Rabu, 06 Januari 2010

Budaya Siwaliparri dan Budaya Patriarki = Beban Ganda Perempuan?

Setiap pagi di Teluk Majene puluhan perempuan menanti para pajala (nelayan yang menggunakan jaring payang) datang dari laut membawa ikan, tiap siang beberapa perempuan berjibaku sekop menggali pasir di Sungai Mandar, tiap dini hari jalan utama di Kelurahan Tinambung dilintasi perempuan-perempuan yang memanggul puluhan jerigen menuju sumber air minum. Jika ada yang bertanya, mereka sedang melakukan apa, salah satu jawabnya, mereka mempraktekkan konsep siwaliparri.

Siwaliparri merupakan salah satu nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Polman. Siwaliparri terdiri dari tiga suku kata, si (berhadapan), wali (lawan, musuh; bila mendapat awalan me- berarti membantu), dan parri (susah). Jadi, secara sederhana siwaliparri berarti saling membantu atau bergotong royong.

Siwaliparri berangkat dari konsep rumah tangga (domestik) masyarakat Mandar, yakni pemahaman bahwa perempuan Mandar, selain sangat setia, juga pandai menempatkan diri sebagai perempuan dan sebagai istri. Nurhidayah, seorang warga Polman menggambarkan:
“Siwaliparri menurut saya dapat dicontohkan misalnya, bila bapaknya anak-anak memanjat kelapa, maka ibunya yang membuat minyak untuk digunakan sendiri atau dijual guna menambah penghasilan keluarga.”

Pada dasarnya, di dalam dunia rumah tangga, dipahami bahwa Siwaliparri adalah konsep yang mengharuskan perempuan atau istri untuk membantu kegiatan suami. Dengan pemahaman ini, posisi istri dan suami di mata orang Mandar tidak dipandang timpang atau tidak berbeda. Istri juga memiliki tanggung jawab yang sama atas kehidupan dan langgengnya urusan pendidikan yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan dan beragama.

Fenomena Siwaliparri yang dapat diamati secara empiris dalam rumah tangga orang Mandar antara lain, pada kegiatan manette’ lipa sa’be atau bertenun sarung sutera. Kegiatan ini merupakan salah satu aktivitas yang dimaksudkan meringankan perekonomian rumah tangga.

Dalam pandangan sebagian orang Mandar, Siwaliparri diartikan sebagai sesuatu yang harus ditanggung bersama. Senang dinikmati bersama dan duka ditanggung bersama. Maka jangan heran kalau melihat para istri menggembalakan hewan ternak atau memilih beraktivitas di rumah sebagai pembuat kasur kapuk, berjualan makanan kecil, menjahit, berdagang sarung sutera, atau kegiatan lainnya seperti memecah kemiri atau kerikil.

Di sini jelas tergambar bahwa sungguh Siwaliparri sebagai nilai yang kendati berakar dari konsep lokal, namun menjadi sesuatu yang unik dan mestinya tetap dipertahankan. Dalam konteks kekinian, tidak berlebihan jika konsep itu diterjemahkan sebagai konsep kesetaraan peran yang dalam diskursusnya lebih dimaknai sebagai konsep gender yang digali dari nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Polman.

Namun problemnya nilai-nilai siwaliparri tersebut baru mampu diterjemahkan di level distribusi kerja ekonomis. Dalam hal urusan rumah tangga masih sangat patriarki karena dibebankan sepenuhnya kepada perempuan (isteri). Sehingga secara tidak sengaja siwaliparri menjadi pedang bermata dua yang membuat perempuan Polman harus memikul beban ganda. Di satu sisi siwaliparri memberikan ruang kesetaraan di wilayah kerja ekonomis, di sisi lain budaya patriarki menutup rapat ruang kesetaraan di wilayah kerja domestik. Sehingga perempuan Polman harus bekerja rangkap, selain bekerja membantu suami, dia juga harus mengurus anak dan mengurus rumah (mencuci, memasak, menyapu, dll). Memang dari beberapa kasus, sudah terdapat distribusi kerja domestik antara suami dan isteri, misalnya ketika sang isteri pergi ke pasar maka yang bertugas menjaga anak adalah sang suami. Namun kadar kesetaraan di level distribusi ini masih sangat kecil, karena sebagian besar beban kerja domestik masih tetap dipikul pihak isteri. Begitu pula di wilayah publik, para perempuan masih dipandang warga kelas dua yang tidak berhak untuk ikut mengambil keputusan-keputusan publik. Perempuan tetaplah subordinat laki-laki dimana segala sikap dan keputusan sepenuhnya diserahkan kepada laki-laki (suami).

Persoalan ini sebenarnya telah menjadi pemahaman bersama para tokoh adat dan masyarakat Polman. Dalam perkembangan kotemporer, akhirnya mulai muncul diskursus dan wacana untuk mengembangkan nilai-nilai siwaliparri keseluruh tingkatan relasi sosial (termasuk domestik) sehingga kesetaraan gender dapat terwujud. Sebab bagaimanapun harus diakui antara siwaliparri dan budaya patriarki pada hakekatnya mengandung kontradiksi, sehingga dengan mengembangkan nilai-nilai siwaliparri sama dengan mengikis budaya patriarki.

Mengembangkan nilai-nilai siwaliparri dengan cara merevitalisasi pembagian (distribusi) peran antara suami dan isteri dalam rumah tangga bukanlah pekerjaan yang mudah. Tantangan terberatnya adalah ketika berhadap-hadapan dengan nilai-nilai patriarki yang sangat mengakar, yang memandang bahwa distribusi peran yang berjalan saat ini sudah “adil” bagi kaum perempuan (isteri). Beban ganda yang dipikul perempuan dinilai sebagai konsekuensi yang wajar, karena beban tambahan (bekerja membantu suami) tersebut merupakan manifestasi siwaliparri.

Oleh karena itu tidak ada cara lain, kesadaran masyarakat harus segera dibangun bahwa nilai-nilai siwaliparri tidak hanya sebatas gotong royong menanggung beban ekonomi rumah tangga saja. Siwaliparri adalah nilai-nilai universal yang mensyaratkan adanya kerjasama (pembagian peran) antara laki-laki dan perempuan di seluruh kegiatan dan aktivitas apapun, termasuk di wilayah domestik. Siwaliparri menuntut adanya kerjasama dan pembagian kerja yang adil antara perempuan dan laki-laki di setiap tingkatan relasi sosial. Dan yang harus kita sadari bahwa jika para perempuan Polman saat ini memikul beban ganda, hal tersebut bukanlah disebabkan oleh budaya siwaliparri, melainkan kungkungan budaya patriarkhi yang membuat nilai-nilai siwaliparri tidak dapat berkembang ke ranah yang lebih luas. (yenny sucipto)
Diambil dari buku Belajar Dari Tanah Mandar karangan yenny sucipto, una dan rosniaty yang diterbitkan oleh YASMIB, Sulselbar

Tidak ada komentar: