagi peluang bagi setiap partai politik untuk menghindar dari pencatatan identitas penyumbang walaupun dalam nominal uang sekecil apapun.
Dalam hal sanksi pelanggaran dana kampanye, UU No.10/2008 telah memberikan aturan-aturan mengenai sanksi yang sudah dapat dipandang tegas dan menyeluruh meliputi sanksi administratif maupun pidana. Dalam hal sanksi administratif secara eksplisit di tuangkan dalam Pasal 138 yang menyatakan bahwa jika peserta pemilu tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sampai batas waktu yang ditetapkan maka akan dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Peserta Pemilu di wilayah yang bersangkutan. Jika peserta pemilu tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang ditunjuk KPU sampai batas waktu yang ditetapkan, maka akan dikenai sanksi berupa tidak ditetapkannya calon menjadi calon terpilih.(dimuat oleh Jurnal Nasional)