Minggu, 15 Februari 2009

Kota Metropolitan dan Wajah Anggarannya

penulis: yenny Sucipto

Kota Metropolitan merupakan julukan bagi Ibukota Jakarta dengan luas wilayah 740,29 km². Jumlah penduduk Kota Jakarta sampai tahun 2008 tercatat 8.961.680 jiwa dengan klasifikasi 4.478.679 jiwa perempuan dan 4.483.001 jiwa laki-laki. Wilayah terbanyak adalah Jakarta Timur, yang mencapai 2,5 juta penduduk, disusul Jakarta barat 2,1 juta, Jakarta Selatan 2 juta, Jakarta Utara 1,6 juta, jakarta pusat 891 ribu dan kepulauan seribu 19 ribu. Dari jumlah penduduk DKI Jakarta tersebut masih terdapat angka kemiskinan hingga mencapai 630 ribu jiwa atau 70 ribu kepala keluarga (KK). Terdapat 65 kelurahan yang masih dikategorikan sebagai kelurahan yang tertinggal dan kumuh, dimana di wilayah tersebut terdapat kantong-kantong kemiskinan yang tersebar di lima wilayah kota madya. Semisal di jakarta Utara saja, dalam dua tahun terakhir jumlah penduduk miskin meningkat dari 31.000 keluarga menjadi 55.000 keluarga. Dari tahun 2005 sampai tahun 2008 jumlah penduduk miskin di Jakarta Utara bertambah sekitar 77,4% dan itu pun terjadi hampir di seluruh kawasan Jakarta lainnya
Dengan angka kemiskinan yang menunjukkan peningkatan cukup menonjol di DKI Jakarta, seharusnya perlu mencari prioritas utama untuk mengatasi persoalan kesejahteraan masyarakat. Ada empat kebutuhan yang dirasakan sangat perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah DKI Jakarta yaitu, kebutuhan pangan, pendidikan, kesehatan dan pemberdayaannya dalam memperoleh lapangan pekerjaan.
Ditinjau dari segi kebijakan tentang kemiskinan sebenarnya telah terdapat beberapa payung hukum nasional dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan. Beberapa aturan tersebut misalnya UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, pembentukan Komisi Pemberantasan Kemiskinan, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Keppres No. 09 Tahun 200 tentang pengarusutamaan gender dan dokumen strategis pemberantasan kemiskinan (Poverty Reduction Strategic Paper/PRSP). Namun sayangnya payung-payung hukum ini belum dapat diterjemahkan secara menyeluruh ke dalam kebijakan daerah di wilayah DKI Jakarta baik melalui Peraturan Daerah maupun peraturan-peraturan lainnya.
Selain menghadapi masalah kemiskinan, ternyata persoalan kesehatan maupun pendidikan masyarakat DKI Jakarta juga menjadi sebuah masalah yang tidak pernah kunjung tuntas. Pendidikan khususnya dari persoalan awal tahun ajaran baru; biaya pendidikan yang semakin mahal; pungutan liar yang diterapkan untuk uang seragam, buku, alat dan fasilitas serta pungutan liar lainnya; kesejahteraan tenaga pendidik/guru; dan angka putus sekolah juga menjadi sebuah catatan tersendiri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007, penduduk yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 1.067.336 jiwa (11,91% dari total penduduk Jakarta), tapi jika ukuran wajib sekolah diletakkan sampai pada tingkat SLTP (SD + SLTP) maka angkanya akan lebih parah yaitu mencapai 2.954.808 jiwa (32.86%). Angka putus sekolah di tingkat SD mencapai 1.002 siswa dan tingkat SMP mencapai 2.172 siswa , dan untuk angka siswa kurang mampu tingkat SD mencapai 137.016 dengan total murid SD di Jakarta saat ini sekitar 843.939 siswa. Sedangkan angka putus sekolah di tingkat SMP mencapai 1.400 siswa dan 22.104 siswa kurang mampu. Sementara jumlah keseluruhan siswa SMP di Jakarta mencapai 346.862 siswa. Komitmen dalam soal pendidikan juga dipertanyakan, ternyata pemerintah DKI Jakarta hanya mempunyai 1.509 gedung sekolah untuk menampung 2.552 sekolah dan 40% dalam kondisi memprihatinkan (kategori rusak berat dan rusak total).
Sektor Kesehatan, DKI Jakarta masih dihadapkan pada permasalahan kasus gizi buruk dan kekurangan gizi hingga mencapai 1.396 balita. Banyak kasus gizi buruk di DKI Jakarta menggambarkan kegagalan pemerintah dalam membangun Jakarta. Karena keberhasilan pembangunan bukan hanya tercermin dari munculnya gedung pencakar langit, tetapi bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Wajah Anggaran Kota Metropolitan
Kebijakan APBD Ibukota harus diakui masih belum memperhatikan aspirasi dan kebutuhan rakyat miskin. Ada kecenderungan rakyat miskin telah terabaikan, ini dapat dilihat dari minimnya alokasi belanja untuk proyek-proyek yang bermanfaat bagi keluarga miskin.
Padahal sangat jelas bahwa Amanah konstitusi dalam UUD 1945 sangat jelas menyebutkan anggaran dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dan arah kebijakan angaran daerah seharusnya mampu menjangkau dan dapat menuntaskan berbagai persoalan riil yang dihadapi masyarakat terutama masalah kemiskinan dan keterbatasan akses sumberdaya bagi masyarakat. Keberpihakan anggaran sangat menentukan adanya perubahan dan perbaikan kualitas hidup rakyat.
Total belanja DKI Jakarta tahun 2008 adalah sebesar Rp 20,5 triliun, namun dengan anggaran tersebut ternyata belum mampu mensejahterakan 603 ribu jiwa penduduk jakarta yang masih dibawah garis kemiskinan dan sebesar 540 ribu jiwa dalam kondisi menganggur tanpa pekerjaan . Bahkan 36% dari total anggaran DKI Jakarta justru dibelanjakan untuk urusan aparatur (kebutuhan pegawai dan telepon, air minum dan listrik (TAL). Besarannya belanja yang diserap untuk membiayai aparatur akan berdampak pada penurunan belanja pembangunan dan masyarakat.
Program-program pembangunan di Ibukota Jakarta juga masih lebih banyak berorientasi pada pembangunan fisik daripada program-program pemberdayaan masyarakat. Ini dibuktikan dengan begitu besarnya alokasi dana bidang Pekerjaan Umum (PU) sebesar 12,2% (Rp 2,6 triliun). Hal ini ternyata tidak sebanding dengan anggaran pendidikan yang hanya dialokasikan sebesar 10,7% (Rp 2,2 triliun). Padahal dalam UUD 1945 (3) dan telah dijabarkan pada UU Sisdiknas 49 (1), menjelaskan bahwa kewajiban memenuhi minimal 20% dari total belanja daerah digunakan untuk pendidikan. SKPD yang masuk ke dalam belanja pendidikan antara lain: Dinas Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi, Perpustakaan Umum Daerah, Dinas Olahraga dan Pemuda, Dinas Kebudayaan dan Museum serta Balai Pendidikan Pelatihan dan Kejuruan.
Dari total belanja pendidikan tersebut, sebesar Rp 291,6 milyar digunakan untuk belanja pegawai. Untuk pembiayaan telepon, air dan listrik (TAL) alokasinya Rp 40,7 milyar. Sementara untuk program dedicated berupa biaya operasional pendidikan dan rehabilitasi gedung sebesar Rp 1,28 triliun. Sisanya sebesar Rp 1,58 triliun masih masuk ke dalam belanja prioritas Provinsi dan SKPD. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, karena belanja terbesar masuk ke dalam prioritas SKPD maka perlu untuk mengontrol RKA-SKPD Dinas Pendidikan nantinya agar anggarannya benar-benar digunakan untuk melayani kebutuhan pendidikan masyarakat, tidak habis untuk urusan birokrasi.
Untuk anggaran Bantuan Operasioanl Pendidikan (BOP) mendapatkan alokasi terbesar dari seluruh program yang ada di anggaran pendidikan, yaitu nhingga mencapai Rp 1,2 triliun. Alokasi tersebut diberi untuk siswa SDN, SMPN dan SMAN/SMKN dan SMK Swasta. Total siswa penerima dan BOP adalah sebanyak 1,2 juta siswa yang terbagi menjadi siswa SD sebanyak 680.556 dengan rata-rata BOP Rp 72.057/siswa/bulan; SLTP sebanyak 259.603 siswa dengan rata-rata BOP Rp 120.000/siswa/bulan dan SLTA sebanyak 282.673 siswa dengan BOP yang diterima Rp 56.535/siswa/bulan. Selain belum dapat menggratiskan seluruh biaya pendidikan siswa di semua tingkatan sekolah, ternyata menurut hasil analisis anggaran pendidikan hanya dapat menjangkau 78% dari total siswa SD dan SLTA di DKI Jakarta. Artinya penggunaan masih terjadi diskriminasi dalam pengelolaan anggaran pendidikan karena belum semua siswa dapat menerima dana BOP 2008 terutama untuk siswa SMP swasta, padahal masih ada sekitar 125.112 siswa yang bersekolah di SMP Swasta yang masih dibiayai oleh orang tua siswa.
Minimnya anggaran pendiidkan justru Dinas Pendidikan masih menggunakan anggaran tersebut untuk program-program yangberpotensi boros. Contohnya seperti program kegiatan dalam menyusun juknis yang menelan anggaran sebesar Rp 150 juta, diantaranya pembuatan juknis PSB, BOP, BOS dll. Padahal juknis terbut hanya berupa revisi dari juknis sebelumnya. Belum lagi adanya program-program pengadaan maintance serta barang dan jasa lainnya yang tidak memilik standar harga. Bentuk pemborosan-pemborosan tersebut seharusnya perlu dikaji ulang ke depannya, mengingat sekitar 9 ribu jiwa anak jalanan yang membutuhkan beasiswa untuk bersekolah.
Untuk anggaran kesehatan hanya dialokasikan sebesar 6,1% (1,2 triliun) yang terbagi untuk Dinas kesehatan dan Suku Dinas sebesar Rp 437,4 milyar dan untuk BLUD se3besar Rp 757,9 milyar. Idealnya, sesuai dengan targetan Millenium Development Goals (MDG’s) anggaran kesehatan minimal harus mencapai 15% dari total belanja atau ± Rp 3 triliun. Menyedihkan, dengan total anggaran kesehatan tersebut dialokasikan untuk askeskin dan korban bencana alam sebesar Rp 200 milyar untuk 565 ribu jiwa dengan asumsi bahwa tiap jiwa per tahun mendapatkan Rp 365,- saja. Relatif sangat sedikit jika dibandingkan dengan biaya pengobatan Gubernur dan Wakilnya hingga mencapai Rp 180 juta/tahun atau 500 kali lipat dibandingkan dengan biaya Askeskin.
Minimnya alokasi anggaran kesehatan dalam APBD DKI Jakarta juga akan terlihat sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan sektor penerimaan khususnya retribusi. Dari hasil penelusuran dalam APBD tahun 2008, ditemukan bahwa total retribusi yang berasal dari RSUD dan Puskesmas mencapai Rp 358 milyar. Dari catatan tahun 2006 kontribusi retribusi kesehatan untuk penerimaan DKI Jakarta adalah sebesar Rp 143,07 milyar dan Rp 266,18 milyar di tahun 2007. Ini berarti sebagian besar pembangunan yang diambil dari pos retribusi di DKI Jakarta dibiayai oleh sakit. Dan perlu diingat pula bahwa hampir 80% orang yang berobat ke rumah sakit maupun puskesmas di DKI Jakarta rata-rata tergolong keluarga miskin.
Dan dari keseluruhan belanja kesehatan tersebut ternyata sebesar Rp 110,4 milyar digunakan untuk belanja pegawai. Sebesar Rp 33,9 milyar digunakan untuk pembiayaan telepon, air dan listrik (TAL). Untuk program dedicated hanya sebesar Rp 270 milyar diantaranya digunakan untuk pelayanan kesehatan keluarga miskin sebesar Rp 200 milyar, pembangunan 2 unit Rawat Inap Puskesmas Kecamatan Rp 48 milyar, penanggulangan DBD, TBC dan penyakit pasca banjir Rp 20 milyar dan penyelenggaraan jaminan kesehatan masyarakat Rp 2 milyar.
Program pelayanan kesehatan dalam bentuk askeskin Yankes Gakin, sebenarnya masih perlu dikawal dan dikontrol oleh seluruh elemen masyarakat. Sebab menurut fakta dilapangan, program tersebut ternyata masih sulit efektif sehingga tidak mencapai perbaikan yang signifikan dalam peningkatan kesehatan masyarakat. Kurang efektifnya program tersebut karena tidak diimbangi dengan perubahan mental dan perilaku “feodal” pelayanan kesehatan yang masih mendasarkan taraf pelayanan berdasarkan status sosialnya. Akibatnya, perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat miskin masih kerap terjadi. Kesan cuek dan ogah-ogahan terhadap pasien yang berasal dari keluarga miskin masih tampak kental di Rumah Sakit .
Anggaran Me”miskin”kan Rakyat
Bukan cerita lagi kalau pemborosan dan kebocoran anggaran masih kerap terjadi pada proses pengelolaannya. Dari hasil penelusuran APBD DKI Jakarta, ditemukan beberapa bentuk-bentuk program yang mengindikasikan pada pemborosan. Misal, terdapat alokasi pengadaan laptop sebanyak 313 unit dengan total Rp 5,73 triliun yang diperuntukkan bagi 89 unit kerja, diperkirakan harga perunit mencapai Rp 19 juta. Anggaran untuk pengadaan makan dan minum saja mencapai Rp 28,1 milyar di 278 unit kerja.
Kemudian diketemukan juga belanja pembangunan yang justru untuk pembangunan gedung pemerintah, antara lain: pembangunan gedung DPRD yang menghabiskan Rp 75 milyar, gedung 4 Walikota dan Dinas sebesar Rp 176 milyar, gedung untuk instansi vertikal BPK perwakilan DKI Jakarta sebesar Rp 45 milyar dan Kejari Jaksel Rp 30 milyar. Pada dinas Trantib dengan total anggarannya yang mencapai Rp 221,8 milyar, terdapat alokasi untuk kegiatan instansi vertikal sebesar Rp 7,55 milyar atau sama dengan alokasi tahun 2007. Padahal telah dijelaskan dalam UU 32/2004, bahwa instansi vertikal yang menjadi kewenangan pusat di daerah dibiayai oleh APBN.
Meningkatnya represifitas pemerintah daerah terhadap kaum marjinal perkotaan yang berangkat dari persepsi yang salah tentang kecantikan dan keindahan kota. Persepsi itu bertolak dari “paradigma naif” yang memandang bahwa kecantikan kota identik dengan kesejahteraan. Oleh karenanya, rakyat miskin tidak boleh tinggal di kota agar kota terlihat indah karena indah dianggap sejahtera. Implementasi “paradigma naif” sangat mudah terlihat ketika membedah stuktur APBD.
Tidak tanggung- tanggung Pemprov DKI Jakarta menganggarkan sebesar Rp 80,7 milyar pada Dinas Trantib dan Subdinas Trantib khusus untuk kegiatan penertiban kaum marjinal dan penggusuran PKL. Semestinya anggaran tersebut akan lebih baik dan lebih manusiawi bila diperuntukan untuk pembinaan dan perbaikan usaha dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat miskin. Alokasi kegiatan ini sangat tidak sesuai dengan amanah pasal 26 ayat 2 PP 58 tahun 2005 bahwa belanja daerah diarahkan untuk memenuhi urusan wajib daerah yang diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
Anggaran penggusuran yang begitu besar bahkan dialokasikan secara rutin di DKI merupakan contoh paradigma lama dan naif yang salah dalam memahami akar kemiskinan masyarakat kota. Sudah waktunya pemerintah menyadari jika penggusuran dan razia yang selama ini dilakukan hanya bisa mengusir rakyat miskin namun tidak bisa mengusir kemiskinan itu sendiri. Menggusur, mengusir dan merazia adalah bentuk perampasan hak-hak ekonomi rakyat. Dan perampasan itu merupakan pelanggaran HAM dan konstitusi. Uang negara/daerah yang sebagian besar disumbang rakyat (miskin) melalui pajak dan retribusi seharusnya tidak digunakan untuk merampas hak-hak ekonomi mereka melalui penggusuran dalam kedok penertiban. Sepatutnya, anggaran penggusuran di re-alokasikan ke bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi, karena (sekali lagi) rakyat sebagai warga negara membayar pajak dan retribusi bukan untuk digusur.
APBD telah mendistorsi pengertian “penertiban” hanya sebatas pada “penggusuran” dan “razia”. Program/ anggaran dalam APBD juga telah mengkebiri tugas Satpol PP tak lebih sebagai “centeng” dan “jago pukul” yang hanya bertugas menggusur dan merazia. Oleh karena itu, struktur belanja/program di bidang penertiban perlu untuk dirombak untuk mengembalikan arti ketertiban dan fungsi Satpol PP yang sebenarnya. Perda Ketertiban Umum seharusnya diikuti pula dengan Perda tentang Kesejahteraan Sosial, agar dalam mengatasi kekumuhan kota tidak hanya gusur mengusur, tetapi diimbangi juga upaya pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Mengaca kepada New Delhi India, kumuh bukanlah sesuatu yang tabu, melainkan sebuah konsekuensi bagi kota yang belum mampu memenuhi hak-hak ekonomi rakyatnya.
Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2009 malah terlihat merencanakan kembali untuk memulai reklamasi pantai utara Jakarta yang digunakan untuk pembangunan kawasan komersil dan perumahan mewah. Bahkan, dalam dua tahun ke depan direncanakan akan ada sekitar 13 proyek pusat perbelanjaan, 40% penambahan akan diposisikan di Jakarta Utara, 20% akan ditempatkan di Jakarta Selatan, dan 18% di Distrik Pusat Bisnis, adapun sisanya akan tersebar berbagai wilayah Jakarta lainnya . Apalagi program DKI Jakarta tersebut difasilitasi dengan keluarnya Inpres No 5/2008, dimana salah satu point dari instruksi tersebut ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk mempermudah perizinan investasi di Jakarta yang akan memberikan dampak kemudahan untuk para investor. (diambil dari buku Meretas Batavia Pro Rakyat Miskin diterbitkan oleh Seknas FITRA)

Sabtu, 14 Februari 2009

CATATAN ANGGARAN KEJAKSAAN TAHUN 2008

Yenny Sucipto: "Urusan Birokrasi Menjadi Prioritas"


Menyoal tentang kinerja di tubuh Kejaksaan, banyak pendapat jika kinerja Kejaksaan hanya mengejar target kuantitas penanganan perkara daripada kualitas kasusnya sendiri. Bahkan dari berbagai catatan yang bersumber dari media, sepanjang tahun 2006 – 2007 saja, terdapat 161 Kejaksaan Negeri yang masih berada dibawah target kinerja, bahkan sebanyak 37 Kejaksaan Negeri dan 40 cabang dari Kejaksaan Negeri memiliki kinerja nol persen.

Padahal jika ditinjau dari alokasi anggaran negara yang diberikan kepada Kejaksaan cukup besar bahkan setiap tahun alokasinya terus naik. Tahun sebelumnya (2007) alokasi yang diperuntukkan Kejaksaan totalnya mencapai Rp 1,7 triliun, di tahun 2008 telah naik menjadi 1,9 triliun. Anggaran tersebut terbagi ke berbagai satuan kerja mulai dari Kejaksaan Agung, Perwakilan Kejaksaan di luar negeri, Pusdiklat Kejagung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang tersebar di wilayah Indonesia.

Yang perlu mendapatkan perhatian adalah, apakah anggaran sebesar Rp 1,9 triliun untuk tahun 2008 telah dimanfaatkan (digunakan) secara proporsional dan menunjang tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Kejaksaan itu sendiri, ataukah justru sebaliknya, terbuang percuma. Untuk itu Seknas FITRA mencoba menganalisisnya sebagai bahan masukan demi perbaikan kinerja Kejaksaan ke depan.

Berdasarkan hasil analisis, ternyata sebesar alokasi anggaran Kejaksaan habis hanya untuk urusan birokrasi dan urusan teknis yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan peningkatan kinerja penegakan hukum dan pelayanan publik sehingga terlihat tidak proporsional dan tidak wajar, apalagi totalnya mencapai Rp 1,3 triliun. Ketidakwajaran penggunaan anggaran sangat terlihat jika melihat pembiayaan sarana dan prasarana kantor yang totalnya mencapai Rp 658,9 milyar (35,7%). Sebagian besar sarana prasarana tersebut meliputi: pembangunan dan perawatan gedung, operasional perkantoran (pengadaan komputer/IT, ATK, dll), pengadaan dan perawatan kendaraan dinas, dan pengadaan alat-alat perlengkapan gedung. Belum lagi ditambah dengan pembayaran gaji, honorarium dan tunjangan yang totalnya mencapai Rp 651,4 milyar (35,2%).

Dengan melihat besarnya pembiayaan birokrasi di atas sudah dapat dipastikan Kejaksaan dalam mengunakan anggaran negara akan lebih sibuk mengurusi dam memenuhi fasilitas lembaga mereka sendiri daripada pengutamaan fungsinya dalam penegakan hukum.

Bandingkan saja dengan alokasi penanganan perkara, dari Rp 1,9 triliun anggaran Kejaksaan, anggaran yang diperuntukkan untuk menangani perkara hanya sebesar Rp 198,6 milyar (7,2 %), sungguh sangat tidak sebanding dengan pembiayaan birokrasi Kejaksaan yang mencapai RP 1,3 triliun. Apalagi jika dibandingkan dengan anggaran penindakan hukum tindak pidana korupsi yang totalnya hanya sebesar Rp 64,7 milyar 3,5% dari total anggaran.

Dengan melihat minimnya alokasi anggaran penegakan hukum di tubuh Kejaksaan di atas terlihat sangat bertolak belakang dengan komitmen pemerintah dan Kejaksaan Agung dalam hal penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi yang didengungkan selama ini.