Senin, 04 April 2011

Menyoal Anggaran Kesehatan Kita

Yenny Sucipto




Global Hunger Index (GHI) menunjukkan posisi Indonesia berada pada situasi kelaparan dan gizi buruk yang mengkhawatirkan. Dari catatan Kemenkes masih terdapat 4,1 juta balita yang menderita gizi buruk dan kurang gizi, itu pun yang terdeteksi. Angka ini tidak beranjak dari tahun-tahun sebelumnya, karena pada tahun 2008 jumlah kasus gizi buruk juga sebesar 4,2 juta. Begitu pula dalam hal kematian ibu masih sangat tinggi, mencapai 307 per 1000 kelahiran hidup, yang berarti masih terdapat 13.778 kematian ibu, atau setiap dua jam terdapat 2 ibu hamil, bersalin, nifas yang meninggal dunia dengan berbagai sebab.

Di ASEAN, angka kematian bayi di Indonesia mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup, ini hampir 5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan Malaysia, atau 2 kali lipat dibandingkan Thailand dan 1,3 kali lipat dibandingkan Philipina. Ironisnya, kasus kematian bayi justru terjadi pada keluarga miskin yang sebagian besar disebabkan tidak dimilikinya akses kesehatan, kurangnya pengetahuan dan ketiadaan biaya.

Wajah Anggaran Kesehatan
Jika dilihat dari alokasi anggaran, sejak APBN 2001 sampai tahun 2010 anggaran kesehatan masih berputar pada angka 2% dari total APBN, bahkan dalam kurun waktu 6 tahun terakhir tidak ada peningkatan berarti. Padahal APBN telah meningkat tajam dari Rp 226 triliun di tahun 2005 menjadi 1.126 triliun di tahun 2010. Anehnya anggaran kesehatan justru mengalami penurunan prosentase dari 3,1% pada tahun 2005 menjadi 2,8% tahun 2010.

Hasil pemetaan anggaran kesehatan dalam APBN 2010 menunjukkan angka Rp 31,78 triliun (2,82% dari total anggaran). Dari total itu, sebesar Rp 11,38 triliun ditransfer ke daerah yang disebarkan ke dalam beberapa jenis dana daerah: Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan Propinsi dan Kabupaten/Kota, BOK untuk Puskesmas, Jamkesmas, DAK Kesehatan dan Dana penyesuaian.

Anggaran terbesar yang ditransfer ke daerah adalah Jamkesemas, totalnya Rp 5,1 triliun (56,63%). Menurut Pemerintah alokasi tersebut ditujukan untuk meng-cover 76,4 juta jiwa orang miskin dan tidak mampu. Tentu saja target sebanyak itu menjadi “besar pasak daripada tiang”karena satu orang miskin hanya di-cover Rp 5 ribu/bulan.

Gizi Buruk dan Anggarannya
Pertama kali Pemerintah Indonesia mengalokasikan anggaran spesifik gizi buruk pada tahun 2005 dengan alokasi sebesar Rp 175 miliar melalui program perbaikan gizi dan digulirkan melalui dana dekonsentrasi. Anggaran ini memang terlampau kecil karena baru tersedia Rp 39 ribu per satu kasus gizi buruk dalam satu tahun. Untungnya pada tahun 2006, anggaran tersebut naik cukup signifikan menjadi Rp 694,5 milyar. Namun sayangnya turun menjadi Rp 600 miliar pada tahun 2007. Besaran alokasi ini terus bertahan sampai tahun 2009, dan kemudian lagi-lagi diturunkan pada tahun 2010 menjadi Rp 449,8 milyar. Tahun 2011 yang awalnya diharapkan anggaran gizi buruk kembali naik justru semakin anjlok menjadi Rp 267,42 milyar. Padahal jumlah kasus gizi buruk 2010 masih berada pada angka 4,1 juta jiwa.

Dari sisi kreatifitas program, jalan keluar penanganan gizi buruk sebagian besar juga masih bersifat parsial dan terjebak pada pola karitatif seperti pemberian multivitamin, biskuit buffer stock dan susu bubuk untuk balita dan ibu hamil. Padahal persoalan gizi buruk berkait erat dengan peningkatan taraf hidup, kemudahan akses kesehatan dan pengetahuan (pendidikan kesehatan). Program-program terintegrasi dan bersifat pengarusutamaan dengan program-program lintas bidang sepertinya belum menjadi paradgima Kemenkes dalam penyelesaian gizi buruk ini.

Pemborosan dan Oligarkhi Politik Anggaran
Kritik lain dalam melihat wajah anggaran kesehatan Indonesia adalah masih banyak program yang bersifat pemborosan dan kesia-siaan.khususnya di program-program yang berada di pos dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang totalnya sebesar Rp 1,86 triliun. Sebab sebagian besar program yang dijalankan ternyata masih habis untuk urusan bersifat teknis aparatur seperti koordinasi dan konsolidasi antar instansi, sosialisasi, monitoring, evaluasi dan bimbingan teknis. Dalam konteks dekonsentrasi dan pembantuan memang pemerintah membutuhkan konsolidasi, koordinasi, evaluasi, monitoring dan bimbingan teknis dalam rangka mengamankan program pusat yang dijalankan di daerah. Namun menjadi tidak wajar jika setiap tahun program ini alokasinya selalu mendominasi sehingga terkesan menjadi boros dan sia-sia terutama dalam program bimbingan teknis yang berulang-ulang setiap tahunnya.

Persoalan minimnya alokasi anggaran kesehatan dan berbagai pemborosan, sebenarnya terletak pada politik anggaran Indonesia yang masih berwatak oligarkhi dan menegasikan kedaulatan rakyat atas anggaran. Disadari atau tidak, dominasi dan hegemoni partai politik dalam lingkar kekuasaan selama ini telah membuat kebijakan anggaran seolah menjadi hak absolut partai politik melalui anggota-anggotanya yang duduk di kekuasaan (legislatif dan eksekutif), seolah tidak ada sangkut pautnya dengan nasib dan masa depan rakyat. Oligharki politik anggaran ini semakin kuat ketika partai politik yang berkuasa lebih memilih membangun koalisi kepentingan (bisnis) dengan kroni-korninya daripada memperjuangkan konstituennya. Wajar jika kebijakan anggaran yang dihasilkan hanya memihak pada kepentingan kroni-kroni partai berkuasa (the rulling party), jauh dari aspirasi dan kebutuhan riil rakyat (miskin).
Kasus penyusunan anggaran kesehatan misalnya sangat jauh dari proses partisipasi. Dari sebaran anggaran kesehatan dalam bentuk transfer daerah, hampir semua plafon anggaran dan program-programnya telah ditetapkan secara subyektif oleh Pemerintah Pusat. Bahkan untuk Dana Penyesuaian (DPDF&PPD dan DPIPD) lebih parah lagi karena besaran alokasi dan daerah penerima ditetapkan sepihak oleh Menteri Keuangan dan Badan Anggaran DPR-RI. Oleh karena itu Dana Penyesuaian ini sebaiknya dihapus, karena selain tidak memiliki dasar hukum dalam peraturan perundang-undangan juga sulit untuk dipantau dan dikontrol oleh masyarakat karena pembahasan dan penetapannya bersifat tertutup antara Menkeu dan Banggar sehingga cenderung menjadi “dana siluman”.

Dengan melihat berbagai kendala wajah (anggaran) kesehatan Indonesia, memang sudah waktunya bagi pemerintah untuk menyusun suatu sistem perencanaan dan penyusunan program dan anggaran kesehatan yang lebih partisipatif dan peka terhadap realitas kesehatan masyarakat Indonesia. Sehingga masalah ketiadaan dan keterbatasan anggaran tidak lagi menjadi alasan untuk menghindar dari kewajiban negara (pemerintah) dalam pemenuhan hak rakyat atas kesehatan. Efektifitas anggaran dengan pemangkasan belanja aparatur disertai dengan program-program yang lebih menyentuh akar persoalan diharapkan dapat menjadi salah satu kunci dalam menjawab keterbatasan anggaran kesehatan yang selama ini dikeluhkan.