1.
Politik
Kesejahteraan Sosial: Beban Ganda Kemiskinan
Kebijakan penganggaran
kesejahteraan sosial di Indonesia sebenarnya dapat dilihat di dalam UU No.11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang mulai terlihat mengarah kepada
model penganggaran residual seperti yang dipraktikkan di negara-negara anglo saxon. Penganggaran residual
membawa ciri penyelenggaraan jaminan sosial yang lebih diprioritaskan kepada kelompok
rentan (rakyat miskin, cacat, pengangguran). Diluar kelompok tersebut, jaminan sosial tetap diselenggarakan, namun penganggarannya
tidak lagi dibebankan kepada Negara, namun ditanggung secara bersama-sama antara pemerintah, swasta dan pekerja.[1]
Penganggaran
kesejahteraan sosial seperti ini memang hampir mirip seperti yang
diselenggarakan di Jepang, yang memadukan prinsip-prinsip dalam sistem asuransi sosial dan
bantuan sosial. Meskipun sistem pendanaan dilakukan berdasarkan sharing across population, pemerintah
tetap terlibat baik dalam pengaturan, pengawasan maupun pendanaannya. Pola
pendanaan bersama antara pemerintah, pihak swasta (usaha) dan masyarakat ini
sebenarnya telah lama menggejala di banyak negara menjelang abad 21 seperti
yang dilaporkan oleh MHLW (1999:4):
Social security is a mechanism basically created for income
redistribution and mutual assistance based on the idea of individual
independence and support by the social solidarity of people…A regional welfare
system comprised of multiple layers of “self-support”, “mutual support” dan
“public support” for the entire society to support welfare including families,
regional organizationa, companies, and the national and local governments based
on the independence of each citizen.
Perubahan menuju pengganggaran residual ini sebenarnya
bertentangan dengan konstitusi dan cita-cita ideologis yang mengamanatkan
kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Perubahan ini
lebih banyak dipengaruhi oleh ketidakmampuan negara dalam penyediaan anggaran
yang dibutuhkan (keterbatasan anggaran). Oleh karena itu, pemerintah kemudian mencoba
melepaskan sebagian tanggung jawabnya dengan cara hanya memberikan kesejahteraan
sosial (jaminan sosial khususnya) kepada rakyat miskin saja.
Perubahan paradigma penganggaran
kesejahteraan sosial demikian akhirnya membawa dampak berubahnya politik
penganggaran kesejahteraan sosial di Indonesia. Berbagai subsidi yang tidak
spesifik untuk rakyat miskin, khususnya subsidi energi (BBM dan listrik) dihapus
secara bertahap. Kebijakan penghapusan ini telah dimulai sejak tahun 2008 lalu,
dengan menurunkan prosentase subsidi energi dari 26,56% pada tahun 2007 menjadi
22,62% di tahun 2008. Bahkan pada tahun berikutnya (2009) prosentasenya tinggal
10,09% saja. Sayangnya (atau untungnya)
di tahun 2010 terjadi lonjakan harga minyak bumi yang sempat tak terkendali,
sehingga kebijakan penghapusan subsidi energi sempat tersendat, karena
pemerintah mau tidak mau harus menyesuaikan anggaran subsidi energi dengan
kenaikan harga minyak bumi yang terjadi. Itulah kenapa pada tahun 2010 subsidi
energi sempat naik menjadi 13,82% dan kembali naik menjadi 15,22% pada 2011. Namun
karena sejak awal kenaikan tersebut berangkat dari “keterpaksaan” (bukan
kebijakan), menjadi wajar jika pada tahun 2012 pemerintah kembali menurunkannya
menjadi 11,89% seiring dengan harga minyak bumi yang mulai kembali stabil.
Penurunan kembali belanja subsidi energi
2012 adalah kembalinya pemerintah kepada komitmen awal untuk menghapus
subsidi-subsidi yang tidak spesifik rakyat miskin dalam rangka penerapan
kesejahteraan sosial residual. Kebijakan yang sudah pasti berakibat semakin
miskinnya rakyat miskin karena arus inflasi. Namun pemerintah kembali berjanji
dan menjamin akan merealokasi pemangkasan anggaran subsidi untuk bantuan-bantuan
sosial bagi rakyat miskin, sehingga mereka terhindar dari dampak inflasi dengan
diperbesarnya anggaran kesejahteraan sosial non subsidi.
Sayangnya, jaminan pemerintah ini masih
lebih banyak bersifat lips services daripada
bukti nyatanya. Karena selama 5 (lima) tahun terakhir anggaran kesejahteraan
sosial tetap tidak mengalami peningkatan berarti, cenderung stagnan bahkan menurun. Fakta
konkrit, ketika pemerintah mencabut sebagian subsidi BBM pada tahun 2008
seharusnya anggaran kesejahteraan sosial naik karena mendapatkan tambahan
anggaran dari hasil realokasi pengurangan subsidi. Kenyataannya malah turun begitu
tajam dari 8,02% pada tahun 2007 menjadi 4,32% saja pada tahun 2008. Dan saat
ini (2012) kebijakan ini diulangi lagi oleh Pemerintah. Jika pada tahun 2011
anggaran kesos mulai membaik menjadi 5,56%, tahun 2012 kembali diturunkan menjadi
5,16%.
Begitu pula dengan berbagai subsidi
spesifik rakyat miskin (subsidi pangan, pupuk, benih, minyak goreng, kedelai
dan kredit program) yang berkait langsung dengan nasib kesejahteraan sosial
rakyat miskin, yang seharusnya tetap dipertahankan ternyata juga dipangkas oleh
pemerintah. Ini terlihat dari turunnya anggaran subsidi non energi dari 4,67%
(Rp 57,4 triliun) pada tahun 2011 menjadi 2,84% (Rp 40,3 triliun) pada tahun
2012. Bahkan saat pemerintah mencabut subsidi BBM 2008, yang seharusnya
dikompensasi dengan naiknya subsidi non energi, justru ikut turun dari 5,3%
menjadi 4,64%. Satu-satunya kenaikan subsidi non energi hanya terjadi di tahun
2010 menjadi 5,5%, setelah itu terus turun. Bahkan subsidi minyak goreng dan
kedelai telah dihapus sejak tahun 2008 lalu.
Jika mengacu kepada UU
No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, program kesejahteraan
sosial di Indonesia terbagi ke dalam 4 (empat) bidang, yaitu: perlindungan sosial (social security), jaminan sosial (social insurance), pemberdayaan sosial (social assistance), dan rehabilitasi
sosial (social rehabilitation).
Dalam R-APBN 2012, anggaran kesejahteraan sosial (kesos) dari keempat
bidang di atas total alokasinya hanya sebesar Rp 73,16 triliun (5,16%), tersebar
di berbagai program dan sektor (lihat
grafik 5). Prosentase ini memang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan
anggaran bagi kesejahteraan pegawai yang di R-APBN 2012 telah mencapai 15,12%. Alokasi anggaran kesos
terbesar berada di 5 (lima) program, yaitu: BOS (Rp 23,6 triliun), Raskin (Rp 15,6 triliun),
PNPM (Rp 12,3 triliun), Jamkesmas (Rp 5,9 triliun) dan PKH (Rp 2,1 triliun).
Ironisnya secara keseluruhan, anggaran-anggaran kesos
pada R-APBN 2012 hampir semuanya mengalami penurunan prosentase. Hanya program
BOS dan PKH saja yang mengalami kenaikan, itupun tidak signifikan (lihat grafik 4).
Program Beras Miskin misalnya,
yang awalnya di tahun 2011 masih mendapatkan alokasi Rp 16,2 triliun (1,32%),
pada tahun 2012 diturunkan menjadi Rp 15,6 triliun, yang digunakan untuk meng-cover 17,3 juta orang miskin. Padahal pada tahun
2008 cakupan raskin telah mencapai 19,1 juta, sayangnya wilayah cakupan raskin
ini terus menurun sampai tahun 2012, padahal angka kemiskinan di Indonesia
dalam 5 tahun terakhir tidak mengalami tingkat penurunan berarti, sehingga
tidak semestinya alokasi anggaran dan cakupan Raskin diperkecil.
Begitu pula dengan program
Jamkesmas, dalam R-APBN 2012 juga duturunkan dari Rp 6,3 triliun (pada tahun
2011) menjadi Rp 5,9 triliun. Penurunan ini tentu akan semakin mempersulit
rakyat miskin dalam memperoleh akses kesehatan. Sebab dengan Rp 5,9 triliun
tersebut setiap orang miskin hanya akan mendapat alokasi Rp 6.435 per bulannya.
Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan asuransi kesehatan yang dimiliki
PNS, TNI dan Polri yang telah mencapai Rp 35 ribu per bulannya.
Jika dilihat dari program-program kesejahteraan sosial yang berada
di bawah Kemensos juga tidak ada bedanya. Satu-satunya program jaminan sosial yang
ditangani Kemensos adalah Bantuan Tunai Bersyarat dan Asuransi Kesejahteraan
Sosial (Askesos). Bantuan Tunai Bersyarat diperuntukkan bagi rumah tangga
sangat miskin dengan total anggaran Rp 2,1 triliun. Program tersebut saat ini
dikenal dengan Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini pun hanya mampu meng-cover 1,5 juta rumah tangga saja dengan
alokasi tidak lebih dari Rp 100 ribu per bulan. Begitu pula dengan Askesos,
dengan anggaran hanya sebesar Rp 30 milyar, Kemensos hanya bisa menargetkan
Askesos bagi 50.800 jiwa saja.
Di luar itu, Kemensos memang
masih memiliki satu program bantuan sosial lagi yaitu pemberian modal usaha
kepada masyarakat miskin yang digabung ke dalam kelompok-kelompok usaha bersama
(KUBE). Untuk tahun 2012 anggarannya sebesar Rp 218,1 milyar diperuntukan bagi 9.311
kelompok fakir miskin. Selebihnya, program kesejahteraan sosial Kemensos tetap setia
dengan paradigma lama yang masih memandang rakyat miskin dengan profesi pengemis,
gelandangan, PSK sebagai penyakit sosial yang perlu direhabilitasi. Oleh karena
itu, Kemensos memiliki suatu direktorat jenderal (ditjen) yang khusus menangani
rehabilitasi. Dalam praktiknya, program rehabilitasi sosial seringkali berjalan beriringan dengan program-program
ketentraman dan ketertiban umum (penggusuran dan penertiban). Rehabilitasi
sosial seringkali dilakukan melalui pembinaan, penyuluhan dan pemberian keterampilan
di panti-panti sosial. Anggarannya tergolong cukup besar karena mencapai 930,4 milyar jika dibandingkan dengan
program pemberdayaan sosial dan penanggulangan kemiskinan yang hanya sebesar Rp 754,8 milyar. Dengan
perbandingan angka ini dapat dibaca bahwa pemerintah ternyata lebih memilih prioritasi
penertiban (baca: penggarukan) pengemis, gelandangan dan PSK daripada memberikan
bantuan dan perlindungan sosial kepada mereka sebagai kelompok rentan.
Kesejahteraan Sosial Residual: Beban Ganda
Kemiskian. Meskipun
Indonesia secara formal tidak menganut sistem negara kesejahteraan, secara
substansial, konstitusinya (Pasal 28C; Pasal 28Hdan Pasal 34) mengamanatkan
bahwa jaminan sosial pada dasarnya merupakan hak-hak rakyat yang harus dipenuhi
oleh negara (Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002). Dengan demikian, jika
Indonesia akan mengembangkan jaminan sosial yang berbasis masyarakat, negara
tidak boleh mengabaikan atau menyerahkan begitu saja sistem ini kepada rakyat.
Karena, selain negara pada dasarnya merupakan representasi rakyat, dimanapun di
seluruh negara, bidang kesejahteraan dan pelayanan sosial merupakan domain
dimana peran dan kontribusi negara masih dominan.
Model penganggaran kesejahteraan residual yang coba
dipraktikkan saat ini, yang hanya memprioritaskan kesejahtearan sosial kepada
rakyat miskin, seharusnya diikuti dengan jaminan terpenuhinya hak-hak sosial,
ekonomi, kesehatan dan pendidikan bagi rakyat miskin. Namun dalam praktiknya,
ternyata pemerintah tetap tidak mampu memenuhinya. Anggaran kesejahteraan
sosial bagi rakyat miskin tetap kecil dan terbatas. Akibatnya, pencabutan
subsidi BBM sebagai bagian dari kebijakan penggaraan kesejahteraan residual
berdampak semakin miskinnya rakyat miskin, sebab di satu sisi terbebani dengan
dicabutnya subsidi BBM yang berdampak pada inflasi, di sisi yang lain anggaran
yang seharusnya mampu mengcover kesejahteraan sosial mereka tetap terbatas (kalaupun
terjadi peningkatan tetap tidak sebanding dengan laju inflasi yang terjadi).
2.
Penganggaran Kesejahteraaan Perempuan
dan Anak: Politik Anggaran tanpa Political Will
Penganggaran
kesejahteraan perempuan dan anak (di luar anggaran kesehatan ibu dan anak) jika
dilihat dari prosentasenya terhadap total belanja APBN selalu berada di bawah
0,5%, dan itupun sebagian besar dipergunakan untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk (program Keluarga Berencana), bukan untuk program-program perlindungan
maupun pemberdayaan perempuan dan anak miskin.
Jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2011), anggaran kesejahteraan sosial
secara nominal memang naik dari Rp 4,83 triliun menjadi Rp Rp 5,40 triliun,
namun secara prosentase terhadap total belanja justru turun dari 0,39% menjadi
0,38%.
Ketimpangan Jender di Indonesia dan
Penganggarannya. Dalam konstruksi budaya patriarkhi, kelompok perempuan
selalu menjadi kelompok termiskin dari rakyat miskin, karena selain termiskinkan
oleh kebijakan, mereka juga termiskinkan oleh stereotip dan kultur yang masih memandang
mereka sebagai subordinat laki-laki sehingga termarjinalkan dari segala akses sumberdaya.
Konstruksi budaya patriarki ini telah berdampak pada ketimpangan
jender yang berlarut-larut. Berdasarkan data BPS 2000, perbedaan kemampuan
membaca menulis antara laki-laki dan perempuan di Indonesia masih tinggi dengan
perbandingan 56,9% : 88,1%. Ketimpangan ini secara
tidak langsung telah memberikan konstribusi terhadap timpangnya perbandingan
laki-laki dan perempuan yang bekerja
pada sektor informal dengan perbandingan
29,6% : 39,2%.
Ketimpangan jender yang mengakibatkan tertinggalnya kaum
perempuan terhadap laki-laki di Indonesia ternyata tidak pernah disikapi serius
oleh pemerintah. Hal ini dapat terlihat dari berbagai program-program
peningkatan kesejahteraan perempuan, anggarannya lebih banyak dihabiskan untuk
program Keluarga Berencana (KB) saja. Program-program yang bersifat pemberdayaan
perempuan dan anak, serta pelayanan sosial selalu mendapatkan prosentase kecil (lihat grafik 6).
Program
pemberdayaan perempuan yang disusun oleh pemerintah pun, disamping anggarannya
yang begitu kecil, juga sebatas kepada program pengarusutamaan jender disetiap
kementerian/lembaga. Dan itu terus berlangsung selama bertahun-tahun sejak
jaman Orde Baru, seolah paradigma patriarkhi di internal pemerintah tidak akan
pernah hilang. Akibatnya hampir tidak ada satu pun program yang benar-benar
memberdayakan perempuan dan anak (yang tidak sebatas pengarusutamaan) selama
ini di dalam APBN.
Dalam hal perlindungan kepada perempuan misalnya. Berdasarkan temuan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan), angka kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan setiap
tahun masih tinggi. Data tahun 2010, dilaporkan masih terdapat 105.103 kasus
kekerasan, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data kasus yang terjadi di tahun
2007 sebanyak 34.665 kasus. Namun hampir tidak ada anggaran untuk memberikan
perlindungan ini. Dalam R-APBN 2012, program khusus perlindungan perempuan hanya
tersedia Rp 9,7 milyar dan itupun sebagian besar (Rp 6,3 milyar) akan digunakan
untuk menutupi biaya kantor Komnas Perempuan. Otomatis hanya tersedia Rp 3,4
milyar saja yang dapat dipakai Komnasi Perempuan untuk melaksanakan program
perlindungan selama tahun 2012. Padahal program-program perlindungan yang
menjadi tanggung jawab Komnas Perempuan begitu luas mencakup advokasi
kebijakan, pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan,
pengaduan dan dokumentasi aduan kekerasan, hingga pemberian konseling bagi
perempuan korban kekerasan. Dengan tidak
sebandingnya anggaran perlindungan dengan
tugas dan tanggung jawab Komnas Perempuan tersebut, membuat kebijakan dan
kegiatan perlindungan terhadap perempuan terancam lumpuh
karena ketiadaan anggaran.
Begitu pula
dalam hal perlindungan anak, dari anggaran sebesar Rp 38,6 milyar di KPP dan
PA, sebagian besar habis digunakan di internal KPPA dan PA saja untuk harmonisasi
kebijakan perlindungan anak. Sehingga KPAI juga harus mengalami nasib yang sama seperti Komnas
Perempuan, tidak mampu bergerak karena ketiadaan anggaran.
Penganggaran Kesehatan Ibu dan Anak. Selain kekerasan terhadap perempuan dan anak,
persoalan ancaman kematian karena rendahnya derajat dan akses kesehatan mengakibatkan angka kematian ibu dan anak
masih tinggi. Sampai tahun 2010 angka kematian ibu masih mencapai 228 dari 1.000 proses
persalinan. Begitu pula dengan angka kematian anak masih mencapai 35 per 1000
kelahiran hidup, hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan angka kematian bayi di
Malaysia, 2 kali lipat dibandingkan Thailand dan 1,3 kali lipat dibandingkan
Philipina. Belum lagi kasus gizi buruk, pada tahun 2010 saja masih tercatat 4,1
juta kasus gizi buruk yang terdeteksi.
Di dalam R-APBN 2012, dari Rp 28,8 triliun anggaran Kemenkes, anggaran
yang langsung digunakan untuk penanggulangan kematian ibu dan bayi dititipkan
ke dalam program Jamkesmas dalam bentuk jaminan persalinan (jampersal) sebesar 1,6
triliun. Jampersal tersebut diperuntukkan bagi ibu miskin yang belum ter-cover
dalam Jamkesmas. Sayangnya program jampersal ini baru meliputi 10 klaim saja (yang
berarti baru mencakup 10 kabupaten/kota). Sementara untuk penanggulangan kasus
kurang gizi dan gizi buruk, pengangarannya dimasukkan ke dalam bagian program
bina gizi dan kesehatan ibu dan anak dengan total anggaran Rp 2 triliun.
Sayangnya sebagian besar program ini anggarannya masih digunakan untuk
kebutuhan sosialisasi dan layanan perkantoran saja. Anggaran yang benar-benar
digunakan langsung untuk perbaikan gizi hanya terdapat di sub program pengadaan
makanan tambahan sebesar Rp 37 milyar dan pelatihan bagi tenaga kesehatan
sebesar Rp 13,3 milyar.
3. Rekomendasi
- Politik penganggaran
kesejahteraan sosial residual dengan menghapus segala subsidi bersifat umum
harus diikuti dengan pemenuhan anggaran kesejahteraan sosial bagi rakyat miskin
di dalam APBN. Prioritas pertama yang harus dipenuhi negara adalah terpenuhinya
hak-hak dasar (ekonomi, pendidikan dan kesehatan) rakyat miskin. Hak-hak dasar
seyogyanya lebih banyak difokuskan kepada jaminan sosial di bidang pendidikan
dan kesehatan daripada bantuan-bantuan sosial yang bersifat karitatif. Kalaupun
bantuan-bantuan sosial tetap dipertahankan seharusnya sudah mulai beranjak dari
karitatif mengarah kepada upaya-upaya membangun kemandirian ekonomi rakyat
miskin. Bantuan sosial bersifat pemberdayaan ekonomi terhadap rakyat miskin
tentunya juga hanya bisa berlaku efektif jika disertai pemberian perlindungan
usaha miskin dari hukum pasar.
- Anggaran kesejahteraan
perempuan seharusnya tidak lagi stagnan pada upaya pengarusutamaan jender saja.
Sudah waktunya bagi pemerintah untuk menyusun program-program pemberdayaan
perempuan dalam rangka memberikan hak-hak ekonomi, pendidikan dan kesehatan
kepada perempuan yang lebih baik. Dengan demikian, cara pandang pemerintah dalam
memandang urusan perempuan dan anak tidak
lagi sebatas program KB saja, yang sebenarnya tidak berkaitan dengan hak
perempuan, kecuali sebatas memaksa perempuan menjadi obyek kontrasepsi daripada
laki-laki.