Selasa, 11 Desember 2012

OTONOMI KALAP


Oleh Yenny Sucipto

Otonomi daerah sejak awal memang tidak didesain untuk percepatan pembangunan di seluruh daerah sebagaimana yang menjadi tujuan desentralisasi pada umumnya, tetapi lebih pada upaya meredam ancaman disintegrasi yang mencuat tajam pasca reformasi. Itulah kenapa wajah desentralisasi fiskal selama ini lebih terfokus kepada sharing keuangan antara pusat dengan daerah kaya SDA saja, bukan pada upaya pembagian keuangan yang lebih merata dan adil antar daerah.

Dengan membagi sebagian pendapatan negara sektor SDA kepada daerah (penghasil SDA) maka tidak ada alasan lagi bagi daerah untuk menuntut keluar dari NKRI. Dampaknya sudah pasti pendapatan antar daerah menjadi timpang. Dan ketimpangan ini bersifat tajam, sebab dari 497 kab/kota hanya 64 kabupaten saja yang memiliki SDA (ditambah 38 kota penghasil pajak skala besar). Sisanya 395 kab/kota hidup matinya sangat bergantung pada “pemberian” pusat. Ini dibuktikan dari wajah APBD kab/kota miskin yang rata-rata prosentase PAD-nya hanya 1-5% dari total pendapatan.

DAU dan DAK Tidak Menjawab Ketimpangan
Model desentralisasi fiskal seperti di atas, memang sangat tidak adil bagi daerah miskin karena mereka tidak diperbolehkan ikut menikmati DBH. Satu-satunya harapan mereka adalah bergantung kepada DAU dan DAK dengan prosentase rata-rata 70-95% dari total pendapatan.

Namun DAU yang diharapkan bisa menutupi ketiadaan anggaran pembangunan (celah fiskal) ternyata juga tidak dipenuhi oleh pusat dengan alasan keterbatasan anggaran. Rata-rata DAU yang diterima daerah sebagian besar (80-90%) hanya cukup untuk membayar gaji PNS saja (alokasi dasar). Sehingga hampir tidak ada anggaran yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan.

Begitu pula dengan DAK, yang juga diharapkan menjadi tumpuan pendapatan daerah miskin ternyata bersifat absurd. Jika sebelumnya hanya daerah tertentu saja (daerah miskin, tertinggal dan terpencil) yang menerima DAK, sekarang semua kab/kota. Akhirnya DAK justru semakin mempertimpang antara daerah kaya dan miskin. Selain itu juga tidak adil. Jika daerah miskin “diharamkan” ikut menikmati DBH, kenapa daerah kaya “dihalalkan” ikut menikmati DAK.

Perda Inkonstitusional dan PAD yang Kalap
Solusi menghadapi ketiadaan anggaran pembangunan di daerah miskin memang belum terpecahkan, kecuali sebatas menggenjot PAD secara paksa. Penggenjotan inilah yang menjadi permasalahan antara pusat dan daerah saat ini. Bagi pusat, penggenjotan PAD yang membuat ekonomi biaya tinggi –selain menyalahi UU Pajak dan Retribusi Daerah– juga merugikan kepentingan nasional. Sebab dalam jangka panjang akan mengancam pertumbuhan investasi di seluruh daerah. Sebaliknya bagi daerah, jika PAD tidak digenjot, justru daerah lah yang dalam jangka panjang akan terancam kelangsungannya.

Persoalan ini menjadi semakin pelik karena banyak daerah yang kalap sehingga tidak mau menghentikan pembuatan perda-perda yang menyalahi aturan tersebut. Sudah puluhan ribu perda yang dibatalkan pemerintah, namun masih saja terdapat perda-perda baru yang sejenis yang diterbitkan oleh daerah. Sudah triliunan rupiah yang terbuang percuma, jika pemerintah hanya sebatas mencabut tanpa mencarikan jalan keluar dikhawatirkan akan banyak daerah gagal menjadi daerah otonom. Jika demikian, maka tidak ada jalan lain bagi pemerintah selain harus menghapus daerah tersebut untuk kemudian digabungkan dengan daerah lain.

Otonomi Berkeadilan Menjawab Otonomi yang Kalap
Persoalan ketimpangan keuangan antar daerah yang mengakibatkan banyaknya daerah (miskin) yang kalap dalam membangun kemandirian fiskalnya, sebenarnya dapat diselesaikan dengan lebih mudah jika saja pemerintah mau meninjau kembali politik desentralisasi (fiskal) yang diterapkan selama ini. Jika melihat perkembangan otonomi daerah yang telah berlangsung selama 12 tahun, seharusnya titik tekan politik desentralisasi tidak lagi pada isu disintegrasi, tetapi harus sudah mulai beranjak kepada isu keadilan dan pemerataan antar daerah.

Jika demikian, maka tidak ada alasan lagi bagi Pemerintah untuk tidak memenuhi celah fiskal daerah miskin, walaupun dengan alasan keterbatasan anggaran sekalipun. Sebab celah fiskal adalah satu-satunya harapan bagi daerah miskin dalam menyelenggarakan pembangunannya. Selama celah fiskal tidak dipenuhi, maka selama itu pula daerah akan terus kalap mencari uang –yang salah satunya sudah kita lihat– dilakukan dengan cara “melawan” pemerintah, membuat Perda yang sengaja menabrak UU Pajak dan Retribusi Daerah. Lebih jauh dari itu, ke depan DAU seyogyanya juga diimbangi dengan indikator Human Development Indeks (HDI) setiap daerah, karena HDI masih menjadi indikator yang paling signifikan untuk menentukan tingkat kemiskinan dan ketertinggalan suatu daerah selama ini.

Begitu pula dengan DAK, seyogyanya dikembalikan kepada ciri awalnya yang bersifat khusus. Sehingga DAK hanya diberikan kepada daerah-daerah yang benar-benar miskin, tertinggal dan terpencil saja. Dengan demikian, maka prosentase DAK yang diterima daerah miskin tentunya akan lebih besar karena tidak perlu lagi berbagi dengan daerah kaya.

Dan terakhir, Dana Penyesuaian yang saat ini menjadi komponen baru yang dikeluarkan pemerintah dalam upaya membantu daerah miskin dan tertinggal, sebaiknya dihentikan. Sebab selain tidak memiliki dasar hukum, juga tidak memiliki indikator daerah yang berhak menerima kecuali diputuskan secara sepihak antara Banggar-DPR dan Menkeu, sehingga hanya akan menyuburkan praktik mafia anggaran di tubuh pemerintah dan DPR saja.



[1] Yenny Sucipto, Direktur Riset, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)