Selasa, 09 Februari 2010

Menilai Derajat Desentralisasi

Oleh: Yenny Sucipto


Desentralisasi pemerintahan yang telah berjalan sejak tahun 2001 di Indonesia telah memberikan banyak perubahan dan kemajuan di setiap daerah. Dalam 10 tahun terakhir ini daerah telah banyak belajar dalam mengelola dan menjalankan urusan pemerintahannya sendiri. Harus diakui menjalankan desentralisasi bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga desentralisasi di Indonesia seringkali mengalami pasang surut karena berbagai kendala yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah terutama dalam hal keterbatasan SDM, finansial dan minimnya potensi daerah. Sehingga membuat tujuan desentralisasi seringkali tidak sejalan (bahkan di satu sisi distorsif) dengan tujuannnya.

Penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di 42 kabupaten/kota menunjukkan kendala terbesar yang saat ini dihadapi oleh pemerintah daerah adalah dalam hal desentralisasi fiskal. Karena dalam praktiknya hampir semua daerah sering kesulitan dalam mencari dan meningkatkan pendapatannya sendiri, sehingga walaupun 10 tahun desentralisasi dijalankan sebagian besar daerah masih menggantungkan penerimaannya dari bantuan dari pusat baik dalam bentuk block grant (DAU) maupun specific grant (DAK).

Daerah-daerah yang bisa menjalankan desentralisasi fiskalnya hanyalah daerah yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah atau daerah yang berkarakteristik perkotaan besar. Karena paling tidak dengan potensi sumber daya alam tersebut penerimaan daerah masih bisa tercover dari dana bagi hasil sumber daya alam dari pusat, seperti Kabupaten Aceh Utara yang kaya dengan Minyak dan Gas. Atau bagi wilayah perkotaan besar seperti Kota Surabaya dan Kota Semarang sebagai ibukota propinsi telah membuat wilayah tersebut menjadi kota tujuan bisnis dan investasi sehingga pendapatannya dapat tercover dari PAD terutama di sektor pajak dan retribusi daerah. Sebagai catatan, dari + 480 kabupaten/kota di Indonesia hanya 64 kab/kota saja yang memiliki potensi SDA.

Bagi 92% kabupaten/kota di Indonesia yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam, menjadi tidak mudah untuk melepaskan ketergantungan dari bantuan pemerintah pusat. Walaupun sebenarnya sampai saat ini di daerah-daerah penelitian tersebut semua pemerintah daerah terus berupaya untuk menumbuhkan potensi ekonominya dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua investor untuk menginvestasikan modalnya di daerah masing-masing.

Hanya saja, upaya tersebut bukanlah sesuatu hal yang mudah karena selain minimnya potensi yang membuat tidak tertariknya investor, juga keterbatasaan dana dari pemerintah daerah untuk meningkatkan fasilitas-fasilitas infrastruktur dan suprastruktur ekonomi di daerahnya. Karena itulah, satu-satunya upaya yang saat ini dilakukan pemerintah daerah untuk mengurangi tingkat ketergantungan keuangannya terhadap pemerintah pusat (walaupun tidak signifikan) dilakukan dengan cara menggenjot PAD semaksimal mungkin terutama di sektor retribusi daerah. Dampaknya cukup negatif karena retribusi yang dinaikkan tersebut rata-rata adalah retribusi yang sifatnya memberikan beban bagi rakyat miskin (retribusi kesehatan) dengan rata-rata di atas 60% dari total PAD.

Lemahnya derajat desentralisasi fiskal tersebut pada akhirnya juga berdampak pada belanja daerah, dimana biaya program pembangunan sebagian besar harus ikut bergantung dari bantuan pusat sehingga celah fiskal daerah menjadi tinggi. Masalahnya APBN juga memiliki keterbatasaan yang tidak mungkin dapat menutupi tingginya celah fiskal daerah, sehingga prosentase DAU sebagian besar hanya diberikan untuk memenuhi alokasi dasar (gaji PNS) saja. Wajar jika kemudian, wajah belanja semua daerah menjadi tidak pro poor karena sebagian besar belanja telah habis dulu untuk menutupi kebutuhan birokrasi (gaji, tunjangan, perjalanan dinas, gedung, perkantoran, dll). Itu pula, kenapa walaupun di sektor pendidikan alokasi belanja di 42 kab/kota rata/rata telah berada di atas 20% namun sebagian besar penggunaannya hanya bisa digunakan untuk memenuhi gaji guru dan dinas, tidak sampai pada program pelayanan publik seperti pengadaan dan rehabilitasi gedung sekolah, bea siswa, pengadaan buku dan lain-lain.

Melihat kondisi daerah yang masih kesulitan dalam menjalankan desentralisasi fiskalnya, sangat urgen untuk memikirkan ulang (terutama bagi pemerintah pusat) perlunya membuat grand strategy yang dalam penguatan desentralisasi fiskal, agar otonomi daerah dapat berjalan lebih efektif. Grand strategy tersebut paling dengan memperbaiki beberapa aturan sistem yang telah ada, yang pertama menyangkut penggunaan DAU dan perampingan birokrasi.

Berdasarkan hasil penelitian World Bank (2007) terhadap Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Departemen Keuangan RI, celah fiskal dan alokasi dasar dalam DAU yang digelontorkan ke daerah (miskin) perbandingannya adalah 50:50. Namun dalam praktiknya di 41 kab/kota yang hasilnya rata-rata 80:20. Kesimpang-siuran ini paling tidak harus dijawab dengan perlunya sebuah aturan mengenai batas minimal perbandingan penggunaan antara alokasi dasar dan celah fiskal yang bersifat proporsional dan memungkinkan bagi daerah miskin untuk bisa membiayai pembangunan di daerahnya.

Dari hasil penelitian FITRA selama 3 tahun (2007-2009) juga menunjukkan adanya kecenderungan dari Pemerintah daerah untuk terus meningkatkan alokasi belanja pegawainya yang berakibat tidak proporsionalnya jumlah PNS dengan populasi penduduk. Di beberapa daerah bahkan harus mengeluarkan anggaran Rp 1 juta untuk pegawai dalam melayani seorang penduduk saja. Oleh karena itu, ke depan perlu dibangun sistem kepegawaian teriintegrasi secara nasional yang dapat membatasi kebutuhan birokrasi di masing-masing daerah.

Tidak ada komentar: