Rabu, 06 Januari 2010

Budaya Siwaliparri dan Budaya Patriarki = Beban Ganda Perempuan?

Setiap pagi di Teluk Majene puluhan perempuan menanti para pajala (nelayan yang menggunakan jaring payang) datang dari laut membawa ikan, tiap siang beberapa perempuan berjibaku sekop menggali pasir di Sungai Mandar, tiap dini hari jalan utama di Kelurahan Tinambung dilintasi perempuan-perempuan yang memanggul puluhan jerigen menuju sumber air minum. Jika ada yang bertanya, mereka sedang melakukan apa, salah satu jawabnya, mereka mempraktekkan konsep siwaliparri.

Siwaliparri merupakan salah satu nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Polman. Siwaliparri terdiri dari tiga suku kata, si (berhadapan), wali (lawan, musuh; bila mendapat awalan me- berarti membantu), dan parri (susah). Jadi, secara sederhana siwaliparri berarti saling membantu atau bergotong royong.

Siwaliparri berangkat dari konsep rumah tangga (domestik) masyarakat Mandar, yakni pemahaman bahwa perempuan Mandar, selain sangat setia, juga pandai menempatkan diri sebagai perempuan dan sebagai istri. Nurhidayah, seorang warga Polman menggambarkan:
“Siwaliparri menurut saya dapat dicontohkan misalnya, bila bapaknya anak-anak memanjat kelapa, maka ibunya yang membuat minyak untuk digunakan sendiri atau dijual guna menambah penghasilan keluarga.”

Pada dasarnya, di dalam dunia rumah tangga, dipahami bahwa Siwaliparri adalah konsep yang mengharuskan perempuan atau istri untuk membantu kegiatan suami. Dengan pemahaman ini, posisi istri dan suami di mata orang Mandar tidak dipandang timpang atau tidak berbeda. Istri juga memiliki tanggung jawab yang sama atas kehidupan dan langgengnya urusan pendidikan yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan dan beragama.

Fenomena Siwaliparri yang dapat diamati secara empiris dalam rumah tangga orang Mandar antara lain, pada kegiatan manette’ lipa sa’be atau bertenun sarung sutera. Kegiatan ini merupakan salah satu aktivitas yang dimaksudkan meringankan perekonomian rumah tangga.

Dalam pandangan sebagian orang Mandar, Siwaliparri diartikan sebagai sesuatu yang harus ditanggung bersama. Senang dinikmati bersama dan duka ditanggung bersama. Maka jangan heran kalau melihat para istri menggembalakan hewan ternak atau memilih beraktivitas di rumah sebagai pembuat kasur kapuk, berjualan makanan kecil, menjahit, berdagang sarung sutera, atau kegiatan lainnya seperti memecah kemiri atau kerikil.

Di sini jelas tergambar bahwa sungguh Siwaliparri sebagai nilai yang kendati berakar dari konsep lokal, namun menjadi sesuatu yang unik dan mestinya tetap dipertahankan. Dalam konteks kekinian, tidak berlebihan jika konsep itu diterjemahkan sebagai konsep kesetaraan peran yang dalam diskursusnya lebih dimaknai sebagai konsep gender yang digali dari nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Polman.

Namun problemnya nilai-nilai siwaliparri tersebut baru mampu diterjemahkan di level distribusi kerja ekonomis. Dalam hal urusan rumah tangga masih sangat patriarki karena dibebankan sepenuhnya kepada perempuan (isteri). Sehingga secara tidak sengaja siwaliparri menjadi pedang bermata dua yang membuat perempuan Polman harus memikul beban ganda. Di satu sisi siwaliparri memberikan ruang kesetaraan di wilayah kerja ekonomis, di sisi lain budaya patriarki menutup rapat ruang kesetaraan di wilayah kerja domestik. Sehingga perempuan Polman harus bekerja rangkap, selain bekerja membantu suami, dia juga harus mengurus anak dan mengurus rumah (mencuci, memasak, menyapu, dll). Memang dari beberapa kasus, sudah terdapat distribusi kerja domestik antara suami dan isteri, misalnya ketika sang isteri pergi ke pasar maka yang bertugas menjaga anak adalah sang suami. Namun kadar kesetaraan di level distribusi ini masih sangat kecil, karena sebagian besar beban kerja domestik masih tetap dipikul pihak isteri. Begitu pula di wilayah publik, para perempuan masih dipandang warga kelas dua yang tidak berhak untuk ikut mengambil keputusan-keputusan publik. Perempuan tetaplah subordinat laki-laki dimana segala sikap dan keputusan sepenuhnya diserahkan kepada laki-laki (suami).

Persoalan ini sebenarnya telah menjadi pemahaman bersama para tokoh adat dan masyarakat Polman. Dalam perkembangan kotemporer, akhirnya mulai muncul diskursus dan wacana untuk mengembangkan nilai-nilai siwaliparri keseluruh tingkatan relasi sosial (termasuk domestik) sehingga kesetaraan gender dapat terwujud. Sebab bagaimanapun harus diakui antara siwaliparri dan budaya patriarki pada hakekatnya mengandung kontradiksi, sehingga dengan mengembangkan nilai-nilai siwaliparri sama dengan mengikis budaya patriarki.

Mengembangkan nilai-nilai siwaliparri dengan cara merevitalisasi pembagian (distribusi) peran antara suami dan isteri dalam rumah tangga bukanlah pekerjaan yang mudah. Tantangan terberatnya adalah ketika berhadap-hadapan dengan nilai-nilai patriarki yang sangat mengakar, yang memandang bahwa distribusi peran yang berjalan saat ini sudah “adil” bagi kaum perempuan (isteri). Beban ganda yang dipikul perempuan dinilai sebagai konsekuensi yang wajar, karena beban tambahan (bekerja membantu suami) tersebut merupakan manifestasi siwaliparri.

Oleh karena itu tidak ada cara lain, kesadaran masyarakat harus segera dibangun bahwa nilai-nilai siwaliparri tidak hanya sebatas gotong royong menanggung beban ekonomi rumah tangga saja. Siwaliparri adalah nilai-nilai universal yang mensyaratkan adanya kerjasama (pembagian peran) antara laki-laki dan perempuan di seluruh kegiatan dan aktivitas apapun, termasuk di wilayah domestik. Siwaliparri menuntut adanya kerjasama dan pembagian kerja yang adil antara perempuan dan laki-laki di setiap tingkatan relasi sosial. Dan yang harus kita sadari bahwa jika para perempuan Polman saat ini memikul beban ganda, hal tersebut bukanlah disebabkan oleh budaya siwaliparri, melainkan kungkungan budaya patriarkhi yang membuat nilai-nilai siwaliparri tidak dapat berkembang ke ranah yang lebih luas. (yenny sucipto)
Diambil dari buku Belajar Dari Tanah Mandar karangan yenny sucipto, una dan rosniaty yang diterbitkan oleh YASMIB, Sulselbar

Selasa, 05 Januari 2010

Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia

Resume buku “SARINAH” Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia
Diresume oleh:Drs. H. Ahmad Rusli Arsyad, M.M

Soal Perempuan
(Realitas Kehidupan Perempuan Indonesia)

Pandangan Sukarno tentang perempuan Indonesia diawali dari paparan realitas kehidupan perempuan Indonesia yang masih banyak mengalami pengekangan, penindasan dan pembodohan. Paparan tersebut didasarkan pada pengalaman-pengalaman Sukarno yang dicontohkannya dalam beberapa fenomena mendasar, terutama tentang pengalamannya atas pengekangan-pengekangan yang terjadi terhadap perempuan Indonesia akibat persepsi yang salah terhadap peran isteri dalam kehidupan rumah tangga.

Isteri bagi kaum laki-laki Indonesia lebih banyak dimaknai sebagai obyek yang tidak memiliki kuasa atas segala hal. Isteri hanya diposisikan sebagai sub bagian dari kaum laki-laki yang berposisi sebagai kepala rumah tangga yang bisa menentukan segala hal yang bersangkut-paut dengan masalah-masalah rumah tangga. Akibatnya isteri-isteri Indonesia nyaris tidak memiliki kebebasan sama sekali dalam segala hal termasuk dalam melakukan hubungan-hubungan dan perbuatan-perbuatan hukum atas dirinya sendiri karena harus berada dalam pengampuan sang suami. Semua tindakan dan keputusan yang akan dibuat harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari suami. Bahkan untuk menemui seorang tamu pun, sang isteri harus menunggu ijin dari suami terlebih dahulu.

Seperti yang dicontohkan Sukarno ketika ia datang bertamu kerumah kenalannya, dimana kenalannya itu begitu mudahnya berbohong di depan isterinya yang menyatakan bahwa isterinya tidak ada di rumah sementara isterinya dibiarkan mengintip dari balik tirai pintu. Dari contoh di atas dapat terlihat jelas bahwa peran perempuan Indonesia memang masih sangat jauh dari kemerdekaannya akibat pengekangan-pengekangan yang dilakukan oleh suaminya sendiri.

Alasan mendasar yang dapat ditangkap oleh Sukarno atas pengekangan yang dilakukan tersebut adalah akibat bentuk pengungkapan rasa sayang yang salah terhadap isterinya. Persepsi suami Indonesia, isteri adalah mutiara berharga yang harus dijaga, dihormati dan dimuliakan oleh suaminya. Namun cara menjaga dan menghormati tersebut diungkapan dengan cara memingit isteri di dalam rumah sehingga berakibat hilangnya kebebasan perempuan Indonesia. Fenomena ini persis seperti apa yang pernah dikemukakan Professor Havelock Ellis yang dikutip Sukarno: “kebanyakan laki-laki memandang perempuan sebagai suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang tolol!”
Walaupun demikian, kebebasan yang harus diperjuangkan oleh perempuan Indonesia juga tidak dapat serta merta memplagiat seperti kaum feminis dan neo feminis eropa yang menuntut kesamaan atas segala hal terhadap kaum laki-laki, baik persamaan dalam tingkah laku, cara hidup, bentuk pakaian dan lain-lain. Padahal kita mengetahui ada beberapa perbedaan mendasar yang tidak dapat disamakan antara laki-laki dan perempuan terutama yang menyangkut kodrat perempuan itu sendiri, misalnya kodrat sebagai ibu dan isteri. Mengutip pernyataan Henriette Roland Holst, Sukarno menyatakan bahwa perempuan yang bebas merdeka dan bekerja seperti laki-laki tidak bisa dihindarkan pasti akan merindukan kodratnya sebagai isteri dari suami dan ibu dari anak-anaknya.

Oleh karena itu, masalah perjuangan kebebasan dan makna kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sampai saat ini masih memiliki masalah yang sangat pelik. Bahkan perjuangan kaum perempuan pun sampai saat ini mengalami banyak perbedaan-perbedaan, dari ortodoks, moderat dan modern. Dan Sukarno tidak menginginkan perjuangan kaum-kaum perempuan Indonesia membabi buta memplagiat seperti feminis di eropa tanpa menyatukannnya dengan kepribadian bangsa. Sebab jika itu terjadi, yang timbul hanyalah kerusakan dan kekacauan belaka.

Laki-Laki dan Perempuan
(Sukarno sebagai Seorang Patriarchat)

Seperti dikutip Sukarno dari Olive Schreiner (feminis idealis Eropa) laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk yang terikat satu kepada yang lain oleh sebuah tali hidupnya kodrat alam (tali sekse). Tali sekse tidak hanya diartikan sebagai sebuah tali biologis saja tetapi juga merupakan tali jiwa. Seorang pekerja seks, walaupun ia melacurkan tubuhnya (biologis) setiap hari namun di satu sisi jiwanya juga merindukan akan cinta.

Namun dalam perkembangannya, pemaknaan tali sekse di Rusia ternyata distorsif, tali sekse hanya dimaknai hanya sebagai satu ikatan biologis saja (free sex). Bahkan Madamme Kollontay juga menganjurkan teori yang distorsif ini. Namun pada akhirnya teori tersebut dihancurkan oleh Lenin, sehingga pandangan tentang tali sekse kembali kepada arti semula tentang pertalian antara tubuh dan jiwa atas laki-laki dan perempuan.

Tali sekse yang mengikatkan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan primer selain makan dan minum. Bahkan Schopenhouer, seorang ahli filsafat, pernah menyatakan bahwa “syahwat merupakan penjelmaan keras dari kehidupan manusia atas kemauan akan hidup. Bahkan Sukarno mencontohkan kehidupan dalam penjara dimana tali sekse itu sama sekali tidak berjalan, kehidupan pun menjadi abnormal, laki-laki bercinta dengan laki-laki. Sukarno juga mencontohkan sebuah data bunuh diri di beberapa negara eropa, dan hasilnya mayoritas adalah perempuan-perempuan muda yang bunuh diri karena kehilangan tali seksenya (kasih tak sampai, putus cinta, dan lain-lain).

Tali sekse sebagai kodrat alam dapat berjalan apabila laki-laki dan perempuan menjalankan hidup dan kehidupannya sesuai dengan kodrat dan hakekatnya masing-masing. Sebab bagaimanapun harus diakui, bahwa antara laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan dan karakter sendiri-sendiri. Misalnya, kodrat laki-laki memberikan zat anak, dan kodrat perempuan menerima zat anak, mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara anak.

Selain secara fisik, perempuan juga berbeda secara psikologis dengan laki-laki. Heymans seorang ahli jiwa mengatakan bahwa perempuan secara psikologis dibidang emosional, aktivitas dan kedermawanannya cenderung melebihi laki-laki. Perempuan lebih gampang marah, gampang cinta, gampang kasihan, gampang percaya, gampang terharu, dan lain-lain.

Walaupun antara perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan, namun perbedaan tersebut hanya terbatas pada kodrat saja. Tidak benar jika ada pendapat bahwa laki-lakilah yang harus memimpin dan menjadi tokoh, sementara perempuan hanya bertugas sebagai perempuan dapur saja, karena pembedaan itu bukanlah pembedaan yang didasarkan pada kodrat melainkan pada kecongkakan kaum laki-laki.

Dulu, pada masa matriarchat, perempuan memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar daripada laki-laki. Di Indonesia, tercatat terdapat nama-nama tokoh perempuan seperti Ratu Simha di negeri Kalingga, atau Bundo Kandung di negeri Pagar Ruyung. Namun dalam perkembangannya kehidupan perempuan menjadi semakin terpuruk.
Sukarno pada dasarnya bukanlah pecinta matriarchat, Sukarno mengakui dia adalah pecinta patriarchat, tetapi bukan karena ia seorang laki-laki, akan tetapi karena kodrat alam menetapkan patriarchat lebih utama daripada matriarchat. Kodrat menetapkan hukum keturunan lebih selamat dengan hukum perbapakan dibandingkan peribuan. Sebab dengan patriarchat maka perempuan hanya diperisteri oleh satu orang laki-laki, dan tidak lebih. Dengan begitu maka orang dapat mengetahui secara pasti siapa ibunya dan siapa bapaknya. Tetapi dalam matriarchat, orang hanya tahu pasti siapa ibunya, tetapi tidak yakin siapa bapaknya. Walaupun Sukarno pecinta patriarchat, Sukarno tetap menginginkan suatu sistem patriarchat yang adil, yang tidak menindas kaum perempuan.

Dari Gua ke Kota
(Perempuan dalam Theory Evolutie Tendenz)

Pada masa purba, manusia hidup berkelompok. Dan pada masa itu menurut August Bebel, perempuan sudah berposisi sebagai orang taklukan. Penyebab ketaklukan perempuan terhadap laki-laki tersebut adalah karena kodrat perempuan yang hamil dan melahirkan, sehingga tidak mungkin bagi perempuan hamil untuk ikut berburu seperti kaum laki-laki. Akhirnya posisi perempuan hanyalah menjadi budak laki-laki karena hidupnya telah tergantung dari hasil buruan laki-laki. Dan inilah sejarah perbudakan manusia pertama kalinya. Dalam masalah kebutuhan biologis, perempuan hanya menjadi nafsu pelampiasan laki-laki, seperti yang dikemukakan oleh Bachofen dan disempurnakan oleh Eisler. Memang pada masa itu manusia belum mengenal perkawinan, atau istilah Marx belum mengenal adanya hak milik.

Fase perburuan di atas lambat laun mengalami perubahan menuju fase peternakan. Perubahan fase tersebut adalah atas jasa perempuan. Binatang-binatang buruan yang berhasil ditangkap dan tidak mati, oleh para perempuan dipelihara dan diternakkan. Menurut Fleure, fase peternakan tersebut juga bersamaan dengan munculnya fase pertanian, sebab manusia adalah omnivora. Selain daging, manusia juga butuh buah-buahan dan daun-daunan, sehingga pada masa itu, kaum laki-laki berburu, kaum perempuannya beternak dan mencari buah-buahan dan daun-daunan. Lambat laun para perempuan akhirnya mendapatkan ide untuk menanam benih-benih dari buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan. Pada masa inilah perempuan kembali berjasa karena berhasil menemukan ilmu bercocok tanam. Karena tugas perempuan semakin banyak dimana harus menjaga tanaman dan ternaknya, maka demi memudahkan dalam merawat tanaman dan ternaknya tersebut maka para perempuan mulai mencoba-coba membuat tempat tinggal (rumah). Pada saat itulah perempuan kembali berjasa bagi peradaban manusia karena telah menemukan cara untuk membuat tempat tinggal bagi manusia.

Karena jasa-jasa perempuan tersebut, pada akhirnya perempuan menjadi orang yang lebih tinggi dari laki-laki sehingga bisa mengatur dan membuat hukum-hukum atas kehidupan manusia. Dan saat itulah matriarchat mulai berkembang dimana garis keturunan dihitung dari garis ibu. Dari sini dapat ditegaskan kembali, bahwa kembali perempuan menjadi orang yang membuat aturan hukum pertama kali.

Namun matriarchat tersebut lambat laun digeser oleh sistem patriarchat. Sejarah tersebut timbul karena pada akhirnya kaum laki-laki mengikuti jejak kaum perempuan untuk ikut beternak dan bercocok tanam. Lambat laun tanaman dan ternak tersebut terus mengembang sehingga harta kekayaan pun semakin melimpah. Akhirnya kaum laki-laki terbuka hatinya untuk memikirkan tentang warisan harta kekayaannya, sehingga kaum laki-laki pun mulai ikut memikirkan keturunannya. Saat itulah, patriarchat mulai berkembang dan peran perempuan mulai tergeser. Perkawinan sudah tidak berarti lagi laki-laki menghamba pada perempuan tetapi perempuan menghamba kepada laki-laki.

Implikasi dari pergeseran matriarchat menuju patriarchat ini berakibat seluruh hukum-hukum masyarakat termasuk hukum-hukum perkawinan, keturunan, warisan dan lain-lain, semuanya diubah atas kepentingan kekuasaan kaum laki-laki. Bahkan tidak itu saja, moral, ideologi, adat-istiada, kepercayaan, seni, ideologi bahkan agama pun diubah berdasarkan kepentingan kaum laki-laki. Revolusi patriarchat tersebut menurut Sukarno bukanlah revolusi yang memerdekakan laki-laki dan memelihara kemerdekaan perempuan, tetapi kemerdekaan laki-laki yang menindas kaum perempuan.

Akibat penjajahan kaum laki-laki selama beribu-rbu tahun itu, maka kaum perempuan pada akhirnya menjadi kaum yang lemah, bodoh dan terbelakang. Hanya satu yang tersisa yang dapat mengangkat derajat kaum perempuan saat itu, yaitu parasnya yang cantik dan elok. Dengan paras cantik itulah maka perempuan dapat menggunakannya sebagai senjata ekonomis untuk mencari jodoh laki-laki kaya yang dapat mengangkat derajat kehidupannya. Oleh karena itu, menjadi tidak heran jika dalam perkembangannya kemudian, para perempuan hanya dilatih sebagai perempuan yang harus berbakti kepada suami agar suami tetap senang kepadanya.

Nasib perempuan yang terpuruk tersebut pada akhirnya mulai terangkat kembali pada masa revolusi industri di Eropa. Perempuan-perempuan mulai kembali menjadi perempuan pekerja yang mandiri. Namun kondisi tersebut tidak bertahan lama, karena lambat laun pekerjaan yang mereka tekuni digantikan oleh mesin-mesin industri sebagai implikasi dari perkembangan teknologi.

Matriarchat dan Patriarchat
(Matriarchat dan Patriarchat terhadap Kemajuan Jaman)

Sistem matriarchat pada dasarnya timbul dari hukum masyarakat yang sangat tua (kuno). Bahkan Romein dalam bukunya menerangkan bahwa ribuan tahun sebelum jaman Nabi Isa sudah timbul aturan-aturan matriarchat. Namun harus diakui bahwa sistem matriarchat tersebut dalam perkembangannya terus surut dan lapuk ditelan jaman. Bahkan di Minangkabau pun sistem matriarchat tersebut saat ini hanyalah menjadi tradisi-tradisi yang terus surut.

Pada dasarnya, tidak semua sistem matriarchat bersifat baik, bahkan sebagian besar mengarah pada penghambaan kaum laki-laki kepada kaum perempuan, sama dengan sistem patriarchat yang sebagian besar juga menjurus pada penghambaan kaum perempuan kepada kaum laki-laki.

Sejarah terbangunnya sistem poliandri menurut Sukarno bisa disebabkan karna sistem matriarchat, namun bisa juga tidak sebab Eisler mengatakan bahwa poliandri bukanlah satu perkembangan yang umum (bukan satu tingkat perubahan yang umum). Engels menamakan diaa perkecualian, serta hasil-hasil yang mewah daripada sejarah. Dan Bebel berkatan bahwa belum ada seorangpun yang benar-benar mengetahui tentang sebab-sebab terjadinya poliandri. Namun Sukarno dapat mengemukakan teori bahwa poliandri biasanya terjadi di negeri-negeri pegunungan yang kekuarangan supply makanan. Oleh karena itu maka poliandri dijadikan sebuah cara untuk mencegah bertambahnya keturunan. Alasan lain juga dikemukakan Tarnowsky yang menyatakan bahwa terjadinya poliandri di daerah pegunungan karena daerah tersebut termasuk daerah dingin, sebab suhu yang dingin menurut ilmu kedokteran mengurangi nafsu birahi manusia.

Patriarchat
Menurut Sukarno, hukum patriarchat merupakan sebuah kemajuan bagi jaman, sebab patriarchat dalam sejarahnya telah mendorong berkembangnya keluarga (somah) dan individualisme. Marx menamakan perpindahan dari matriarchat ke patariarchat adalah sebuah perpindahan yang paling sesuai dengan kodrat alam, dan Engels menamakannya sebagai kemajuan dalam sejarah yang besar. Hanya sayang, kemajuan ini diikuti dengan perbudakan.

Pokok hukum patriarchat itu digambarkan oleh Engels dengan satu kalimat yang sangat tepat: “Ia berazaskan pertuanan seorang laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-anak yang tak dapat dibantah lagi siapa bapaknya, dan perbapakan yang tak dapat dibantah itu amat perlu, oleh karena anak-anak ini nanti harus mewarisi harta milik si bapakan itu. Patriarchat seperti itu telah dapat diketahui bahwa bagaimanapun patriarchat memang lebih baik dan lebih maju dibandingkan dengan matriarchat.

Namun memang harus diakui pula bahwa patriarchat juga memiliki ekses negatif. Patriarchat merupakan faktor utama yang mendorong munculnya nafsu kekuasaan akan hak milik, bahkan perempuan pun ikut dijadikan sebagai hak milik. Carpenter juga berkata bahwa nafsu kepada hak milik itu telah membuat laki-laki menutup dan memperbudakkan perempuan yang ia cintai. Bahkan perempuan telah dijadikan sebagai barang dagangan seperti di masa Yunani. Pada masa itu perempuan Yunani dapat ditukar dengan sapi, sehingga perempuan-perempuan itu kemudian diberi nama alphesiboiai (artinya: menghasilkan sapi). Jika perempuan yang diinginkan tidak mampu ditukar dengan sapi atau dibeli oleh laki-laki, maka laki-laki tersebut dapat mencuri atau merampasnya. Bahkan budaya “kawin beli” dan “kawin rampas” tersebut sampai saat ini masih hidup dan berkembang di tanah Batak yang disebut dengan “marlojong”.

Salah satu implikasi negatif lainnya dari patriarchat adalah munculnya persundalan. Kaum perempuan terpaksa menjual dirinya kepada laki-laki hanya untuk mendapatkan uang. Pada masa matriarchat, persundalan merupakan satu “amal keagamaan” (religieuze daad) yang diwajibkan oleh ibadat, tetapi kini justru menjadi perdagangan ekonomis.
Secara garis besar, ekses negatif dari patriarchat adalah perendahan derajat kaum perempuan. Di Jepang budaya yang berkembang dalam kalangan perempuan sana, bahwa kehinaan terbesar dalam hidup apabila ia dicerai oleh suaminya. Oleh karena itulah perempuan Jepang merupakan perempuan yang sangat penurut kepada suaminya. Seperti diceritakan oleh O’Conroy yang pernah datang bertamu kepada seorang perempuan Jepang, dimana ia sama sekali tidak peduli kepada suaminya yang tidur dengan pelacur di kamar tidurnya, bahkan ia sendirilah (sang isteri) yang menyiapkan tempat tidur untuk suami dan pelacur yang dibawanya suaminya. Bagi perempuan Jepang cara mencintai suami adalah dengan cara mengabdi sepenuhnya kepada suaminya, tidak peduli apakah suaminya menghianatinya ataukah tidak.

Tetapi yang menarik, ternyata laki-laki Jepang tidak sama dengan perempuan Jepang. Laki-laki Jepang tidak mengenal apa itu cinta karena memang bahasa Jepang tidak memiliki akasara “cinta kasih”. Cinta dalam arti bahasa Jepang tidak lebih daripada sebuah bentuk persetubuhan dengan seorang perempuan. Wajar jika kemudian perzinahan dan penghianatan terhadap isteri yang dilakukan oleh para suami di Jepang dianggap sebagai sebuah perbuatan yang biasa dan tidak termasuk amoral.

Van Kol menulis tentang perempuan Jepang itu: “Perempuan hanya boleh memikirkan kebahagiaan suaminya saja; kemerdekaan untuk menentukan nasibsendiri dan perasaan-perasaan hati sendiri, tidak diberikan kepadanya. Perempuan dididik dalam kepercayaan, bahwa laki-laki dapat mengerjakan segala hal lebih baik daripada dia, dan bahwa banyak sekali hal-hal di dalam ingatannya bahwa semua urusan dunia hanya laki-lakilah yang dapat memikirkannya dan menimbangnya, dan malahan, kepada anak-anak perempuan yang masih kecil diajarkan, bahwa mereka tidak mempunyai hak apa-apa bilamana mengenai adiknya laki-laki”.

Semua fenomena yang terjadi di Jepang tersebut pada dasarnya merupakan fenomena dari ekses munculnya patriarchat. Ratusan tahun kebiasaan menindas telah memberi kesan kepada rohani dan jasmani yang menindas, dan ratusan tahun kebiasaan tertindas telah memberi kesan pula kepada rohani dan jasmani yang tertindas. Perbedaan itu secara tidak sadar telah membiaskan antara perbedaan mana yang bersifat kodrati dan perbedaan mana yang tidak bersifat kodrati antara laki-laki dan perempuan.
Siapa yang saat ini berani mengatakan bahwa memang kodrat perempuan berbadan lemah, berjalan tunduk, berpikir dungu, berperasan sempit, dan berkemauan tak menentu. Siapa yang saat ini berani mengatakan bahwa memang kodrat perempuan untuk berada di lapisan bawah sebagai orang yang bodoh dan dangkal pengetahuannya.

Namun jika meruntut sejarah Jepang, sebelum jaman feodal, perempuan Jepang adalah perempuan yang tangkas, berbadan tegap, cerdas, yang menjadi ratu-ratu, perempuan yang memegang obor kesenian Jepang, perempuan yang mampu mengalahkan semua laki-laki Jepang. Jika saat ini perempuan Jepang menjadi perempuan yang lemah, mengalah dan nrimo, jelas tentulah bukan karena kodratnya sebagai perempuan melainkan karena sistem patriarchatlah yang memaksa mereka untuk menjadi perempuan lemah seperti itu.

Wanita Bergerak
(Fase-Fase Sejarah Pergerakan Wanita)

Kebangkitan pergerakan wanita diawal di eropa paska revolusi Perancis dan revolusi Inggris. Namun jika dianalisa dari runtutan sejarah, sejarah pergerakan perempuan pada dasarnya dibagi dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase dimana perempuan telah berani mengadakan perkumpulan-perkumpulan antara sesama perempuan, namun tujuan dari perkumpulan tersebut hanya terbatas pada masalah-masalah rumah tangga saja. Kegiatan-kegiatan wanita lebih banyak didasarkan pada pertemuan-pertemuan yang bersifat perkumpulan biasa yang rata-rata dilakukan oleh wanita kelas atas. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut masalah-masalah yang dibahas hanyalah berkisar pada masalah kerumah-tanggaan, yaitu ilmu menjahit, ilmu memasak, ilmu memelihara anak, ilmu kecantikan, estetika dan lain-lain.Tujuan dari kelompok wanita tersebut adalah membuat agar anggota-anggotanya dapat cakap dalam memegang rumah tangga, cakap menerima tamu, pandai menggairahkan suami, cakap menjadi ibu, dan kecapakan-kecakapan rumah tangga lainnya.

Kelompok tersebut sama sekali tidak mempersoalkan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh patriarchat, bahkan mereka sama sekali tidak menentangnya. Suami tetap diaui sebagai yang dipertuan dan yang maha kuasa. Mereka justru menyempurnakan diri mereka untuk menjadi budak dari suami yang dipertuankannya. Mereka juga mendirikan sekolah-sekolah untuk gadis-gadis, namun sifat pengajarannya pun tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah rumah tangga. Mereka mendidik gadis-gadis itu setingkat lebih tinggi dari gadis-gadis biasa dalam kecakapan rumah tangga, dengan harapan akan laku dengan pemuda-pemuda bangsawan dan kaya.

Pada fase berikutnya adalah fase feminisme yang diwujudkan dengan cara memperjuangkan persamaan hak antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Programnya yang terpenting adalah hak untuk menuntut pekerjaan dan hak untuk ikut dalam pemilihan. Pada fase itu, para wanita mulai sadar bahwa kelebihan laki-laki hanyalah rekayasa dari bangunan patriarchat yang sengaja dipupuk ratusan tahun oleh kaum laki-laki. Akhirnya mereka mulai menuntut persamaan hak dan persamaan derajat dengan kaum laki-laki. Mereka sadar telah diperlakukan secara tidak adil selama ini. Hal-hal yang paling mendasar yang menyadarkan kaum perempuan akan ketertindasannya selama ini menurut Sukarno adalah sebagai implikasi dari proses produksi dalam industrialisasi. Proses produksi itu secara radikal telah merubah persepsi-persepsi dalam masyarakat, merubah moral, adat dan juga isme-isme dan pandangan-pandangan tentang hidup. Persepsi perempuan yang dulunya memandang bahwa untuk memperbaiki nasibnya ditempuh dengan cara menambah kecakapannya dalam urusan rumah tangga, kemudian berubah seketika dengan sebuah kesadaran baru bahwa satu-satunya cara terbaik untuk memperbaiki nasib mereka adalah dengan bergerak menuntut persamaan hak dan derajat terhadap kaum laki-laki.

Pada masa revolusi Perancis tercatat beberapa nama besar pejuang perempuan, sebutlah Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe dan Theroigne de Mercourt. Para pejuang perempuan tersebut bergerak mengorganisir para perempuan dalam satu gerakan menuntut persamaan hak dan derajat terhadap kaum laki-laki. Bahkan di tahun 1792 Wollstonecraft, pejuang perempuan Inggris, berhasil menerbitkan buku berjudul Vindication of the Rights of Woman (Pembelaan hak-hak kaum wanita).

Sejak saat itu pergerakan perempuan terus menguat dan mengkristal. Hampir di sebagian negara-negara industri eropa, setiap perempuan bergerak menuntut persamaan hak, khususnya hak untuk bekerja dalam segala lapangan. Namun dari sebagian besar gerakan perempuan yang menuntut hak mereka untuk bekerja adalah perempuan kelas menengah dan kelas atas. Sebab pokok kaum perempuan kelas menengah dan atas menuntut pekerjaan tersebut, menurut Sukarno adalah akibat ekses secara langsung dari industrialisasi yang terjadi. Barang-barang rumah tangga yang dulunya dapat diproduksi sendiri oleh perempuan tersebut untuk mengisi waktu, dalam perkembangannya akhirnya harus diambil alih oleh pabrik-pabrik industri. Akibatnya semakin banyak para isteri yang menganggur. Untuk mengisi waktunya yang luang tersebut akhirnya mereka menuntut untuk dapat bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada, namun tidak sebagai buruh, namun sebagai pekerja-pekerja elit dengan bayaran tinggi.

Sementara itu, nasib perempuan kelas bawah terpaksa harus menjadi budak sebagai kuli (proletar) yang tenaga kerjanya dieksploitasi habis-habisan namun hanya mendapatkan upah yang rendah. Hak bekerja memang telah mereka dapatkan, tetapi pekerjaan tersebut ternyata sama sekali tidak berperikemanusiaan, karena dengan pekerjaan itu mereka justru terkekang dalam satu pekerjaan yang menindas akibat kebutuhan untuk mendapatkan upah.

Pada fase ketiga, gerakan perempuan telah berubah menjadi satu gerakan sosialisme. Paradigma dan cita-cita yang dibangun adalah terciptanya sebuah dunia yang baru sama sekali, yang didalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat kebahagiaan, tanpa ada pemerasan antara kelas yang satu terhadap kelas lainnya. Satu dunia baru, yang disana tidak hanya perempuan yang sama haknya dengan laki-laki, tetapi juga sebuah kesetaraan dan keseimbangan dalam kehidupan perempuan sebagai pekerja dan ibu rumah tangga. Dalam fase ini, antara laki-laki dan perempuan bersatu padu menuju dunia baru yang dicita-citakan tersebut.

Kesadaran baru dalam fase ketiga tersebut menjadi catatan sejarah yang hebat di abad kesembilan belas, karena berhasil membawa perjuangan wanita pada persoalan kemasyarakatan yang lebih luas, yang tidak hanya memikirkan dan memperjuangkan kedudukan wanita sebagai satu bagian dari kemanusiaan yang berbahagia seluruhnya. Kesadaran ini membuat wanita berjuang tidak sebagai sub, tetapi sebagai satu bagian daripada satu kelas.

Dalam satu kongresnya di Gotha 1896, pergerakan sosialis menerima baik resolusi mengenai nasib wanita seperti yang dijabarkan sebagai berikut:
“Karena pekerjaannya di dalam perusahaan itu, maka wanita proletar dalam arti ekonomis sudahlah dipersamakan dengan laki-laki dari kelasnya. Tetapi persamaan ini berarti, bahwa ia, sebagai juga proletar laki-laki, --hanya saja lebih hebat dari dia,-- dihisap oleh si kapitalis. Maka oleh karena itu, perjuangan kaum wanita proletar itu bukan satu perjuangan menentang kaum laki-laki dari kelasnya sendiri, tetapi satu perjuangan bersama-sama kaum laki-laki dari kelasnya sendiri, melawan kelas kaum modal. Tujuan yang dekat daripada perjuangan ini ialah menghambat dan membendung penghisapan kapitalis. Tujuan yang akhir ialah pemerintahan kaum proletar, dengan maksud menghapuskan sama sekali pemerintahan kelas, dan penjelmaannya satu pergaulan hidup sosialistis.”

Pada tahun 1907 di Stuttgart dan Kopenhagen 1910, Clara Zetkin mendirikan “Kongres Wanita Internasional”. Utusan-utusan wanita dari Jerman, Inggris, Austria, Perancis, Belgia, Swiss, Italia, Zwedia, Norwegia, Finlandia, Bohemia, Estlandia dan Belanda menghadiri Kongres tersebut. Clara Zetkin dan Adelheid Popp mengucapkan pidatonya yang keras dan teoritis prinsipil yang menjadi sendinya resolusi dalam menuntut pemilihan terbuka untuk ikut berjuang dalam setiap partai-partai sosialis. Paska kongres tersebut, ternyata kampanye-kampanye yang dilakukan partai-partai sosialis meraih kemenangan yang cukup besar. Tercatat pada tahun 1912 di Reichstag partai sosialis dapat meraih 110 kursi, dimana keberhasilan itu tidak terlepas dari bantuan gerakan perempuan.

Perjuangan perempuan tersebut terus terkristalisasi dalam perjuangan partai politik dan parlementer. Pemenangan hak pilih bagi para perempuan saat itu hanyalah kemenangan perantara untuk menuju kepada kemenangan yang sebenarnya, yaitu kemenangan sosialisme dalam satu tatanan konstruksi masyarakat baru dimana kaum perempuan dan laki-laki hidup setara dan sinergi dalam mencapai tatanah hidup yang bahagia, adil dan makmur.

Pahlawan perempuan yang namanya harum sampai saat ini adalah Rosa Luxemburg, seorang pejuang perempuan yang aktif dalam Partai Sosialis Demokrat Jerman. Pemikiran-pemikiran Rosa tersebut mampu merubah ideologi sosialisme menjadi satu ideologi baru yang lebih moderat dan signifikan bagi perjuangan kaum buruh. Bahkan Rosa tidak segan-segan berbenturan dengan Lenin dan Edward Bernstein, kawan separtainya dalam komunis internasional. Namun sayang, akibat kegigihan dan kekerasan perjuangan Rosa tersebut, pada akhirnya ia terpaksa harus menemui ajalnya bersama kawannya Liebnecht pada tanggal 15 Januari 1919. Rosa dibunuh oleh musuhnya dalam usianya yang ke 49 tahun. Ia mati sebagai srikandi kaum wanita yang juga merupakan tokoh pergerakan sosialis.

Nama Clara Zetkin pun juga pantas kita hormati setinggi-tingginya. Bukan isapan jempol jika orang menamakannya “Ibu Revolusi Proletar” sebagai sampai mengamuknya Hittler di Jerman, tatkala semua partai kaum buruh dibubarkan, majalah-majalah dilarang terbit, pemimpin-pemimpinnya ditangkap dan dilemparkan dalam konsentrasi kamp atau di sel mati mentah-mentah, partai-partai lain dianschluss, ia masih terus berjuang untuk kepentingan sosialisme. Salah satu sidang Reichstag-merdeka yang terakhir, dialah yang membukanya; pada waktu itu ia telah berusia 80 tahun, satu usia yang manusia biasa kebanyakan sudah rapuh dan sudah renta. Namun dalam pidatonya itu, Ibu Revolusi masih berani menghantamkan serangannya kepada kaum kezaliman Hitler.

Sarinah Dalam Perjuangan Republik Indonesia
(Seruan Sukarno terhadap Perempuan Indonesia)

Bagi Sukarno, nasib kaum wanita Indonesia tergantung dari tangan mereka sendiri. Kaum laki-laki harus terus mengingatkan dan memberikan keyakinan kepada kaum wanita Indonesia tentang pentingnya mereka ikut dalam gerak perjuangan. Perempuan Indonesia harus bahu membahu dengan laki-laki mewujudnya cita-cita bangsa yang sejahtera, adil dan makmur, zonder exploitation de lhomme par lhomme

Sebab syarat mutlak bagi kemenangan revolusi nasional adalah terwujudnya persatuan nasional, yang barang tentu juga menyangkut hubungan antara wanita dan laki-laki Indonesia. Namun Sukarno juga mengingatkan, janganlah dalam revolusi nasional yang berlangsung, wanita misalnya terlalu menitik beratkan pada pengemukaan tuntutan-tuntutan feministis, dan melupakan tuntutan-tuntutan perjuangan membela kemerdekaan negara dan kemerdekaan bangsa. Sebaliknya, wanita Indonesia harus melakukan penggabungan tenaga antara perempuan dan laki-laki yang sehebat-hebatnya dan sebulat-bulatnya. Laki-laki dan perempuan Indonesia bersama menuju satu tujuan, tiada satu tenaga pun yang boleh tercecer. Feminis atau sosialis, jika golongan-golongan itu masih ada dan tetap dipertahankan, jangan sampai bertentangan antara satu sama lain, sebaliknya golongan-golongan itu harus terus bahu membahu serapat-rapatnya kesatu arah, kesatu tujuan revolusioner: menggempur penjajahan, membangunkan negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia dan yang merdeka sepenuh-penuhnya.

Sukarno sadar, bahwa masalah-masalah yang menyangkut persoalan perempuan harus secepatnya dipecahkan. Sukarno pun telah berkali-kali bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin wanita Indonesia yang membahas tentang masalah-masalah keperempuanan yang belum tuntas di Indonesia. Sukarno juga tidak segan-segan menerima setiap keluhan-keluhan dari kalangan wanita yang mengeluhkan bermacam-macam ragam persoalan perempuan. Misalnya bagaimana menyembuhkan wanita dari penyakit kopleks inferieur yang telah turun temurun bersarang dalam jiwa wanita Indonesia, soal bagaimana mendinamiskan wanita Indonesia, soal memberi pengetahuan secepat-cepatnya kepada mereka pula, soal pendidikan gadis-gadis dan anak-anak, soal kesehatan dan kebidanan, soal mengefesienkan rumah tangga, soal wanita baik atau tidak menjadi prajurit saat ini, soal mempraktekkan persamaan hak yang dalam teorinya telah diakui sebagai hukum positif di Indonesia, soal mengejar jarak kemajuan antara wanita di Jawa dan wanita di lua daerah, dan lain-lain.

Soal-soal di atas sepintas ada yang mirip dengan soal-soal yang pernah terjadi pada fase pergerakan wanita tingkat pertama, ada mirip fase kedua yang membahas tentang keseimbangan antara wanita karier yang merangkap sebagai ibu rumah tangga. Ada juga yang mirip dengan fase ketiga saat ini yang bersangkut paut pada upaya pensinergian perjuangan antara perempuan dan laki-laki menuju terwujudnya sosialisme Indonesia.
Memang masyarakat Indonesia terdiri dari kalangan-kalangan yang obyektif masih hidup di atas salah satu daripada tiga fase itu. Ada golongan kelas atas, ada golongan buruh dan tani, dan ada golongan yang terkungkung oleh paham-paham agama yang masih kolot. Tetapi di dalam musyawarah-musyawarah yang dilakukan, Sukarno selalu memberi petunjuk garis-garis besarnya saja. Sukarno selalu mengingatkan bahwa soal wanita hanyalah dapat diselesaikan oleh wanita itu sendiri. Sukarno sepaham dengan Vivekananda yang selalu menjawab jika ditanya oleh orang laki-laki tentang soal-soal kecil urusan wanita (soal-soal yang tidak prinsipil) lantas menjawab:
Apakah aku ini seorang wanita, maka engkau selalu menanyakan hal-hal yang semacam itu kepadaku….? Engkau itu apa, maka engkau mengira dapat memecahkan soal-soal wanita? Apa engkau itu Tuhan Allah, maka engkau mau menguasai tiap-tiap janda dan tiap-tiap perempuan? Hands off! Mereka akan mampu menyelesaikan soal-soalnya sendiri!
Ya, Kemudian Sukarno berpendapat: wanita harus bertindak sendiri, wanita harus berjuang sendiri! Tetapi ini tidak berarti bahwa wanita harus berpisah dengan laki-laki. Tidak, untuk kepentingan wanita pula, wanita harus menjadi roda yang hebat dalam revolusi nasional; wanita di dalam revolusi Indonesia harus bersatu aksi dengan laki-laki, dan wanita pun harus bersatu aksi dengan wanita pula. Jangan terpecah belah, jangan bersaing-saingan. Jangan ada yang memeluk tangan! Di dalam revolusi nasional, semua gogongan harus didinamisir, dan semua golongan itu harus diarahkan kesatu tujuan pula, jangan ada dua gogongan, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang bertabrakan satu sama lain. Oleh karena itulah, maka seja dari tahun 1928 saya mengajurkan kepada kepada wanita Indonesia untuk memborong ketiga-tiga tingkatan itu di dalam satu gelombang mahasakti, dalam satu sintesa program perjuangan wanita, yang bersama-sama dengan laki-laki (tidak anti laki-laki) betul-betul menggegap gempitakan tenaga nasional. Dan sekarang di dalam revolusi nasional, lebih-lebih lagi saya mendengungkan kepada wanita Indonesia, supaya pemimpin-pemimpinnya cakap menyusun sintesa program yang demikian itu, dan dengannya menyadarkan, membangkitkan, menggelorakan seluruh wanita Indonesia dari seluruh lapisan, menjadi roda hebat atau sayap hebat dari revolusi nasional, revolusi nasional totaliter.

Jikalau umpamanya di Indonesia terdapat bermacam-macam perserikatan wanita, apakah neo feminiskah, sosialiskah, jadikanlah perserikatan atau partai-partai wanita itu sedapat mungkin berfederasi atau beraksi bersama, menjadi satu gelombang maha besar dibawah panji-panjinya sintesa program itu menggelombang ke arah benteng penjajahan, yang harus diremukredamkan bersama, dihantam hancur lebur bersama-sama. Buatlah revolusi Indonesia yang betul-betul revolusi nasional yang totaliter.

Anjuran Sukarno di atas bukanlah anjuran kepada wanita Indonesia untuk masuk dan bergabung dengan partai sosialis. Sukarno hanya mengharapkan agar wanita bisa bergerak. Apalagi Sukarno bukanlah seorang propaganda partai. Paham sosialis yang dikemukakan Sukarno adalah suatu pandangan dalam arti yang bersifat umum, dan sama sekali tidak berhubungan dengan salah satu partai sosialis tertentu. Cita-cita sosialisme memang bukan monopoli salah satu partai dan juga bukan milik golongan manapun. Bahkan jauh sebelum revolusi Indonesia meledak, cita-cita sosialisme telah mengisi dadanya banyak kaum pergerakan Indonesia yang sadar, sosialisme sudah mewahyui nasionalisme Indonesia menjadi sosio nasionalisme, dan demokrasi kita menjadi sosio demokrasi.

Jika banyak kaum pergerakan perempuan tidak menyepakati istilah sosialisme tersebut, Sukarno menyerahkan kepada semua perempuan untuk mengistilahkannya sendiri, asalkan maknya tetap sama, yaitu: satu masyarakat yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial, yang didalmnya tiada eksploitasi manusia oleh manusia, tiada eksploitasi manusia oleh negara, tiada kapitalisme, tiada kemiskinan, tiada perbudakan, tiada wanita yang setengah mati sengsara karena memikul beban yang dobel atau menjadi keledai yang menarik dua gerobak, tiada wanita yang senewen karena siksaan penyakit dilematikan antara perempuan pekerja dan perempuan ibu rumah tangga.

Agust Bebel, pejuang wanita dalam bukunya Die Frau und der Sozialismus mengatakan:
Juga diatas pundak wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam perjuangan ini, dalam mana diperjuankan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjuangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik itu, bahwa merka telah bertetap hati ikut serta dalam perjuangan itu. Pihak laki-laki berkewajiban membantu mereka utu dalam membuang semua persangkaan yang salah, dan membantu mereka itu dalam ikut serta mreka dalam perjuangan.

Jangan satu orang pun menilaikan tenaganya terlalu rendah, dan mengira bahwa satu orang ikut atau satu orang tidak ikut, tidak menjadi apa. Guna kemajuan kemanusiaan itu, tiada tenaga satupun, walau yang sekecil-kecilpun, yang dapat dianggap tiada berharga. Tetesan air yang terus-menerus, akhirnya membuat lobang dalam batu yang bagaimana kerasnyapun juga. Dan tetesan-tetesan air menjadilan sungai kecil, sungai-sungai kecil menjadi sungai besar, sungai besar berhimpun dalam sungai benua. Tiada satu halangan pun akhirnya cukup kuat untuk menahan alirannya yang maha hebatitu. Demikianlah pula keadaan di dalam hidup kebudayaannya kemanusiaan, selamanya alam itu memang menjadi guru kita. Jikalau kita bertindak sesuai dengan alam itu, maka kemenangan akhri pasti nanti datang.

Kemenangan itu akan makin menjadi besar, bilamana semua orang masing-masing meneruskan perjalanannya dengan cara yang lebih rajin dan lebih giat. Keraguan hati, apakah kita masih akan melihat permualannya periode kebudayaan yang lebih indah itu, yakni apakah kita masih akan mengalami permualaannya periode itu, pertimbangan-pertimbangan semacam itu tidak boleh menghambat kita, dan sekali-kali tidak boleh menjadi sebab untuk meninggalkan jalan yang sudah kita injak.

Kita mampu meneruskan berapa malasnya atau bagaimana sifatnya bagian-bagian pertumbuhan itu satu-persatu, sebagaimana kita pun tak mampu mengatakan apa-apa dengan yakin tentang berapa panjang usia kita sendiri, tetapi harapan akan mengalami kemenangan itu tak perlu kita lepask n di dalam zaman seperti zaman yang kita alami sekarang. Kita berjuang terus dan berusaha terus dan tak mempedulikan soal dimana atau kapan batu-batu tandanya zaman bahabia bagi kemanusiaan itu akan dipasang.

Dan jikalau kita jatuh dipandang perjuangan ini maka turunan-turunan kita mengisi tempat kita itu. Dengan demikian kita jatuh dengan keinsyafan, bahwa kita telah memenuhi keawjiban kita sebagai manusia, dan dengan keakinan baha tujuan kita pasti nanti tercapai, bagaimanapun juga musuh-musuhnya kemanusiaan menentang tercapainya tujuan itu!”

Demikianlah kutipan dari Bebel, kemudian Sukarno menambahi pesan Bebel tersebut kepada perempuan Indonesia: bandingkanlah zaman Bebel itu denga nzaman kita sekarang ini! Bebel bicara dalam zaman yang meski ada undang-undang sosialis pun, masih bernama aman jika dibandingkan denga nzaman kita sekarang ini. Kita sekarang ini, berada dalam zaman perjuangan yang jauh lebih gegap gempita dari zamannya Bebel. Kita sekarang ini dalam bahaya, negara kita dalam bahaya, meriam, bom dan dinamit menggeledek dan mengguntur diangakasa, ribuan rakyat dan prajurit kita mati bergelimpangan, kota-kota kita menjadi puing-puing, desa-desa kita menjadi lautan api, bumi Republik menjadi laksana menggempa, segenap tenaga pertahanan kita kerahkan habis-habisan untuk mempertahankan Republik. Sungguh jauh lebih genting dibandingkan dengan keadaan perjuangan sosialis di Jerman. Manakala Bebel menegaskan bahwa tiada seorang pun boleh ketinggalan, betapa pula dengan kita sekarang ini? Ibaratnya, buka saja manusia yang harus kita kerahkan, tetapi juga segala isi alam ini, yang berupa apapun harus kita gugahkan, bangkitkan, mobilisasikan untuk membela negara yang hendak dihancurkan musuk itu, Di Jerman dulu perjuangan di bawah ancaman undang-undang sosialis, tetapi disini perjangan membela hidup terhadap serangan kontra revolusi yang sedang memuntahkan peluru da memuntahkan api sedang mengamuk, membinasa, membunuh dan membakar! Tidak seorang pun boleh ketinggalan dalam perjuangan yang semacam itu!

Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan republik, dan nanti jika republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun negara nasional.
Jangan ketinggalan di dalam revolusi nasional ini dari awal sampai akhir, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial.

Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!

Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan republik, dan nanti jika republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun negara nasional.
Jangan ketinggalan di dalam revolusi nasional ini dari awal sampai akhir, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial.
Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!
(Sukarno dalam SARINAH, 2001: 251)