Rabu, 08 April 2009

Melawan Bangunan Makna Bipolar

Donny Tri Istiqomah. Adalah pengamen yang tiba-tiba hadir di depan kita, entah di bis kota, mentromini, angkot maupun omprengan, yang mengeluarkan suara-suara yang dianggap bisa menghibur, kemudian menyodorkan kantong permen, dan penumpang pun mulai mengisinya dengan uang receh. Adalah pengamen pula yang memberikan makna baru bahwa bus kota tidak hanya alat transportasi, melainkan sebuah panggung berjalan yang berisi orang-orang yang dapat memberi imbalan untuk memenuhi kebutuhan perut mereka.

Fenomena pengamen dalam bangunan masyarakat transisi antara agraris menuju produksi kapitalis adalah sebuah fenomena yang lazim terdapat di kota-kota besar Indonesia Harus diakui, bahwa efek negatif dari strategi pembangunan nasional yang diterapkan selama ini adalah penyebab utama munculnya fenomena itu. Sehingga mau tidak mau strategi itu harus kembali diurai dan direvisi agar tidak tersandung pada batu yang sama.

Fenomena pengamen adalah sebuah fakta sosial yang menunjukkan kepada kita bahwa ada sebuah kelompok sosial yang tidak terakomodir dalam penataan sosial, yang harus mencari jalan sendiri-sendiri dan menciptakan ruang-ruang bagi eksistensi mereka, walaupun itu hanya cukup untuk survive saja.

Dalam upaya membuka ruang-ruang eksistensinya, tentu saja mereka terus berhadapan dengan wacana yang berkuasa. Sebuah wacana yang menganggap mereka benalu dan sampah masyarakat. Wacana itu pun pelan-pelan mereka lawan dengan cara menghadapkan realitas kehidupan mereka dalam lirik-lirik lagu yang diharapkan akan menarik simpati para penumpang. Sebuah lirik yang syarat akan nilai-nilai perenungan tentang eksistensi dan jati dirinya.

Simak saja salah satu lirik mereka yang biasa kita dengarkan ketika kita akan berangkat dan pulang kerja:

“Gema adzan subuh kami tertidur terlelap”

“Gema adzan dhuhur kami sibuk bekerja”

“Gema adzan maghrib kami di perjalanan”

“Gema adzan isyak lelah tubuhku tuan”

“Tuhan pantaskah surga untukku”

Adalah Faucault yang melihat bahwa setiap periode sejarah selalu diatur oleh kekuatan episteme. Suatu praktik diskursif yang selalu memunculkan figur-figur epistimologis, sains dan sistem-sistem formal dimana pada akhirnya tiap-tiap masyarakat harus memiliki “rejim kebenaran”nya sendiri-sendiri sesuai dengan periode jamannya.

Dan saat ini, pengamen menjadi salah satu korban dari “rejim kebenaran” itu. Atas nama “kebenaran”, sebuah hegemoni epistemologis telah memaksa mereka masuk dalam “stereotip” sampah masyarakat. Mereka dikategorikan sebagai kelompok sosial yang menjadi benalu sosial, yang seharusnya tak ada dan harus hilang. Padahal, mereka juga memiliki episteme yang sama sahnya dengan episteme kelompok sosial lain.

Episteme sang pengamen juga bisa berkata bahwa pengamen adalah manusia yang juga berjuang melawan hidup, yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan kelompok sosial lainnya. Hanya saja episteme mereka harus kalah dengan episteme kelas berkuasa yang mampu menjadikan epistemenya sebagai “rejim kebenaran”.

Bangunan makna inilah yang kemudian memasukkan pengamen dalam bangunan makna bipolar, yang meletakkan pengamen dalam dikotomi yang baik dan buruk, yang beriman dan kafir, dalam sebuah kesadaran bahwa ritus adalah yang menyatukan dunia dan Tuhan.

Bangunan ini kemudian coba mereka lawan dengan menghadapkannya pada satu realitas eksistensi mereka dengan lirik-lirik lagu yang dikarangnya, agar bisa menempatkan mereka dalam posisi yang juga sama terhomat dengan manusia yang lain.