Selasa, 30 November 2010

Diskrimatif Anggaran ODHA

Yenny Sucipto


Memerangi penyebaran penyakit menular terutama penyebaran HIV dan AIDS merupakan salah satu target MDGs yang memerlukan kerja keras dan perhatian besar bagi Indonesia, dimana membutuhkan keseriusan untuk mencurahkan segala bentuk strategi pencegahan dan penangggulangannya jika Indonesia tidak ingin di nilai kalangan internasional sebagai Negara yang gagal mencapai komitmen global MDGs di tahun 2015 nantinya.

Jika mengkaji laporan pemerintah dalam penanganan kasus HIV/AIDS, efektitasnya ternyata kurang signifikan. Target di tahun ini saja hanya dapat dicapai sebesar 0,1%, padahal target sampai tahun 2015 pemerintah mentargetkan dapat mencegah 1 juta kasus baru dan mencegah 350 ribu kematian. Namun sebaliknya justru kasus HIV/AIDS terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Dan Indonesia saat ini telah menjadi salah satu negara yang memiliki angka penderita HIV/AIDS tertinggi di Asia. Lebih mengkhawatirkan lagi, penularan HIV/AIDS tersebut ternyata terus meningkat tajam dari tahun ke tahun. Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sudah sampai tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI (Ditjen PP & PL), per 30 juni 2006 kasus HIV/AIDS secara kumulatif telah mencapai angka 10.859 kasus dengan rincian 6.332 jiwa penderita AIDS dan 4.527 jiwa pengidap HIV. Dan sampai akhir September 2008, Departemen Kesehatan mencatat 21.151 orang di Indonesia terinfeksi HIV, 15.136 orang dalam fase AIDS. Peningkatan signifikan dari kasus HIV/AIDS tersebut sebagian besar disumbang oleh pengguna narkotika suntik dan seks bebas. Ahli epidemiologi telah memproyeksi jika tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk menanggulangi penyebaran virus HIV/AIDS secara massif, diperkirakan pada 2010 jumlah penderita di Indonesia akan mencapat 400 ribu orang, bahkan pada 2015 nanti jumlah terinfeksi HIV/AIDS diperkirakan dapat mencapai 1 juta jiwa.

Situasi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Sehingga wajar jika banyak kalangan masyarakat yang kemudian ikut peduli, ambil bagian dan menuntut Pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap problem penyebaran HIV/AIDS ini. Pun juga wajar jika masyarakat tidak bisa berpuas diri dengan telah masuknya program perang terhadap HIV/AIDS dalam deklarasi millenium. Jauh dari itu, yang diharapkan masyarakat adalah follow up melalui praktek nyata dalam program-program pembangunan tahun ke tahun, apakah memang ada langkah konkrit yang dilakukan pemerintah sebagaimana yang menjadi targetan pembangunan millenium sampai tahun 2015 nanti.
Dan salah satu faktor untuk melihat seberapa besar dan efektif komitmen Negara terhadap suatu persoalan bangsa adalah dengan melihat kebijakan alokasi anggaran. Kebijakan alokasi anggaran sebagai salah satu instrumen Negara, dapat memberikan gambaran apakah upaya memerangi HIV/AIDS mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah.

Dari hasil penelusuran anggaran dan analisis dokumen di semua kementerian/lembaga, ternyata alokasi anggaran untuk penanganan AIDS hanya sebesar Rp 348,2 milyar di tahun 2007, Rp 407,3 milyar tahun 2008, dan Rp 366,6 milyar tahun 2009. Bahkan tahun 2010 anggaran tersebut turun menjadi Rp278,1 milyar dan hanya tersebar di 7 (tujuh) kementerian/lembaga (Depdiknas, Depkes, Depsos, BKKBN, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, dan Badan Narkotika Nasional). Padahal jika mengacu pada struktur kelembagaan KPAN seharusnya anggaran tersebut tersebar di 13 (tiga) belas kementerian/lembaga sesuai dengan jumlah kementerian/lembaga yang masuk dalam keanggotaan KPAN.
Dan ketika ditelusuri ke semua program-program penanggulangan HIV/AIDS di keenam kementerian/lembaga ternyata hampir 90% semua programnya juga fokus pada pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang disebabkan oleh pengguna narkoba. Memang dilihat dari angka kasusnya, jumlah pengidap HIV dan AIDS yang disebabkan oleh Narkoba dan jarum suntik (Penasun) memang lebih besar yaitu sebesar 46%. Sehingga terlihat Pemerintah kemudian lebih memilih untuk memprioritaskan penanggulangan HIV/AIDS kepada Penasun saja daripada hubungan seks. Padahal berdasarkan hasil pertemuan ICAAP di Bali, dari data terakhir kasus HIV/AIDS saat ini justru lebih banyak yang menjangkit dikalangan pasutri khususnya ibu rumah tangga melalui hubungan seks (bukan melalui narkoba dan jarum suntik).

Diskriminasi penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan Pemerintah kepada kalangan WPS (Wanita Penjaja Seks), PWS (Pengguna Wanita Seks) tentu tidak bisa dibenarkan dari sisi apapun, karena sudah menjadi kewajiban Pemerintah untuk menangulangi HIV/AIDS dari segala penyebab apapun tanpa harus memilah dan memprioritasi.

Di sisi yang lain, dari hasil penelusuran anggaran, ternyata sebagian besar anggaran hanya dipergunakan untuk pencegahan daripada perawatan dan pengobatan. Di tahun 2010 misalnya, dari total alokasi anggaran penanggulangan HIV/AIDS, sebesar 82,1% digunakan untuk pencegahan, sementara untuk program perawatan dan pengobatan hanya sebesar 9%. Dengan melihat tidak proporsionalnya alokasi anggaran tersebut sudah dapat dipastikan program-program yang dipergunakan untuk merawat dan mengobati para penderita HIV/AIDS akan terabaikan. Mungkin itu pula kenapa pengadaan obat retroviral bagi penderita seringkali kosong (tidak tersedia) karena semua anggaran HIV/AIDS dipergunakan untuk pencegahan saja. Dan dengan melihat proporsi anggaran ini pula, sudah dapat dipastikan target pemerintah untuk menekan angka kematian akibat HIV/ADIS 2010 nanti akan gagal.

Rendahnya respon anggaran dan program terhadap penanggulangan HIV/AIDS ini di Indonesia ini sebenarnya sudah dapat dilihat dari tingkat penularan HIV yang terus meningkat tajam. Dan jika respon anggaran dan program yang lemah ini terus berlangsung diperkirakan akan ada sekitar 400 ribu orang terinfeksi HIV pada tahun 2010, dan 100 ribu orang diantaranya diperkirakan meninggal atau akan ada 1 juta ODHA pada tahun 2015 dengan 350 ribu kematian. Dan diperkirakan juga 2015 nanti akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu terinfeksi HIV yang tertular dari suaminya.

Minggu, 21 November 2010

Sadar (Anggaran) Bencana

Yenny Sucipto

Sejak terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh tahun 2005 lalu, pemerintah terlihat tidak lagi main-main dengan ancaman bencana alam di Indonesia. Bahkan berkali-kali pemerintah mendeklarasikan secara terbuka untuk secara serius dan sungguh-sungguh menangani persoalan bencana alam tersebut. Oleh karena itu pemerintah kemudian menyusun suatu manajemen bencana yang tidak lagi parsial dan reaktif melalui suatu kebijakan regulasi yang khusus mengatur tentang itu. Butuh waktu 2 tahun (dari tahun 2005 sampai tahun 2007) dan melalui serangkaian perdebatan panjang antara pemerintah dan DPR sampai dilahirkannya UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanganggulangan Bencana.
Perdebatan yang paling panjang adalah menyoal perlu tidaknya dibentuk suatu badan khusus yang menangani bencana. DPR saat itu beralasan badan tersebut sangat diperlukan karena bencana tidak bisa ditangani secara temporer melalui lembaga-lembaga koordinatif, butuh lembaga khusus yang bersifat permanen yang tugasnya hanya memikirkan penanganan bencana setiap hari. Namun Pemerintah keberatan karena dengan dibentuknya badan baru tersebut akan semakin membebani anggaran belanja negara. Namun DPR berkilah, justru pembentukan badan khusus tersebut akan mengurangi beban anggaran negara, karena akan diikuti dengan peleburan badan dan lembaga yang selama ini menangani bencana ke dalam satu atap. Perdebatan tersebut akhirnya selesai dengan tetap dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), namun sayangnya tanpa disertai ide peleburan (penyatuan ke dalam satu atap) sebagaimana gagasan yang telah muncul sebelumnya.
Namun, baik DPR maupun Pemerintah sepertinya telah melupakan satu hal yang justru lebih urgen daripada perdebatan tentang badan penanggulanan bencana, yaitu masalah pembiayaan selama penanganan bencana, mulai dari tahap tanggap darurat, rehabilitasi sampai rekonstruksi. Sebab belajar dari pengalaman bencana Aceh sampai Yogya tahun 2005, Pemerintah terlihat masih belum menyadari akan pentingnya prioritas anggaran bagi penanganan bencana di Indonesia.
Dalam APBNP 2010, Pemerintah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana sebesar Rp 3,79 triliun ditambah dengan Rp 2,64 triliun yang tersebar di 8 kementerian/Badan tersebut sehingga totalnya sebesar Rp 6,43 Triliun. Alokasi dana penanggulangan bencana alam dalam APBN masih dinilai tidak cukup, mengingat luasnya tingkat kerusakan dan dampak lain yang ditimbulkan akibat bencana alam akhir-akhir ini.
Minimnya alokasi dana untuk penanggulangan bencana di APBN itu menunjukkan bahwa Pemerintah memang masih memandang remeh ancaman bencana di Indonesia. Angka Rp 6,43 trilliun terlihat lebih sebagai bentuk “formalitas” pemenuhan tuntutan “isu bencana” yang memang sedang hangat di masyarakat daripada sebagai bentuk kesadaran pemerintah akan bahaya bencana.

Fragmentasi Anggaran Bencana
Keberadaan Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) bukannya semakin mempermudah penanggulangan bencana tetapi semakin memperumit. Sebab, selain semakin sulitnya koordinasi antar lembaga, juga membuat anggaran bencana semakin terfragmentasi (terpecah-pecah) ke banyak badan dan lembaga.
Fragmentasi anggaran ini jelas akan membuat anggaran bencana menjadi semakin tidak efisien. Sebab semakin banyak badan dan lembaga akan semakin banyak anggaran yang terbuang percuma karena belanja untuk memenuhi kebutuhan aparatur (gaji, tunjangan dan honorarium pegawai, pemenuhan kebutuhan kantor, kendaraan dinas, dll) akan semakin membengkak.
Dampaknya seperti yang terjadi saat ini. Dari total anggaran yang terdapat di 8 badan dan lembaga yang terlibat dalam penanganan bencana, total anggaran yang benar-benar digunakan program-program yang langsung berkaitan dengan penanggulangan bencana hanya sebesar Rp 2,64 triliun. Jika saja badan dan lembaga-lembaga tersebut bisa disatu atapkan, tentunya anggaran yang muncul jauh lebih besar dari hanya Rp 2,64 triliun, karena tidak perlu lagi ada double budget bagi pembiayaan kebutuhan aparatur sebagaimana tersebut diatas.
Jika diteliti lebih lanjut, untuk pengendalian bencana berupa pengembangan sistem early warning tsunami, cuaca dan iklim hanya dianggarkan 137,85 milyar (Badan Meteorologi, Klimatologi dan geofisikan), Pengembangan sistem Manajemen dan Penetapan Zona Rawan Bencana baik Darat maupun laut sebesar Rp 42,27 milyar (BNPB dan Bakor Survey dan Pemetaan Nasional). Sedangkan untuk pelaksanaan tanggap darurat sebesar Rp 666,12 milyar (Mabes TNI, Kementerian PU, Kementrian Sosial, BNPB dan Basarnas). Untuk Pengendalian Lahar Gunung Berapi Rp 6,89 milyar dan pengendalian bencana banjir Rp 1,5 triliun, itu pun hanya digunakan untuk membangun sarana dan prasarana penanggulangan banjir yang dikerjakan di bawah Departemen PU.

Pentingnya Political Will
Kesadaran pemerintah akan bahaya bencana seharusnya diikuti dengan langkah-langkah konkrit dalam pemenuhan anggaran bencana. Berkaca pada Bencana Tsunami Aceh, dimana pembiayaan untuk tanggap darurat saja menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,25 trilyun. Mengingat banyak wilayah di Indonesia yang berpotensi bencana, pemerintah setidaknya mengalokasikan anggaran khusus untuk penanggulangan bencana kurang lebih 1% dari total APBN (sekitar Rp 12 triliun untuk tahun 2010). Contohnya dapat kita lihat pada bencana merapi saat ini, dimana tercatat ada 289.613 pengungsi yang setiap harinya membutuhkan Rp 4,34 milyar untuk 3 (tiga) kali makan dalam sehari, itu belum termasuk kebutuhan tanggap darurat lainnya.
Pentingnya political will dan keseriusan pemerintah dalam pengalokasian anggaran bencana yang ideal dalam setiap tahun anggaran, agar pemerintah tidak mengulangi kesalahannya lagi ketika dalam penanganan bencana tsunami aceh, dengan alasan tidak adanya alokasi dalam APBN, pemerintah lalu berhutang ke luar negeri yang totalnya sampai mencapai US$ 326 juta.
Melihat quo vadisnya arah kebijakan pendanaan pemerintah dalam penanganan bencana, sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan ulang “manajemen dana bencana” agar tidak menimbulkan bencana baru di masa depan. (diterbitkan di opini Kompas)