Senin, 24 September 2012

ANGGARAN KESEJAHTERAAN SOSIAL, PEREMPUAN DAN ANAK R-APBN 2012: “POLITIK ANGGARAN TANPA POLITICAL WILL”,

Oleh: Yenny sucipto

 
1.      Politik Kesejahteraan Sosial: Beban Ganda Kemiskinan

Kebijakan penganggaran kesejahteraan sosial di Indonesia sebenarnya dapat dilihat di dalam UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang mulai terlihat mengarah kepada model penganggaran residual seperti yang dipraktikkan di negara-negara anglo saxon. Penganggaran residual membawa ciri penyelenggaraan jaminan sosial yang lebih diprioritaskan kepada kelompok rentan (rakyat miskin, cacat, pengangguran). Diluar kelompok tersebut, jaminan sosial tetap diselenggarakan, namun penganggarannya tidak lagi dibebankan kepada Negara, namun ditanggung secara bersama-sama antara pemerintah, swasta dan pekerja.[1]

Penganggaran kesejahteraan sosial seperti ini memang hampir mirip seperti yang diselenggarakan di Jepang, yang memadukan prinsip-prinsip dalam sistem asuransi sosial dan bantuan sosial. Meskipun sistem pendanaan dilakukan berdasarkan sharing across population, pemerintah tetap terlibat baik dalam pengaturan, pengawasan maupun pendanaannya. Pola pendanaan bersama antara pemerintah, pihak swasta (usaha) dan masyarakat ini sebenarnya telah lama menggejala di banyak negara menjelang abad 21 seperti yang dilaporkan oleh MHLW (1999:4):

 Social security is a mechanism basically created for income redistribution and mutual assistance based on the idea of individual independence and support by the social solidarity of people…A regional welfare system comprised of multiple layers of “self-support”, “mutual support” dan “public support” for the entire society to support welfare including families, regional organizationa, companies, and the national and local governments based on the independence of each citizen.

Perubahan menuju pengganggaran residual ini sebenarnya bertentangan dengan konstitusi dan cita-cita ideologis yang mengamanatkan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Perubahan ini lebih banyak dipengaruhi oleh ketidakmampuan negara dalam penyediaan anggaran yang dibutuhkan (keterbatasan anggaran). Oleh karena itu, pemerintah kemudian mencoba melepaskan sebagian tanggung jawabnya dengan cara hanya memberikan kesejahteraan sosial (jaminan sosial khususnya) kepada rakyat miskin saja.

Perubahan paradigma penganggaran kesejahteraan sosial demikian akhirnya membawa dampak berubahnya politik penganggaran kesejahteraan sosial di Indonesia. Berbagai subsidi yang tidak spesifik untuk rakyat miskin, khususnya subsidi energi (BBM dan listrik) dihapus secara bertahap. Kebijakan penghapusan ini telah dimulai sejak tahun 2008 lalu, dengan menurunkan prosentase subsidi energi dari 26,56% pada tahun 2007 menjadi 22,62% di tahun 2008. Bahkan pada tahun berikutnya (2009) prosentasenya tinggal 10,09% saja.  Sayangnya (atau untungnya) di tahun 2010 terjadi lonjakan harga minyak bumi yang sempat tak terkendali, sehingga kebijakan penghapusan subsidi energi sempat tersendat, karena pemerintah mau tidak mau harus menyesuaikan anggaran subsidi energi dengan kenaikan harga minyak bumi yang terjadi. Itulah kenapa pada tahun 2010 subsidi energi sempat naik menjadi 13,82% dan kembali naik menjadi 15,22% pada 2011. Namun karena sejak awal kenaikan tersebut berangkat dari “keterpaksaan” (bukan kebijakan), menjadi wajar jika pada tahun 2012 pemerintah kembali menurunkannya menjadi 11,89% seiring dengan harga minyak bumi yang mulai kembali stabil.
 
Penurunan kembali belanja subsidi energi 2012 adalah kembalinya pemerintah kepada komitmen awal untuk menghapus subsidi-subsidi yang tidak spesifik rakyat miskin dalam rangka penerapan kesejahteraan sosial residual. Kebijakan yang sudah pasti berakibat semakin miskinnya rakyat miskin karena arus inflasi. Namun pemerintah kembali berjanji dan menjamin akan merealokasi pemangkasan anggaran subsidi untuk bantuan-bantuan sosial bagi rakyat miskin, sehingga mereka terhindar dari dampak inflasi dengan diperbesarnya anggaran kesejahteraan sosial non subsidi.

Sayangnya, jaminan pemerintah ini masih lebih banyak bersifat lips services daripada bukti nyatanya. Karena selama 5 (lima) tahun terakhir anggaran kesejahteraan sosial tetap tidak mengalami peningkatan berarti,  cenderung stagnan bahkan menurun. Fakta konkrit, ketika pemerintah mencabut sebagian subsidi BBM pada tahun 2008 seharusnya anggaran kesejahteraan sosial naik karena mendapatkan tambahan anggaran dari hasil realokasi pengurangan subsidi. Kenyataannya malah turun begitu tajam dari 8,02% pada tahun 2007 menjadi 4,32% saja pada tahun 2008. Dan saat ini (2012) kebijakan ini diulangi lagi oleh Pemerintah. Jika pada tahun 2011 anggaran kesos mulai membaik menjadi 5,56%, tahun 2012 kembali diturunkan menjadi 5,16%.

 Begitu pula dengan berbagai subsidi spesifik rakyat miskin (subsidi pangan, pupuk, benih, minyak goreng, kedelai dan kredit program) yang berkait langsung dengan nasib kesejahteraan sosial rakyat miskin, yang seharusnya tetap dipertahankan ternyata juga dipangkas oleh pemerintah. Ini terlihat dari turunnya anggaran subsidi non energi dari 4,67% (Rp 57,4 triliun) pada tahun 2011 menjadi 2,84% (Rp 40,3 triliun) pada tahun 2012. Bahkan saat pemerintah mencabut subsidi BBM 2008, yang seharusnya dikompensasi dengan naiknya subsidi non energi, justru ikut turun dari 5,3% menjadi 4,64%. Satu-satunya kenaikan subsidi non energi hanya terjadi di tahun 2010 menjadi 5,5%, setelah itu terus turun. Bahkan subsidi minyak goreng dan kedelai telah dihapus sejak tahun 2008 lalu.

Jika mengacu kepada UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, program kesejahteraan sosial di Indonesia terbagi ke dalam 4 (empat) bidang, yaitu: perlindungan sosial (social security), jaminan sosial (social insurance), pemberdayaan sosial (social assistance), dan rehabilitasi sosial (social rehabilitation).

Dalam R-APBN 2012, anggaran kesejahteraan sosial (kesos) dari keempat bidang di atas total alokasinya hanya sebesar Rp 73,16 triliun (5,16%), tersebar di berbagai program dan sektor (lihat grafik 5). Prosentase ini memang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran bagi kesejahteraan pegawai yang di R-APBN 2012 telah mencapai 15,12%. Alokasi anggaran kesos terbesar berada di 5 (lima) program, yaitu: BOS (Rp 23,6 triliun), Raskin (Rp 15,6 triliun), PNPM (Rp 12,3 triliun), Jamkesmas (Rp 5,9 triliun) dan PKH (Rp 2,1 triliun).

Ironisnya secara keseluruhan, anggaran-anggaran kesos pada R-APBN 2012 hampir semuanya mengalami penurunan prosentase. Hanya program BOS dan PKH saja yang mengalami kenaikan, itupun tidak signifikan (lihat grafik 4).

 Program Beras Miskin misalnya, yang awalnya di tahun 2011 masih mendapatkan alokasi Rp 16,2 triliun (1,32%), pada tahun 2012 diturunkan menjadi Rp 15,6 triliun, yang digunakan untuk meng-cover  17,3 juta orang miskin. Padahal pada tahun 2008 cakupan raskin telah mencapai 19,1 juta, sayangnya wilayah cakupan raskin ini terus menurun sampai tahun 2012, padahal angka kemiskinan di Indonesia dalam 5 tahun terakhir tidak mengalami tingkat penurunan berarti, sehingga tidak semestinya alokasi anggaran dan cakupan Raskin diperkecil.

Begitu pula dengan program Jamkesmas, dalam R-APBN 2012 juga duturunkan dari Rp 6,3 triliun (pada tahun 2011) menjadi Rp 5,9 triliun. Penurunan ini tentu akan semakin mempersulit rakyat miskin dalam memperoleh akses kesehatan. Sebab dengan Rp 5,9 triliun tersebut setiap orang miskin hanya akan mendapat alokasi Rp 6.435 per bulannya. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan asuransi kesehatan yang dimiliki PNS, TNI dan Polri yang telah mencapai Rp 35 ribu per bulannya.

Jika dilihat dari program-program kesejahteraan sosial yang berada di bawah Kemensos juga tidak ada bedanya. Satu-satunya program jaminan sosial yang ditangani Kemensos adalah Bantuan Tunai Bersyarat dan Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos). Bantuan Tunai Bersyarat diperuntukkan bagi rumah tangga sangat miskin dengan total anggaran Rp 2,1 triliun. Program tersebut saat ini dikenal dengan Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini pun hanya mampu meng-cover 1,5 juta rumah tangga saja dengan alokasi tidak lebih dari Rp 100 ribu per bulan. Begitu pula dengan Askesos, dengan anggaran hanya sebesar Rp 30 milyar, Kemensos hanya bisa menargetkan Askesos bagi 50.800 jiwa saja.

Di luar itu, Kemensos memang masih memiliki satu program bantuan sosial lagi yaitu pemberian modal usaha kepada masyarakat miskin yang digabung ke dalam kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE). Untuk tahun 2012 anggarannya sebesar Rp 218,1 milyar diperuntukan bagi 9.311 kelompok fakir miskin. Selebihnya, program kesejahteraan sosial Kemensos tetap setia dengan paradigma lama yang masih memandang rakyat miskin dengan profesi pengemis, gelandangan, PSK sebagai penyakit sosial yang perlu direhabilitasi. Oleh karena itu, Kemensos memiliki suatu direktorat jenderal (ditjen) yang khusus menangani rehabilitasi. Dalam praktiknya, program rehabilitasi sosial seringkali berjalan beriringan dengan program-program ketentraman dan ketertiban umum (penggusuran dan penertiban). Rehabilitasi sosial seringkali dilakukan melalui pembinaan, penyuluhan dan pemberian keterampilan di panti-panti sosial. Anggarannya tergolong cukup besar karena mencapai 930,4 milyar jika dibandingkan dengan program pemberdayaan sosial dan penanggulangan kemiskinan yang hanya sebesar Rp 754,8 milyar. Dengan perbandingan angka ini dapat dibaca bahwa pemerintah ternyata lebih memilih prioritasi penertiban (baca: penggarukan) pengemis, gelandangan dan PSK daripada memberikan bantuan dan perlindungan sosial kepada mereka sebagai kelompok rentan.

Kesejahteraan Sosial Residual: Beban Ganda Kemiskian. Meskipun Indonesia secara formal tidak menganut sistem negara kesejahteraan, secara substansial, konstitusinya (Pasal 28C; Pasal 28Hdan Pasal 34) mengamanatkan bahwa jaminan sosial pada dasarnya merupakan hak-hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara (Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002). Dengan demikian, jika Indonesia akan mengembangkan jaminan sosial yang berbasis masyarakat, negara tidak boleh mengabaikan atau menyerahkan begitu saja sistem ini kepada rakyat. Karena, selain negara pada dasarnya merupakan representasi rakyat, dimanapun di seluruh negara, bidang kesejahteraan dan pelayanan sosial merupakan domain dimana peran dan kontribusi negara masih dominan.

Model penganggaran kesejahteraan residual yang coba dipraktikkan saat ini, yang hanya memprioritaskan kesejahtearan sosial kepada rakyat miskin, seharusnya diikuti dengan jaminan terpenuhinya hak-hak sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan bagi rakyat miskin. Namun dalam praktiknya, ternyata pemerintah tetap tidak mampu memenuhinya. Anggaran kesejahteraan sosial bagi rakyat miskin tetap kecil dan terbatas. Akibatnya, pencabutan subsidi BBM sebagai bagian dari kebijakan penggaraan kesejahteraan residual berdampak semakin miskinnya rakyat miskin, sebab di satu sisi terbebani dengan dicabutnya subsidi BBM yang berdampak pada inflasi, di sisi yang lain anggaran yang seharusnya mampu mengcover kesejahteraan sosial mereka tetap terbatas (kalaupun terjadi peningkatan tetap tidak sebanding dengan laju inflasi yang terjadi).


2.      Penganggaran Kesejahteraaan Perempuan dan Anak: Politik Anggaran tanpa Political Will

Penganggaran kesejahteraan perempuan dan anak (di luar anggaran kesehatan ibu dan anak) jika dilihat dari prosentasenya terhadap total belanja APBN selalu berada di bawah 0,5%, dan itupun sebagian besar dipergunakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk (program Keluarga Berencana), bukan untuk program-program perlindungan maupun pemberdayaan perempuan dan anak miskin.


Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2011), anggaran kesejahteraan sosial secara nominal memang naik dari Rp 4,83 triliun menjadi Rp Rp 5,40 triliun, namun secara prosentase terhadap total belanja justru turun dari 0,39% menjadi 0,38%.

Ketimpangan Jender di Indonesia dan Penganggarannya. Dalam konstruksi budaya patriarkhi, kelompok perempuan selalu menjadi kelompok termiskin dari rakyat miskin, karena selain termiskinkan oleh kebijakan, mereka juga termiskinkan oleh stereotip dan kultur yang masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki sehingga termarjinalkan dari segala akses sumberdaya. Konstruksi budaya patriarki ini telah berdampak pada ketimpangan jender yang berlarut-larut. Berdasarkan data BPS 2000, perbedaan kemampuan membaca menulis antara laki-laki dan perempuan di Indonesia masih tinggi dengan perbandingan 56,9% : 88,1%. Ketimpangan ini secara tidak langsung telah memberikan konstribusi terhadap timpangnya perbandingan laki-laki dan perempuan yang bekerja pada sektor informal  dengan perbandingan 29,6% : 39,2%.

Ketimpangan jender yang mengakibatkan tertinggalnya kaum perempuan terhadap laki-laki di Indonesia ternyata tidak pernah disikapi serius oleh pemerintah. Hal ini dapat terlihat dari berbagai program-program peningkatan kesejahteraan perempuan, anggarannya lebih banyak dihabiskan untuk program Keluarga Berencana (KB) saja. Program-program yang bersifat pemberdayaan perempuan dan anak, serta pelayanan sosial selalu mendapatkan prosentase kecil (lihat grafik 6).

 Program pemberdayaan perempuan yang disusun oleh pemerintah pun, disamping anggarannya yang begitu kecil, juga sebatas kepada program pengarusutamaan jender disetiap kementerian/lembaga. Dan itu terus berlangsung selama bertahun-tahun sejak jaman Orde Baru, seolah paradigma patriarkhi di internal pemerintah tidak akan pernah hilang. Akibatnya hampir tidak ada satu pun program yang benar-benar memberdayakan perempuan dan anak (yang tidak sebatas pengarusutamaan) selama ini di dalam APBN.

Dalam hal perlindungan kepada perempuan misalnya. Berdasarkan temuan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), angka kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan setiap tahun masih tinggi. Data tahun 2010, dilaporkan masih terdapat 105.103 kasus kekerasan, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data kasus yang terjadi di tahun 2007 sebanyak 34.665 kasus. Namun hampir tidak ada anggaran untuk memberikan perlindungan ini. Dalam R-APBN 2012, program khusus perlindungan perempuan hanya tersedia Rp 9,7 milyar dan itupun sebagian besar (Rp 6,3 milyar) akan digunakan untuk menutupi biaya kantor Komnas Perempuan. Otomatis hanya tersedia Rp 3,4 milyar saja yang dapat dipakai Komnasi Perempuan untuk melaksanakan program perlindungan selama tahun 2012. Padahal program-program perlindungan yang menjadi tanggung jawab Komnas Perempuan begitu luas mencakup advokasi kebijakan, pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, pengaduan dan dokumentasi aduan kekerasan, hingga pemberian konseling bagi perempuan korban kekerasan.  Dengan tidak sebandingnya anggaran perlindungan dengan tugas dan tanggung jawab Komnas Perempuan tersebut, membuat kebijakan dan kegiatan perlindungan terhadap perempuan terancam lumpuh karena ketiadaan anggaran.

Begitu pula dalam hal perlindungan anak, dari anggaran sebesar Rp 38,6 milyar di KPP dan PA, sebagian besar habis digunakan di internal KPPA dan PA saja untuk harmonisasi kebijakan perlindungan anak. Sehingga KPAI juga harus mengalami nasib yang sama seperti Komnas Perempuan, tidak mampu bergerak karena ketiadaan anggaran.

Penganggaran Kesehatan Ibu dan Anak. Selain kekerasan terhadap perempuan dan anak, persoalan ancaman kematian karena rendahnya derajat dan akses kesehatan  mengakibatkan angka kematian ibu dan anak masih tinggi. Sampai tahun 2010 angka kematian ibu  masih mencapai 228 dari 1.000 proses persalinan. Begitu pula dengan angka kematian anak masih mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup, hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan angka kematian bayi di Malaysia, 2 kali lipat dibandingkan Thailand dan 1,3 kali lipat dibandingkan Philipina. Belum lagi kasus gizi buruk, pada tahun 2010 saja masih tercatat 4,1 juta kasus gizi buruk yang terdeteksi.

Di dalam R-APBN 2012, dari Rp 28,8 triliun anggaran Kemenkes, anggaran yang langsung digunakan untuk penanggulangan kematian ibu dan bayi dititipkan ke dalam program Jamkesmas dalam bentuk jaminan persalinan (jampersal) sebesar 1,6 triliun. Jampersal tersebut diperuntukkan bagi ibu miskin yang belum ter-cover dalam Jamkesmas. Sayangnya program jampersal ini baru meliputi 10 klaim saja (yang berarti baru mencakup 10 kabupaten/kota). Sementara untuk penanggulangan kasus kurang gizi dan gizi buruk, pengangarannya dimasukkan ke dalam bagian program bina gizi dan kesehatan ibu dan anak dengan total anggaran Rp 2 triliun. Sayangnya sebagian besar program ini anggarannya masih digunakan untuk kebutuhan sosialisasi dan layanan perkantoran saja. Anggaran yang benar-benar digunakan langsung untuk perbaikan gizi hanya terdapat di sub program pengadaan makanan tambahan sebesar Rp 37 milyar dan pelatihan bagi tenaga kesehatan sebesar Rp 13,3 milyar.

3.      Rekomendasi
-     Politik penganggaran kesejahteraan sosial residual dengan menghapus segala subsidi bersifat umum harus diikuti dengan pemenuhan anggaran kesejahteraan sosial bagi rakyat miskin di dalam APBN. Prioritas pertama yang harus dipenuhi negara adalah terpenuhinya hak-hak dasar (ekonomi, pendidikan dan kesehatan) rakyat miskin. Hak-hak dasar seyogyanya lebih banyak difokuskan kepada jaminan sosial di bidang pendidikan dan kesehatan daripada bantuan-bantuan sosial yang bersifat karitatif. Kalaupun bantuan-bantuan sosial tetap dipertahankan seharusnya sudah mulai beranjak dari karitatif mengarah kepada upaya-upaya membangun kemandirian ekonomi rakyat miskin. Bantuan sosial bersifat pemberdayaan ekonomi terhadap rakyat miskin tentunya juga hanya bisa berlaku efektif jika disertai pemberian perlindungan usaha miskin dari hukum pasar.
-  Anggaran kesejahteraan perempuan seharusnya tidak lagi stagnan pada upaya pengarusutamaan jender saja. Sudah waktunya bagi pemerintah untuk menyusun program-program pemberdayaan perempuan dalam rangka memberikan hak-hak ekonomi, pendidikan dan kesehatan kepada perempuan yang lebih baik. Dengan demikian, cara pandang pemerintah dalam memandang urusan perempuan dan anak  tidak lagi sebatas program KB saja, yang sebenarnya tidak berkaitan dengan hak perempuan, kecuali sebatas memaksa perempuan menjadi obyek kontrasepsi daripada laki-laki.


[1] Lihat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.