Jumat, 02 Desember 2005

Liberalisasi BBM dalam Kedok Pengurangan Subsidi untuk Mengurangi Beban Keuangan Negara

Oleh : Yeni Sucipto

Alasan yang selalu diulang-ulang Pemerintah dalam kenaikan tarif BBM adalah untuk mengurangi beban keuangan Negara. Kenaikan terakhir pada bulan Oktober lalu, Yusuf Kalla dengan enteng juga menyatakan bahwa kenaikan harga BBM memang tidak terhindarkan karena pemerintah tidak mungkin membebani keuangan negara dengan memberikan subsidi sebesar 26 persen dari total APBN untuk satu komoditas saja.
Penyebabnya adalah melonjaknya harga minyak mentah di pasaran internasional yang sempat menembus US$ 70/barrel sehingga membuat subsidi BBM membengkak sampai mencapai 76,5 triliun rupiah dengan asumsi patokan harga minyak US$ 45 per barrel di APBN-P 2005. Benarkah demikian?
Memang satu sisi dapat dibenarkan, karena sampai saat ini Pemerintah masih mengimpor sekitar 350 ribu barrel minyak mentah dan 400 ribu barrel produk BBM setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri yang mencapai 1,15 juta barrel per hari. Namun jangan lupa, kenaikan harga minyak mentah di pasaran internasional juga meningkatkan pendapatan ekspor Indonesia di sektor migas. Sehingga jika mau jujur, membengkaknya subsidi tersebut sebenarnya masih dapat diimbangi oleh pendapatan ekspor migas yang juga berlipat. Dan inipun telah diakui oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro ketika Raker dengan Panitia Anggaran DPR beberapa bulan sebelum kenaikan harga BBM Oktober lalu.
Berdasarkan data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, pendapatan ekspor migas Indonesia tahun 2005 ini mencapai Rp 175 triliun. Tahun 2004 lalu, pendapatan dari sektor migas hanya Rp 122 triliun. Artinya ada kenaikan lebih dari 40%, sementara subsidi BBM yang dihitung dengan harga minyak dunia sekarang hanya sebesar Rp 135 triliun. Artinya ada surplus dari ekspor migas. Dan ini juga mengartikan bahwa subsidi BBM tidak akan mengancam defisit anggaran seperti yang dinyatakan oleh Yusuf Kalla.
Jika bukan karena beban keuangan negara akibat lonjakan harga minyak mentah di pasaran internasional, lalu apa sebenarnya yang membuat Pemerintah tetap ngotot menaikkan harga BBM?
Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum jika kenaikan harga BBM tersebut hanyalah kedok Pemerintah dalam melancarkan agenda liberalisasinya di sektor hilir migas. Caranya pun klasik, menyesuaikan harga BBM Indonesia dengan harga di pasaran Internasional. Dengan tarif internasional, maka otomatis perusahaan-perusahaan minyak internasional seperti CALTEX, SHELL, PETRO CHINA dapat leluasa masuk dan bersaing dengan pertamina di area hilir.
Tentu saja, Pemerintah sebagai subordinat MNC dan TNC –akibat keterjebakan hutang (dept trap) dengan lembaga donatur internasional (khususnya IMF dan World Bank) yang selama ini menjadi senjata MNC/TNC– tidak memiliki pilihan selain harus menjalankan program liberalisasi minyak yang menjadi salah satu agenda ”kesepakatan haram” dengan lembaga donatur.
Agenda liberalisasi migas Pemerintah itu telah dimulai sejak dirombaknya aturan hukum perminyakan di Indonesia di awal tahun 2000 lalu. Liberalisasi itu akhirnya mulai terlihat sejak ditetapkannya Pasal 28 Ayat (2) dan (3) UU No.22/2001 tentang Migas yang menyatakan bahwa: ”Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Artinya, harga minyak dalam negeri sepenuhnya diserahkan kepada pasar. Untunglah, pasal ini telah dijudicial review dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai telah bertentangan dengan UUD 1945. Adalah tidak benar harga BBM diserahkan kepada Pasar, sehingga dapat dibenarkan jika MK berpendapat bahwa harga BBM tetap harus menjadi kewenangan Pemerintah.
Namun sayang, Pemerintah sepertinya tidak menggubris Putusan MK yang telah membatalkan Pasal tersebut, bahkan kenaikan harga BBM Oktober lalu yang ditetapkan melalui Perpres No. 55/2005, salah satu konsiderannya tetap mengacu pada UU No.22/2001 yang salah satu pasalnya telah dijudicial review oleh MK khususnya Pasal yang mengenai ”Harga BBM”. Lebih ironisnya, kenaikan harga BBM oleh Pemerintah saat ini justru didasarkan pada harga pasar internasional yang jelas-jelas dilarang dalam Putusan MK.
Lalu bagaimana kita menyikapi kebijakan Pemerintah yang lebih berpihak kepada kepentingan MNC/TNC daripada rakyatnya sendiri? (dimuat oleh Kaba Ranah Minang)

Selasa, 15 November 2005

Bahaya Utang dalam Pembiayaan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh

Oleh : Yenny Sucipto


Untuk menjalankan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias pasca bencana, APBN-P 2005 telah menetapkan jumlah dana sebesar Rp 9,482 trilliun. Jika diteliti asal sumber dana dalam APBN-P 2005, ternyata tidak semuanya bersifat hibah, melainkan hutang. Keberadaan hutang tersebut sampai saat ini masih belum diketahui secara luas oleh masyarakat karena memang tidak ada transparansi dari pemerintah. Sehingga yang muncul di permukaan kemudian, dana Aceh dan Nias terlihat tanpa mengandung resiko apapun. Padahal, belajar dari pengalaman masa lalu, setiap hutang selalu saja menuntut adanya kompensasi ekonomis dari negara donor, seperti deregulasi ekonomi, liberalisasi perdagangan dan privatisasi BUMN.
Dan Pemerintah pun sebenarnya sadar akan hal itu. Ini dibuktikan dengan komitmennya pada bulan Januari lalu yang menegaskan bahwa Pemerintah hanya akan mengoptimalkan penggunaan dana dari dalam negeri (rupiah murni), khususnya yang menyangkut sumber-sumber pendanaan yang dapat dikendalikan oleh Pemerintah seperti: APBN melalui alokasi dana untuk bencana alam dan alokasi dana untuk masalah sosial keamanan; Konstribusi dari APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota, seperti melalui DAU dan DAK; Kontribusi dari sumbangan masyarakat dan dunia usaha; serta kontribusi dari sumbangan hibah/masyarakat internasional yang sudah dikonfirmasi. Barulah jika terjadi kekurangan (selisih atau perbedaan kebutuhan dan ketersediaan dana), setelah dihitung dan dikonfirmasikan, Pemerintah akan mencari sumber pendanaan lainnya melalui pinjaman lunak tanpa bunga ataupun melalui pinjaman konvensional.
Namun demikian, komitmen pemerintah yang berjanji akan mengoptimalkan penggunaan rupiah murni daripada mencari pinjaman ternyata tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh Pemerintah. Sepertinya Pemerintah lebih tertarik untuk mencari hutangan baru daripada mengoptimalkan sumber dana yang berasal dari rupiah murni, karena belum apa-apa pemerintah telah menargetkan utang baru sebesar US$ 326 juta. Alasannya sederhana, seperti yang diungkap Mulia Nasution (Dirjen Perbendaharaan Negara Depkeu) bahwa tawaran bantuan untuk Aceh dari asing rata-rata dalam bentuk tawaran utang, sehingga Pemerintah terpaksa harus menerimanya, namun dengan tetap mencari utangan yang semurah dan selunak mungkin, misalnya yang memiliki jangka waktu 20-30 tahun dan tingkat bunga 1-4 persen, karena Pemerintah sudah berkomitmen untuk mengurangi stok utang dan menekan defisit.
Alasan pemerintah tersebut lebih cenderung terlihat sebagai alasan pembenaran atas hutang daripada komitmen perbaikan ekonomi, karena memang faktanya berapapun lunaknya utang baru, tetap akan semakin membebani perekonomian Indonesia. Dan anehnya, semakin lama langkah-langkah pemerintah ini terlihat semakin membingungkan dan terbalik-balik, bagaimana tidak, tawaran debt relief (pengurangan dan penghapusan hutang) dari Paris Club yang seharusnya diterima karena akan meringankan beban hutang Indonesia justru ditolak mentah-mentah oleh pemerintah, sementara tawaran utang baru yang jelas-jelas akan semakin memberatkan beban hutang Indonesia malah diterima.
Sebagaimana diketahui, banyak kalangan masih merasa kecewa atas hasil kerja Pemerintah dalam Paris Club kemarin yang gagal total karena tidak melakukan negosiasi sama sekali. Padahal negara-negara yang tergabung dalam Paris Club telah bersepakat untuk memberikan moratorium (penangguhan pembayaran utang) untuk membantu negara-negara korban bencana tsunami. Total penangguhan utang yang akan diberikan Paris Club mencapai 270 miliar dollar AS berdasarkan keterangan Jean-Pierre Joyuet (Presiden Paris Club), jumlah yang tidak sedikit tentunya. Apalagi tawaran moratorium itu tanpa memerlukan syarat-syarat khusus, seperti harus masuk program Dana Moneter Internasional (IMF) atau keharusan untuk juga menegosiasikan penangguhan utang dengan para kreditor komersial. Bahkan khusus untuk Jerman dan Inggris, keduanya tidak sekedar memberikan penangguhan pembayaran utang, tetapi juga membuka peluang debt relief (pengurangan pokok dan bunga utang).
Tentu saja peluang yang terbuka dalam Paris Club tersebut akan memberikan kesempatan emas bagi Pemerintah Indonesia untuk kembali mengatur perekonomiannya dengan segera mengajukan penundaan, pengurangan dan penghapusan hutang. Namun sangat disayangkan, ternyata tawaran-tawaran dari Paris Club tersebut sama sekali tidak direspon oleh Pemerintah Indonesia. Tim Ekonomi yang dikirim untuk melakukan negosiasi dalam pertemuan Paris Club sama sekali tidak mengusulkan permintaan apapun, kecuali permintaan hibah yang diperbesar.
Alasannya pun aneh, hanya karena didasarkan pada kekhawatiran akan implikasi negatif pada Indonesia, karena moratorium dipandang bisa menurunkan rating utang Indonesia. Padahal menurut Lembaga pemeringkat internasional seperti Standard & Poors dan Moodys telah ditegaskan bahwa rating utang Indonesia tidak akan terpengaruh karena moratorium tersebut diajukan bukan karena ketidak mampuan Indonesia dalam membayar hutang, tetapi lebih sebagai wujud solidaritas Paris Club terhadap Negara-negara debitur yang terkena bencana tsunami.
Tentu saja sikap pemerintah ini sangat mengecewakan karena menolak peluang yang diberikan Paris Club. Apalagi jika alasannya sangat tidak masuk akal, seperti yang pernah disampaikan Aburizal Bakrie bahwa penolakan tawaran moratorium itu karena pemerintah tidak mau menggunakan isu bencana tsunami sebagai isu untuk memperoleh keringanan utang. Padahal dari beberapa catatan sejarah, sebelum Indonesia, telah banyak negara yang memperoleh moratorium dan penghapusan utang dengan membawa isu-isu strategis. Dalam kasus Indonesia, negosiasi pemerintah sebenarnya dapat memanfaatkan isu bencana Aceh untuk mendapatkan kesempatan memperoleh pengurangan utang. Contoh beberapa Negara yang memperoleh pengurangan dan penghapusan hutang misalnya Jerman setelah Perang Dunia II yang ternyata atas jasa pengurangan dan penghapusan hutangnya tersebut telah berhasil memulihkan perekonomiannya secara cepat. Begitu juga dengan Pakistan yang mengusung isu antiterorisme, dengan negosiasi tingkat tinggi pada level geopolitik di tahun 2002 bisa memperoleh potongan 30 persen utang melalui fasilitas Official Development Assistance (ODA). Yugoslavia juga pernah memperoleh potongan 66 persen, demikian pula Polandia yang mendapat potongan 50 persen dari total utang.
Jika melihat dampak dari bencana tsunami, sebenarnya hal yang sangat wajar bagi pemerintah Indonesia untuk mengajukan moratorium dan debt relief karena tsunami merupakan isu yang bersifat internasional dan strategis. Pun ternyata terbukti, tanpa harus mengajukan, Paris Club sebagai kelompok kreditor terbesar karena mencapai 60% seluruh hutang Indonesia telah menawarkan moratorium tanpa harus menunggu permohonan dari Indonesia, bahkan Jerman dan Inggris berani membuka peluang pengajuan debt relief bagi Indonesia.
Tetapi sekali lagi patut disayangkan, memang sepertinya pemerintah Indonesia benar-benar lebih mementingkan gengsi. Seperti diungkap oleh Menteri Keuangan Jerman Hans Eichel setelah bertemu Menlu Indonesia Hasan Wirajuda di Berlin Januari lalu, bahwa ide Jerman tentang pengampunan utang ternyata ditanggapi skeptis oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia lebih menghendaki dukungan finansial dalam bentuk lain dari negara-negara maju, ketimbang pengampunan atau penghapusan utang, untuk bisa cepat pulih dari dampak bencana tsunami. Alasan penolakan yang disampaikan Hasan Wirayuda juga sama, penghapusan utang dinilai bisa merusak kelayakan kredit (creditworthiness) Indonesia di pasar internasional.
Karena Pemerintah Indonesia tidak meminta moratorium hutang dan debt relief, akhirnya Paris Club hanya memberikan moratorium utang selama 3 bulan dengan jumlah US$ 350 juta (3,957 triliun rupiah), sementara untuk pemberian moratorium utang selanjutnya, Paris Club bersepakat untuk menunggu terlebih dahulu hasil perhitungan IMF dan Bank Dunia yang nantinya akan menjadi acuan untuk menentukan persisnya jumlah utang negara korban tsunami yang pembayarannya bisa ditunda.
Anehnya, moratorium yang nilainya kecil dan bersifat jangka pendek tersebut justru malah diterima oleh Pemerintah Indonesia dan telah dimasukkan dalam APBN-P 2005. Padahal Pemerintah sebenarnya mengetahui bahwa penerimaan moratorium yang bersifat jangka pendek tersebut sama sekali tidak akan menyelesaikan beban utang, karena hanya bersifat menggeser bukan mengurangi apalagi menghapus.
Jika pemerintah Indonesia sadar, seharusnya bentuk moratorium utang yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah bentuk pembatalan atau pengurangan utang bukan moratorium berbentuk penjadwalan ulang seperti yang diterima saat ini. Memang tampaknya, pemerintah lebih memilih menjaga gengsi daripada memikirkan nasib dan masa depan perekonomian rakyat Indonesia. Padahal Pemerintah Indonesia telah mengetahui bahwa pembayaran utang luar negeri selama ini baik pokok maupun bunganya telah memakan porsi yang besar di APBN. Pada tahun anggaran 2000-2003 saja, sekitar 13-15 persen penerimaan dalam negeri terpaksa harus dipakai untuk membayar utang luar negeri.
Tetapi anehnya, Pemerintah terlihat tidak peduli dengan kondisi keuangan negara saat ini. Langkah pemerintah pun terlihat benar-benar semakin membingungkan, di satu sisi pemerintah menolak tawaran pengurangan dan penghapusan utang dari Paris Club yang sebenarnya dapat meringankan beban keuangan negara, di sisi lain justru pemerintah sibuk mencari utangan baru yang justru akan semakin memberatkan keuangan negara. Berdasarkan data terakhir dari Pemerintah, komitmen-komitmen hutang yang telah disepakati oleh Pemerintah Indonesia untuk merehabilitasi dan merekonstruksi Aceh dan Nias telah mencapai US$ 1,09 milyar, yang diantaranya berasal dari CGI sebesar US$ 500 juta dalam bentuk pinjaman lunak, World Bank sebesar US$ 76 juta dalam bentuk realokasi pinjaman, ADB sebesar US$ 64,7 juta dalam bentuk realokasi pinjaman, IDB sebesar US$ 440 juta dan Austria sebesar US$ 10 juta keduanya dalam bentuk pinjaman baru.
Dari total komitmen hutang tersebut yang telah ditetapkan dalam APBN-P 2005 adalah sebesar US$ 326 juta. Dan berdasarkan informasi Departemen Keuangan, utang untuk pembangunan kembali Aceh yang akan dicairkan pada tahun 2005 ini adalah sebesar US$ 66,6 juta yang berasal dari realokasi pinjaman dari World Bank sebesar US$ 39 juta dan ADB sebesar US$ 27,6 juta.
Jika saja Pemerintah mau bersikap lebih bijaksana, sebenarnya untuk merehabilitasi dan merekonstruksi Aceh tidak perlu dengan cara berhutang. Sebab, selain dari rupiah murni, Pemerintah juga telah mendapatkan tawaran-tawaran hibah yang sangat besar dari negara asing dan lembaga donor internasional. Bahkan dalam APBN-P 2005 Pemerintah berani memperkirakan bahwa hibah yang akan diterima Indonesia akan mencapai 5,76 triliun rupiah, jauh melampaui perkiraan hibah dalam APBN 2005 yang hanya sebesar 750 milyar rupiah. Tingginya perkiraan penerimaan hibah tersebut terkait dengan bantuan dari negara-negara donor dalam upaya rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh dan Nias.
Bahkan jika didasarkan pada data Depkeu, Bappenas dan Bapel-BRR, komitmen hibah yang telah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dengan pihak asing telah mencapai US$ 4,089 milyar (36,81 triliun rupiah ), jauh melebihi perkiraan yang ditetapkan dalam APBN-P 2005 yang hanya 5,76 triliun rupiah. Komitmen hibah tersebut sebagian besar diperoleh dari hubungan multilateral sebesar US$ 1,299 milyar dan bilateral sebesar US$ 1,404 milyar.
Komitmen hibah yang diperoleh dari hubungan multilateral antara lain berasal dari World Bank sebesar US$ 447 juta; Asian Development Bank sebesar US$ 319 juta; Islamic Development Bank sebesar US$ 3 juta; Europe Union sebesar US$ 281 juta; dan United Nations Agencies (UNDP, UNICEF, UNFPA, WHO, FAO, UNHCR, UNESCORD, UNEF) sebesar US$ 246 juta.
Sementara komitmen hibah yang diperoleh dari hubungan bilateral antara lain berasal dari negara: Amerika Serikat sebesar US$ 493 juta; Australia sebesar US$ 380 juta; Jepang sebesar US$ 147 juta; Jerman sebesar US$ 171 juta; Belanda sebesar US$ 10 juta; Cina sebesar US$ 24 juta; Denmark sebesar US$ 33 juta; Italia sebesar US$ 4 juta; Kanada sebesar US$ 123 juta; Korsel sebesar US$ 12 juta; dan Norwegia sebesar US$ 3 juta. Untuk komitmen hibah yang diperoleh di luar hubungan multilateral dan bilateral adalah berasal dari Palang Merah, LSM, dan lain-lain yang totalnya mencapai US$ 1,386 milyar.
Dengan melihat komitmen hibah yang begitu besar dengan total sampai mencapai 36,4 triliun rupiah di atas, tentu saja pemerintah tidak perlu repot mencari utangan lagi untuk mendanai proyek rehabilitasi dan rekonstruksi yang menurut perkiraan Bappenas mencapai 48,7 triliun rupiah. Karena dengan dana hibah sebesar 36,4 triliun rupiah tersebut paling tidak sekitar 76% dana rehabilitasi dan rekonstruksi telah terpenuhi. Untuk sisanya Pemerintah dapat mengefektikan mobilisasi bantuan dana yang bersumber dari rupiah murni sehingga tidak tergantung pada pihak asing.
Hanya saja memang, dalam hal hibah, pemerintah tetap dituntut untuk hati-hati dalam membangun komitmen-komitmen dengan pihak asing tersebut, karena walaupun dana hibah bersifat gratis, tetap akan memiliki resiko bagi perekonomian Indonesia. Ini mengacu pada pengalaman pahit Indonesia di masa lalu, dimana hutang dan hibah yang diterima Indonesia selalu diikuti oleh kepentingan-kepentingan terselubung negara donor. Misalnya, dalam hal utang (multilateral maupun bilateral), selalu diikuti dengan syarat-syarat deregulasi ekonomi, liberalisasi perdagangan dan privatisasi perusahaan-perusahaan negara (BUMN). Begitu pula dengan hibah, yang juga sering menuntut liberalisasi perdagangan melalui tuntutan impor-impor paksa.
Sayangnya, komitmen-komitmen hibah yang telah dibangun pemerintah dengan pihak asing tersebut, sampai saat ini sama sekali tidak dijelaskan kepada masyarakat luas terutama tentang kompensasi-kompensasi apa saja yang harus diberikan oleh Indonesia kepada negara donor, dan sejauh mana tingkat resiko yang harus ditanggung jika hibah dan hutang tersebut nantinya diterima. Memang benar, pemerintah telah berkomitmen bahwa semua pendanaan untuk membangun kembali Aceh akan dicari dari sumber-sumber yang mengandung tingkat resiko kecil, baik hibah dan hutang. Tetapi tentu saja komitmen tersebut sulit diukur dan dibuktikan jika pemerintah tetap tidak transparan seperti saat ini. Padahal transparansi tersebut sangat penting bagi terciptanya sistem kontrol yang langsung dari rakyat, karena bagaimanapun rakyatlah yang nantinya harus menanggung segala resiko yang dibuat oleh pemerintah. Tentu kita masih ingat, bagaimana rakyat beberapa tahun lalu dipaksa menanggung hutang sebesar Rp 700 triliun yang digunakan pemerintah untuk menyelamatkan perbankan Indonesia dari krisis. Tentu kejadian ini tidak boleh terulang lagi, sudah cukup rakyat menjadi korban.
Oleh karena itu, sikap transparansi Pemerintah dalam pembangunan kembali Aceh sangatlah penting, karena kita tidak ingin mengatasi bencana tsunami dengan bencana yang lebih besar akibat kesalahan dari pemerintah seperti yang lalu-lalu. Untuk itu, sudah sewajarnya jika Pemerintah dalam menjalankan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh saat ini menghindari langkah-langkah yang akan semakin membebani perekonomian Indonesia.