Sabtu, 14 Februari 2009

CATATAN ANGGARAN KEJAKSAAN TAHUN 2008

Yenny Sucipto: "Urusan Birokrasi Menjadi Prioritas"


Menyoal tentang kinerja di tubuh Kejaksaan, banyak pendapat jika kinerja Kejaksaan hanya mengejar target kuantitas penanganan perkara daripada kualitas kasusnya sendiri. Bahkan dari berbagai catatan yang bersumber dari media, sepanjang tahun 2006 – 2007 saja, terdapat 161 Kejaksaan Negeri yang masih berada dibawah target kinerja, bahkan sebanyak 37 Kejaksaan Negeri dan 40 cabang dari Kejaksaan Negeri memiliki kinerja nol persen.

Padahal jika ditinjau dari alokasi anggaran negara yang diberikan kepada Kejaksaan cukup besar bahkan setiap tahun alokasinya terus naik. Tahun sebelumnya (2007) alokasi yang diperuntukkan Kejaksaan totalnya mencapai Rp 1,7 triliun, di tahun 2008 telah naik menjadi 1,9 triliun. Anggaran tersebut terbagi ke berbagai satuan kerja mulai dari Kejaksaan Agung, Perwakilan Kejaksaan di luar negeri, Pusdiklat Kejagung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang tersebar di wilayah Indonesia.

Yang perlu mendapatkan perhatian adalah, apakah anggaran sebesar Rp 1,9 triliun untuk tahun 2008 telah dimanfaatkan (digunakan) secara proporsional dan menunjang tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Kejaksaan itu sendiri, ataukah justru sebaliknya, terbuang percuma. Untuk itu Seknas FITRA mencoba menganalisisnya sebagai bahan masukan demi perbaikan kinerja Kejaksaan ke depan.

Berdasarkan hasil analisis, ternyata sebesar alokasi anggaran Kejaksaan habis hanya untuk urusan birokrasi dan urusan teknis yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan peningkatan kinerja penegakan hukum dan pelayanan publik sehingga terlihat tidak proporsional dan tidak wajar, apalagi totalnya mencapai Rp 1,3 triliun. Ketidakwajaran penggunaan anggaran sangat terlihat jika melihat pembiayaan sarana dan prasarana kantor yang totalnya mencapai Rp 658,9 milyar (35,7%). Sebagian besar sarana prasarana tersebut meliputi: pembangunan dan perawatan gedung, operasional perkantoran (pengadaan komputer/IT, ATK, dll), pengadaan dan perawatan kendaraan dinas, dan pengadaan alat-alat perlengkapan gedung. Belum lagi ditambah dengan pembayaran gaji, honorarium dan tunjangan yang totalnya mencapai Rp 651,4 milyar (35,2%).

Dengan melihat besarnya pembiayaan birokrasi di atas sudah dapat dipastikan Kejaksaan dalam mengunakan anggaran negara akan lebih sibuk mengurusi dam memenuhi fasilitas lembaga mereka sendiri daripada pengutamaan fungsinya dalam penegakan hukum.

Bandingkan saja dengan alokasi penanganan perkara, dari Rp 1,9 triliun anggaran Kejaksaan, anggaran yang diperuntukkan untuk menangani perkara hanya sebesar Rp 198,6 milyar (7,2 %), sungguh sangat tidak sebanding dengan pembiayaan birokrasi Kejaksaan yang mencapai RP 1,3 triliun. Apalagi jika dibandingkan dengan anggaran penindakan hukum tindak pidana korupsi yang totalnya hanya sebesar Rp 64,7 milyar 3,5% dari total anggaran.

Dengan melihat minimnya alokasi anggaran penegakan hukum di tubuh Kejaksaan di atas terlihat sangat bertolak belakang dengan komitmen pemerintah dan Kejaksaan Agung dalam hal penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi yang didengungkan selama ini.

Tidak ada komentar: