Selasa, 30 November 2010

Diskrimatif Anggaran ODHA

Yenny Sucipto


Memerangi penyebaran penyakit menular terutama penyebaran HIV dan AIDS merupakan salah satu target MDGs yang memerlukan kerja keras dan perhatian besar bagi Indonesia, dimana membutuhkan keseriusan untuk mencurahkan segala bentuk strategi pencegahan dan penangggulangannya jika Indonesia tidak ingin di nilai kalangan internasional sebagai Negara yang gagal mencapai komitmen global MDGs di tahun 2015 nantinya.

Jika mengkaji laporan pemerintah dalam penanganan kasus HIV/AIDS, efektitasnya ternyata kurang signifikan. Target di tahun ini saja hanya dapat dicapai sebesar 0,1%, padahal target sampai tahun 2015 pemerintah mentargetkan dapat mencegah 1 juta kasus baru dan mencegah 350 ribu kematian. Namun sebaliknya justru kasus HIV/AIDS terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Dan Indonesia saat ini telah menjadi salah satu negara yang memiliki angka penderita HIV/AIDS tertinggi di Asia. Lebih mengkhawatirkan lagi, penularan HIV/AIDS tersebut ternyata terus meningkat tajam dari tahun ke tahun. Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sudah sampai tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI (Ditjen PP & PL), per 30 juni 2006 kasus HIV/AIDS secara kumulatif telah mencapai angka 10.859 kasus dengan rincian 6.332 jiwa penderita AIDS dan 4.527 jiwa pengidap HIV. Dan sampai akhir September 2008, Departemen Kesehatan mencatat 21.151 orang di Indonesia terinfeksi HIV, 15.136 orang dalam fase AIDS. Peningkatan signifikan dari kasus HIV/AIDS tersebut sebagian besar disumbang oleh pengguna narkotika suntik dan seks bebas. Ahli epidemiologi telah memproyeksi jika tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk menanggulangi penyebaran virus HIV/AIDS secara massif, diperkirakan pada 2010 jumlah penderita di Indonesia akan mencapat 400 ribu orang, bahkan pada 2015 nanti jumlah terinfeksi HIV/AIDS diperkirakan dapat mencapai 1 juta jiwa.

Situasi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Sehingga wajar jika banyak kalangan masyarakat yang kemudian ikut peduli, ambil bagian dan menuntut Pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap problem penyebaran HIV/AIDS ini. Pun juga wajar jika masyarakat tidak bisa berpuas diri dengan telah masuknya program perang terhadap HIV/AIDS dalam deklarasi millenium. Jauh dari itu, yang diharapkan masyarakat adalah follow up melalui praktek nyata dalam program-program pembangunan tahun ke tahun, apakah memang ada langkah konkrit yang dilakukan pemerintah sebagaimana yang menjadi targetan pembangunan millenium sampai tahun 2015 nanti.
Dan salah satu faktor untuk melihat seberapa besar dan efektif komitmen Negara terhadap suatu persoalan bangsa adalah dengan melihat kebijakan alokasi anggaran. Kebijakan alokasi anggaran sebagai salah satu instrumen Negara, dapat memberikan gambaran apakah upaya memerangi HIV/AIDS mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah.

Dari hasil penelusuran anggaran dan analisis dokumen di semua kementerian/lembaga, ternyata alokasi anggaran untuk penanganan AIDS hanya sebesar Rp 348,2 milyar di tahun 2007, Rp 407,3 milyar tahun 2008, dan Rp 366,6 milyar tahun 2009. Bahkan tahun 2010 anggaran tersebut turun menjadi Rp278,1 milyar dan hanya tersebar di 7 (tujuh) kementerian/lembaga (Depdiknas, Depkes, Depsos, BKKBN, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, dan Badan Narkotika Nasional). Padahal jika mengacu pada struktur kelembagaan KPAN seharusnya anggaran tersebut tersebar di 13 (tiga) belas kementerian/lembaga sesuai dengan jumlah kementerian/lembaga yang masuk dalam keanggotaan KPAN.
Dan ketika ditelusuri ke semua program-program penanggulangan HIV/AIDS di keenam kementerian/lembaga ternyata hampir 90% semua programnya juga fokus pada pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang disebabkan oleh pengguna narkoba. Memang dilihat dari angka kasusnya, jumlah pengidap HIV dan AIDS yang disebabkan oleh Narkoba dan jarum suntik (Penasun) memang lebih besar yaitu sebesar 46%. Sehingga terlihat Pemerintah kemudian lebih memilih untuk memprioritaskan penanggulangan HIV/AIDS kepada Penasun saja daripada hubungan seks. Padahal berdasarkan hasil pertemuan ICAAP di Bali, dari data terakhir kasus HIV/AIDS saat ini justru lebih banyak yang menjangkit dikalangan pasutri khususnya ibu rumah tangga melalui hubungan seks (bukan melalui narkoba dan jarum suntik).

Diskriminasi penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan Pemerintah kepada kalangan WPS (Wanita Penjaja Seks), PWS (Pengguna Wanita Seks) tentu tidak bisa dibenarkan dari sisi apapun, karena sudah menjadi kewajiban Pemerintah untuk menangulangi HIV/AIDS dari segala penyebab apapun tanpa harus memilah dan memprioritasi.

Di sisi yang lain, dari hasil penelusuran anggaran, ternyata sebagian besar anggaran hanya dipergunakan untuk pencegahan daripada perawatan dan pengobatan. Di tahun 2010 misalnya, dari total alokasi anggaran penanggulangan HIV/AIDS, sebesar 82,1% digunakan untuk pencegahan, sementara untuk program perawatan dan pengobatan hanya sebesar 9%. Dengan melihat tidak proporsionalnya alokasi anggaran tersebut sudah dapat dipastikan program-program yang dipergunakan untuk merawat dan mengobati para penderita HIV/AIDS akan terabaikan. Mungkin itu pula kenapa pengadaan obat retroviral bagi penderita seringkali kosong (tidak tersedia) karena semua anggaran HIV/AIDS dipergunakan untuk pencegahan saja. Dan dengan melihat proporsi anggaran ini pula, sudah dapat dipastikan target pemerintah untuk menekan angka kematian akibat HIV/ADIS 2010 nanti akan gagal.

Rendahnya respon anggaran dan program terhadap penanggulangan HIV/AIDS ini di Indonesia ini sebenarnya sudah dapat dilihat dari tingkat penularan HIV yang terus meningkat tajam. Dan jika respon anggaran dan program yang lemah ini terus berlangsung diperkirakan akan ada sekitar 400 ribu orang terinfeksi HIV pada tahun 2010, dan 100 ribu orang diantaranya diperkirakan meninggal atau akan ada 1 juta ODHA pada tahun 2015 dengan 350 ribu kematian. Dan diperkirakan juga 2015 nanti akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu terinfeksi HIV yang tertular dari suaminya.

Minggu, 21 November 2010

Sadar (Anggaran) Bencana

Yenny Sucipto

Sejak terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh tahun 2005 lalu, pemerintah terlihat tidak lagi main-main dengan ancaman bencana alam di Indonesia. Bahkan berkali-kali pemerintah mendeklarasikan secara terbuka untuk secara serius dan sungguh-sungguh menangani persoalan bencana alam tersebut. Oleh karena itu pemerintah kemudian menyusun suatu manajemen bencana yang tidak lagi parsial dan reaktif melalui suatu kebijakan regulasi yang khusus mengatur tentang itu. Butuh waktu 2 tahun (dari tahun 2005 sampai tahun 2007) dan melalui serangkaian perdebatan panjang antara pemerintah dan DPR sampai dilahirkannya UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanganggulangan Bencana.
Perdebatan yang paling panjang adalah menyoal perlu tidaknya dibentuk suatu badan khusus yang menangani bencana. DPR saat itu beralasan badan tersebut sangat diperlukan karena bencana tidak bisa ditangani secara temporer melalui lembaga-lembaga koordinatif, butuh lembaga khusus yang bersifat permanen yang tugasnya hanya memikirkan penanganan bencana setiap hari. Namun Pemerintah keberatan karena dengan dibentuknya badan baru tersebut akan semakin membebani anggaran belanja negara. Namun DPR berkilah, justru pembentukan badan khusus tersebut akan mengurangi beban anggaran negara, karena akan diikuti dengan peleburan badan dan lembaga yang selama ini menangani bencana ke dalam satu atap. Perdebatan tersebut akhirnya selesai dengan tetap dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), namun sayangnya tanpa disertai ide peleburan (penyatuan ke dalam satu atap) sebagaimana gagasan yang telah muncul sebelumnya.
Namun, baik DPR maupun Pemerintah sepertinya telah melupakan satu hal yang justru lebih urgen daripada perdebatan tentang badan penanggulanan bencana, yaitu masalah pembiayaan selama penanganan bencana, mulai dari tahap tanggap darurat, rehabilitasi sampai rekonstruksi. Sebab belajar dari pengalaman bencana Aceh sampai Yogya tahun 2005, Pemerintah terlihat masih belum menyadari akan pentingnya prioritas anggaran bagi penanganan bencana di Indonesia.
Dalam APBNP 2010, Pemerintah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana sebesar Rp 3,79 triliun ditambah dengan Rp 2,64 triliun yang tersebar di 8 kementerian/Badan tersebut sehingga totalnya sebesar Rp 6,43 Triliun. Alokasi dana penanggulangan bencana alam dalam APBN masih dinilai tidak cukup, mengingat luasnya tingkat kerusakan dan dampak lain yang ditimbulkan akibat bencana alam akhir-akhir ini.
Minimnya alokasi dana untuk penanggulangan bencana di APBN itu menunjukkan bahwa Pemerintah memang masih memandang remeh ancaman bencana di Indonesia. Angka Rp 6,43 trilliun terlihat lebih sebagai bentuk “formalitas” pemenuhan tuntutan “isu bencana” yang memang sedang hangat di masyarakat daripada sebagai bentuk kesadaran pemerintah akan bahaya bencana.

Fragmentasi Anggaran Bencana
Keberadaan Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) bukannya semakin mempermudah penanggulangan bencana tetapi semakin memperumit. Sebab, selain semakin sulitnya koordinasi antar lembaga, juga membuat anggaran bencana semakin terfragmentasi (terpecah-pecah) ke banyak badan dan lembaga.
Fragmentasi anggaran ini jelas akan membuat anggaran bencana menjadi semakin tidak efisien. Sebab semakin banyak badan dan lembaga akan semakin banyak anggaran yang terbuang percuma karena belanja untuk memenuhi kebutuhan aparatur (gaji, tunjangan dan honorarium pegawai, pemenuhan kebutuhan kantor, kendaraan dinas, dll) akan semakin membengkak.
Dampaknya seperti yang terjadi saat ini. Dari total anggaran yang terdapat di 8 badan dan lembaga yang terlibat dalam penanganan bencana, total anggaran yang benar-benar digunakan program-program yang langsung berkaitan dengan penanggulangan bencana hanya sebesar Rp 2,64 triliun. Jika saja badan dan lembaga-lembaga tersebut bisa disatu atapkan, tentunya anggaran yang muncul jauh lebih besar dari hanya Rp 2,64 triliun, karena tidak perlu lagi ada double budget bagi pembiayaan kebutuhan aparatur sebagaimana tersebut diatas.
Jika diteliti lebih lanjut, untuk pengendalian bencana berupa pengembangan sistem early warning tsunami, cuaca dan iklim hanya dianggarkan 137,85 milyar (Badan Meteorologi, Klimatologi dan geofisikan), Pengembangan sistem Manajemen dan Penetapan Zona Rawan Bencana baik Darat maupun laut sebesar Rp 42,27 milyar (BNPB dan Bakor Survey dan Pemetaan Nasional). Sedangkan untuk pelaksanaan tanggap darurat sebesar Rp 666,12 milyar (Mabes TNI, Kementerian PU, Kementrian Sosial, BNPB dan Basarnas). Untuk Pengendalian Lahar Gunung Berapi Rp 6,89 milyar dan pengendalian bencana banjir Rp 1,5 triliun, itu pun hanya digunakan untuk membangun sarana dan prasarana penanggulangan banjir yang dikerjakan di bawah Departemen PU.

Pentingnya Political Will
Kesadaran pemerintah akan bahaya bencana seharusnya diikuti dengan langkah-langkah konkrit dalam pemenuhan anggaran bencana. Berkaca pada Bencana Tsunami Aceh, dimana pembiayaan untuk tanggap darurat saja menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,25 trilyun. Mengingat banyak wilayah di Indonesia yang berpotensi bencana, pemerintah setidaknya mengalokasikan anggaran khusus untuk penanggulangan bencana kurang lebih 1% dari total APBN (sekitar Rp 12 triliun untuk tahun 2010). Contohnya dapat kita lihat pada bencana merapi saat ini, dimana tercatat ada 289.613 pengungsi yang setiap harinya membutuhkan Rp 4,34 milyar untuk 3 (tiga) kali makan dalam sehari, itu belum termasuk kebutuhan tanggap darurat lainnya.
Pentingnya political will dan keseriusan pemerintah dalam pengalokasian anggaran bencana yang ideal dalam setiap tahun anggaran, agar pemerintah tidak mengulangi kesalahannya lagi ketika dalam penanganan bencana tsunami aceh, dengan alasan tidak adanya alokasi dalam APBN, pemerintah lalu berhutang ke luar negeri yang totalnya sampai mencapai US$ 326 juta.
Melihat quo vadisnya arah kebijakan pendanaan pemerintah dalam penanganan bencana, sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan ulang “manajemen dana bencana” agar tidak menimbulkan bencana baru di masa depan. (diterbitkan di opini Kompas)

Rabu, 29 September 2010

PEMEKARAN (ANGGARAN) DAERAH

Kebijakan pemekaran daerah yang digulirkan sejak 2000 sebenarnya bertujuan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik dan percepatan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah.


Pemekaran juga bertujuan membangun proses demokratisasi (partisipasi) padda tataran masyarakat untuk mewujudkan pemerintah daerah yang lebih efisien, demokratis, dan aspiratif sebagai bentuk dukungan konkret pemerintah pusat terhadap pembangunan ekonomi masyarakat di daerah.

Kebijakan pemekaran daerah sendiri sebenarnya rangkaian dari arus kebijakan politik desentralisasi dan otonomi daerah yang telah digulirkan pemerintah sebelum (1999). Prinsip yang dibangun dalam pelaksanaan otonomi daerah itu adalah partisipasi an transparansi melalui pemberian kewenangan dan keleluasaan kepada daerah membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri.
Sayangnya, tujuan itu cenderung tak terwujud sampai saat ini. Sebaliknya, berbagai penyimpangan dan pemborosan keuangan daerah daerah masih kerap terjadi. Berdasarkan penelitian Said Amin (Bank Dunia), samapi tahun 2007 tercatat 967 anggota DPRD dan 61 kepala daerah yang terlibat korupsi keuangan daerah di seluruh Indonesia.

Dalam konteks kebijakan pemekaran daerah, pelaksanaannya pun cenderung distorsif dan tak terkendali. Menurut catatan Departemen Dalam Negeri (2007), ada 7 propinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota hasil pemekaran sejak 2000. Daerah otonom hingga saat itu berjumlah 473. Ini belum menyertakan Rancagan Undang – Undang Pemekaran yang tengah dibahas Komisi II DPR yang menngajukan 15 tambahan pemekaran. Sebelum kebijakan pemekaran digulirkan, hanya ada 336 kabuoaten dan kota serta 27 propinsi di Indonesia.

Polarisasi
Maraknya usul pemekaran itu tanpa disadari telah memolarisasi masyarakat daerah ke dalam kubu pro dan kontra. Alasan kelompok pro lebih banyak pada pertimbangan yuridis administratif dan cenderung normatif, seperti terselenggaranya pembanngunan yang lebih aspiratif dan peningkatan pelayanan publik. Alasan kelompok kontra didasarkan pada asumsi bahwa pemekaran daerah akan menciptakan perluasan struktur yang berakibat pada pembiayaan yang berat, yang dikhawatirkan menganggu jalannya pembangunan.

Dalam praktiknya, tak jarang pemekaran lebih dimotivasi oleh obsesi daerah mengejar kucuran dana dari pusat yan gmerangsang korupsi. Sejak tahun 2001 kucuran dana dari pusat mengalir deras ke daerah melalui dana perimbangan. Dana perimbangan yang digelontorkan pemerintah pusat ke daerah pada 2001 sebesar Rp 84 triliun. Tahun ini Rp 203,5 triliun.

Menurut penelitian Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, pemekaran berdampak pada pembebanan keuangan negara. Ini dibuktikan dengan membengkaknya dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) dalam APBN 2002 – 2008 yang begitu tinggi. Analisis terhadap penerimaan DAU 114 daerah pemekaran memperlihatkan beban keuangan negara akibat pembengkakan DAU pada tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2008 adalah Rp 8,36 triliun.

Begitu pula dengan pengalokasian DAK dalam APBN kurun 2002 – 2008 terus membengkak akibat semakin banyak daerah pemekaran yang harus diberi DAK dari tahun ke tahun. Kenaikan terbesar khususnya terjadi pada 2004. Beban keuangan yang ditanggung negara karena adanya pertambahan alokasi DAK yang harus diberikan kepada daerah pemekaran dari tahun 2003 sampai 2008 mencapai Rp 13 triliun.

Penelitian terhadap 40 APBD daerah pemekaran memperlihatkan, kebergantungan keuangan sebagian besar daerah sangat tinggi terhadap pemerintah pusat. Ini terllihat dari sektor penerimaan yang didominasi dari DAU dan DAK yang rata – rata berada di atas 70 persen total penerimaan.

Penerimaan Terkecil
Penerimaan terkecil justru dari sumber yang seharusnya merupakan potensi daerah murni: pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi hasil (DBH). Rata – rata penerimaan dari sektor PAD hanya 2 – 5 persen. Bahkan, terdapat beberapa daerah pemekaran dengan PAD di bawah 1 persen. Sementara itu, DBH rata – rata di bawah 10 persen dari total penerimaa. Ketergantungan penerimaan daerah dari sektor DAU dan DAK pada akhirnya berimbas negatif di sektor belanja.

Dengan miskinnya keuangan daerah, anggaran untuk belanja pelayanan publik harus dikorbankan demi memenuhi kebutuhan belanja aparatur, terutama untuk gaji pegawai negeri sipil, tunjangan, dan perjalanan dinas pejabat daerah. Presentase belanja ppegawai (gaji, tunjangan, honorarium, dan perjalanan dinas), setiap daerah pemekaran berada di antara 50 dan 70 persen total belanja.

Setelah membandingkan keadaan keuangan daerah induk dan daerah sebelum dan setelah pemekaran, diketahui bahwa kondisi keuangan daerah induk pasca-pemekaran selalu berkurang sekitar 30 persen dari total penerimaan. Namun, apabila penerimaan daerah induk dan daerah daerah pemekaran digabungkan, peningkatannya cukup tinggi.
Peningkatan itu disebabkan oleh adanya peningkatan penerimaan DAU yang cukup tinggi dan diikuti oleh peningktan DAK. Peningkatan DAU itu merupakan gambaran kondisi keuangan daerah pemekaran yang memiliki celah fiskal tinggi.

Ini ditimbulkan oleh kebutuhan fiskal yang besar (rencana program pembangunan) yang tidak sebanding dengnan kapasitas fiskal (potensi daerah) yang cenderung rendah. Masih ada tambahan berupa kebutuhan pegawai negeri sipil baru yang otomatis membutuhkan alokasi dasar tambahan dari DAU yang mau tidak mau harus dipenuhi oleh pemerintah pusat.(Diterbitkan dalam Opini Kompas)

Selasa, 06 April 2010

Anggaran Rakyat Untuk Menggusur Rakyat

Peneliti: Yenny Sucipto

Meningkatnya represifitas pemerintah daerah terhadap kaum marjinal perkotaan berangkat dari persepsi yang salah tentang kecantikan dan keindahan kota . Persepsi itu bertolak dari “paradigma naif” yang memandang bahwa kecantikan kota identik dengan kesejahteraan. Oleh karenanya, rakyat miskin tidak boleh tinggal di kota agar kota terlihat indah, karena indah = sejahtera. Implementasi “paradigma naif” itu sangat mudah terlihat ketika membedah kebijakan Anggaran untuk DKI Jakarta.

Dalam kurun waktu 3 tahun, antara 2008 – 2010 alokasi anggaran untuk Satpol PP sudah mencapai Rp 894,8 milyar. Dalam 3 tahun berturut – turut mengalami kenaikan dari Rp 138,3 milyar tahun 2008, Rp 346,7 milyar tahun 2007 dan Rp 409,8 milyar untuk tahun 2010.

Dari besaran alokasi anggaran Satpol PP yang ada, untuk alokasi program peningkatan kinerja ketentraman dan ketertiban umum saja membutuhkan anggaran sebesar Rp 211,4 milyar. Dan salah satu program untuk melakukan penggusuran dan razia yaitu yang khusus untuk kegiatan Pengawasan dan Penertiban PMKS, PK5, PSK dan Gangguan sosial lainnya teralokasi sebesar Rp 9,2 milyar dan untuk kegiatan Penertiban Bangunan/Gubuk Lliar/Sengketa Tanah sebesar Rp 1,8 milyar.Bahkan untuk gaji, tunjangan dan tambahan gaji PNS berdasarkan beban kerja mencapai Rp 132,9 milyar.

Ironis, jika anggaran tersebut dibandingkan dengan alokasi kesehatan untuk program penurunan Angka Kematian Ibu dan Anak yang hanya sebesar Rp 366,8 juta, program peningkatan Kesehatan Anak Balita sebesar Rp 200 juta, program peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan Rp 270 juta dan program peningkatan Gizi Masyarakat hanya sebesar Rp 150 juta saja.

Dari alokasi anggaran di atas sudah dapat diketahui jika Pemprov DKI lebih memilih “kesejahteraan semu” dengan cara menggusur dan merazia lalu membangun taman dan patung sehingga kota terlihat indah dan tidak kumuh, daripada kesejahteraan yang sesungguhnya melalui pemenuhan pelayanan dasar khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Dengan model APBD seperti itu, dapat dipastikan bahwa di DKI harus tetap dilakukan penggusuran dan razia setiap tahunnya, tidak peduli apakah PKL, PSK, pengemis dan gelandangannya masih ada atau tidak, karena anggarannya memang dialokasikan (disediakan) rutin setiap tahun.

Selasa, 09 Februari 2010

Menilai Derajat Desentralisasi

Oleh: Yenny Sucipto


Desentralisasi pemerintahan yang telah berjalan sejak tahun 2001 di Indonesia telah memberikan banyak perubahan dan kemajuan di setiap daerah. Dalam 10 tahun terakhir ini daerah telah banyak belajar dalam mengelola dan menjalankan urusan pemerintahannya sendiri. Harus diakui menjalankan desentralisasi bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga desentralisasi di Indonesia seringkali mengalami pasang surut karena berbagai kendala yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah terutama dalam hal keterbatasan SDM, finansial dan minimnya potensi daerah. Sehingga membuat tujuan desentralisasi seringkali tidak sejalan (bahkan di satu sisi distorsif) dengan tujuannnya.

Penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di 42 kabupaten/kota menunjukkan kendala terbesar yang saat ini dihadapi oleh pemerintah daerah adalah dalam hal desentralisasi fiskal. Karena dalam praktiknya hampir semua daerah sering kesulitan dalam mencari dan meningkatkan pendapatannya sendiri, sehingga walaupun 10 tahun desentralisasi dijalankan sebagian besar daerah masih menggantungkan penerimaannya dari bantuan dari pusat baik dalam bentuk block grant (DAU) maupun specific grant (DAK).

Daerah-daerah yang bisa menjalankan desentralisasi fiskalnya hanyalah daerah yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah atau daerah yang berkarakteristik perkotaan besar. Karena paling tidak dengan potensi sumber daya alam tersebut penerimaan daerah masih bisa tercover dari dana bagi hasil sumber daya alam dari pusat, seperti Kabupaten Aceh Utara yang kaya dengan Minyak dan Gas. Atau bagi wilayah perkotaan besar seperti Kota Surabaya dan Kota Semarang sebagai ibukota propinsi telah membuat wilayah tersebut menjadi kota tujuan bisnis dan investasi sehingga pendapatannya dapat tercover dari PAD terutama di sektor pajak dan retribusi daerah. Sebagai catatan, dari + 480 kabupaten/kota di Indonesia hanya 64 kab/kota saja yang memiliki potensi SDA.

Bagi 92% kabupaten/kota di Indonesia yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam, menjadi tidak mudah untuk melepaskan ketergantungan dari bantuan pemerintah pusat. Walaupun sebenarnya sampai saat ini di daerah-daerah penelitian tersebut semua pemerintah daerah terus berupaya untuk menumbuhkan potensi ekonominya dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua investor untuk menginvestasikan modalnya di daerah masing-masing.

Hanya saja, upaya tersebut bukanlah sesuatu hal yang mudah karena selain minimnya potensi yang membuat tidak tertariknya investor, juga keterbatasaan dana dari pemerintah daerah untuk meningkatkan fasilitas-fasilitas infrastruktur dan suprastruktur ekonomi di daerahnya. Karena itulah, satu-satunya upaya yang saat ini dilakukan pemerintah daerah untuk mengurangi tingkat ketergantungan keuangannya terhadap pemerintah pusat (walaupun tidak signifikan) dilakukan dengan cara menggenjot PAD semaksimal mungkin terutama di sektor retribusi daerah. Dampaknya cukup negatif karena retribusi yang dinaikkan tersebut rata-rata adalah retribusi yang sifatnya memberikan beban bagi rakyat miskin (retribusi kesehatan) dengan rata-rata di atas 60% dari total PAD.

Lemahnya derajat desentralisasi fiskal tersebut pada akhirnya juga berdampak pada belanja daerah, dimana biaya program pembangunan sebagian besar harus ikut bergantung dari bantuan pusat sehingga celah fiskal daerah menjadi tinggi. Masalahnya APBN juga memiliki keterbatasaan yang tidak mungkin dapat menutupi tingginya celah fiskal daerah, sehingga prosentase DAU sebagian besar hanya diberikan untuk memenuhi alokasi dasar (gaji PNS) saja. Wajar jika kemudian, wajah belanja semua daerah menjadi tidak pro poor karena sebagian besar belanja telah habis dulu untuk menutupi kebutuhan birokrasi (gaji, tunjangan, perjalanan dinas, gedung, perkantoran, dll). Itu pula, kenapa walaupun di sektor pendidikan alokasi belanja di 42 kab/kota rata/rata telah berada di atas 20% namun sebagian besar penggunaannya hanya bisa digunakan untuk memenuhi gaji guru dan dinas, tidak sampai pada program pelayanan publik seperti pengadaan dan rehabilitasi gedung sekolah, bea siswa, pengadaan buku dan lain-lain.

Melihat kondisi daerah yang masih kesulitan dalam menjalankan desentralisasi fiskalnya, sangat urgen untuk memikirkan ulang (terutama bagi pemerintah pusat) perlunya membuat grand strategy yang dalam penguatan desentralisasi fiskal, agar otonomi daerah dapat berjalan lebih efektif. Grand strategy tersebut paling dengan memperbaiki beberapa aturan sistem yang telah ada, yang pertama menyangkut penggunaan DAU dan perampingan birokrasi.

Berdasarkan hasil penelitian World Bank (2007) terhadap Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Departemen Keuangan RI, celah fiskal dan alokasi dasar dalam DAU yang digelontorkan ke daerah (miskin) perbandingannya adalah 50:50. Namun dalam praktiknya di 41 kab/kota yang hasilnya rata-rata 80:20. Kesimpang-siuran ini paling tidak harus dijawab dengan perlunya sebuah aturan mengenai batas minimal perbandingan penggunaan antara alokasi dasar dan celah fiskal yang bersifat proporsional dan memungkinkan bagi daerah miskin untuk bisa membiayai pembangunan di daerahnya.

Dari hasil penelitian FITRA selama 3 tahun (2007-2009) juga menunjukkan adanya kecenderungan dari Pemerintah daerah untuk terus meningkatkan alokasi belanja pegawainya yang berakibat tidak proporsionalnya jumlah PNS dengan populasi penduduk. Di beberapa daerah bahkan harus mengeluarkan anggaran Rp 1 juta untuk pegawai dalam melayani seorang penduduk saja. Oleh karena itu, ke depan perlu dibangun sistem kepegawaian teriintegrasi secara nasional yang dapat membatasi kebutuhan birokrasi di masing-masing daerah.

Rabu, 06 Januari 2010

Budaya Siwaliparri dan Budaya Patriarki = Beban Ganda Perempuan?

Setiap pagi di Teluk Majene puluhan perempuan menanti para pajala (nelayan yang menggunakan jaring payang) datang dari laut membawa ikan, tiap siang beberapa perempuan berjibaku sekop menggali pasir di Sungai Mandar, tiap dini hari jalan utama di Kelurahan Tinambung dilintasi perempuan-perempuan yang memanggul puluhan jerigen menuju sumber air minum. Jika ada yang bertanya, mereka sedang melakukan apa, salah satu jawabnya, mereka mempraktekkan konsep siwaliparri.

Siwaliparri merupakan salah satu nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Polman. Siwaliparri terdiri dari tiga suku kata, si (berhadapan), wali (lawan, musuh; bila mendapat awalan me- berarti membantu), dan parri (susah). Jadi, secara sederhana siwaliparri berarti saling membantu atau bergotong royong.

Siwaliparri berangkat dari konsep rumah tangga (domestik) masyarakat Mandar, yakni pemahaman bahwa perempuan Mandar, selain sangat setia, juga pandai menempatkan diri sebagai perempuan dan sebagai istri. Nurhidayah, seorang warga Polman menggambarkan:
“Siwaliparri menurut saya dapat dicontohkan misalnya, bila bapaknya anak-anak memanjat kelapa, maka ibunya yang membuat minyak untuk digunakan sendiri atau dijual guna menambah penghasilan keluarga.”

Pada dasarnya, di dalam dunia rumah tangga, dipahami bahwa Siwaliparri adalah konsep yang mengharuskan perempuan atau istri untuk membantu kegiatan suami. Dengan pemahaman ini, posisi istri dan suami di mata orang Mandar tidak dipandang timpang atau tidak berbeda. Istri juga memiliki tanggung jawab yang sama atas kehidupan dan langgengnya urusan pendidikan yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan dan beragama.

Fenomena Siwaliparri yang dapat diamati secara empiris dalam rumah tangga orang Mandar antara lain, pada kegiatan manette’ lipa sa’be atau bertenun sarung sutera. Kegiatan ini merupakan salah satu aktivitas yang dimaksudkan meringankan perekonomian rumah tangga.

Dalam pandangan sebagian orang Mandar, Siwaliparri diartikan sebagai sesuatu yang harus ditanggung bersama. Senang dinikmati bersama dan duka ditanggung bersama. Maka jangan heran kalau melihat para istri menggembalakan hewan ternak atau memilih beraktivitas di rumah sebagai pembuat kasur kapuk, berjualan makanan kecil, menjahit, berdagang sarung sutera, atau kegiatan lainnya seperti memecah kemiri atau kerikil.

Di sini jelas tergambar bahwa sungguh Siwaliparri sebagai nilai yang kendati berakar dari konsep lokal, namun menjadi sesuatu yang unik dan mestinya tetap dipertahankan. Dalam konteks kekinian, tidak berlebihan jika konsep itu diterjemahkan sebagai konsep kesetaraan peran yang dalam diskursusnya lebih dimaknai sebagai konsep gender yang digali dari nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Polman.

Namun problemnya nilai-nilai siwaliparri tersebut baru mampu diterjemahkan di level distribusi kerja ekonomis. Dalam hal urusan rumah tangga masih sangat patriarki karena dibebankan sepenuhnya kepada perempuan (isteri). Sehingga secara tidak sengaja siwaliparri menjadi pedang bermata dua yang membuat perempuan Polman harus memikul beban ganda. Di satu sisi siwaliparri memberikan ruang kesetaraan di wilayah kerja ekonomis, di sisi lain budaya patriarki menutup rapat ruang kesetaraan di wilayah kerja domestik. Sehingga perempuan Polman harus bekerja rangkap, selain bekerja membantu suami, dia juga harus mengurus anak dan mengurus rumah (mencuci, memasak, menyapu, dll). Memang dari beberapa kasus, sudah terdapat distribusi kerja domestik antara suami dan isteri, misalnya ketika sang isteri pergi ke pasar maka yang bertugas menjaga anak adalah sang suami. Namun kadar kesetaraan di level distribusi ini masih sangat kecil, karena sebagian besar beban kerja domestik masih tetap dipikul pihak isteri. Begitu pula di wilayah publik, para perempuan masih dipandang warga kelas dua yang tidak berhak untuk ikut mengambil keputusan-keputusan publik. Perempuan tetaplah subordinat laki-laki dimana segala sikap dan keputusan sepenuhnya diserahkan kepada laki-laki (suami).

Persoalan ini sebenarnya telah menjadi pemahaman bersama para tokoh adat dan masyarakat Polman. Dalam perkembangan kotemporer, akhirnya mulai muncul diskursus dan wacana untuk mengembangkan nilai-nilai siwaliparri keseluruh tingkatan relasi sosial (termasuk domestik) sehingga kesetaraan gender dapat terwujud. Sebab bagaimanapun harus diakui antara siwaliparri dan budaya patriarki pada hakekatnya mengandung kontradiksi, sehingga dengan mengembangkan nilai-nilai siwaliparri sama dengan mengikis budaya patriarki.

Mengembangkan nilai-nilai siwaliparri dengan cara merevitalisasi pembagian (distribusi) peran antara suami dan isteri dalam rumah tangga bukanlah pekerjaan yang mudah. Tantangan terberatnya adalah ketika berhadap-hadapan dengan nilai-nilai patriarki yang sangat mengakar, yang memandang bahwa distribusi peran yang berjalan saat ini sudah “adil” bagi kaum perempuan (isteri). Beban ganda yang dipikul perempuan dinilai sebagai konsekuensi yang wajar, karena beban tambahan (bekerja membantu suami) tersebut merupakan manifestasi siwaliparri.

Oleh karena itu tidak ada cara lain, kesadaran masyarakat harus segera dibangun bahwa nilai-nilai siwaliparri tidak hanya sebatas gotong royong menanggung beban ekonomi rumah tangga saja. Siwaliparri adalah nilai-nilai universal yang mensyaratkan adanya kerjasama (pembagian peran) antara laki-laki dan perempuan di seluruh kegiatan dan aktivitas apapun, termasuk di wilayah domestik. Siwaliparri menuntut adanya kerjasama dan pembagian kerja yang adil antara perempuan dan laki-laki di setiap tingkatan relasi sosial. Dan yang harus kita sadari bahwa jika para perempuan Polman saat ini memikul beban ganda, hal tersebut bukanlah disebabkan oleh budaya siwaliparri, melainkan kungkungan budaya patriarkhi yang membuat nilai-nilai siwaliparri tidak dapat berkembang ke ranah yang lebih luas. (yenny sucipto)
Diambil dari buku Belajar Dari Tanah Mandar karangan yenny sucipto, una dan rosniaty yang diterbitkan oleh YASMIB, Sulselbar

Selasa, 05 Januari 2010

Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia

Resume buku “SARINAH” Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia
Diresume oleh:Drs. H. Ahmad Rusli Arsyad, M.M

Soal Perempuan
(Realitas Kehidupan Perempuan Indonesia)

Pandangan Sukarno tentang perempuan Indonesia diawali dari paparan realitas kehidupan perempuan Indonesia yang masih banyak mengalami pengekangan, penindasan dan pembodohan. Paparan tersebut didasarkan pada pengalaman-pengalaman Sukarno yang dicontohkannya dalam beberapa fenomena mendasar, terutama tentang pengalamannya atas pengekangan-pengekangan yang terjadi terhadap perempuan Indonesia akibat persepsi yang salah terhadap peran isteri dalam kehidupan rumah tangga.

Isteri bagi kaum laki-laki Indonesia lebih banyak dimaknai sebagai obyek yang tidak memiliki kuasa atas segala hal. Isteri hanya diposisikan sebagai sub bagian dari kaum laki-laki yang berposisi sebagai kepala rumah tangga yang bisa menentukan segala hal yang bersangkut-paut dengan masalah-masalah rumah tangga. Akibatnya isteri-isteri Indonesia nyaris tidak memiliki kebebasan sama sekali dalam segala hal termasuk dalam melakukan hubungan-hubungan dan perbuatan-perbuatan hukum atas dirinya sendiri karena harus berada dalam pengampuan sang suami. Semua tindakan dan keputusan yang akan dibuat harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari suami. Bahkan untuk menemui seorang tamu pun, sang isteri harus menunggu ijin dari suami terlebih dahulu.

Seperti yang dicontohkan Sukarno ketika ia datang bertamu kerumah kenalannya, dimana kenalannya itu begitu mudahnya berbohong di depan isterinya yang menyatakan bahwa isterinya tidak ada di rumah sementara isterinya dibiarkan mengintip dari balik tirai pintu. Dari contoh di atas dapat terlihat jelas bahwa peran perempuan Indonesia memang masih sangat jauh dari kemerdekaannya akibat pengekangan-pengekangan yang dilakukan oleh suaminya sendiri.

Alasan mendasar yang dapat ditangkap oleh Sukarno atas pengekangan yang dilakukan tersebut adalah akibat bentuk pengungkapan rasa sayang yang salah terhadap isterinya. Persepsi suami Indonesia, isteri adalah mutiara berharga yang harus dijaga, dihormati dan dimuliakan oleh suaminya. Namun cara menjaga dan menghormati tersebut diungkapan dengan cara memingit isteri di dalam rumah sehingga berakibat hilangnya kebebasan perempuan Indonesia. Fenomena ini persis seperti apa yang pernah dikemukakan Professor Havelock Ellis yang dikutip Sukarno: “kebanyakan laki-laki memandang perempuan sebagai suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang tolol!”
Walaupun demikian, kebebasan yang harus diperjuangkan oleh perempuan Indonesia juga tidak dapat serta merta memplagiat seperti kaum feminis dan neo feminis eropa yang menuntut kesamaan atas segala hal terhadap kaum laki-laki, baik persamaan dalam tingkah laku, cara hidup, bentuk pakaian dan lain-lain. Padahal kita mengetahui ada beberapa perbedaan mendasar yang tidak dapat disamakan antara laki-laki dan perempuan terutama yang menyangkut kodrat perempuan itu sendiri, misalnya kodrat sebagai ibu dan isteri. Mengutip pernyataan Henriette Roland Holst, Sukarno menyatakan bahwa perempuan yang bebas merdeka dan bekerja seperti laki-laki tidak bisa dihindarkan pasti akan merindukan kodratnya sebagai isteri dari suami dan ibu dari anak-anaknya.

Oleh karena itu, masalah perjuangan kebebasan dan makna kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sampai saat ini masih memiliki masalah yang sangat pelik. Bahkan perjuangan kaum perempuan pun sampai saat ini mengalami banyak perbedaan-perbedaan, dari ortodoks, moderat dan modern. Dan Sukarno tidak menginginkan perjuangan kaum-kaum perempuan Indonesia membabi buta memplagiat seperti feminis di eropa tanpa menyatukannnya dengan kepribadian bangsa. Sebab jika itu terjadi, yang timbul hanyalah kerusakan dan kekacauan belaka.

Laki-Laki dan Perempuan
(Sukarno sebagai Seorang Patriarchat)

Seperti dikutip Sukarno dari Olive Schreiner (feminis idealis Eropa) laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk yang terikat satu kepada yang lain oleh sebuah tali hidupnya kodrat alam (tali sekse). Tali sekse tidak hanya diartikan sebagai sebuah tali biologis saja tetapi juga merupakan tali jiwa. Seorang pekerja seks, walaupun ia melacurkan tubuhnya (biologis) setiap hari namun di satu sisi jiwanya juga merindukan akan cinta.

Namun dalam perkembangannya, pemaknaan tali sekse di Rusia ternyata distorsif, tali sekse hanya dimaknai hanya sebagai satu ikatan biologis saja (free sex). Bahkan Madamme Kollontay juga menganjurkan teori yang distorsif ini. Namun pada akhirnya teori tersebut dihancurkan oleh Lenin, sehingga pandangan tentang tali sekse kembali kepada arti semula tentang pertalian antara tubuh dan jiwa atas laki-laki dan perempuan.

Tali sekse yang mengikatkan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan primer selain makan dan minum. Bahkan Schopenhouer, seorang ahli filsafat, pernah menyatakan bahwa “syahwat merupakan penjelmaan keras dari kehidupan manusia atas kemauan akan hidup. Bahkan Sukarno mencontohkan kehidupan dalam penjara dimana tali sekse itu sama sekali tidak berjalan, kehidupan pun menjadi abnormal, laki-laki bercinta dengan laki-laki. Sukarno juga mencontohkan sebuah data bunuh diri di beberapa negara eropa, dan hasilnya mayoritas adalah perempuan-perempuan muda yang bunuh diri karena kehilangan tali seksenya (kasih tak sampai, putus cinta, dan lain-lain).

Tali sekse sebagai kodrat alam dapat berjalan apabila laki-laki dan perempuan menjalankan hidup dan kehidupannya sesuai dengan kodrat dan hakekatnya masing-masing. Sebab bagaimanapun harus diakui, bahwa antara laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan dan karakter sendiri-sendiri. Misalnya, kodrat laki-laki memberikan zat anak, dan kodrat perempuan menerima zat anak, mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara anak.

Selain secara fisik, perempuan juga berbeda secara psikologis dengan laki-laki. Heymans seorang ahli jiwa mengatakan bahwa perempuan secara psikologis dibidang emosional, aktivitas dan kedermawanannya cenderung melebihi laki-laki. Perempuan lebih gampang marah, gampang cinta, gampang kasihan, gampang percaya, gampang terharu, dan lain-lain.

Walaupun antara perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan, namun perbedaan tersebut hanya terbatas pada kodrat saja. Tidak benar jika ada pendapat bahwa laki-lakilah yang harus memimpin dan menjadi tokoh, sementara perempuan hanya bertugas sebagai perempuan dapur saja, karena pembedaan itu bukanlah pembedaan yang didasarkan pada kodrat melainkan pada kecongkakan kaum laki-laki.

Dulu, pada masa matriarchat, perempuan memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar daripada laki-laki. Di Indonesia, tercatat terdapat nama-nama tokoh perempuan seperti Ratu Simha di negeri Kalingga, atau Bundo Kandung di negeri Pagar Ruyung. Namun dalam perkembangannya kehidupan perempuan menjadi semakin terpuruk.
Sukarno pada dasarnya bukanlah pecinta matriarchat, Sukarno mengakui dia adalah pecinta patriarchat, tetapi bukan karena ia seorang laki-laki, akan tetapi karena kodrat alam menetapkan patriarchat lebih utama daripada matriarchat. Kodrat menetapkan hukum keturunan lebih selamat dengan hukum perbapakan dibandingkan peribuan. Sebab dengan patriarchat maka perempuan hanya diperisteri oleh satu orang laki-laki, dan tidak lebih. Dengan begitu maka orang dapat mengetahui secara pasti siapa ibunya dan siapa bapaknya. Tetapi dalam matriarchat, orang hanya tahu pasti siapa ibunya, tetapi tidak yakin siapa bapaknya. Walaupun Sukarno pecinta patriarchat, Sukarno tetap menginginkan suatu sistem patriarchat yang adil, yang tidak menindas kaum perempuan.

Dari Gua ke Kota
(Perempuan dalam Theory Evolutie Tendenz)

Pada masa purba, manusia hidup berkelompok. Dan pada masa itu menurut August Bebel, perempuan sudah berposisi sebagai orang taklukan. Penyebab ketaklukan perempuan terhadap laki-laki tersebut adalah karena kodrat perempuan yang hamil dan melahirkan, sehingga tidak mungkin bagi perempuan hamil untuk ikut berburu seperti kaum laki-laki. Akhirnya posisi perempuan hanyalah menjadi budak laki-laki karena hidupnya telah tergantung dari hasil buruan laki-laki. Dan inilah sejarah perbudakan manusia pertama kalinya. Dalam masalah kebutuhan biologis, perempuan hanya menjadi nafsu pelampiasan laki-laki, seperti yang dikemukakan oleh Bachofen dan disempurnakan oleh Eisler. Memang pada masa itu manusia belum mengenal perkawinan, atau istilah Marx belum mengenal adanya hak milik.

Fase perburuan di atas lambat laun mengalami perubahan menuju fase peternakan. Perubahan fase tersebut adalah atas jasa perempuan. Binatang-binatang buruan yang berhasil ditangkap dan tidak mati, oleh para perempuan dipelihara dan diternakkan. Menurut Fleure, fase peternakan tersebut juga bersamaan dengan munculnya fase pertanian, sebab manusia adalah omnivora. Selain daging, manusia juga butuh buah-buahan dan daun-daunan, sehingga pada masa itu, kaum laki-laki berburu, kaum perempuannya beternak dan mencari buah-buahan dan daun-daunan. Lambat laun para perempuan akhirnya mendapatkan ide untuk menanam benih-benih dari buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan. Pada masa inilah perempuan kembali berjasa karena berhasil menemukan ilmu bercocok tanam. Karena tugas perempuan semakin banyak dimana harus menjaga tanaman dan ternaknya, maka demi memudahkan dalam merawat tanaman dan ternaknya tersebut maka para perempuan mulai mencoba-coba membuat tempat tinggal (rumah). Pada saat itulah perempuan kembali berjasa bagi peradaban manusia karena telah menemukan cara untuk membuat tempat tinggal bagi manusia.

Karena jasa-jasa perempuan tersebut, pada akhirnya perempuan menjadi orang yang lebih tinggi dari laki-laki sehingga bisa mengatur dan membuat hukum-hukum atas kehidupan manusia. Dan saat itulah matriarchat mulai berkembang dimana garis keturunan dihitung dari garis ibu. Dari sini dapat ditegaskan kembali, bahwa kembali perempuan menjadi orang yang membuat aturan hukum pertama kali.

Namun matriarchat tersebut lambat laun digeser oleh sistem patriarchat. Sejarah tersebut timbul karena pada akhirnya kaum laki-laki mengikuti jejak kaum perempuan untuk ikut beternak dan bercocok tanam. Lambat laun tanaman dan ternak tersebut terus mengembang sehingga harta kekayaan pun semakin melimpah. Akhirnya kaum laki-laki terbuka hatinya untuk memikirkan tentang warisan harta kekayaannya, sehingga kaum laki-laki pun mulai ikut memikirkan keturunannya. Saat itulah, patriarchat mulai berkembang dan peran perempuan mulai tergeser. Perkawinan sudah tidak berarti lagi laki-laki menghamba pada perempuan tetapi perempuan menghamba kepada laki-laki.

Implikasi dari pergeseran matriarchat menuju patriarchat ini berakibat seluruh hukum-hukum masyarakat termasuk hukum-hukum perkawinan, keturunan, warisan dan lain-lain, semuanya diubah atas kepentingan kekuasaan kaum laki-laki. Bahkan tidak itu saja, moral, ideologi, adat-istiada, kepercayaan, seni, ideologi bahkan agama pun diubah berdasarkan kepentingan kaum laki-laki. Revolusi patriarchat tersebut menurut Sukarno bukanlah revolusi yang memerdekakan laki-laki dan memelihara kemerdekaan perempuan, tetapi kemerdekaan laki-laki yang menindas kaum perempuan.

Akibat penjajahan kaum laki-laki selama beribu-rbu tahun itu, maka kaum perempuan pada akhirnya menjadi kaum yang lemah, bodoh dan terbelakang. Hanya satu yang tersisa yang dapat mengangkat derajat kaum perempuan saat itu, yaitu parasnya yang cantik dan elok. Dengan paras cantik itulah maka perempuan dapat menggunakannya sebagai senjata ekonomis untuk mencari jodoh laki-laki kaya yang dapat mengangkat derajat kehidupannya. Oleh karena itu, menjadi tidak heran jika dalam perkembangannya kemudian, para perempuan hanya dilatih sebagai perempuan yang harus berbakti kepada suami agar suami tetap senang kepadanya.

Nasib perempuan yang terpuruk tersebut pada akhirnya mulai terangkat kembali pada masa revolusi industri di Eropa. Perempuan-perempuan mulai kembali menjadi perempuan pekerja yang mandiri. Namun kondisi tersebut tidak bertahan lama, karena lambat laun pekerjaan yang mereka tekuni digantikan oleh mesin-mesin industri sebagai implikasi dari perkembangan teknologi.

Matriarchat dan Patriarchat
(Matriarchat dan Patriarchat terhadap Kemajuan Jaman)

Sistem matriarchat pada dasarnya timbul dari hukum masyarakat yang sangat tua (kuno). Bahkan Romein dalam bukunya menerangkan bahwa ribuan tahun sebelum jaman Nabi Isa sudah timbul aturan-aturan matriarchat. Namun harus diakui bahwa sistem matriarchat tersebut dalam perkembangannya terus surut dan lapuk ditelan jaman. Bahkan di Minangkabau pun sistem matriarchat tersebut saat ini hanyalah menjadi tradisi-tradisi yang terus surut.

Pada dasarnya, tidak semua sistem matriarchat bersifat baik, bahkan sebagian besar mengarah pada penghambaan kaum laki-laki kepada kaum perempuan, sama dengan sistem patriarchat yang sebagian besar juga menjurus pada penghambaan kaum perempuan kepada kaum laki-laki.

Sejarah terbangunnya sistem poliandri menurut Sukarno bisa disebabkan karna sistem matriarchat, namun bisa juga tidak sebab Eisler mengatakan bahwa poliandri bukanlah satu perkembangan yang umum (bukan satu tingkat perubahan yang umum). Engels menamakan diaa perkecualian, serta hasil-hasil yang mewah daripada sejarah. Dan Bebel berkatan bahwa belum ada seorangpun yang benar-benar mengetahui tentang sebab-sebab terjadinya poliandri. Namun Sukarno dapat mengemukakan teori bahwa poliandri biasanya terjadi di negeri-negeri pegunungan yang kekuarangan supply makanan. Oleh karena itu maka poliandri dijadikan sebuah cara untuk mencegah bertambahnya keturunan. Alasan lain juga dikemukakan Tarnowsky yang menyatakan bahwa terjadinya poliandri di daerah pegunungan karena daerah tersebut termasuk daerah dingin, sebab suhu yang dingin menurut ilmu kedokteran mengurangi nafsu birahi manusia.

Patriarchat
Menurut Sukarno, hukum patriarchat merupakan sebuah kemajuan bagi jaman, sebab patriarchat dalam sejarahnya telah mendorong berkembangnya keluarga (somah) dan individualisme. Marx menamakan perpindahan dari matriarchat ke patariarchat adalah sebuah perpindahan yang paling sesuai dengan kodrat alam, dan Engels menamakannya sebagai kemajuan dalam sejarah yang besar. Hanya sayang, kemajuan ini diikuti dengan perbudakan.

Pokok hukum patriarchat itu digambarkan oleh Engels dengan satu kalimat yang sangat tepat: “Ia berazaskan pertuanan seorang laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-anak yang tak dapat dibantah lagi siapa bapaknya, dan perbapakan yang tak dapat dibantah itu amat perlu, oleh karena anak-anak ini nanti harus mewarisi harta milik si bapakan itu. Patriarchat seperti itu telah dapat diketahui bahwa bagaimanapun patriarchat memang lebih baik dan lebih maju dibandingkan dengan matriarchat.

Namun memang harus diakui pula bahwa patriarchat juga memiliki ekses negatif. Patriarchat merupakan faktor utama yang mendorong munculnya nafsu kekuasaan akan hak milik, bahkan perempuan pun ikut dijadikan sebagai hak milik. Carpenter juga berkata bahwa nafsu kepada hak milik itu telah membuat laki-laki menutup dan memperbudakkan perempuan yang ia cintai. Bahkan perempuan telah dijadikan sebagai barang dagangan seperti di masa Yunani. Pada masa itu perempuan Yunani dapat ditukar dengan sapi, sehingga perempuan-perempuan itu kemudian diberi nama alphesiboiai (artinya: menghasilkan sapi). Jika perempuan yang diinginkan tidak mampu ditukar dengan sapi atau dibeli oleh laki-laki, maka laki-laki tersebut dapat mencuri atau merampasnya. Bahkan budaya “kawin beli” dan “kawin rampas” tersebut sampai saat ini masih hidup dan berkembang di tanah Batak yang disebut dengan “marlojong”.

Salah satu implikasi negatif lainnya dari patriarchat adalah munculnya persundalan. Kaum perempuan terpaksa menjual dirinya kepada laki-laki hanya untuk mendapatkan uang. Pada masa matriarchat, persundalan merupakan satu “amal keagamaan” (religieuze daad) yang diwajibkan oleh ibadat, tetapi kini justru menjadi perdagangan ekonomis.
Secara garis besar, ekses negatif dari patriarchat adalah perendahan derajat kaum perempuan. Di Jepang budaya yang berkembang dalam kalangan perempuan sana, bahwa kehinaan terbesar dalam hidup apabila ia dicerai oleh suaminya. Oleh karena itulah perempuan Jepang merupakan perempuan yang sangat penurut kepada suaminya. Seperti diceritakan oleh O’Conroy yang pernah datang bertamu kepada seorang perempuan Jepang, dimana ia sama sekali tidak peduli kepada suaminya yang tidur dengan pelacur di kamar tidurnya, bahkan ia sendirilah (sang isteri) yang menyiapkan tempat tidur untuk suami dan pelacur yang dibawanya suaminya. Bagi perempuan Jepang cara mencintai suami adalah dengan cara mengabdi sepenuhnya kepada suaminya, tidak peduli apakah suaminya menghianatinya ataukah tidak.

Tetapi yang menarik, ternyata laki-laki Jepang tidak sama dengan perempuan Jepang. Laki-laki Jepang tidak mengenal apa itu cinta karena memang bahasa Jepang tidak memiliki akasara “cinta kasih”. Cinta dalam arti bahasa Jepang tidak lebih daripada sebuah bentuk persetubuhan dengan seorang perempuan. Wajar jika kemudian perzinahan dan penghianatan terhadap isteri yang dilakukan oleh para suami di Jepang dianggap sebagai sebuah perbuatan yang biasa dan tidak termasuk amoral.

Van Kol menulis tentang perempuan Jepang itu: “Perempuan hanya boleh memikirkan kebahagiaan suaminya saja; kemerdekaan untuk menentukan nasibsendiri dan perasaan-perasaan hati sendiri, tidak diberikan kepadanya. Perempuan dididik dalam kepercayaan, bahwa laki-laki dapat mengerjakan segala hal lebih baik daripada dia, dan bahwa banyak sekali hal-hal di dalam ingatannya bahwa semua urusan dunia hanya laki-lakilah yang dapat memikirkannya dan menimbangnya, dan malahan, kepada anak-anak perempuan yang masih kecil diajarkan, bahwa mereka tidak mempunyai hak apa-apa bilamana mengenai adiknya laki-laki”.

Semua fenomena yang terjadi di Jepang tersebut pada dasarnya merupakan fenomena dari ekses munculnya patriarchat. Ratusan tahun kebiasaan menindas telah memberi kesan kepada rohani dan jasmani yang menindas, dan ratusan tahun kebiasaan tertindas telah memberi kesan pula kepada rohani dan jasmani yang tertindas. Perbedaan itu secara tidak sadar telah membiaskan antara perbedaan mana yang bersifat kodrati dan perbedaan mana yang tidak bersifat kodrati antara laki-laki dan perempuan.
Siapa yang saat ini berani mengatakan bahwa memang kodrat perempuan berbadan lemah, berjalan tunduk, berpikir dungu, berperasan sempit, dan berkemauan tak menentu. Siapa yang saat ini berani mengatakan bahwa memang kodrat perempuan untuk berada di lapisan bawah sebagai orang yang bodoh dan dangkal pengetahuannya.

Namun jika meruntut sejarah Jepang, sebelum jaman feodal, perempuan Jepang adalah perempuan yang tangkas, berbadan tegap, cerdas, yang menjadi ratu-ratu, perempuan yang memegang obor kesenian Jepang, perempuan yang mampu mengalahkan semua laki-laki Jepang. Jika saat ini perempuan Jepang menjadi perempuan yang lemah, mengalah dan nrimo, jelas tentulah bukan karena kodratnya sebagai perempuan melainkan karena sistem patriarchatlah yang memaksa mereka untuk menjadi perempuan lemah seperti itu.

Wanita Bergerak
(Fase-Fase Sejarah Pergerakan Wanita)

Kebangkitan pergerakan wanita diawal di eropa paska revolusi Perancis dan revolusi Inggris. Namun jika dianalisa dari runtutan sejarah, sejarah pergerakan perempuan pada dasarnya dibagi dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase dimana perempuan telah berani mengadakan perkumpulan-perkumpulan antara sesama perempuan, namun tujuan dari perkumpulan tersebut hanya terbatas pada masalah-masalah rumah tangga saja. Kegiatan-kegiatan wanita lebih banyak didasarkan pada pertemuan-pertemuan yang bersifat perkumpulan biasa yang rata-rata dilakukan oleh wanita kelas atas. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut masalah-masalah yang dibahas hanyalah berkisar pada masalah kerumah-tanggaan, yaitu ilmu menjahit, ilmu memasak, ilmu memelihara anak, ilmu kecantikan, estetika dan lain-lain.Tujuan dari kelompok wanita tersebut adalah membuat agar anggota-anggotanya dapat cakap dalam memegang rumah tangga, cakap menerima tamu, pandai menggairahkan suami, cakap menjadi ibu, dan kecapakan-kecakapan rumah tangga lainnya.

Kelompok tersebut sama sekali tidak mempersoalkan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh patriarchat, bahkan mereka sama sekali tidak menentangnya. Suami tetap diaui sebagai yang dipertuan dan yang maha kuasa. Mereka justru menyempurnakan diri mereka untuk menjadi budak dari suami yang dipertuankannya. Mereka juga mendirikan sekolah-sekolah untuk gadis-gadis, namun sifat pengajarannya pun tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah rumah tangga. Mereka mendidik gadis-gadis itu setingkat lebih tinggi dari gadis-gadis biasa dalam kecakapan rumah tangga, dengan harapan akan laku dengan pemuda-pemuda bangsawan dan kaya.

Pada fase berikutnya adalah fase feminisme yang diwujudkan dengan cara memperjuangkan persamaan hak antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Programnya yang terpenting adalah hak untuk menuntut pekerjaan dan hak untuk ikut dalam pemilihan. Pada fase itu, para wanita mulai sadar bahwa kelebihan laki-laki hanyalah rekayasa dari bangunan patriarchat yang sengaja dipupuk ratusan tahun oleh kaum laki-laki. Akhirnya mereka mulai menuntut persamaan hak dan persamaan derajat dengan kaum laki-laki. Mereka sadar telah diperlakukan secara tidak adil selama ini. Hal-hal yang paling mendasar yang menyadarkan kaum perempuan akan ketertindasannya selama ini menurut Sukarno adalah sebagai implikasi dari proses produksi dalam industrialisasi. Proses produksi itu secara radikal telah merubah persepsi-persepsi dalam masyarakat, merubah moral, adat dan juga isme-isme dan pandangan-pandangan tentang hidup. Persepsi perempuan yang dulunya memandang bahwa untuk memperbaiki nasibnya ditempuh dengan cara menambah kecakapannya dalam urusan rumah tangga, kemudian berubah seketika dengan sebuah kesadaran baru bahwa satu-satunya cara terbaik untuk memperbaiki nasib mereka adalah dengan bergerak menuntut persamaan hak dan derajat terhadap kaum laki-laki.

Pada masa revolusi Perancis tercatat beberapa nama besar pejuang perempuan, sebutlah Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe dan Theroigne de Mercourt. Para pejuang perempuan tersebut bergerak mengorganisir para perempuan dalam satu gerakan menuntut persamaan hak dan derajat terhadap kaum laki-laki. Bahkan di tahun 1792 Wollstonecraft, pejuang perempuan Inggris, berhasil menerbitkan buku berjudul Vindication of the Rights of Woman (Pembelaan hak-hak kaum wanita).

Sejak saat itu pergerakan perempuan terus menguat dan mengkristal. Hampir di sebagian negara-negara industri eropa, setiap perempuan bergerak menuntut persamaan hak, khususnya hak untuk bekerja dalam segala lapangan. Namun dari sebagian besar gerakan perempuan yang menuntut hak mereka untuk bekerja adalah perempuan kelas menengah dan kelas atas. Sebab pokok kaum perempuan kelas menengah dan atas menuntut pekerjaan tersebut, menurut Sukarno adalah akibat ekses secara langsung dari industrialisasi yang terjadi. Barang-barang rumah tangga yang dulunya dapat diproduksi sendiri oleh perempuan tersebut untuk mengisi waktu, dalam perkembangannya akhirnya harus diambil alih oleh pabrik-pabrik industri. Akibatnya semakin banyak para isteri yang menganggur. Untuk mengisi waktunya yang luang tersebut akhirnya mereka menuntut untuk dapat bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada, namun tidak sebagai buruh, namun sebagai pekerja-pekerja elit dengan bayaran tinggi.

Sementara itu, nasib perempuan kelas bawah terpaksa harus menjadi budak sebagai kuli (proletar) yang tenaga kerjanya dieksploitasi habis-habisan namun hanya mendapatkan upah yang rendah. Hak bekerja memang telah mereka dapatkan, tetapi pekerjaan tersebut ternyata sama sekali tidak berperikemanusiaan, karena dengan pekerjaan itu mereka justru terkekang dalam satu pekerjaan yang menindas akibat kebutuhan untuk mendapatkan upah.

Pada fase ketiga, gerakan perempuan telah berubah menjadi satu gerakan sosialisme. Paradigma dan cita-cita yang dibangun adalah terciptanya sebuah dunia yang baru sama sekali, yang didalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat kebahagiaan, tanpa ada pemerasan antara kelas yang satu terhadap kelas lainnya. Satu dunia baru, yang disana tidak hanya perempuan yang sama haknya dengan laki-laki, tetapi juga sebuah kesetaraan dan keseimbangan dalam kehidupan perempuan sebagai pekerja dan ibu rumah tangga. Dalam fase ini, antara laki-laki dan perempuan bersatu padu menuju dunia baru yang dicita-citakan tersebut.

Kesadaran baru dalam fase ketiga tersebut menjadi catatan sejarah yang hebat di abad kesembilan belas, karena berhasil membawa perjuangan wanita pada persoalan kemasyarakatan yang lebih luas, yang tidak hanya memikirkan dan memperjuangkan kedudukan wanita sebagai satu bagian dari kemanusiaan yang berbahagia seluruhnya. Kesadaran ini membuat wanita berjuang tidak sebagai sub, tetapi sebagai satu bagian daripada satu kelas.

Dalam satu kongresnya di Gotha 1896, pergerakan sosialis menerima baik resolusi mengenai nasib wanita seperti yang dijabarkan sebagai berikut:
“Karena pekerjaannya di dalam perusahaan itu, maka wanita proletar dalam arti ekonomis sudahlah dipersamakan dengan laki-laki dari kelasnya. Tetapi persamaan ini berarti, bahwa ia, sebagai juga proletar laki-laki, --hanya saja lebih hebat dari dia,-- dihisap oleh si kapitalis. Maka oleh karena itu, perjuangan kaum wanita proletar itu bukan satu perjuangan menentang kaum laki-laki dari kelasnya sendiri, tetapi satu perjuangan bersama-sama kaum laki-laki dari kelasnya sendiri, melawan kelas kaum modal. Tujuan yang dekat daripada perjuangan ini ialah menghambat dan membendung penghisapan kapitalis. Tujuan yang akhir ialah pemerintahan kaum proletar, dengan maksud menghapuskan sama sekali pemerintahan kelas, dan penjelmaannya satu pergaulan hidup sosialistis.”

Pada tahun 1907 di Stuttgart dan Kopenhagen 1910, Clara Zetkin mendirikan “Kongres Wanita Internasional”. Utusan-utusan wanita dari Jerman, Inggris, Austria, Perancis, Belgia, Swiss, Italia, Zwedia, Norwegia, Finlandia, Bohemia, Estlandia dan Belanda menghadiri Kongres tersebut. Clara Zetkin dan Adelheid Popp mengucapkan pidatonya yang keras dan teoritis prinsipil yang menjadi sendinya resolusi dalam menuntut pemilihan terbuka untuk ikut berjuang dalam setiap partai-partai sosialis. Paska kongres tersebut, ternyata kampanye-kampanye yang dilakukan partai-partai sosialis meraih kemenangan yang cukup besar. Tercatat pada tahun 1912 di Reichstag partai sosialis dapat meraih 110 kursi, dimana keberhasilan itu tidak terlepas dari bantuan gerakan perempuan.

Perjuangan perempuan tersebut terus terkristalisasi dalam perjuangan partai politik dan parlementer. Pemenangan hak pilih bagi para perempuan saat itu hanyalah kemenangan perantara untuk menuju kepada kemenangan yang sebenarnya, yaitu kemenangan sosialisme dalam satu tatanan konstruksi masyarakat baru dimana kaum perempuan dan laki-laki hidup setara dan sinergi dalam mencapai tatanah hidup yang bahagia, adil dan makmur.

Pahlawan perempuan yang namanya harum sampai saat ini adalah Rosa Luxemburg, seorang pejuang perempuan yang aktif dalam Partai Sosialis Demokrat Jerman. Pemikiran-pemikiran Rosa tersebut mampu merubah ideologi sosialisme menjadi satu ideologi baru yang lebih moderat dan signifikan bagi perjuangan kaum buruh. Bahkan Rosa tidak segan-segan berbenturan dengan Lenin dan Edward Bernstein, kawan separtainya dalam komunis internasional. Namun sayang, akibat kegigihan dan kekerasan perjuangan Rosa tersebut, pada akhirnya ia terpaksa harus menemui ajalnya bersama kawannya Liebnecht pada tanggal 15 Januari 1919. Rosa dibunuh oleh musuhnya dalam usianya yang ke 49 tahun. Ia mati sebagai srikandi kaum wanita yang juga merupakan tokoh pergerakan sosialis.

Nama Clara Zetkin pun juga pantas kita hormati setinggi-tingginya. Bukan isapan jempol jika orang menamakannya “Ibu Revolusi Proletar” sebagai sampai mengamuknya Hittler di Jerman, tatkala semua partai kaum buruh dibubarkan, majalah-majalah dilarang terbit, pemimpin-pemimpinnya ditangkap dan dilemparkan dalam konsentrasi kamp atau di sel mati mentah-mentah, partai-partai lain dianschluss, ia masih terus berjuang untuk kepentingan sosialisme. Salah satu sidang Reichstag-merdeka yang terakhir, dialah yang membukanya; pada waktu itu ia telah berusia 80 tahun, satu usia yang manusia biasa kebanyakan sudah rapuh dan sudah renta. Namun dalam pidatonya itu, Ibu Revolusi masih berani menghantamkan serangannya kepada kaum kezaliman Hitler.

Sarinah Dalam Perjuangan Republik Indonesia
(Seruan Sukarno terhadap Perempuan Indonesia)

Bagi Sukarno, nasib kaum wanita Indonesia tergantung dari tangan mereka sendiri. Kaum laki-laki harus terus mengingatkan dan memberikan keyakinan kepada kaum wanita Indonesia tentang pentingnya mereka ikut dalam gerak perjuangan. Perempuan Indonesia harus bahu membahu dengan laki-laki mewujudnya cita-cita bangsa yang sejahtera, adil dan makmur, zonder exploitation de lhomme par lhomme

Sebab syarat mutlak bagi kemenangan revolusi nasional adalah terwujudnya persatuan nasional, yang barang tentu juga menyangkut hubungan antara wanita dan laki-laki Indonesia. Namun Sukarno juga mengingatkan, janganlah dalam revolusi nasional yang berlangsung, wanita misalnya terlalu menitik beratkan pada pengemukaan tuntutan-tuntutan feministis, dan melupakan tuntutan-tuntutan perjuangan membela kemerdekaan negara dan kemerdekaan bangsa. Sebaliknya, wanita Indonesia harus melakukan penggabungan tenaga antara perempuan dan laki-laki yang sehebat-hebatnya dan sebulat-bulatnya. Laki-laki dan perempuan Indonesia bersama menuju satu tujuan, tiada satu tenaga pun yang boleh tercecer. Feminis atau sosialis, jika golongan-golongan itu masih ada dan tetap dipertahankan, jangan sampai bertentangan antara satu sama lain, sebaliknya golongan-golongan itu harus terus bahu membahu serapat-rapatnya kesatu arah, kesatu tujuan revolusioner: menggempur penjajahan, membangunkan negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia dan yang merdeka sepenuh-penuhnya.

Sukarno sadar, bahwa masalah-masalah yang menyangkut persoalan perempuan harus secepatnya dipecahkan. Sukarno pun telah berkali-kali bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin wanita Indonesia yang membahas tentang masalah-masalah keperempuanan yang belum tuntas di Indonesia. Sukarno juga tidak segan-segan menerima setiap keluhan-keluhan dari kalangan wanita yang mengeluhkan bermacam-macam ragam persoalan perempuan. Misalnya bagaimana menyembuhkan wanita dari penyakit kopleks inferieur yang telah turun temurun bersarang dalam jiwa wanita Indonesia, soal bagaimana mendinamiskan wanita Indonesia, soal memberi pengetahuan secepat-cepatnya kepada mereka pula, soal pendidikan gadis-gadis dan anak-anak, soal kesehatan dan kebidanan, soal mengefesienkan rumah tangga, soal wanita baik atau tidak menjadi prajurit saat ini, soal mempraktekkan persamaan hak yang dalam teorinya telah diakui sebagai hukum positif di Indonesia, soal mengejar jarak kemajuan antara wanita di Jawa dan wanita di lua daerah, dan lain-lain.

Soal-soal di atas sepintas ada yang mirip dengan soal-soal yang pernah terjadi pada fase pergerakan wanita tingkat pertama, ada mirip fase kedua yang membahas tentang keseimbangan antara wanita karier yang merangkap sebagai ibu rumah tangga. Ada juga yang mirip dengan fase ketiga saat ini yang bersangkut paut pada upaya pensinergian perjuangan antara perempuan dan laki-laki menuju terwujudnya sosialisme Indonesia.
Memang masyarakat Indonesia terdiri dari kalangan-kalangan yang obyektif masih hidup di atas salah satu daripada tiga fase itu. Ada golongan kelas atas, ada golongan buruh dan tani, dan ada golongan yang terkungkung oleh paham-paham agama yang masih kolot. Tetapi di dalam musyawarah-musyawarah yang dilakukan, Sukarno selalu memberi petunjuk garis-garis besarnya saja. Sukarno selalu mengingatkan bahwa soal wanita hanyalah dapat diselesaikan oleh wanita itu sendiri. Sukarno sepaham dengan Vivekananda yang selalu menjawab jika ditanya oleh orang laki-laki tentang soal-soal kecil urusan wanita (soal-soal yang tidak prinsipil) lantas menjawab:
Apakah aku ini seorang wanita, maka engkau selalu menanyakan hal-hal yang semacam itu kepadaku….? Engkau itu apa, maka engkau mengira dapat memecahkan soal-soal wanita? Apa engkau itu Tuhan Allah, maka engkau mau menguasai tiap-tiap janda dan tiap-tiap perempuan? Hands off! Mereka akan mampu menyelesaikan soal-soalnya sendiri!
Ya, Kemudian Sukarno berpendapat: wanita harus bertindak sendiri, wanita harus berjuang sendiri! Tetapi ini tidak berarti bahwa wanita harus berpisah dengan laki-laki. Tidak, untuk kepentingan wanita pula, wanita harus menjadi roda yang hebat dalam revolusi nasional; wanita di dalam revolusi Indonesia harus bersatu aksi dengan laki-laki, dan wanita pun harus bersatu aksi dengan wanita pula. Jangan terpecah belah, jangan bersaing-saingan. Jangan ada yang memeluk tangan! Di dalam revolusi nasional, semua gogongan harus didinamisir, dan semua golongan itu harus diarahkan kesatu tujuan pula, jangan ada dua gogongan, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang bertabrakan satu sama lain. Oleh karena itulah, maka seja dari tahun 1928 saya mengajurkan kepada kepada wanita Indonesia untuk memborong ketiga-tiga tingkatan itu di dalam satu gelombang mahasakti, dalam satu sintesa program perjuangan wanita, yang bersama-sama dengan laki-laki (tidak anti laki-laki) betul-betul menggegap gempitakan tenaga nasional. Dan sekarang di dalam revolusi nasional, lebih-lebih lagi saya mendengungkan kepada wanita Indonesia, supaya pemimpin-pemimpinnya cakap menyusun sintesa program yang demikian itu, dan dengannya menyadarkan, membangkitkan, menggelorakan seluruh wanita Indonesia dari seluruh lapisan, menjadi roda hebat atau sayap hebat dari revolusi nasional, revolusi nasional totaliter.

Jikalau umpamanya di Indonesia terdapat bermacam-macam perserikatan wanita, apakah neo feminiskah, sosialiskah, jadikanlah perserikatan atau partai-partai wanita itu sedapat mungkin berfederasi atau beraksi bersama, menjadi satu gelombang maha besar dibawah panji-panjinya sintesa program itu menggelombang ke arah benteng penjajahan, yang harus diremukredamkan bersama, dihantam hancur lebur bersama-sama. Buatlah revolusi Indonesia yang betul-betul revolusi nasional yang totaliter.

Anjuran Sukarno di atas bukanlah anjuran kepada wanita Indonesia untuk masuk dan bergabung dengan partai sosialis. Sukarno hanya mengharapkan agar wanita bisa bergerak. Apalagi Sukarno bukanlah seorang propaganda partai. Paham sosialis yang dikemukakan Sukarno adalah suatu pandangan dalam arti yang bersifat umum, dan sama sekali tidak berhubungan dengan salah satu partai sosialis tertentu. Cita-cita sosialisme memang bukan monopoli salah satu partai dan juga bukan milik golongan manapun. Bahkan jauh sebelum revolusi Indonesia meledak, cita-cita sosialisme telah mengisi dadanya banyak kaum pergerakan Indonesia yang sadar, sosialisme sudah mewahyui nasionalisme Indonesia menjadi sosio nasionalisme, dan demokrasi kita menjadi sosio demokrasi.

Jika banyak kaum pergerakan perempuan tidak menyepakati istilah sosialisme tersebut, Sukarno menyerahkan kepada semua perempuan untuk mengistilahkannya sendiri, asalkan maknya tetap sama, yaitu: satu masyarakat yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial, yang didalmnya tiada eksploitasi manusia oleh manusia, tiada eksploitasi manusia oleh negara, tiada kapitalisme, tiada kemiskinan, tiada perbudakan, tiada wanita yang setengah mati sengsara karena memikul beban yang dobel atau menjadi keledai yang menarik dua gerobak, tiada wanita yang senewen karena siksaan penyakit dilematikan antara perempuan pekerja dan perempuan ibu rumah tangga.

Agust Bebel, pejuang wanita dalam bukunya Die Frau und der Sozialismus mengatakan:
Juga diatas pundak wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam perjuangan ini, dalam mana diperjuankan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjuangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik itu, bahwa merka telah bertetap hati ikut serta dalam perjuangan itu. Pihak laki-laki berkewajiban membantu mereka utu dalam membuang semua persangkaan yang salah, dan membantu mereka itu dalam ikut serta mreka dalam perjuangan.

Jangan satu orang pun menilaikan tenaganya terlalu rendah, dan mengira bahwa satu orang ikut atau satu orang tidak ikut, tidak menjadi apa. Guna kemajuan kemanusiaan itu, tiada tenaga satupun, walau yang sekecil-kecilpun, yang dapat dianggap tiada berharga. Tetesan air yang terus-menerus, akhirnya membuat lobang dalam batu yang bagaimana kerasnyapun juga. Dan tetesan-tetesan air menjadilan sungai kecil, sungai-sungai kecil menjadi sungai besar, sungai besar berhimpun dalam sungai benua. Tiada satu halangan pun akhirnya cukup kuat untuk menahan alirannya yang maha hebatitu. Demikianlah pula keadaan di dalam hidup kebudayaannya kemanusiaan, selamanya alam itu memang menjadi guru kita. Jikalau kita bertindak sesuai dengan alam itu, maka kemenangan akhri pasti nanti datang.

Kemenangan itu akan makin menjadi besar, bilamana semua orang masing-masing meneruskan perjalanannya dengan cara yang lebih rajin dan lebih giat. Keraguan hati, apakah kita masih akan melihat permualannya periode kebudayaan yang lebih indah itu, yakni apakah kita masih akan mengalami permualaannya periode itu, pertimbangan-pertimbangan semacam itu tidak boleh menghambat kita, dan sekali-kali tidak boleh menjadi sebab untuk meninggalkan jalan yang sudah kita injak.

Kita mampu meneruskan berapa malasnya atau bagaimana sifatnya bagian-bagian pertumbuhan itu satu-persatu, sebagaimana kita pun tak mampu mengatakan apa-apa dengan yakin tentang berapa panjang usia kita sendiri, tetapi harapan akan mengalami kemenangan itu tak perlu kita lepask n di dalam zaman seperti zaman yang kita alami sekarang. Kita berjuang terus dan berusaha terus dan tak mempedulikan soal dimana atau kapan batu-batu tandanya zaman bahabia bagi kemanusiaan itu akan dipasang.

Dan jikalau kita jatuh dipandang perjuangan ini maka turunan-turunan kita mengisi tempat kita itu. Dengan demikian kita jatuh dengan keinsyafan, bahwa kita telah memenuhi keawjiban kita sebagai manusia, dan dengan keakinan baha tujuan kita pasti nanti tercapai, bagaimanapun juga musuh-musuhnya kemanusiaan menentang tercapainya tujuan itu!”

Demikianlah kutipan dari Bebel, kemudian Sukarno menambahi pesan Bebel tersebut kepada perempuan Indonesia: bandingkanlah zaman Bebel itu denga nzaman kita sekarang ini! Bebel bicara dalam zaman yang meski ada undang-undang sosialis pun, masih bernama aman jika dibandingkan denga nzaman kita sekarang ini. Kita sekarang ini, berada dalam zaman perjuangan yang jauh lebih gegap gempita dari zamannya Bebel. Kita sekarang ini dalam bahaya, negara kita dalam bahaya, meriam, bom dan dinamit menggeledek dan mengguntur diangakasa, ribuan rakyat dan prajurit kita mati bergelimpangan, kota-kota kita menjadi puing-puing, desa-desa kita menjadi lautan api, bumi Republik menjadi laksana menggempa, segenap tenaga pertahanan kita kerahkan habis-habisan untuk mempertahankan Republik. Sungguh jauh lebih genting dibandingkan dengan keadaan perjuangan sosialis di Jerman. Manakala Bebel menegaskan bahwa tiada seorang pun boleh ketinggalan, betapa pula dengan kita sekarang ini? Ibaratnya, buka saja manusia yang harus kita kerahkan, tetapi juga segala isi alam ini, yang berupa apapun harus kita gugahkan, bangkitkan, mobilisasikan untuk membela negara yang hendak dihancurkan musuk itu, Di Jerman dulu perjuangan di bawah ancaman undang-undang sosialis, tetapi disini perjangan membela hidup terhadap serangan kontra revolusi yang sedang memuntahkan peluru da memuntahkan api sedang mengamuk, membinasa, membunuh dan membakar! Tidak seorang pun boleh ketinggalan dalam perjuangan yang semacam itu!

Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan republik, dan nanti jika republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun negara nasional.
Jangan ketinggalan di dalam revolusi nasional ini dari awal sampai akhir, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial.

Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!

Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan republik, dan nanti jika republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun negara nasional.
Jangan ketinggalan di dalam revolusi nasional ini dari awal sampai akhir, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial.
Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!
(Sukarno dalam SARINAH, 2001: 251)