Jumat, 28 Agustus 2009

Kebijakan Anggaran Kesehatan 2010

Oleh: Yenny Sucipto

PENGANTAR

Millennium Development Goals disebut sebagai suatu pendekatan yang inklusif dalam pemenuhan hak-hak dasar manusia, yang terdiri dari delapan Tujuan Pembangunan Millennium yakni 1) Penghapusan kemiskinan (Eradicate Extreme Poverty and Hunger); 2) Pendidikan untuk Semua (Achieve Universal Primary Education); 3) Persamaan Gender (Promote Gender Equality and Empower Women); 4) Perlawanan Terhadap Penyakit (Combat HIV/AIDS, malaria and Other Diseases); 5) Penurunan Angka Kematian Anak (Reduce Child Mortality); 6) Peningkatan Kesehatan Ibu (Improve Maternal Health); 7) Pelestarian Lingkungan Hidup (Ensure Environmental Sustainability); dan 8) Kerjasama Global (Develop a Global Partnership for Development). Kedelapan goal tersebut dijabarkan ke dalam 18 target dan 52 indikator terkait untuk dapat dicapai dalam jangka waktu 25 tahun antara 1990 dan 2015.

Dari beberapa target dan indikator dalam MDGs, ada yang menjadi wewenang dan tugas dari Departemen Kesehatan dalam mengemban target pencapaian MDGs tersebut, antara lain;
- Menurunnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara 1990 – 2015 yang salah satu indikatornya mengenai prevelansi balita kurang gizi;
- Menurunkan angka kematian balita sebesar 2/3 antara tahun 1990 – 2015 dengan indikatornya adalah angka kematian balita dan bayi serta presentase anak dibawah 1 tahun yang diimunisasi campak;
- Menurunkan angka kematian ibu antara 1990 dan 2015 sebesar ¾ nya dengan salah satu indikatornya adalah angka kematian ibu, proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dan angka pemakaian kontrasepsi;
- Pengendalian penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015 dengan salah satu indikatornya adalah prevelensi di kalangan Bumil yang berusia 15 – 24 th;
- Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya pada tahun 2015 dengan salah satu indikatornya adalah prevelensi malaria dan angka kematiannya, Presentase penduduk yang menggunakan cara pencegahan yang efektif untuk memerangi malaria, Presentase penduduk yang mendapat penanganan malaria secara efektif, Prevelensi TBC dan angka kematian penderita TBC dengan sebab apapun selama pengobatan OAT, Angka penemuan penderita tuberkulosis BTA positif baru, dan angka kesembuhan penderita tuberkulosis;
- Penurunan sebesar separuh, proporsi tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015 dengan salah satu indikatornya adalah Proporsi penduduk dengan akses terhadap air minum yang terlindungi dan berkelanjutan.


Alokasi Anggaran Kesehatan

Sudah seharusnya kebijakan anggaran di sektor kesehatan segera ditargetkan 15% dari total anggaran (Rp 151,4 triliun) dalam APBN/P 2010, namun sayangnya alokasinya masih tidak beranjak dari angka 2% dari total belanja negara atau sebesar Rp 20,8 triliun. Hasil penelusuran anggaran di Departemen Kesehatan untuk program peningkatan dan pelayanan untuk masyarakat teralokasi sebesar Rp 13,9 trilun (67,2%) mengalami kenaikan 3 kali dibandingkan alokasi tahun 2008 yang hanya sebesar Rp 5,1 triliun ( 27,1%). Pengalokasian yang diperuntukkan untuk kebutuhan birokrasi (28,6%) masih dianggap proporsional karena sebagian besar alokasi kesehatan dianggarkan dalam program peningkatan dan pelayan untuk masyarakat hingga mencapai 67,2% (13,9 triliun). Namun yang perlu ditelusuri dengan alokasi anggaran sebesar Rp 13,9 triliun apakah telah tepat sasaran dan menjangkau beberapa permasalah kesehatan yang ada.

Dari hasil penelusuran sementara, untuk kebutuhan birokrasi terbesar, yang mencapai 28,6 % (Rp 5,9 triliun). Kebutuhan terbesar di sektor birokrasi adalah untuk program pelayanan birokrasi, pembinaan dan pengawasan aparatur, pembangunan dan rehabilitasi gedung kantor.

Masalah Kesehatan dan Bagaimana Anggaran Menjawabnya Permasalahan

1. Kebijakan Alokasi Anggaran Malnutrisi Anak

Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan khususnya gizi buruk.Tercatat 30% dari 110 juta atau sekitar 33 juta balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Program perbaikan gizi masyarakat khususnya penanganan masalah kurang dan gizi buruk pada ibu hamil dan menyusui, bayi dan anak balita hanya dialokasikan sebesar Rp 301 milyar (1,45% dari total anggaran kesehatan). Asumsinya dengan alokasi sebesar Rp 301 milyar untuk 33 juta balita penderita kasus gizi buruk, hanya dialokasikan Rp 9.122/kasus balita/tahun untuk perbaikan gizi belum menjamah pada persoalan bumil dan menyusui.
Jika melihat target pencapaian malnutrisi anak tahun 2015 sebesar 3,3% gizi buruk dan 18% gizi kurang dapat diyakini akan sulit tercapai karena sampai saat ini angka pencapaian masih diposisi tinggi yaitu 8,8% Gizi buruk dan 28% gizi kurang.

2. Kebijakan Alokasi Anggaran untuk Meningkatkan Kesehatan Ibu dan Menurunkan Angka Kematian Anak

a. Pada saat ini telah diperkirakan 228 orang ibu meninggal dalam tiap 1.000 proses persalinan di Indonesia. Angka kematian ibu saat melahirkan yang telah ditargetkan dalam MDGs pada tahun 2015 adalah 110, dengan kata lain akselerasi sangat dibutuhkan sebab pencapaian target tersebut masih cukup jauh.
b. Setiap tahunnya ada 13.778 kematian ibu atau setiap dua jam ada dua ibu hamil, bersalin, nifas yang meninggal karen berbagai penyebab. Kecenderungan perbandingan pada tahun 1990 yang masih 450 per 1.000 kelahiran hidup namun target MDGs yang 125 per 1.000 kelahiran hidup terasa sangat berat untuk dicapai tanpa upaya percepatan.
c. Berdasarkan data Susenas tahun 2001, memperlihatkan bahwa hanya sebanyak 45,83% kelahiran yang ditolong oleh bidan di pedesaan.
d. Jumlah bidan di seluruh Indonesia berdasarkan IBI (Ikatan Bdan Indonsia) sat ini hanya sekitar 80.000 orang.
e. Dan menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000, berkisar 80% penduduk Indonesia bermukim di sekitar 69.061 desa dan saat ini sekitar 22.906 desa tidak memiliki bidan desa. Penurunan jumlah bidan atau honor bidan desa diasumsikan merupakan damapak dari desentralisasi. Karena pembayaran gaji atau honor bidan desa yang dahulu ditanggung oleh pemerintah pusat sekarang dibebankan kepada pemerintah daerah, dan banyak pemerintah daerah yang tidak mau atau tidak mampu membayar gaji atau honor bidan desa tersebut. Akibatnya, jumlah bidan desa mengalami penurunan yang sangat drastis.
f. Alokasi dana untuk kesehatan selama ini lebih banyak untuk mensubsidi rumah sakit daripada untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar, dimana kesehatan reproduksi perempuan menjadi salah satu bagian dari kategori kesehatan dasar. Begitupun dengan sedikitnya ketersediaan tenaga kesehatan yang mudah diakses dengan biaya murah, terutama di daerah-daerah terpencil. Kenyataan ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah kematian ibu melahirkan.
g. Angka kematian bayi dan balita di Indonesia masih tertingi di Asia. Di tingkat ASEAN, angka kematian bayi di Indonesia mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup yaitu hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan angka kematian bayi Malaysia, hampir 2 kali dibandingkan dengan thailand dan 1,3 kali dibandingkan dengan Philipina.
h. Sedangkan untuk menurut data pemerintah bahwa angka kematian balita mengalami penurunan yang cukkup tajam dari 82,6 per 1.000 menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup. Namun ironisnya, kasus kematian bayi banyak terjadi pada keluarga miskin dan sebagian besar penyebab utamanya adalah disebabkan oleh akses, biaya, pengetahuan dan perilaku

Program untuk peningkatan pelayanan kesehatan khususnya meningkatkan kesehatan Ibu dan menurunkan kematian anak yang kewenangannya diberikan kepada Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat hanya dialokasikan sebesar Rp 20 milyar (0,1% dari total anggaran kesehatan)

3. Kebijakan Alokasi Anggaran untuk sanitasi Dasar

a. Masih lebih dari 100 juta penduduk yang tersebar di 30.000 desa masih kesulitan memperoleh akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitsi dasar. Buruknya pelayanan air minum dan sanitasi merupakan kendala serius dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Padahal target indonesia tahun 2015, meningkatkan hingga 67% proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sumber air minum yang aman dan meningkatkan hingga 69,3% proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dasar.
b. Berdasarkan data Direktorat Penyehatan Lingkungan Depkes RI, menyebutkan bahwa air dan sanitasi yang buruk berdampak pada meningkatnya jumlah kasus diare 423/1.000 orang dan angka kematian tertinggi terjadii pada kelompok usia di bawah 5 tahun, yaitu 75/100.000 orang. Kemudian 350 sampai 810 orang pada setiap 100.000 orang penduduk terpapar tifus, dengan laju kematian 0,6 sampai 5%. Sekitar 35,5% penduduk Indonesia diperkirakan terpapar cacingan.
c. Menurut laporan World Bank tahun 2008, dampak kesehatan akibat pengelolaan air dan sanitasi yang buruk menyebabkan Indonesia kehilangan Rp 56 triliun (2,3% dari PDRB).
Dalam anggaran kesehatan tahun 2010, alokasi untuk program pemberdayaan komunitas permukiman khususnya untuk penyediaan sanitasi dasar dianggarkan sebesar Rp 167,8 M. Menurut WHO dan sejumlah lembaga lain, setiap 1 dollar AS investasi di sanitasi, akan memberikan manfaat ekonomi sebesar 8 dollar AS dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian. Dan pemerintah dalam 30 tahun terakhir, baru bisa memenuhi anggaran sekitar 10% yaitu sekitar 820 juta dolar AS untuk sanitasi dan hanya Rp 200/orang/tahun untuk setiap penduduk. Padahal kebutuhan minimal agar akses terhadap sanitasi memadai dibutuhkan sekitar Rp 47.000.per/orang/tahun . Dan menurut versi Bank Pembangunan Asia, memerlukan Rp 50 triliun untuk mencapai target MDGs 2015, dengan 72,5% penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.


4. Dana Bantuan Asing
Temuan lain dari hasil penelusuran, ternyata dari total anggaran kesehatan sebesar Rp 20,8 triliun ada rupiah bukan murni alias dana asing yang mengucur di Departemen Kesehatan sebesar Rp 513, triliun yang tersebar di beberapa program kegiatan baik dalam bentuk hibah/bantuan maupun dalam bentuk utang, antara lain:
1. Program peningkatan kesehatan masyarakat - Ditjen Bina Kesehatan Masyarat sebesar Rp 200,1 milyar yang didanai oleh (DHS – II – ADB). Tiap tahun untuk program ini memang didanai oleh bantuan asing terlihat dianggaran tahun 2008 dan 2009 yaitu masing-masing sebesar Rp 211,2 milyar dan Rp 10,8 milyar (DHS – I ADB dan DHS – II ADB).
2. Program Pemberdayaan Komunitas Permukiman – Ditjend Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan khusus untuk kegiatan program Pelayanan Dukungan Administrasi dan Manajemen sebesar Rp 7,6 milyar yang didanai oleh LS
3. Program Pemberdayaan Komunitas Permukiman – Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan khusus untuk kegiatan program Penyediaan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Dasar Masyarakat Miskin sebesar Rp 2,4 milyar serta untuk kegiatan program Pelayanan Dukungan Administrasi dan Manajemen sebesar Rp 35,1 mliar yang semuanya didanai oleh (WSLIC II)
4. Program Pemberdayaan Komunitas Permukiman – Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan khusus untuk kegiatan program Penyedian Sarana Air Bersih dan Sanitasi Dasar Masyarakat Miskin sebesar Rp 74,6 milyar, kegiatan program Pelayanan Dukungan Administrasi dan Manajemen sebesar Rp 193,1 milyar, kegiatan program Pemeliharaan dan Pengawasan Kualitas Lingkungan sebesar Rp 30 juta dan kegiatan program Pengendalian Dampak Pencemaran Lingkungan sebesar Rp 11,5 juta yang semuanya didanai oleh CWSH.
Tujuan umum proyek WSLIC adalah bentuk kerjasama antara Indonesia(Depkes) - Australia untuk pogram penyediaan air bersih dan sanitasi masyarakat dengan target sasaran adalah berpenghasilan rendah. WSLIC II merupakan proyek bertahap selama 6 tahun dengan nilai sebesar Rp US$ 106 juta yang dibiayai melalui bantuan hibah Australia, IDA. Dan sumbangan Australia sebesar Rp US$ 6,5 juta akan dikelola oleh Bank Dunia melalui kesepakatan pendanaan bersama, Departemen Kesehatan sepenuhnya bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek tersebut.
Guna mewujudkan cakupan layanan air minum dan sanitasi dasar maka pemerintah Indonesia menggandeng Asian Development Bank (ADB) melaksanakan kegiatan pembangunan sarana air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tertuang dalam program Community Water Services and Health (CWSH).

Kamis, 20 Agustus 2009

Komitmen Pemerintah Terhadap Kebijakan Anggaran yang Responsif HIV/AIDS

Oleh : Yenny Sucipto

Memerangi penyebaran penyakit menular terutama penyebaran HIV dan AIDS merupakan salah satu target MDGs yang memerlukan kerja keras dan perhatian besar bagi Indonesia, dimana membutuhkan keseriusan untuk mencurahkan segala bentuk strategi pencegahan dan penangggulangannya jika Indonesia tidak ingin di nilai kalangan internasional sebagai Negara yang gagal mencapai komitmen global MDGs di tahun 2015 nantinya.
Jika mengkaji laporan pemerintah dalam penanganan kasus HIV/AIDS, efektitasnya ternyata kurang signifikan. Target di tahun ini saja hanya dapat dicapai sebesar 0,1%, padahal target sampai tahun 2015 pemerintah mentargetkan dapat mencegah 1 juta kasus baru dan mencegah 350 ribu kematian. Namun sebaliknya justru kasus HIV/AIDS terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Dan Indonesia saat ini telah menjadi salah satu negara yang memiliki angka penderita HIV/AIDS tertinggi di Asia. Lebih mengkhawatirkan lagi, penularan HIV/AIDS tersebut ternyata terus meningkat tajam dari tahun ke tahun. Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sudah sampai tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI (Ditjen PP & PL), per 30 juni 2006 kasus HIV/AIDS secara kumulatif telah mencapai angka 10.859 kasus dengan rincian 6.332 jiwa penderita AIDS dan 4.527 jiwa pengidap HIV. Dan sampai akhir September 2008, Departemen Kesehatan mencatat 21.151 orang di Indonesia terinfeksi HIV, 15.136 orang dalam fase AIDS. Peningkatan signifikan dari kasus HIV/AIDS tersebut sebagian besar disumbang oleh pengguna narkotika suntik dan seks bebas. Ahli epidemiologi telah memproyeksi jika tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk menanggulangi penyebaran virus HIV/AIDS secara massif, diperkirakan pada 2010 jumlah penderita di Indonesia akan mencapat 400 ribu orang, bahkan pada 2015 nanti jumlah terinfeksi HIV/AIDS diperkirakan dapat mencapai 1 juta jiwa.
Situasi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Sehingga wajar jika banyak kalangan masyarakat yang kemudian ikut peduli, ambil bagian dan menuntut Pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap problem penyebaran HIV/AIDS ini. Pun juga wajar jika masyarakat tidak bisa berpuas diri dengan telah masuknya program perang terhadap HIV/AIDS dalam deklarasi millenium. Jauh dari itu, yang diharapkan masyarakat adalah follow up melaui praktek nyata dalam program-program pembangunan tahun ke tahun, apakah memang ada langkah konkrit yang dilakukan pemerintah sebagaimana yang menjadi targetan pembangunan millenium sampai tahun 2015 nanti.
Dan salah satu faktor untuk melihat seberapa besar dan efektif komitmen Negara terhadap suatu persoalan bangsa adalah dengan melihat kebijakan alokasi anggaran. Kebijakan alokasi anggaran sebagai salah satu instrumen Negara, dapat memberikan gambaran apakah upaya memerangi HIV/AIDS mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah. Pemenuhan kebutuhan anggaran penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia selama ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan beberapa sumber lain.
Dari hasil penelusuran anggaran dan analisis dokumen di semua kementerian/lembaga, ternyata alokasi anggaran untuk penanganan AIDS hanya sebesar Rp 348,2 milyar di tahun 2007, Rp 407,3 milyar tahun 2008, dan Rp 366,6 milyar tahun 2009. Bahkan tahun 2010 anggaran tersebut turun menjadi Rp278,1 milyar dan hanya tersebar di 6 (enam) kementerian/lembaga (Depdiknas, Depkes, Depsos, BKKBN, Kementerian Pemuda dan Olah Raga dan Badan Narkotika Nasional). Padahal jika mengacu pada struktur kelembagaan KPAN seharusnya anggaran tersebut tersebar di 13 (tiga) belas kementerian/lembaga sesuai dengan jumlah kementerian/lembaga yang masuk dalam keanggotaan KPAN.
Dan ketika ditelusuri ke semua program-program penanggulangan HIV/AIDS di keenam kementerian/lembaga ternyata hampir 90% semua programnya juga fokus pada pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang disebabkan oleh pengguna narkoba. Memang dilihat dari angka kasusnya, jumlah pengidap HIV dan AIDS yang disebabkan oleh Narkoba dan jarum suntik (Penasun) memang lebih besar yaitu sebesar 46%. Sehingga terlihat Pemerintah kemudian lebih memilih untuk memprioritaskan penanggulangan HIV/AIDS kepada Penasun saja daripada hubungan seks. Padahal berdasarkan hasil pertemuan ICAAP di Bali, dari data terakhir kasus HIV/AIDS saat ini justru lebih banyak yang menjangkit dikalangan pasutri khususnya ibu rumah tangga melalui hubungan seks (bukan melalui narkoba dan jarum suntik).
Diskriminasi penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan Pemerintah kepada kalangan WPS (Wanita Penjaja Seks), PWS (Pengguna Wanita Seks) tentu tidak bisa dibenarkan dari sisi apapun, karena sudah menjadi kewajiban Pemerintah untuk menangulangi HIV/AIDS dari segala penyebab apapun tanpa harus memilah dan memprioritasi.
Di sisi yang lain, dari hasil penelusuran anggaran, ternyata sebagian besar anggaran hanya dipergunakan untuk pencegahan daripada perawatan dan pengobatan. Di tahun 2010 misalnya, dari total alokasi anggaran penanggulangan HIV/AIDS, sebesar 82,1% digunakan untuk pencegahan, sementara untuk program perawatan dan pengobatan hanya sebesar 9%. Dengan melihat tidak proporsionalnya alokasi anggaran tersebut sudah dapat dipastikan program-program yang dipergunakan untuk merawat dan mengobati para penderita HIV/AIDS akan terabaikan. Mungkin itu pula kenapa pengadaan obat retroviral bagi penderita seringkali kosong (tidak tersedia) karena semua anggaran HIV/AIDS dipergunakan untuk pencegahan saja. Dan dengan melihat proporsi anggaran ini pula, sudah dapat dipastikan target pemerintah untuk menekan angka kematian akibat HIV/ADIS 2010 nanti akan gagal.
Rendahnya respon anggaran dan program terhadap penanggulangan HIV/AIDS ini di Indonesia ini sebenarnya sudah dapat dilihat dari tingkat penularan HIV yang terus meningkat tajam. Dan jika respon anggaran dan program yang lemah ini terus berlangsung diperkirakan akan ada sekitar 400 ribu orang terinfeksi HIV pada tahun 2010, dan 100 ribu orang diantaranya diperkirakan meninggal atau akan ada 1 juta ODHA pada tahun 2015 dengan 350 ribu kematian. Dan diperkirakan juga 2015 nanti akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu terinfeksi HIV yang tertular dari suaminya.(dimuat oleh Satu Dunia)