Selasa, 05 Desember 2006

Analisis Beban Utang Dalam APBN 2006: PERLUNYA PEMOTONGAN UTANG & RUU PEMBATASAN UTANG

Yenny Sucipto


Dalam APBN 2004 bunga utang pemerintah jumlahnya telah mencapai Rp 43,1 triliun, yang merupakan bunga utang luar negeri dan biaya yang berkaitan dengan utang luar negeri pemerintah dan bunga obligasi. Rinciannya antara lain bunga utang dan kewajiban luar negeri sebesar Rp 22,224 trililun yang terdiri dari bunga dan komisi. Sedangkan jumlah bunga mencapai Rp 22,048 triliun terdiri dari bunga utang bilateral Rp 8,074 triliun, bunga obligasi Rp 121,828 miliar, bunga kredit komersial Rp 225,694 miliar, bunga kredit ekspor Rp 5,259 triliun dan bunga multilateral Rp 8,306 triliun.
Sementara untuk komisi bilateral Rp 10,871 miliar, komisi kredit ekspor Rp 125,927 miliar dan komisi kredit komersial Rp 40,127 miliar. Total komisi keseluruhan sebesar Rp 176,926 miliar. Untuk utang bunga obligasi telah mencapai Rp 20,829 triliun dan utang bunga obligasi internasional mencapai Rp 194,012 miliar.
Untuk APBN 2005, pemerintah telah menganggarkan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 71,9 triliun dengan rincian cicilan pokok sebesar Rp 46,8 triliun dan bunga sebesar Rp 25,1 triliun. Beban tersebut setara dengan 2,8 kali dari pengeluaran pemerintah, sedang untuk pendidikan, 10,6 kali pengeluaran pemerintah pusat untuk kesehatan, 32,7 kali pengeluaran perumahan dan fasilitas umum, dan 119,8 kali pengeluaran ketenagakerjaan, serta 27,7 kali pengeluaran untuk lingkungan hidup. Sedangkan APBN 2006, anggaran pembayaran bunga utang dalam negeri ditetapkan sebesar Rp 48,81 triliun, sementara bunga utang luar negeri Rp 28,01 triliun .

***

Pembayaran utang dan bunga utang yang sampai mencapai 30-40% dari total anggaran belanja negara dalam setiap tahunnya, dikhawatirkan akan mengancam stabilitas perekonomian nasional. Sebab anggaran untuk pembayaran utang dan bunga utang tersebut tidak hanya memberikan tekanan pada devisit, tetapi juga pada cadangan devisa. Ironisnya, walaupun telah menjadi ancaman nyata bagi perekonomian nasional, namun sampai saat ini belum ada upaya-upaya yang signifikan dari pemerintah untuk mengurangi beban utang tersebut. Memang dalam kurun waktu tiga tahun terakhir rasio utang Indonesia telah mengalami penurunan yang sebelumnya mendekati 100 persen Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi sekitar 60 persen. Namun tetap harus disadari bahwa hal tersebut bukan berarti stok utang Indonesia berkurang, sebab Indonesia belum pernah meminta keringanan berupa pengurangan atau penghapusan utang kepada negara-negara donor.
Pemerintah sebenarnya memiliki banyak kesempatan untuk mengurangi beban utang negara dengan cara intensifikasi manajemen utang. Salah satu langkah yang dapat ditempuh misalnya dengan cara meminta keringanan utang dan negosiasi bilateral yang intensif. Dengan munculnya tawaran dari beberapa negara kreditor pemberi moratorium utang pada Indonesia beberapa bulan setelah bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatra Utara bukan tidak mungkin dengan negosiasi yang kuat pemotongan akan diberikan. Namun sangat disayangkan sekali ternyata tawaran menarik dari pihak Jerman dan Inggris untuk debt relief (pemotongan/pengurangan utang) ditanggapi pasif oleh pemerintah.
Drajat Wibowo (Anggota Komisi XI DPR) juga pernah meminta kepada pemerintah agar melakukan terobosan dalam upaya pengurangan beban bunga utang luar negeri selama tiga hingga lima tahun termasuk pengurangan pokok utang, khususnya dari kreditor utama seperti Bank Dunia, ADB, dan Jepang .
Bagaimanapun pemotongan utang adalah agenda tak terhindarkan (dengan membuang segala gengsi) yang harus dijalankan oleh pemerintah jika ingin menyelamatkan perekonomian nasional dari jebakan utang. Pakistan mungkin dapat menjadi salah satu referensi bagi Pemerintah yang berhasil mendapatkan pemotongan utang. Pakistan, dengan negosiasi tingkat tinggi pada level geopolitik di tahun 2002 saat isu terorisme menghangat, bisa memperoleh potongan 30 persen utang melalui fasilitas Official Development Assistance (ODA). Yugoslavia juga pernah memperoleh potongan 66 persen, demikian pula dengan Polandia yang mendapat potongan 50 persen dari total utang.

***

Namun ternyata pemerintah memiliki agenda lain. Pemerintah tidak tertarik terhadap langkah pemotongan utang. Pemerintah lebih tertarik untuk memperketat pelaksanaan proyek-proyek yang dibiayai utang dengan cara membentuk tim monitoring atas pelaksanaan proyek-proyek tersebut. Tim itu nantinya terdiri dari Departemen Keuangan, Bappenas, Menko Perekonomian dan pihak-pihak lain yang terkait. Dengan dibentuknya tim tersebut, pemerintah berharap kebocoran-kebocoran proyek yang diyakini sampai mencapai 30% selama ini dapat dieleminir.
Gagasan Pemerintah ini jelas tidak dapat menyelesaikan persoalan beban utang yang dihadapi, karena sama sekali tidak mengurangi utang, walaupun memang di satu sisi harus tetap diapresiasi karena memiliki nilai positif dalam konteks pemberantasan korupsi. Namun yang menjadi masalah pokok adalah bagaimana caranya agar Pemerintah dapat menghentikan kebiasaannya berutang agar tidak semakin menambah beban APBN. Namun sepertinya Pemerintah belum memiliki kesadaran akan hal ini. Di tahun 2006 ini Pemerintah sepertinya tetap akan terus berhutang, hanya bentuknya yang berbeda. Jika sebelumnya pemerintah lebih banyak berutang untuk pinjaman proyek, di tahun 2006 ini pemerintah akan lebih memprioritaskan pada pinjaman program karena menurut pemerintah lebih efektif penggunaannya. Ini dibuktikan dari pernyataan Menkeu bahwa untuk tahun 2006 pinjaman program pemerintah hanya sebesar Rp 9,9 triliun, sedangkan pinjaman proyek sebesar Rp 25 triliun.

***

Gagasan lain yang cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam dalam upaya mengurangi beban utang negara adalah perlu ditetapkannya regulasi yang khusus mengatur mengenai pembatasan utang negara. Regulasi tersebut menyangkut batasan-batasan atau larangan-larangan utang berikut transparasi dan syarat-syarat program dalam pengelolaan dana utangan. Dengan regulasi tersebut diharapkan akan ada kontrol yang kuat terhadap pemerintah ketika mencari utangan baru ke negara-negara donor. Selama ini belum ada aturan yang khusus mengatur tentang hal tersebut. Konstitusi kita (UUD 1945) hanya menyebutkan secara umum tentang beberapa hal penting yang menyangkut perjanjian internasional yang harus mendapatkan persetujuan DPR. Namun tentu ketentuan tersebut belum cukup karena masih harus diderivasikan ke dalam aturan yang lebih rendah (undang-undang). Oleh karena itulah, undang-undang tentang pembatasan utang negara tetap dibutuhkan guna mengontrol kebijakan utang pemerintah. Jika pemerintah tidak ada kemauan menyusun RUU tersebut, DPR dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu sesuai dengan fungsi-fungsi legislasinya.

Tidak ada komentar: