Rabu, 29 September 2010

PEMEKARAN (ANGGARAN) DAERAH

Kebijakan pemekaran daerah yang digulirkan sejak 2000 sebenarnya bertujuan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik dan percepatan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah.


Pemekaran juga bertujuan membangun proses demokratisasi (partisipasi) padda tataran masyarakat untuk mewujudkan pemerintah daerah yang lebih efisien, demokratis, dan aspiratif sebagai bentuk dukungan konkret pemerintah pusat terhadap pembangunan ekonomi masyarakat di daerah.

Kebijakan pemekaran daerah sendiri sebenarnya rangkaian dari arus kebijakan politik desentralisasi dan otonomi daerah yang telah digulirkan pemerintah sebelum (1999). Prinsip yang dibangun dalam pelaksanaan otonomi daerah itu adalah partisipasi an transparansi melalui pemberian kewenangan dan keleluasaan kepada daerah membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri.
Sayangnya, tujuan itu cenderung tak terwujud sampai saat ini. Sebaliknya, berbagai penyimpangan dan pemborosan keuangan daerah daerah masih kerap terjadi. Berdasarkan penelitian Said Amin (Bank Dunia), samapi tahun 2007 tercatat 967 anggota DPRD dan 61 kepala daerah yang terlibat korupsi keuangan daerah di seluruh Indonesia.

Dalam konteks kebijakan pemekaran daerah, pelaksanaannya pun cenderung distorsif dan tak terkendali. Menurut catatan Departemen Dalam Negeri (2007), ada 7 propinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota hasil pemekaran sejak 2000. Daerah otonom hingga saat itu berjumlah 473. Ini belum menyertakan Rancagan Undang – Undang Pemekaran yang tengah dibahas Komisi II DPR yang menngajukan 15 tambahan pemekaran. Sebelum kebijakan pemekaran digulirkan, hanya ada 336 kabuoaten dan kota serta 27 propinsi di Indonesia.

Polarisasi
Maraknya usul pemekaran itu tanpa disadari telah memolarisasi masyarakat daerah ke dalam kubu pro dan kontra. Alasan kelompok pro lebih banyak pada pertimbangan yuridis administratif dan cenderung normatif, seperti terselenggaranya pembanngunan yang lebih aspiratif dan peningkatan pelayanan publik. Alasan kelompok kontra didasarkan pada asumsi bahwa pemekaran daerah akan menciptakan perluasan struktur yang berakibat pada pembiayaan yang berat, yang dikhawatirkan menganggu jalannya pembangunan.

Dalam praktiknya, tak jarang pemekaran lebih dimotivasi oleh obsesi daerah mengejar kucuran dana dari pusat yan gmerangsang korupsi. Sejak tahun 2001 kucuran dana dari pusat mengalir deras ke daerah melalui dana perimbangan. Dana perimbangan yang digelontorkan pemerintah pusat ke daerah pada 2001 sebesar Rp 84 triliun. Tahun ini Rp 203,5 triliun.

Menurut penelitian Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, pemekaran berdampak pada pembebanan keuangan negara. Ini dibuktikan dengan membengkaknya dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) dalam APBN 2002 – 2008 yang begitu tinggi. Analisis terhadap penerimaan DAU 114 daerah pemekaran memperlihatkan beban keuangan negara akibat pembengkakan DAU pada tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2008 adalah Rp 8,36 triliun.

Begitu pula dengan pengalokasian DAK dalam APBN kurun 2002 – 2008 terus membengkak akibat semakin banyak daerah pemekaran yang harus diberi DAK dari tahun ke tahun. Kenaikan terbesar khususnya terjadi pada 2004. Beban keuangan yang ditanggung negara karena adanya pertambahan alokasi DAK yang harus diberikan kepada daerah pemekaran dari tahun 2003 sampai 2008 mencapai Rp 13 triliun.

Penelitian terhadap 40 APBD daerah pemekaran memperlihatkan, kebergantungan keuangan sebagian besar daerah sangat tinggi terhadap pemerintah pusat. Ini terllihat dari sektor penerimaan yang didominasi dari DAU dan DAK yang rata – rata berada di atas 70 persen total penerimaan.

Penerimaan Terkecil
Penerimaan terkecil justru dari sumber yang seharusnya merupakan potensi daerah murni: pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi hasil (DBH). Rata – rata penerimaan dari sektor PAD hanya 2 – 5 persen. Bahkan, terdapat beberapa daerah pemekaran dengan PAD di bawah 1 persen. Sementara itu, DBH rata – rata di bawah 10 persen dari total penerimaa. Ketergantungan penerimaan daerah dari sektor DAU dan DAK pada akhirnya berimbas negatif di sektor belanja.

Dengan miskinnya keuangan daerah, anggaran untuk belanja pelayanan publik harus dikorbankan demi memenuhi kebutuhan belanja aparatur, terutama untuk gaji pegawai negeri sipil, tunjangan, dan perjalanan dinas pejabat daerah. Presentase belanja ppegawai (gaji, tunjangan, honorarium, dan perjalanan dinas), setiap daerah pemekaran berada di antara 50 dan 70 persen total belanja.

Setelah membandingkan keadaan keuangan daerah induk dan daerah sebelum dan setelah pemekaran, diketahui bahwa kondisi keuangan daerah induk pasca-pemekaran selalu berkurang sekitar 30 persen dari total penerimaan. Namun, apabila penerimaan daerah induk dan daerah daerah pemekaran digabungkan, peningkatannya cukup tinggi.
Peningkatan itu disebabkan oleh adanya peningkatan penerimaan DAU yang cukup tinggi dan diikuti oleh peningktan DAK. Peningkatan DAU itu merupakan gambaran kondisi keuangan daerah pemekaran yang memiliki celah fiskal tinggi.

Ini ditimbulkan oleh kebutuhan fiskal yang besar (rencana program pembangunan) yang tidak sebanding dengnan kapasitas fiskal (potensi daerah) yang cenderung rendah. Masih ada tambahan berupa kebutuhan pegawai negeri sipil baru yang otomatis membutuhkan alokasi dasar tambahan dari DAU yang mau tidak mau harus dipenuhi oleh pemerintah pusat.(Diterbitkan dalam Opini Kompas)