Minggu, 20 Januari 2013

AKUNTABILITAS DAN PARTISIPASI SALAH SATU PENYEBAB KEGAGALAN TARGET MDGS, RENDAHNYA DERAJAT TRANSPARANSI,

Oleh: Yenny Sucipto


Menyoal berbagai kendala dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia selama ini seringkali dihadapkan pada persoalan lemahnya pengarusutamaan program-program berkait MDGs antar kementerian/lembaga serta terbatasnya alokasi anggaran yang membiayainya. Sehingga untuk beberapa target MDGs di Indonesia, misalnya sektor kesehatan (kematian ibu dan anak) dan penanggulangan HIV/AIDS akan sulit dicapai pada tahun 2015.

Selain masalah pengarusutamaan program dan keterbatasan anggaran, sebenarnya masalah besar yang lebih sulit dihadapi Indonesia saat ini mengenai efektifitas program dan anggaran yang berkait dengan MDGs itu sendiri. Sebab jika dilihat dari trend anggaran bagi program-program MDGs di tiap kementerian –walaupun belum sebanding dengan tantangan yang harus diselesaikan– kecenderungannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya bidang kesehatan, rata-rata pertumbuhan anggaran khususnya Kesehatan Ibu dan Anak sebesar 14% selama periode 2006-2012, bahkan 2010-2011 sempat mencapai pertumbuhan tertinggi sebesar 38,6%.[1] Sayangnya walaupun kecenderungan alokasi anggarannya naik, hasilnya terlihat tetap stagnan dan tidak ada kemajuan berarti, sehingga terkesan anggaran yang telah digelontorkan untuk program-program MDGs terkesan terbuang sia-sia.

Menyoal efektifitas anggaran memang sangat ditentukan pada bagaimana cara pemerintah sebagai pengelola anggaran dalam mengelola keuangan negara, yang dalam berbagai konteks selalu dikaitkan dengan good governance. Dan jika menyoal good governance, cukup menarik jika meminjam pemikiran Meuthia Ghani yang memahami governance sebagai tradisi dan institusi yang menjalankan kekuasaan dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, (2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan rakyat dan negara terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir biasa dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi. Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan di bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh karena rakyat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan perannya dengan baik. Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya.[2]

Dengan pendekatan tersebut, good governance pada akhirnya tidak terbatas pada menjalankan wewenang dengan baik semata, tetapi –lebih penting lagi– adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable). Oleh karenanya, konsep good governance akan selalu didasarkan pada 3 (tiga) pilar, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.[3]

Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, ketiga pilar tersebut sebenarnya secara tersirat telah tertuang di dalam Konstitusi Indonesia khususnya Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 karena konstitusi mensyaratkan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keterbukaan tersebut oleh pemerintah dijawab dengan diterbitkannya UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi, tujuan utama UU KIP adalah untuk menjamin hak masyarakat untuk mengetahui setiap rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik,  dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.  Lebih jauh daripada itu diharapkan UU tersebut akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik serta meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik   yang baik. Bagi pemerintah diharapkan akan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel  serta  dapat dipertanggungjawabkan.[4]

Bagi banyak pihak, menuntut keterbukaan informasi khususnya menyangkut pengelolaan keuangan negara/daerah kepada pemerintah adalah pekerjaan yang sulit dan hampir mustahil walaupun konstitusi dan undang-undang telah menjaminnya, mengingat birokrasi yang terbangun di Indonesia masih kental dengan kultur feodal-kolonial yang berkarakter dilayani, bukan melayani. Apalagi dokumen anggaran baik ditingkat pusat (kementerian/lembaga) maupun daerah masih banyak yang menilainya sebagai dokumen rahasia yang “diharamkan” dibagi ke publik.

Ini memang terbukti jika mengacu kepada hasil uji akses yang dilakukan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap 118 kementerian/ lembaga. Hasil uji akses tersebut menunjukkan jika sebagian besar lembaga negara masih belum mau menyebarluaskan dokumen anggaran bahkan dengan cara meminta sekalipun. Dari 118 kementerian/lembaga hanya 58 kementerian/lembaga saja yang bersedia memberikan dokumen anggaran yang diminta. Selebihnya benar-benar tertutup, apriori dan menolak secara emosional dengan berbagai cara dan argumentasi.[5]

Apa yang terjadi di Indonesia sebenarnya juga banyak terjadi di negara lain jika melihat hasil survei keterbukaan anggaran yang dilakukan setiap tahun oleh International Budget Project (IBP) terhadap 36 negara. Dari sisi dokumen anggaran eksekutif rata-rata 56% (25 negara positif 10 negara negatif), laporan evaluasi dan monitoring rata-rata 44% (12 negara dianggap positif, 24 negara dianggap negatif) dan mendorong keterlibatan publik dan keterlibatan legislatif rata-rata 40% (8 negara dianggap positif dan 28 negara negatif). Berdasarakan survei tersebut dari sisi dokumen anggaran eksekutif Indonesia berada pada urutan ke 28 dari 36 negara yang di survei, laporan monitoring dan evaluasi pada urutan 16 dan dari sisi keterlibatan publik dan legislatif pada urutan 7.

Ketertutupan akses terhadap dokumen anggaran tersebut sampai saat ini memang masih menjadi akar tidak efektifnya program-program pembangunan di Indonesia (termasuk program-program MDGs). Sebab masyarakat sama sekali tidak dapat melakukan kontrol terhadap setiap program yang disusun dan dilaksanakan pemerintah. Wajar jika dari tahun ke tahun wajah APBN Indonesia masih tersandera oleh kepentingan elit dan birokrasi. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun sebagian besar anggaran masih dihabiskan untuk membiayai kebutuhan aparat (birokrasi) mulai dari perjalanan dinas, tunjangan, vakasi, fasilitas perkantoran dan kendaraan, dan lain-lain.[6] Ambil contoh salah satu program MDGs khususnya menyangkut kematian ibu dan anak yang ada di Kementerian Kesehatan, hampir sebagian besar anggaran (sekitar 75%) hanya dihabiskan untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dll).[7]

Selain rendahnya keterbukaan, problem partisipasi juga menjadi salah satu kendala tidak efektifnya program pembangunan. Penyebabnya ruang partisipasi yang dibangun cenderung formalitas dan diskontinyu. Satu-satunya wahana partisipasi masyarakat yang diakui pemerintah hanyalah forum musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Sekilas forum ini cukup partisipatif karena masyarakat diberikan hak untuk mengusulkan program/kegiatan sekaligus kritik, saran dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Namun ternyata hanya bersifat formalitas dan palsu karena usulan, kritik dan saran masyarakat akhirnya diamputasi ketika proses penganggaran memasuki internal elit,  sebab di dalam forum tersebut semuanya sudah bersifat tertutup sehingga tidak bisa diikuti bahkan dihadiri masyarakat secara langsung. Dari proses tersebut sudah dapat diketahui jika derajat partisipasi yang ditawarkan dalam forum musrenbang sangatlah lemah sebab forum yang dibangun hanyalah sebatas forum sosialisasi belaka, bukan forum konsultasi terlebih negosiasi.[8]

Selain tertutupnya ruang partisipasi yang disediakan oleh pemerintah, masalah rendahnya derajat partisipasi masyarakat juga berangkat dari ketidaktahuan atau rendahnya pemahaman masyarakat terhadap anggaran itu sendiri. Hal ini menjadi hal yang sangat krusial yang belum pernah di sikapi oleh pemerintah. Dari hasil studi Open Budget Index, dinyatakan bahwa rendahnya derajat transparansi Indonesia karena salah satunya tidak adanya Citizen’s Budget sebagai salah satu produk untuk “melek anggaran” kepada masyarakat dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran.


REKOMENDASI

Dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, seyogyanya sudah menjadi hak konstitusional rakyat untuk mengetahui dan memperoleh semua informasi mengenai semua pos-pos anggaran di APBN. Informasi yang tidak sekedar data/angka makro, melainkan terperinci sebagaimana yang terdokumentasi dalam dokumen “satuan 3”[9].  Langkah ini bisa dilakukan pemerintah dengan mengumumkan semua pos anggaran yang tercantum dalam APBN melalui media secara terbuka yang bisa diakses publik. Langkah semacam ini akan dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan anggaran. Sebab, rakyat bisa secara langsung menilai, mengawasi, dan mengevaluasi penggunaan semua pos mengenai kemana sesungguhnya uang rakyat tersebut dibelanjakan, siapa pengguna anggarannya, dan sejauh mana hasil yang dicapai.

Dalam konteks partisipasi, Pemerintah seharusnya menyediakan ruang-ruang keterlibatan masyarakat selama proses penyusunan anggaran, misalnya dengan mengagendakan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai kelompok atau komponen dalam masyarakat secara rutin dan kontinyu. Dalam praktik selama ini, keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan anggaran adalah nihil, demikian pula dalam hal pengawasan pelaksanaan anggaran. Padahal masyarakat berhak untuk tahu anggaran dalam suatu kementerian, ke mana saja anggaran itu diarahkan dan siapa pelaksana proyek anggaran, dan apakah pelaksanaan anggaran sudah sesuai aturan.

Dalam konteks akuntabilitas, pengawasan anggaran yang dimiliki oleh DPR juga tidak mempunyai kekuatan mekanisme tindak lanjut atas hasil pemeriksaan keuangan BPK dan hasil temuan lapangan baik daerah maupun pusat. Praktek yang terjadi selama ini, seringkali hasil pemeriksaan keuangan cenderung disalurkan DPR melalui mekanisme internal di institusi sendiri. Dan problem politis, dimana independensi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi kontrol anggaran masih sangat ditentukan oleh arah kebijakan fraksi/partai politik yang menaunginya.


[1] Lihat Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Alternatif 2013, Menuju Anggaran Konstitusional.
[2] Meuthia Ganie, Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998.
[3] Ibid. Lihat juga Loina Lalolo Krina, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipas (Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta: 2003), hal.3
[4] Lihat Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
[5] Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Uji Akses Terhadap 118 Kementerian dan Lembaga Negara Tahun 2011.
[6] Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Catatan Akhir Tahun Anggaran 2012, Anggaran Tersandera Birokrasi dan Elit Politik.
[7] Sebagaimana yang diungkap Yenny Sucipto dalam Catatan Akhir Tahun FITRA 2012 menyatakan: ...program pembinaan KIA dan reproduksi masih satu atap di dalam Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Dalam rencana anggaran Kementerian Kesehatan, hanya dialokasikan sebesar Rp 30 milyar untuk program pelayanan kesehatan anak, dan Rp 31,59 milyar untuk program pembinaan pelayanan kesehatan dan reproduksi. Sungguh ironis, dengan alokasi yang hanya sebesar Rp 30 milyar pada program pelayanan kesehatan anak sebagian besar habis untuk belanja perjalanan dinas (pertemuan koordinasi, sosialisasi, fasilitasi, monev, dll) hingga mencapai Rp 21,5 milyar (72% dari total anggaran program pelyanan kesehatan anak). Begitu juga yang terjadi pada program pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi Rp 31,59 milyar habis untuk perjalanan dinas mencapai Rp 24 milyar (76%). Program untuk pengembangan anak hanya dialokasikan sebesar Rp 1 milyar yang meliputi kegiatan pengembangan Centre of Excellent RBM, Yankes Anak Minoritas dan terisolasi, dan Surveilans Kesehatan Anak.
[8] Dari hasil penelitian FITRA di 48 kabupaten/kota yang menunjukkan derajat partisipasi masyarakat di tingkat musrembang selalu tinggi, namun melemah ketika memasuki tahapan lebih tinggi. Lihat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Local Budget Index and Local Budget Study 2010-2011.
[9] Satuan 3 adalah dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan rincian alokasi pagu anggaran per Program, berdasarkan Unit Eselon I , dan Iingkup Satuan Kerja lingkup Kementerian/Lembaga Negara.