Minggu, 21 November 2010

Sadar (Anggaran) Bencana

Yenny Sucipto

Sejak terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh tahun 2005 lalu, pemerintah terlihat tidak lagi main-main dengan ancaman bencana alam di Indonesia. Bahkan berkali-kali pemerintah mendeklarasikan secara terbuka untuk secara serius dan sungguh-sungguh menangani persoalan bencana alam tersebut. Oleh karena itu pemerintah kemudian menyusun suatu manajemen bencana yang tidak lagi parsial dan reaktif melalui suatu kebijakan regulasi yang khusus mengatur tentang itu. Butuh waktu 2 tahun (dari tahun 2005 sampai tahun 2007) dan melalui serangkaian perdebatan panjang antara pemerintah dan DPR sampai dilahirkannya UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanganggulangan Bencana.
Perdebatan yang paling panjang adalah menyoal perlu tidaknya dibentuk suatu badan khusus yang menangani bencana. DPR saat itu beralasan badan tersebut sangat diperlukan karena bencana tidak bisa ditangani secara temporer melalui lembaga-lembaga koordinatif, butuh lembaga khusus yang bersifat permanen yang tugasnya hanya memikirkan penanganan bencana setiap hari. Namun Pemerintah keberatan karena dengan dibentuknya badan baru tersebut akan semakin membebani anggaran belanja negara. Namun DPR berkilah, justru pembentukan badan khusus tersebut akan mengurangi beban anggaran negara, karena akan diikuti dengan peleburan badan dan lembaga yang selama ini menangani bencana ke dalam satu atap. Perdebatan tersebut akhirnya selesai dengan tetap dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), namun sayangnya tanpa disertai ide peleburan (penyatuan ke dalam satu atap) sebagaimana gagasan yang telah muncul sebelumnya.
Namun, baik DPR maupun Pemerintah sepertinya telah melupakan satu hal yang justru lebih urgen daripada perdebatan tentang badan penanggulanan bencana, yaitu masalah pembiayaan selama penanganan bencana, mulai dari tahap tanggap darurat, rehabilitasi sampai rekonstruksi. Sebab belajar dari pengalaman bencana Aceh sampai Yogya tahun 2005, Pemerintah terlihat masih belum menyadari akan pentingnya prioritas anggaran bagi penanganan bencana di Indonesia.
Dalam APBNP 2010, Pemerintah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana sebesar Rp 3,79 triliun ditambah dengan Rp 2,64 triliun yang tersebar di 8 kementerian/Badan tersebut sehingga totalnya sebesar Rp 6,43 Triliun. Alokasi dana penanggulangan bencana alam dalam APBN masih dinilai tidak cukup, mengingat luasnya tingkat kerusakan dan dampak lain yang ditimbulkan akibat bencana alam akhir-akhir ini.
Minimnya alokasi dana untuk penanggulangan bencana di APBN itu menunjukkan bahwa Pemerintah memang masih memandang remeh ancaman bencana di Indonesia. Angka Rp 6,43 trilliun terlihat lebih sebagai bentuk “formalitas” pemenuhan tuntutan “isu bencana” yang memang sedang hangat di masyarakat daripada sebagai bentuk kesadaran pemerintah akan bahaya bencana.

Fragmentasi Anggaran Bencana
Keberadaan Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) bukannya semakin mempermudah penanggulangan bencana tetapi semakin memperumit. Sebab, selain semakin sulitnya koordinasi antar lembaga, juga membuat anggaran bencana semakin terfragmentasi (terpecah-pecah) ke banyak badan dan lembaga.
Fragmentasi anggaran ini jelas akan membuat anggaran bencana menjadi semakin tidak efisien. Sebab semakin banyak badan dan lembaga akan semakin banyak anggaran yang terbuang percuma karena belanja untuk memenuhi kebutuhan aparatur (gaji, tunjangan dan honorarium pegawai, pemenuhan kebutuhan kantor, kendaraan dinas, dll) akan semakin membengkak.
Dampaknya seperti yang terjadi saat ini. Dari total anggaran yang terdapat di 8 badan dan lembaga yang terlibat dalam penanganan bencana, total anggaran yang benar-benar digunakan program-program yang langsung berkaitan dengan penanggulangan bencana hanya sebesar Rp 2,64 triliun. Jika saja badan dan lembaga-lembaga tersebut bisa disatu atapkan, tentunya anggaran yang muncul jauh lebih besar dari hanya Rp 2,64 triliun, karena tidak perlu lagi ada double budget bagi pembiayaan kebutuhan aparatur sebagaimana tersebut diatas.
Jika diteliti lebih lanjut, untuk pengendalian bencana berupa pengembangan sistem early warning tsunami, cuaca dan iklim hanya dianggarkan 137,85 milyar (Badan Meteorologi, Klimatologi dan geofisikan), Pengembangan sistem Manajemen dan Penetapan Zona Rawan Bencana baik Darat maupun laut sebesar Rp 42,27 milyar (BNPB dan Bakor Survey dan Pemetaan Nasional). Sedangkan untuk pelaksanaan tanggap darurat sebesar Rp 666,12 milyar (Mabes TNI, Kementerian PU, Kementrian Sosial, BNPB dan Basarnas). Untuk Pengendalian Lahar Gunung Berapi Rp 6,89 milyar dan pengendalian bencana banjir Rp 1,5 triliun, itu pun hanya digunakan untuk membangun sarana dan prasarana penanggulangan banjir yang dikerjakan di bawah Departemen PU.

Pentingnya Political Will
Kesadaran pemerintah akan bahaya bencana seharusnya diikuti dengan langkah-langkah konkrit dalam pemenuhan anggaran bencana. Berkaca pada Bencana Tsunami Aceh, dimana pembiayaan untuk tanggap darurat saja menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,25 trilyun. Mengingat banyak wilayah di Indonesia yang berpotensi bencana, pemerintah setidaknya mengalokasikan anggaran khusus untuk penanggulangan bencana kurang lebih 1% dari total APBN (sekitar Rp 12 triliun untuk tahun 2010). Contohnya dapat kita lihat pada bencana merapi saat ini, dimana tercatat ada 289.613 pengungsi yang setiap harinya membutuhkan Rp 4,34 milyar untuk 3 (tiga) kali makan dalam sehari, itu belum termasuk kebutuhan tanggap darurat lainnya.
Pentingnya political will dan keseriusan pemerintah dalam pengalokasian anggaran bencana yang ideal dalam setiap tahun anggaran, agar pemerintah tidak mengulangi kesalahannya lagi ketika dalam penanganan bencana tsunami aceh, dengan alasan tidak adanya alokasi dalam APBN, pemerintah lalu berhutang ke luar negeri yang totalnya sampai mencapai US$ 326 juta.
Melihat quo vadisnya arah kebijakan pendanaan pemerintah dalam penanganan bencana, sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan ulang “manajemen dana bencana” agar tidak menimbulkan bencana baru di masa depan. (diterbitkan di opini Kompas)

Tidak ada komentar: