Rabu, 27 Desember 2006

Qua Vadis Dana Bencana: “Atasi Bencana dengan Bencana”

Oleh: Yenny Sucipto

RUU Penanggulangan Bencana yang sampai saat ini sedang dalam pembahasan antara Pemerintah dan DPR terancam deadlock karena tidak adanya kesepahaman antara Pemerintah dan DPR tentang perlu tidaknya dibentuk sebuah badan khusus yang bertugas menangani bencana. Namun, baik DPR maupun Pemerintah sepertinya telah melupakan satu hal yang justru lebih urgen daripada perdebatan tentang badan penanggulanan bencana, yaitu masalah pembiayaan selama penanganan bencana, mulai dari tahap tanggap darurat, rehabilitasi sampai rekonstruksi. Sebab belajar dari pengalaman bencana Aceh sampai Yogya, Pemerintah terlihat masih belum menyadari akan pentingnya prioritas anggaran bagi penanganan bencana di Indonesia.
Untuk APBN 2006, alokasi dana penanggulangan bencana hanya tersedia sebesar Rp 500 miliar dan naik sebesar Rp 1 triliun pada APBNP 2006, itupun persediaan pada APBN 2006 telah habis direalisasikan untuk menangani bencana banjir di Jawa Timur (Jombang, Jember, dan Trenggalek) dan bencana gempa di Yogya - Jateng, masing-masing Rp 200 miliar dan Rp 300 miliar.
Minimnya alokasi dana untuk penanggulangan bencana di APBN itu menunjukkan bahwa Pemerintah memang masih memandang remeh ancaman bencana di Indonesia. Angka Rp 500 milyar terlihat lebih sebagai bentuk “formalitas” pemenuhan tuntutan “isu bencana” yang memang sedang hangat di masyarakat daripada sebagai bentuk kesadaran pemerintah akan bahaya bencana.
Sikap remeh pemerintah ini akhirnya berujung pada ketidak jelasan konsep pembiayaan bencana yang dijalankan oleh pemerintah sendiri. Langkah-langkah pemerintah justru mengarah pada satu kebijakan yang semakin membebani rakyat, salah satunya adalah dengan cara mencari utangan baru. Ini terlihat pada saat penanganan bencana di Aceh dan Nias kemarin, dimana Pemerintah belum apa-apa telah menargetkan utang baru sebesar US$ 326 juta. Alasannya pun cenderung mengada-ada, seperti yang dilontarkan Mulia Nasution (Dirjen Perbendaharaan Negara Depkeu) di depan media seminggu setelah bencana, bahwa tawaran bantuan pihak asing rata-rata memang dalam bentuk tawaran utang, sehingga Pemerintah terpaksa menerimanya, namun tetap mencari utangan yang semurah dan selunak mungkin.
Alasan ini lebih terlihat sebagai alasan pembenaran atas utang daripada komitmen perbaikan ekonomi, karena memang faktanya, berapapun lunaknya utang baru, tetap saja akan membebani perekonomian negara. Dari data Depkeu, komitmen-komitmen utang yang telah disepakati Pemerintah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, diantaranya berasal dari CGI sebesar US$ 500 juta dalam bentuk pinjaman lunak; World Bank sebesar US$ 76 juta dan ADB sebesar US$ 64,7 juta, keduanya merupakan realokasi pinjaman reguler; IDB sebesar US$ 440 juta dan Austria sebesar US$ 10 juta, keduanya tawaran pinjaman baru.
Ketika Yogya dan Jateng juga dilanda bencana gempa pun, lagi-lagi Pemerintah giat mencari utangan baru. Seperti yang dilontarkan Kepala Bappenas beberapa waktu lalu, saat ini Pemerintah sedang berupaya membangun komitmen utang baru dengan CGI, dan hasilnya CGI menyepakati untuk mencadangkan dananya sebesar US$ 85 juta yang terdiri dari Bilateral Luar Negeri sebesar US$ 55 juta dan Multilateral US$ 30 Juta. Sepertinya, pembiayaan bencana dengan cara utang telah menjadi kebiasaan dan “konsep baku” pemerintah dalam penanganan bencana.
Kebiasaan utang ini adalah kebiasaan buruk yang seharusnya dihindari, karena bagaimanapun rakyatlah yang nanti harus menanggung resikonya. Belum hilang trauma kita melihat kebijakan Pemerintah di masa krisis yang memaksa rakyat menanggung utang sebesar Rp 700 triliun dengan cara menaikkan harga dan mencabut subsidi hanya untuk menyelamatkan krisis perbankan yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab rakyat. Pun Pemerintah sebenarnya juga menyadari jika utang baru bukanlah solusi tepat dalam penanganan bencana. Keberadaan utang lama saja telah membuat sebagian besar uang negara menguap. Untuk tahun 2005, Pemerintah harus menganggarkan pembayaran utang sebesar Rp 71,9 triliun, dan di tahun 2006 membengkak sampai mencapai 24% dari total anggaran (Rp 139 triliun). Dapat dibayangkan, berapa banyak lagi uang negara yang harus menguap jika pemerintah 2memutuskan berutang lagi hanya untuk mengatasi bencana? Bukankah ini sama saja mengatasi bencana dengan bencana?
Kebiasaan berutang dengan memanfaatkan isu bencana sudah sepatutnya dihentikan, karena terbukti hanya akan semakin menambah berat beban ekonomi rakyat. Masih banyak alternatif lain yang dapat ditempuh Pemerintah jika mau, misalnya dengan mengoptimalkan dana-dana rupiah murni yang berasal dari sumbangan masyarakat dan hibah pihak asing. Sebab berdasarkan pengalaman bencana di Aceh dan Nias lalu, sebenarnya pembiayaan rehabilitasi dan rekonstruksi telah dapat ditutupi dari komitmen hibah yang dilakukan oleh Pemerintah, yang angkanya sampai mencapai US$ 4,1 milyar atau setara Rp 36,81 triliun dengan kurs Rp 9 ribu. Karena menurut perkiraan Bappenas selama rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias diperlukan pendanaan sebesar Rp 48,7 triliun. Hanya saja pemerintah kurang serius dalam menindaklanjuti komitmen-komitmen hibah tersebut sehingga tidak jelas perkembangannya. Dana dari sumbangan masyarakat pun juga tidak kecil, karena dari laporan BPK sumbangan masyarakat yang terkumpul untuk Aceh dan Nias totalnya sampai mencapai Rp 1,21 triliun.
Daripada berutang, lebih bijak jika pemerintah menerima tawaran debt relief (pengurangan pokok dan bunga utang) dari negara lain seperti yang pernah ditawarkan Jerman dan Inggris pasca Tsunami. Tetapi sayang pemerintah menolaknya, justru menerima moratorium utang yang hanya bersifat penundaan pembayaran saja, dan angkanya pun relatif kecil (Rp 3,967 triliun).
Melihat quo vadisnya arah kebijakan pendanaan pemerintah dalam penanganan bencana, sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan ulang “manajemen dana bencana” agar tidak menimbulkan bencana baru di masa depan. Untuk itu dituntut keberanian Pemerintah agar lebih memprioritaskan anggaran bagi penanganan bencana, paling tidak dengan patokan minimal 0,5 - 1% (sekitar Rp 4 - 6 triliun) dari total anggaran di APBN ditambah efektifitas dana dari rupiah murni (sumbangan masyarakat), hibah dan tawaran debt relief (jika ada), maka Pemerintah tidak akan lagi kebingungan dan reaktif mencari utangan baru setiap kali terjadi bencana di Indonesia.

Tidak ada komentar: