Rabu, 18 Mei 2011

PENGANGGARAN KESEJAHTERAAN SOSIAL INDONESIA: MENJAUHNYA PERAN DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA

Yenny Sucipto


“The goals of social welfare is to fulfill the social, financial, health, and recreational requirements of all individual in a society. Social welfare seeks to enhance the social functioning of all age groups, both rich and poor. When other institutions in our society (such as the market economy and the family) fail at times to meet the basic needs of individuals or groups of people, social services are needed and demanded …Almost all social workers are employed in the social welfare field. There are, however, many other professional and occupational groups working in the field.”

Charles, H. Zastrow, The Practice of Social Work (1999: 6)




Kesejahteraan Sosial dan Konstitusi
Kesejahteraan sosial dan pemenuhannya terhadap rakyat di setiap negara, dalam praktiknya ternyata berbeda-beda. Bagi negara-negara yang berkiblat kepada sosialisme/komunisme, kesejahteraan sosial langsung dimuat secara eksplisit di dalam konstitusinya, dimana pemenuhan kesejahteraan sosial bagi rakyat ditetapkan menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Sementara bagi bagi negara-negara yang kental dengan aliran liberalisme/kapitalisme, jaminan kesejahteraan sosial tidak dituangkan langsung di dalam konstitusi, biasanya di dalam peraturan setingkat undang-undang (bill, act, dll). Dan dalam kebijakannya biasanya tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara tetapi ikut melibatkan kerjasama antara pemerintah, elemen masyarakat dan dunia usaha.

Itulah kenapa dari hasil penelitian Jimly Asshiddiqie (2009) dengan memperbandingkan konstitusi antara negara-negara penganut faham sosialisme/komunisme dengan negara-negara liberalisme/komunisme, ditemukan perbedaan prinsip antar konstitusi yang terletak pada ruang lingkup jaminan hak-hak rakyat. Ciri konstitusi negara-negara sosialis/komunis selalu memuat jaminan hak-hak rakyat meliputi hak politik, hak ekonomi dan hak sosial, sementara konstitusi negara-negara liberalis/kapitalis hanya memuat hak politik saja. Wajar jika kemudian hampir semua literatur konstitusi baru sebatas menyoal konstitusi politik karena acuannya hanya kepada negara-negara liberalis/kapitalis di eropa dan amerika. Sepanjang pengetahuan penulis, baru Amartya Zen dan Jimly yang mulai menggagas mengenai konstitusi ekonomi dan konstitusi sosial dengan berpijak pada penelitian konstitusi negara-negara di eropa timur dan sebagian negara di amerika latin.

Jika dikaitkan dengan Indonesia, sebenarnya Indonesia merupakan salah satu negara yang kental dengan aliran sosialisme, karena konstitusinya (UUD 1945) selain memuat jaminan hak-hak politik rakyat, juga ikut memuat hak-hak ekonomi dan sosial (kesejahteraan sosial). Wajah sosialis konstitusi Indonesia tersebut tentunya tidak terlepas dari sejarah gerakan dan pemikiran kaum muda Indonesia yang dari awalnya memang dipenuhi oleh gagasan-gagasan sosialisme/marxisme. Politik etis yang dipraktikkan Belanda kepada negara jajahan (Indonesia) menjadi salah satu pintu masuknya pemikiran-pemikiran sosialisme/marxisme yang berujung pada kesepakatan pendirian suatu negara merdeka di dalam sidang-sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Juni-Juli 1945), yang akhirnya menyepakati Pancasila sebagai dasar negara yang kental dengan pemikiran sosialisme.

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang tertuang di sila kelima menjadi guiden dan kunci penyusunan konstitusi Indonesia yang kemudian diterjemahkan ke berbagai pasal jaminan ekonomi dan sosial di Pasal 27, Pasal 33 dan Pasal 34. Hak atas pekerjaan yang layak, tanggung jawab negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar, serta tanggung jawab negara dalam distribusi keuntungan ekonomi melalui penguasaan sumber daya alam dan cabang usaha publik menjadi dasar pijak bangunan sistem sosial ekonomi negara Indonesia.



Perdebatan Lama: Kesejahteraan Sosial Tanggung Jawab Siapa?
Perdebatan mengenai tanggung jawab negara terhadap pemenuhan hak-hak sosial memang telah menjadi perdebatan lama antara negara yang bermuara pada perdebatan ideologis yang terbagi ke dalam 2 (dua) aliran (Mansour Faqih, 2003). Aliran pertama, adalah negara-negara yang tetap memegang prinsip bahwa negara harus turut campur dalam mewujudkan kesejahteraan warganya. Negara harus terlibat aktif dalam mewujudkan berbagai layanan kehidupan masyarakat melalui berbagai perencanaan yang terpusat. Pada faktanya, representasi sempurna dari negara demikian hanya dipraktikkan oleh negara-negara komunis. Setelah ambruknya blok komunis, ada banyak varian dari negara-negara yang semi sosialis yang masih bertahan dengan konsep ini. Kegagalan komunisme memaksa negara-negara yang berkiblat padanya untuk merubah kebijakan sosialis dengan menambah elemen pasar pada perekonomian mereka.

Aliran kedua justru berpendapat sebaliknya, negara harus berperan seminimal mungkin dalam kehidupan warga. Ideologi yang sering disebut sebagai kapitalisme-liberalisme ini percaya bahwa pasarlah (dan bukan negara) yang akan mewujudkan kesejahteraan warga masyarakat. Pasar dengan tangan ghaib-nya (invisible hand) akan menggiring warga pada kemakmuran. Negara tidak berhak turut campur dalam menyediakan berbagai layanan untuk warga. Belakangan, ideologi yang banyak menimbulkan kecaman ini sering disebut sebagai neoliberalisme. Neoliberalisme telah menggantikan bentuk lama dari liberalisme klasik. Proses globalisasi yang sekarang terjadi telah memuluskan jalan bagi ideologi neoliberal ini untuk berkuasa; dengan organisasi perdagangan dunia (WTO) sebagai instrumennya.

Perdebatan ini terus berpuncak pada sidang-sidang PBB dan berakhir pada tahun 1966 dengan dihasilkannya International Convention on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Perdebatan tersebut memang sangat panjang karena berlangsung dari tahun 1947 dan baru disahkan pada 1966. Dibutuhkan waktu hampir 20 (dua puluh) tahun untuk menjadikannya sebagai instrumen hukum internasional.


ICSR merupakan bagian derivasi dari Universal Declaration of Human Right (UDHR) 1948. Perdebatan tersebut terpolarisasi ke dalam 2 (dua) blok yang membawa kepentingannya masing-masing. Fokus perdebatan berakhir pada pengambilan kesepakatan apakah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya disatukan dengan hak-hak sipil dan politik atau tidak. Blok Timur, yang didukung negara-negara berkembang menghendaki hak-hak ekonomi, sosial dan politik disatukan dalam konvenan ini. Alasannya, hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak yang tidak bisa dipisahkan dari hak asasi manusia dan merupakan kondisi yang esensial bagi kebebasan. Namun, blok Barat menolaknya, karena hak-hak ekonomi, sosial dan budaya akan berakibat membebani negara (pemerintah) karena pemenuhan hak atas pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan berbagai jaminan sosial akan berdampak negara harus menyediakan anggaran yang sangat besar. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kenapa kovenan hak asasi manusia ini terpisah menjadi dua, yakni kovenan tentang hak sipil dan politik (sipol) dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Politik dan Budaya (ekosob), sebagai jalan tengah untuk mengakhiri perdebatan panjang yang terjadi. Dan tentu saja kovenan hak-hak ekosob menjadi kovenan paling belakangan disahkan.

Latar belakang perdebatan ideologis ini diakui oleh Verloren Van Themaat. Menurutnya dalam tertib ekonomi internasional terdapat 2 (dua) sistem ekonomi yang berbeda. Pertama adalah negara-negara yang menganut prinsip liberalisasi pasar yang dikenal dengan negara kapitalis. Kedua adalah negara-negara sosialis yang menganut pentingnya intervensi negara dalam bidang ekonomi. Bagi negara penganut sosialisme, tanggung jawab negara terhadap hak ekonomi dan sosial adalah suatu kewajiban, sementara bagi negara penganut kapitalisme, hak ekonomi dan sosial murni menjadi urusan pasar, bukan urusan negara. (Ifdhal Kasim, 2001).

Dua kovenan tersebut, kendati tidak sempurna betul, karena merupakan hasil tarik-menarik antara dua kepentingan besar ketika itu, bagaimanapun merupakan produk yang baik untuk memajukan kondisi hak asasi manusia di muka bumi. Jika dilihat dari bagian pembukan kovenan Ekosob, terlihat jelas bahwa pembentukan kovenan tersebut didasarkan pada Piagam PBB (Pasal 1 ayat 2 dan 3 serta 55) serta Deklarasi Universal HAM 1948 (Pasal 22-27). Menurut Huala Adolf (1969), materi kovenan ekosob yang terpenting adalah:

- Hak atas Ekonom;
- Hak atas Pekerjaan;
- Hak atas Gaji dan Kondisi yang Layak;
- Hak untuk Mendapatkan Standar Hidup yang Layak yang Mencakup Makanan, Pakaian, Perumahan, Kesehatan dan Pelayanan Sosial; dan
- Hak atas Pendidikan dan Kesehatan.

Dari kacamata Adolf tersebut, menunjukkan bahwa persoalan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, adalah menyangkut terciptanya kehidupan manusia yang terhormat, bermartabat, bebas dan jauh dari rasa takut. Dan tentunya kehidupan demikian tidak akan terwujud jika hak-hak seseorang di bidang: pekerjaan, jaminan sosial, perlindungan keluarga, kesehatan, pendidikan tidak terjaga dan terlindungi dengan baik.

Walaupun Kovenan ekosob telah disahkan, namun, para anggota PBB tidak serta-merta menerima kovenan ini. Pada 1967, Sekretaris Jendral PBB melaporkan hanya ada enam belas penandatangan tetapi tidak ada satupun yang meratifikasi. Selama tiga tahun (1971-1973), PBB melakukan imbauan dan kunjungan ke berbagai negara mendesak untuk segera meratifikasi. Namun, hasilnya tidak menggembirakan. Negara-negara anggota PBB rupanya khawatir kebebasan mereka untuk bertindak akan dibatasi jika meratifikasi konvenan ini. Ini karena Pasal 2 ayat (2) kovenan tersebut mengharuskan setiap negara harus segera menyesuaikan perundang-undangannya dengan isi konvenan. Sampai tahun 2001 telah terdapat 141 dari 159 negara anggota PBB yang meratifikasi. Khusus Indonesia, kovenan tersebut baru diratifikasi pada tahun 2005.

Terlepas daripada kontroversi dan perdebatan dalam penetapan kovenan Ekosob tersebut, namun paling tidak kovenan itu telah menjadi momentum perubahan paradigma yang tidak lagi sebatas menggunakan pendekatan hak asasi manusia tetapi juga menggunakan pendekatan hak-hak dasar (basic needs approach). Pendekatan ini meluas sekitar tahun 1960 hingga awal 1970. Berdasarkan pendekatan ini, hukum ekonomi internasional harus diartikan secara luas, berorientasi pada perlindungan individu demi memenuhi aspek kesehatan, pendidikan, pertanian, kesehatan reproduksi demi mencapai standar kesejahteraan minimum bagi kelompok yang lemah dalam masyarakat. Dalam konteks yang lain, kovenan tersebut juga telah mengakhir perdebatan antar aliran ideologi ke dalam satu konsensus bersama bahwa negara tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan sosial, walaupun pemenuhannya ditiap negara peratifikasi kovenan berbeda-beda, baik praktik maupun derajat pemenuhannya.


Penganggaran Kesejahteraan Sosial
Pasca keruntuhan negara-negara komunis yang menghendaki penganggaran kesejahteraan sosial sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara, model penganggaran kesejahteraan sosial yang berkembang di berbaga inegara saat ini tetap melibatkan negara dalam pemenuhannya namun dengan pola dan derajat pemenuhan yang berbeda-beda. Paling tidak terdapat 4 (empat) varian penganggaran sosial yang dipraktikkan berbagai negara, yaitu: universal, institusional, residual, dan minimal.

Model universal biasanya dianut negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Ciri dari model ini, negara (pemerintah) menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial biasanya mencapai lebih dari 60 persen dari total belanja negara.

Model institusional, saat ini paling tidak dianut oleh 2 (dua) negara yaitu Jerman dan Austria. Model ini hampir sama dengan model universal, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Namun kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).

Model residual, model ini dipraktikkan negara-negara anglo saxon seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan pengangguran. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial kepada swasta.

Model minimal, biasanya dianut oleh negara-negara latin seperti Perancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil, dan Asia diantaranya Korea Selatan, Filipina, Srilangka. Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Dengan catatan, kecilnya anggaran kesejahteraan sosial untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan nampaknya terkait erat dengan keterbatasan anggaran negara secara keseluruhan.

Jika mengaca pada model penganggaran kesejahteraan sosial di Indonesia, sebenarnya tidak sepenuhnya bersifat sosialis, karena negara tidak bertanggung-jawab sepenuhnya. Namun jika dilihat dari konstitusinya, secara teoritis, sebenarnya lebih condong pada pemikiran sosialis yang menempatkan negara sebagai penanggung jawab terciptanya kesejahteraan sosial masyarakat. Hal ini terlihat jelas dalam pandangan hidup bangsa yang lebih menekankan aspek “keadilan sosial” (Social Justice) daripada “kebebasan individual” (Individual Freedom). Dalam tataran praktik, memang banyak aspek kebijakan negara yang cenderung pada paham liberalisme. Disini, ratifikasi hak-hak sosial rakyat dalam ekosob akhirnya menjadi ambigu karena bertabrakan dengan ratifikasi peraturan WTO. Disatu sisi negara dituntut untuk memenuhi kebutuhan warganya, tetapi disisi lain negara harus tunduk pada berbagai perjanjian perdagangan dengan melakukan berbagai deregulasi, liberalisasi dan privatisasi yang justru meminimalisasi pemenuhan atas hak-hak dasar rakyat.

Pada masa Pemerintahan Orde Baru (Orba), kebijakan penganggaran kesejahteraan sosial dapat dilihat di dalam UU No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Usaha-usaha kesejahteraan sosial yang paling pokok di dalam ketentuan tersebut adalah mengenai: bantuan sosial, bimbingan, pembinaan dan rehabilitasi sosial; dan jaminan sosial. Model penganggaran kesejahteraan sosial dalam ketentuan UU tersebut terbagi ke dalam 2 (dua) model. Khusus pelayanan kesejahteraan sosial menyangkut bantuan sosial, bimbingan, pembinaan, dan rehabilitasi sosial (subsidi, pendidikan, pelatihan, bantuan dll) alokasi anggarannya tetap ditanggung sepenuhnya oleh negara dan dibebankan kepada APBN. Dalam realisasinya, alokasi anggarannya tersebar ke dalam 2 (dua) kementerian (di luar alokasi anggaran untuk hak dasar atas pendidikan dan kesehatan). Untuk program-program bersifat subsidi pengelolaannya langsung dibawah menteri keuangan, sementara untuk program-program layanan sosial dan bantuan sosial diserahkan kepada Kementerian Sosial (Kemensos) include ke dalam rencana kerja dan anggaran Kemensos yang mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah setiap tahunnya. Biasanya program-program kesejahteraan sosial di dalam Kemensos tergabung ke dalam berbagai program yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan.

Namun khusus untuk penyelenggaraan jaminan sosial, pemerintah tidak secara langsung membebankan penganggarannya ke dalam APBN, melainkan dengan membentuk suatu badan usaha berbentuk BUMN yang melibatkan peran swasta untuk mengelolanya. Pemerintah hanya menanggung sebagian pembiayaan melalui penyertaan modal yang diambilkan dari uang negara (APBN) dan ditempatkan sebagai kekayaan terpisah dari keuangan negara. Berdasarkan praktik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, saat ini terdapat 4 (empat) BUMN yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan jaminan sosial tersebut yaitu: PT. (Persero) Jamsostek, PT. (Persero) Askes, PT. (Persero) ASABRI dan PT. (Persero) Taspen.

Konsep penyelenggaraan jaminan sosial melalui suatu badan usaha berbentuk BUMN bagi banyak pihak cenderung dilihat sebagai upaya bentuk pengalihan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan sosial masyarakat. Padahal, cita-cita konstitusional pendirian bangsa telah menempatkan negara sebagai penanggung jawab sepenuhnya atas tercapainya kesejahteraan umum. Apalagi konsep BUMN di Indonesia orientasinya ditujukan untuk memperoleh laba (untung) dalam rangka peningkatan pendapatan negara, yang tentu saja bertentangan dengan konsep jaminan sosial itu sendiri yang bersifat nirlaba.

Sejak ditetapkannya UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), keempat BUMN penyelenggara jaminan sosial tersebut disatukan dibawah koordinasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang dibentuk untuk membantu presiden dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. Penyatuan keempat BUMN tersebut berlatar dari ide untuk membentuk semacam lembaga wali amanah dengan anggota tripartite: pemerintah, pengusaha dan serikat buruh yang akan diatur lebih lanjut di dalam UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Konsep tersebut memang memberikan angin baru dalam upaya perbaikan pengelolaan sistem jaminan sosial yang lebih baik dan terintegrasi. Namun, di satu sisi, pembentukan wali amanah tersebut (disadari atau tidak) akan semakin menjauhkan peran dan tanggung jawab negara dalam pemenuhan jaminan sosial.

Sebelum terbitnya UU No.40 Tahun 2004, sebenarnya program-program jaminan sosial telah diselenggarakan oleh pemerintah namun masih parsial dan ketentuannya tersebar di berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan sosial tersebut antara lain:

- Undang-undang Republik Indonesia No.33 Tahun 1964, tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.
- Undang-undang Republik Indonesia No.34 Tahun 1964, tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas.
- Undang-undang Republik Indonesia No.3 Tahun 1992, tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
- Undang-undang Republik Indonesia No.11 Tahun 1992, tentang Dana Pensiun.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.25 Tahun 1981, tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.67 Tahun 1991, tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.69 Tahun 1991, tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan Beserta Keluarganya.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.14 Tahun 1993, tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Terbitnya UU No.40 Tahun 2004 di sisi lain juga berangkat dari pandangan Pemerintah yang melihat berbagai program jaminan sosial yang ada selama ini baru mencakup sebagian kecil masyarakat. Sementara sebagian besar rakyat masih belum memperoleh perlindungan yang memadai. Sehingga pemerintah memandang perlu untuk menyusun Sistem Jaminan Sosial yang mampu mensinkronisasikan penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan sosial yang dilaksanakan oleh beberapa penyelenggara agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi setiap peserta. Oleh karena itu dalam UU No.40 Tahun 2004 jaminan sosial di Indonesia diperluas mencakup Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKM). Dalam rangka mengintegrasikan semua program dan pengelolaan jaminan sosial, UU No.40 Tahun 2004 kemudian menggagas disatu-atapkannya 4 (empat) BUMN penyelenggara jaminan sosial selama ini menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Kuatnya vested interest dari pengusaha dan pengelola sistem jaminan sosial yang telah berjalan (ASKES, ASTEK, dll), menyebabkan pengesahan UU SJSN yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR sempat tersendat, karena menghadapi gempuran sebelum akhirnya disahkan. Para pengkritik model SJSN ini umumnya melihat skema jaminan sosial yang diatur sebagai “barang mewah” yang masih belum terjangkau oleh Indonesia (Kompas 16 Juni 2004).
Perubahan mendasar yang dibawa UU No. 40 Tahun 2004 adalah ditegaskannya BPJS sebagai organisasi penyelenggara jaminan sosial yang bersifat nirlaba (non profit), yang berarti keberadaan 4 (empat) BUMN penyelenggara jaminan sosial tidak dapat lagi berbentuk BUMN karena pengaturan tentang BUMN di dalam UU No.19 Tahun BUMN yang mengusung ciri profit oriented sementara BPJS menghendaki non profit oriented. Jika tetap dipertahankan berbentuk BUMN seharusnya pemerintah perlu untuk menetapkan undang-undang tentang BUMN bersifat khusus.

Walaupun UU No.40 Tahun 2004 telah menyatu-atapkan lembaga penyelenggara jaminan sosial, namun kosenp dasar penganggaran jaminan sosial tetap mempertahankan konsep lama dengan tetap melibatkan elemen di luar pemerintah (khususnya swasta). Konsep ini memang sulit dilepaskan karena sebenarnya berkait dengan perkembangan faham neoliberal di berbagai negara yang memang tidak menghendaki negara terbebani oleh anggaran belanja yang tidak berkait dengan pertumbuhan ekonomi secara langsung. Alokasi anggaran yang bersifat pembebanan dan tidak memberikan kontribusi ekonomi terhadap negara harus dipangkas sebagaimana yang diwajibkan oleh IMF kepada negara-negara penghutang. Oleh karena itu pencabutan subsidi dan pemangkasan anggaran sosial dan pengalihan pengelolaan jaminan sosial menjadi salah satu program penyehatan keuangan negara yang paling popular.

Bachtiar Hamzah (2010) bahkan menegaskan bahwa Indonesia memang tidak sepenuhnya menganut negara kesejahteraan, meskipun Indonesia menganut prinsip keadilan sosial dan secara eksplisit konstitusinya mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Namun letak tanggung jawab pemenuhan kebutuhan kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Menurut Bachtiar, prinsip keadilan sosial di Indonesia terletak pada usaha secara bersama seluruh komponen bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Sehingga tidak ada yang paling utama dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan sosial adalah tanggung jawab pemerintah, juga masyarakat, dunia usaha dan komponen lainnya.

Dengan demikian, sejak diserahkannya pengelolaan jaminan sosial kepada badan khusus yang dibentuk, maka negara tidak lagi memiliki kewajiban menyelenggarakan jaminan sosial sehingga tidak perlu lagi dianggarkan di dalam APBN. Namun demikian, khusus bagi masyarakat miskin, anak dan lanjut usia terlantar serta penyandang cacat yang tidak mampu membayar premi, UU No.11 Tahun 2009 tetap mewajibkan kepada negara untuk membayarkan iurannya.

Jika dikaji lebih jauh UU SJSN sebenarnya masih mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut misalnya dalam hal jenis-jenis perlindungan yang diberikan umumnya masih difokuskan untuk melindungi kesejahteraan orang dewasa dan belum secara langsung menyentuh kesejahteraan anak. Kelemahan lainnya adalah bahwa meskipun SJSN mencakup skema jaminan sosial bagi pekerja informal, skema tersebut belum secara jelas melindungi kelompok masyarakat yang kurang mampu. Keadaan ini terutama terkait dengan beberapa kendala, antara lain disebabkan oleh:

a) Masih kurang efektinya organisasi-organisasi sosial di tingkatan masyarakat, sehingga belum bisa menjadi kelompok penekan terhadap penguasa dan pengusaha untuk bertindak.
b) Biaya untuk mendanai asuransi sosial sangat tinggi; selain karena banyaknya kelompok sasaran juga karena mereka seringkali memiliki pendapatan yang relatif kecil, tidak menentu dan bahkan tidak memiliki pendapatan sama sekali.
c) Sangat beragamnya karakteristik sosial-ekonomi-budaya kelompok masyarakat mempersulit pengumpulan kontribusi maupun penentuan jenis-jenis jaminan sosial.


Wajah Penganggaran Kesejahteraan Sosial Indonesia
Menurut Suharto (2006), di negara-negara maju, kesejahteraan sosial lebih identik dengan jaminan sosial (social security), seperti public assistance dan social insurance, yang diselenggarakan negara terutama untuk kaum yang kurang beruntung (disadvantaged groups). Sementara di Indonesia, kesejahteraan sosial lebih cenderung dipandang sebagai tujuan atau kondisi kehidupan yang sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan pokok manusia, sehingga pemaknaan kesejahteraan sosial tidak terbatas pada jaminan sosial saja. Di dalam UU No.11 Tahun 2009 (UU Kesos yang baru), jaminan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial; dan perlindungan sosial.

Rehabilitasi sosial lebih banyak menyangkut pada upaya pemulihan dan pengembangan kemampuan seseorang yang dinilai mengalami disfungsi sosial. Konsep rehabilitasi sosial sebenarnya masih berpijak pada paradigma developmentalis yang memandang masyarakat miskin dengan profesi pengemis, gelandangan, PSK dan profesi asosial lain sebagai sebuah penyakit sosial sehingga perlu untuk direhabilitasi. Program-program ini selama ini berada dibawah kementerian sosial dan dinas sosial daerah, yang dalam praktiknya berjalan beriringan dengan program-program ketentraman dan ketertiban umum (penggusuran dan penertiban). Rehabilitasi sosial seringkali dilakukan melalu pembinaan, pelatihan, penyuluhan dan pemberian keterampilan di panti-panti sosial di bawah naungan Kementerian Sosial.

Dalam hal jaminan sosial, jaminan sosial yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara berdasarkan UU No.11 Tahun 2009 adalah jaminan sosial yang diberikan kepada fakir miskin, anak dan lanjut usia terlantar, dan penyandang cacat fisik/mental dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya. Jaminan sosial tersebut diberikan dalam 2 (dua) bentuk yaitu asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan. Untuk asuransi kesejahteraan sosial diberikan kepada masyarakat (miskin) yang tidak mampu membayar premi sehingga iuran ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Sementara bantuan langsung berkelanjutan diberikan dalam bentuk pemberian tunjangan berkelanjutan. Dalam praktik yang telah berlangsung saat ini, jaminan sosial bagi rakyat miskin selama ini masih terbatas pada jaminan kesehatan seperti program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dalam hal pemberian tunjangan berkelanjutan karena merupakan ketentuan baru, belum efektif berlaku menunggu peraturan pelaksana menyangkut pedoman dan petunjuk teknis penyelenggaraannya di tingkat nasional dan daerah.

Dalam hal pemberdayaan sosial, lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian pendidikan, keterampilan dan bantuan usaha. Program-program pemberdayaan sosial selama ini berada di bawah Dirjen Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial RI. Salah satu contoh program pemberdayaan sosial yang saat ini masih berjalan adalah program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) bagi masyarakat miskin dimana kementerian sosial menjadi fasilitator pembentukan kelompok usaha kecil sekaligus memfasilitasi pemberian pelatihan dan keterampilan sekaligus bantuan modal.

Dalam hal perlindungan sosial, lebih diutamakan pada upaya-upaya pemberian perlindungan bagi masyarakat yang mengalami guncangan kerentanan sosial agar kelangsungan hidupnya tetap terpenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Perlindungan tersebut diberikan ke dalam 3 (tiga) bentuk: bantuan sosial, advokasi sosial dan bantuan hukum.

Jika melihat wajah UU No.11 Tahun 2009, penganggaran kesejahteraan sosial di Indonesia ke depan mulai mengarah kepada model penganggaran residual seperti yang dipraktikkan di negara-negara anglo saxon, dimana jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan pengangguran. Dalam hal pendanaan, UU No.11 Tahun 2009 membagi tanggung jawab antara pemerintah (APBN) dan pemerintah daerah (APBD). Diluar kelompok lemah (miskin, cacat dan pengangguran) jaminan sosial tetap diselenggarakan namun penganggarannya tidak lagi dibebankan kepada negara, namun ditanggung bersama-sama antara pemerintah, swasta dan pekerja sebagaimana yang ditetapkan di dalam UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Dalam pandangan Kementerian Sosial, penganggaran kesejahteraan sosial Indonesia model ini sebenarnya lebih mengacu kepada penyelenggaraan sosial yang berkembang di Jepang yang memadukan prinsip-prinsip dalam sistem asuransi sosial dan bantuan sosial. Meskipun sistem pendanaan dilakukan berdasarkan sharing across population, pemerintah tetap terlibat baik dalam pengaturan, pengawasan maupun pendanaannya. Namun sebenarnya, pola pendanaan bersama antara pemerintah, pihak swasta (usaha) dan masyarakat sebenarnya merupakan suatu proses redefinisi terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang telah menggejala di banyak negara menjelang abad 21 seperti yang dilaporkan oleh MHLW (1999:4):

Social security is a mechanism basically created for income redistribution and mutual assistance based on the idea of individual independence and support by the social solidarity of people…A regional welfare system comprised of multiple layers of “self-support”, “mutual support” dan “public support” for the entire society to support welfare including families, regional organizationa, companies, and the national and local governments based on the independence of each citizen.

Dari berbagai model yang telah dikembangkan di berbagai negara, Sulastomo (2001) sempat menyarankan agar Indonesia dapat menggunakan pendekatan model Bismarck dalam mengembangkan sistem jaminan sosialnya, karena model ini terbukti mampu mencapai cakupan 100 persen penduduk di banyak negara. Model ini telah diadopsi dan dikembangkan di berbagai negara antara lain Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Korea, Taiwan. Menurut Sulastomo terdapat beberapa prinsip Model Bismarck yang bisa diterap-kembangkan di Indonesia:

Pertama, kepesertaan bersifat wajib terutama terhadap penduduk yang memiliki penghasilan tetap (sektor formal) yang kemudian secara bertahap dikembangkan ke kelompok-kelompok lain (sektor informal) (lihat Suharto, 2002b). Bagi kelompok masyarakat miskin, Jaminan sosial lebih mendekati prinsip bantuan sosial (social assistance) ketimbang asuransi sosial (social insurance). Pemerintah dan DPR perlu merumuskan UU yang khusus mengatur kepesertaan jaminan sosial sehingga memiliki kekuatan hukum.

Kedua, pendanaan ditanggung bersama oleh pekerja, majikan dan pemerintah yang disesuaikan dengan tingkat pendapatan secara proporsional. Keikutsertaan pemerintah di sini dianggap penting terutama untuk menunjang perusahaan-perusahaan skala kecil, para pekerja di sektor informal atau keluarga miskin.

Ketiga, jenis santunan atau benefits dapat berupa in-cash dan in-kind sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik kelompok sasaran. Misalnya, jaminan sosial untuk keluarga miskin diberikan dalam bentuk in-kind (pelayanan kesehatan, pendidikan); sedangkan untuk kelompok usaha kecil, termasuk sektor informal, diberikan dalam bentuk in-cash.

Keempat, meskipun penyelenggaraannya menganut prinsip-prinsip asuransi sosial, jaminan sosial sebaiknya tetap mengedepankan prinsip distribusi pendapatan (vertikal dan horisontal) dan solidaritas sosial antar kelompok dan antar generasi (sektor formal-informal, kaya-miskin, sehat-sakit, tua-muda, dewasa-anak). Dalam hal ini, badan penyelenggara jaminan sosial harus berorientasi untuk tidak mencari keuntungan. Dengan demikian jaminan sosial seharunya tidak dikelola oleh Perseroan Terbatas yang berorientasi mencari keuntungan. Melainkan oleh Badan Wali Amanah yang bertanggungjawab langsung kepada presiden dan melibatkan beragam pemangku kepentingan (stakeholders). Tokoh-tokoh terpecaya dari lembaga pemerintah pusat (Depsos) dan pemerintah lokal (Dinas Sosial), misalnya, dapat bekerjasama dengan Ornop (organisasi non-pemerintah/LSM) dan organisasi-organisasi serikat pekerja untuk terlibat dalam Badan Wali Amanah. Pemberdayaan, pelatihan dan pengintegrasian di antara lembaga-lembaga ini perlu dilakukan sebelumnya untuk mencari platform dan strategi-strategi yang paling tepat.

Seperti dikutip Sulastomo (2004) dari penilaian GTZ di dalam laporan studinya terhadap Bappenas bahwa sebenarnya Indonesia dalam pengembangan sistem kesejahteraan sosialnya menerapkan prinsip-prinsip social state model dengan mengakomodasi prinsip-prinsip welfare state model. Dengan penilaian GTZ tersebut, membenarkannya dengan mendasarkan pada sumber pembiayaan jaminan sosial yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial, dimana masyarakat, pekerja dan pemberi kerja, dalam hal ini termasuk pemerintah sebagai pemberi kerja bagi PNS/anggota TNI/Polri, ikut memberikan iuran dan pajak (negara) bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu. Hal ini merupakan wujud amanat UUD 1945, Pasal 34 ayat 1. Wujudnya, sebagai penerima bantuan iuran, dimana iuran/kontribusinya dibayar oleh negara.

Selain itu, dalam UU 40/2004, seluruh penyelenggaraan program jaminan sosial diselenggarakan dengan pendekatan mengintegrasikan seluruh penyelenggaran program jaminan sosial bagi seluruh rakyat, baik yang mampu maupun tidak mampu. Pendekatannya tidak lagi parsial, baik dari aspek pendekatan kelompok masyarakat maupun jenis manfaat program jaminan sosial, sehingga terbuka peluang mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Itulah yang kemudian menurut Sulastomo menjadi ciri pokok penyelenggaraan program jaminan sosial di Indonesia kini, yang membedakan dengan negara lain.


Anggaran Kesejahteraan Sosial dan Beban Keuangan Negara
Menyoal pandangan pemerintah tentang anggaran kesejahteraan sosial yang akan membebani keuangan negara jika sepenuhnya ditanggung negara sebenarnya tidak memiliki dasar yang cukup kuat, jika saja pemerintah berani berkomitmen untuk menyelenggarakan reformasi anggaran secara sungguh-sungguh.

Sebab sebagaimana diketahui bersama, hampir semua keuangan pemerintah dan daerah (APBN dan APBN) sampai saat ini pengelolaan belanjanya masih dipenuhi dengan inefisensi dan pemborosan yang bersifat luar biasa. Dari catatan FITRA, rata-rata sebagian besar (60-80%) belanja kementerian/lembaga masih digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan birokrasi yang tidak perlu. Masih banyak ditemukan penggunaan anggaran yang bersifat pemborosan dan double budget. Rata-rata pemborosan tersebut terjadi karena hampir semua program selalu menganggarkan honorarium kepanitiaan, ATK, rapat-rapat konsinyasi (luar kantor), tunjangan dan perjalanan dinas yang begitu tinggi. Belum lagi biaya untuk pemeliharaan peralatan kantor, gedung dan kendaraan dinas.

Jika saja belanja untuk kebutuhan birokrasi bisa dipangkas menjadi 40%, seharusnya pencabutan subsidi dan pemangkasan anggaran-anggaran sosial tidak terjadi. Sebaliknya, hasil pemangkasan anggaran birokrasi tersebut dapat direalokasikan kepada anggaran-anggaran kesejahteraan sosial.

Indonesia mungkin dapat mengikuti Selandia Baru. Negara tersebut memang tidak menganut model ideal negara kesejahteraan seperti di negara-negara Skandinavia. Tetapi, penerapan negara kesejahteraan di negara ini terbilang maju diantara negara lain yang menganut model residual. Yang unik, sistem ini tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan strategi ekonomi kapitalisme. Sistem jaminan sosial, pelayanan sosial dan bantuan sosial (income support), misalnya, merupakan bagian dari strategi ekonomi neo liberal dan kebijakan sosial yang terus dikembangkan selama bertahun-tahun.

Penerapan negara kesejahteraan di Selandia Baru dimulai sejak tahun 1930, ketika negara ini mengalami krisis ekonomi luar biasa. Saat itu tingkat pengangguran sangat tinggi, kerusuhan memuncak dan kemiskinan menyebar di mana-mana. Kemudian sejarah mencatat, negara ini keluar dari krisis dan menjadi negara adil-makmur berkat keberanian Michael Joseph Savage, pemimpin partai buruh yang kemudian menjadi perdana menteri tahun 1935, menerapkan negara kesejahteraan yang masih dianut hingga kini. Sebagaimana diabadikan oleh Baset, Sinclair dan Stenson (1995:171):

“The main achievement of Savage’s government was to improve the lives of ordinary families. They did this so completely that New Zealanders changed their ideas about what an average level of comfort and security should be.”

Liberalisasi ekonomi dan mekanisme pasar bebas yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh, sejak tahun 1980 Selandia Baru menjalankan privatisasi dan restrukturisasi organisasi pemerintahan. Namun negara ini tetap memiliki lembaga setingkat departemen (ministry of social welfare) yang mengatur urusan sosial.

Anggaran untuk jaminan dan pelayanan sosial juga cukup besar, mencapai 36% dari seluruh total pengeluaran negara, melebihi anggaran untuk pendidikan, kesehatan maupun Hankam (Donald T. Brash, 1998). Setiap orang dapat memperoleh jaminan hari tua tanpa membedakan apakah ia pegawai negeri atau swasta. Orang cacat dan penganggur selain menerima social benefit sekitar NZ $ 400 setiap dua minggu (fortnightly), juga memperoleh pelatihan dalam pusat-pusat rehabilitasi sosial yang profesional.

Penutup

Meskipun Indonesia secara formal tidak menganut sistem negara kesejahteraan, secara substansial, konstitusinya (Mis: Amandemen UUD45, Pasal 28C; 28H; 34) mengamanatkan bahwa jaminan sosial pada dasarnya merupakan hak-hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara (Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002). Dengan demikian, jika Indonesia akan mengembangkan jaminan sosial yang berbasis masyarakat, negara tidak boleh mengabaikan atau menyerahkan begitu saja sistem ini kepada masyarakat. Karena, selain negara pada dasarnya merupakan representasi masyarakat, dimanapun di seluruh negara, bidang kesejahteraan dan pelayanan sosial merupakan domain dimana peran dan kontribusi negara masih dominan.

Dalam upaya pencapaian kesejahteraan sosial, Pemerintah perlu memperkuat integrasi dan hubungan antara pengelolaan bidang-bidang pembangunan ekonomi (perindustrian, perdagangan, ketenagakerjaan) pembangunan sosial (kesehatan, pendidikan, perumahan) dengan bidang kesejahteraan sosial. Perlu ada rumusan dan kategorisasi yang jelas mengenai sistem jaminan sosial yang bermatra “asuransi sosial” dengan “bantuan sosial”.

Salah satu bentuk keswadayaan masyarakat dalam bidang sosial yang sudah berjalan “alamiah” adalah dalam bidang pendidikan. Masyarakat, termasuk kelas menengah ke bawah, sudah merasakan manfaat pendidikan sebagai modal manusia (human capital) yang berguna sehingga mereka tidak melihat kontribusi dan peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan sebagai beban. Semangat, solidaritas dan tanggungjawab sosial seperti ini bisa menjadi dasar dalam mengembangkan jaminan sosial, karena jaminan sosial pada dasarnya juga merupakan investasi sosial yang berfungsi sebagai mekanisme reproduksi modal manusia. Karenanya, perlu meyakinkan masyarakat bahwa isu-isu seputar pemeliharaan pendapatan, perlindungan kesehatan, tunjangan pendidikan, misalnya, merupakan investasi sosial penting yang dapat menopang keberhasilan pembangunan nasional secara berkelanjutan.

Oleh karena itu, perlu merumuskan kembali makna solidaritas sosial diantara anggota masyarakat melalui peningkatan pemahaman mengenai perlunya membagi tanggungan dan manfaat jaminan sosial bagi kelompok-kelompok dan generasi-generasi yang berbeda.

Pemerintah juga perlu memperkuat sistem jaminan sosial sebagai infrastruktur modal sosial (social capital) bagi masyarakat menuju kehidupan yang stabil. Sejalan dengan menguatnya semangat civil society, menjamurnya organisasi-organisasi sosial merupakan wahana bagi pengentalan modal sosial. Desentralisasi dan otonomi daerah perlu diikuti dengan penguatan integritas dan potensi lokal dalam mengelola sumber-sumber pendanaan bagi jaminan sosial (misalnya, zakat mal) melalui program-program pengembangan masyarakat dan partisipasi sosial.

Dalam hal pembiayaan pembiayaan penganggaran kesejahteraan sosial yang dibebankan kepada negara, pemerintah perlu untuk kembali menyusun rumusan-rumusan penganggaran strategis antara peran pemerintah pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal. Rumusan tersebut khususnya menyangkut pola pembiayaan bersama antara pusat dan daerah khususnya dalam jaminan sosial dan bantuan sosial.

Pemerintah Provinsi Bali mungkin dapat dijadikan salah satu rujukan dalam pembiayaan jaminan sosial khususnya di sektor kesehatan. Sejak tahun 2008, Pemerintah Provinsi Bali telah berhasil mengratiskan hampir semua fasilitas layanan kesehatan termasuk obat-obatan kepada seluruh penduduk Bali tanpa perlu lagi membedakan antara masyarakat mampu dan tidak mampu. Setiap masyarakat Bali diberikan kesempatan yang sama dalam mendapatkan akses kesehatan dengan cukup menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) tanpa diikuti syarat apapun. Jaminan kesehatan yang dipraktikkan oleh Pemerintah Provinsi Bali tersebut diperkenalkan dalam program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM).

Pola penganggaran JKBM diterapkan dengan cara mensinergikan alokasi anggaran jaminan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dari APBN disatukan dengan APBD Provinsi. Agar pembiayaan JKBM dapat tercukupi, Pemerintah Provinsi Bali juga berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Bali untuk ikut membantu dengan cara ikut mengalokasikan anggaran jaminan kesehatan di masing-masing APBD-nya.

Disamping itu, Pemerintah Provinsi Bali bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota terus memangkas anggaran-anggaran yang dianggap pemborosan dan tidak terlalu dibutuhkan khususnya menyangkut anggaran-anggaran aparatur (birokrasi) agar dapat direalokasikan ke dalam anggaran jaminan kesehatan.

Hasilnya, sejak tahun 2009, Pemerintah Provinsi Bali mampu meng-cover semua pembiayaan yang dikeluarkan selama dilaksanakannya JKBM. Bahkan sampai tahun 2010, Pemerintah Provinsi Bali telah mampu meningkatkan pelayanan kesehatan di PUskesmas dengan menambah jam operasional 24 jam disertai penambahan tenaga medis (terutama dokter) dan penambahan infrastruktur berupa alat-alat bedah (operasi) di beberapa Puskesmas. Sehingga setiap masyarakat khususnya yang tinggal di pedesaan dapat lebih mudah dalam mengakses kesehatan.

Senin, 04 April 2011

Menyoal Anggaran Kesehatan Kita

Yenny Sucipto




Global Hunger Index (GHI) menunjukkan posisi Indonesia berada pada situasi kelaparan dan gizi buruk yang mengkhawatirkan. Dari catatan Kemenkes masih terdapat 4,1 juta balita yang menderita gizi buruk dan kurang gizi, itu pun yang terdeteksi. Angka ini tidak beranjak dari tahun-tahun sebelumnya, karena pada tahun 2008 jumlah kasus gizi buruk juga sebesar 4,2 juta. Begitu pula dalam hal kematian ibu masih sangat tinggi, mencapai 307 per 1000 kelahiran hidup, yang berarti masih terdapat 13.778 kematian ibu, atau setiap dua jam terdapat 2 ibu hamil, bersalin, nifas yang meninggal dunia dengan berbagai sebab.

Di ASEAN, angka kematian bayi di Indonesia mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup, ini hampir 5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan Malaysia, atau 2 kali lipat dibandingkan Thailand dan 1,3 kali lipat dibandingkan Philipina. Ironisnya, kasus kematian bayi justru terjadi pada keluarga miskin yang sebagian besar disebabkan tidak dimilikinya akses kesehatan, kurangnya pengetahuan dan ketiadaan biaya.

Wajah Anggaran Kesehatan
Jika dilihat dari alokasi anggaran, sejak APBN 2001 sampai tahun 2010 anggaran kesehatan masih berputar pada angka 2% dari total APBN, bahkan dalam kurun waktu 6 tahun terakhir tidak ada peningkatan berarti. Padahal APBN telah meningkat tajam dari Rp 226 triliun di tahun 2005 menjadi 1.126 triliun di tahun 2010. Anehnya anggaran kesehatan justru mengalami penurunan prosentase dari 3,1% pada tahun 2005 menjadi 2,8% tahun 2010.

Hasil pemetaan anggaran kesehatan dalam APBN 2010 menunjukkan angka Rp 31,78 triliun (2,82% dari total anggaran). Dari total itu, sebesar Rp 11,38 triliun ditransfer ke daerah yang disebarkan ke dalam beberapa jenis dana daerah: Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan Propinsi dan Kabupaten/Kota, BOK untuk Puskesmas, Jamkesmas, DAK Kesehatan dan Dana penyesuaian.

Anggaran terbesar yang ditransfer ke daerah adalah Jamkesemas, totalnya Rp 5,1 triliun (56,63%). Menurut Pemerintah alokasi tersebut ditujukan untuk meng-cover 76,4 juta jiwa orang miskin dan tidak mampu. Tentu saja target sebanyak itu menjadi “besar pasak daripada tiang”karena satu orang miskin hanya di-cover Rp 5 ribu/bulan.

Gizi Buruk dan Anggarannya
Pertama kali Pemerintah Indonesia mengalokasikan anggaran spesifik gizi buruk pada tahun 2005 dengan alokasi sebesar Rp 175 miliar melalui program perbaikan gizi dan digulirkan melalui dana dekonsentrasi. Anggaran ini memang terlampau kecil karena baru tersedia Rp 39 ribu per satu kasus gizi buruk dalam satu tahun. Untungnya pada tahun 2006, anggaran tersebut naik cukup signifikan menjadi Rp 694,5 milyar. Namun sayangnya turun menjadi Rp 600 miliar pada tahun 2007. Besaran alokasi ini terus bertahan sampai tahun 2009, dan kemudian lagi-lagi diturunkan pada tahun 2010 menjadi Rp 449,8 milyar. Tahun 2011 yang awalnya diharapkan anggaran gizi buruk kembali naik justru semakin anjlok menjadi Rp 267,42 milyar. Padahal jumlah kasus gizi buruk 2010 masih berada pada angka 4,1 juta jiwa.

Dari sisi kreatifitas program, jalan keluar penanganan gizi buruk sebagian besar juga masih bersifat parsial dan terjebak pada pola karitatif seperti pemberian multivitamin, biskuit buffer stock dan susu bubuk untuk balita dan ibu hamil. Padahal persoalan gizi buruk berkait erat dengan peningkatan taraf hidup, kemudahan akses kesehatan dan pengetahuan (pendidikan kesehatan). Program-program terintegrasi dan bersifat pengarusutamaan dengan program-program lintas bidang sepertinya belum menjadi paradgima Kemenkes dalam penyelesaian gizi buruk ini.

Pemborosan dan Oligarkhi Politik Anggaran
Kritik lain dalam melihat wajah anggaran kesehatan Indonesia adalah masih banyak program yang bersifat pemborosan dan kesia-siaan.khususnya di program-program yang berada di pos dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang totalnya sebesar Rp 1,86 triliun. Sebab sebagian besar program yang dijalankan ternyata masih habis untuk urusan bersifat teknis aparatur seperti koordinasi dan konsolidasi antar instansi, sosialisasi, monitoring, evaluasi dan bimbingan teknis. Dalam konteks dekonsentrasi dan pembantuan memang pemerintah membutuhkan konsolidasi, koordinasi, evaluasi, monitoring dan bimbingan teknis dalam rangka mengamankan program pusat yang dijalankan di daerah. Namun menjadi tidak wajar jika setiap tahun program ini alokasinya selalu mendominasi sehingga terkesan menjadi boros dan sia-sia terutama dalam program bimbingan teknis yang berulang-ulang setiap tahunnya.

Persoalan minimnya alokasi anggaran kesehatan dan berbagai pemborosan, sebenarnya terletak pada politik anggaran Indonesia yang masih berwatak oligarkhi dan menegasikan kedaulatan rakyat atas anggaran. Disadari atau tidak, dominasi dan hegemoni partai politik dalam lingkar kekuasaan selama ini telah membuat kebijakan anggaran seolah menjadi hak absolut partai politik melalui anggota-anggotanya yang duduk di kekuasaan (legislatif dan eksekutif), seolah tidak ada sangkut pautnya dengan nasib dan masa depan rakyat. Oligharki politik anggaran ini semakin kuat ketika partai politik yang berkuasa lebih memilih membangun koalisi kepentingan (bisnis) dengan kroni-korninya daripada memperjuangkan konstituennya. Wajar jika kebijakan anggaran yang dihasilkan hanya memihak pada kepentingan kroni-kroni partai berkuasa (the rulling party), jauh dari aspirasi dan kebutuhan riil rakyat (miskin).
Kasus penyusunan anggaran kesehatan misalnya sangat jauh dari proses partisipasi. Dari sebaran anggaran kesehatan dalam bentuk transfer daerah, hampir semua plafon anggaran dan program-programnya telah ditetapkan secara subyektif oleh Pemerintah Pusat. Bahkan untuk Dana Penyesuaian (DPDF&PPD dan DPIPD) lebih parah lagi karena besaran alokasi dan daerah penerima ditetapkan sepihak oleh Menteri Keuangan dan Badan Anggaran DPR-RI. Oleh karena itu Dana Penyesuaian ini sebaiknya dihapus, karena selain tidak memiliki dasar hukum dalam peraturan perundang-undangan juga sulit untuk dipantau dan dikontrol oleh masyarakat karena pembahasan dan penetapannya bersifat tertutup antara Menkeu dan Banggar sehingga cenderung menjadi “dana siluman”.

Dengan melihat berbagai kendala wajah (anggaran) kesehatan Indonesia, memang sudah waktunya bagi pemerintah untuk menyusun suatu sistem perencanaan dan penyusunan program dan anggaran kesehatan yang lebih partisipatif dan peka terhadap realitas kesehatan masyarakat Indonesia. Sehingga masalah ketiadaan dan keterbatasan anggaran tidak lagi menjadi alasan untuk menghindar dari kewajiban negara (pemerintah) dalam pemenuhan hak rakyat atas kesehatan. Efektifitas anggaran dengan pemangkasan belanja aparatur disertai dengan program-program yang lebih menyentuh akar persoalan diharapkan dapat menjadi salah satu kunci dalam menjawab keterbatasan anggaran kesehatan yang selama ini dikeluhkan.